Huijtink, Bouma, dan Bung Karno

huijtink-bouma-sukarno

Adalah Pastor P. Gerardus Huijtink, yang banyak disebut Bung Karno, ketika berbicara tentang masa-masa pembuangannya di Ende (14 Januari 1934 sampai 18 Oktober 1938). Seorang pastor lain yang juga diingat dengan baik oleh Bung Karno adalah Pastor Dr. Jan (Johanes) Bouma. Kedua orang Belanda inilah yang menjadi teman berbincang sekaligus lawan diskusinya.

Sungguh bukan hal sulit bagi seorang Sukarno untuk bisa lekas menjadi “sahabat”, sekalipun kepada orang yang berbeda kewarganegaraan, berbeda suku, bahkan berbeda agama. Saat itu, sebagai orang buangan politik, Bung Karno diawasi sangat ketat. Opas Belanda melakukan pengawasan 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu…. Jika hendak keluar melebihi radius 2 kilometer dari Kota Ende, ia harus mengajukan izin kepada meneer Residen Ende.

Ketika itu, penduduk kota Ende tak lebih dari 5.000 jiwa. Sebagian besar di antara mereka adalah kaum petani, nelayan, buruh kasar, dan rakyat jelata dengan pekerjaan rendah. Sebagian kecil lainnya adalah pejabat Belanda di karesidenan Ende, para ambtenar, para pemilik toko (umumnya keturunan Cina, Makassar, bahkan Arab), dan keluarga raja. Bagian terkecil yang lain adalah komunitas paroki yang terdiri atas pastor-partor dan bruder-bruder.

Di bagian terbesar dari penduduk Ende tadi, sebagian besarnya terdiri atas rakyat yang takut mendekati Bung Karno. Bukan saja karena dia distigmakan sebagai orang berbahaya, lebih dari itu, siapa saja yang berani menemuinya, apalagi berbicara, kontan digelandang ke kantor polisi untuk diinterogasi. Jadi, lazim terjadi, seseorang warga jelata, yang mendadak balik kanan, belok kanan, atau belok kiri ketika sadar akan berpapasan dengan Bung Karno.

Sedangkan kelompok ambtenar dan keluarga raja, adalah kelompok yang sedikit terpelajar tetapi terkadang sikapnya lebih Belanda dari orang Belanda. Awalnya, mereka bahkan membuang muka, atau bahkan meludah setiap melihat Bung Karno. Sedangkan golongan pedagang yang terbilang kaya, para pemilik toko, sikapnya lebih pragmatis: “Ane jual, ente beli, abis perkara….”

Adapun lingkungan paroki, cenderung memiliki concern sendiri dengan misi yang mereka emban. Dalam banyak hal, kehidupan paroki relatif steril dari kepentingan penjajah. Ini terlihat dari sejarah panjang kepastoran di Ende, hingga fase datangnya Bung Karno. Seperti ditulis sosiolog Flores, Ignas Kleden dalam hidupkatolik.com, ketika Soekarno tiba di Ende pada 1934, Flores dan Timor sudah menjadi wilayah misi biarawan SVD (Serikat Sabda Allah), setelah terjadi peralihan misi dari para biarawan Jesuit.

Proses peralaihan itu tercatat pada tanggal 1 Maret 1913 di Lahurus, Timor. Serah-terima ini membutuhkan waktu. Dua imam Jesuit, P. Hoeberechts SJ dan P. van de Loo SJ, baru meninggalkan Larantuka di Flores Timur pada 1917, sedangkan empat imam Jesuit dan dua bruder Jesuit meninggalkan Sika-Maumere dan kembali ke Jawa pada bulan Desember 1919 dan Februari 1920.

Para biarawan SVD kemudian melanjutkan pembangunan Gereja Katolik di Ende. Paroki pertama di Ende terbentuk pada 1927, dan seorang pastor paroki pertama di sini adalah P. Gerardus Huijtink SVD. Sedangkan Bouma menjabat Pemimpin para Pastor Serikat Sabda Allah (SVD) se-Flores.

Tujuh tahun kemudian, di tahun 1934 datanglah Sukarno di Ende. Sejarah mencatat mereka lantas terlibat persahabatan rapat. Persahabatan terjalin karena berpautnya banyak faktor. Bung Karno memerlukan teman diskusi yang seimbang. Para pater membutuhkan teman bicara yang dalam berdialog bisa terjadi tanya-jawab, umpan-balik, dan perdebatan. Sesuatu yang tidak didapatkan ketika mereka menjalankan tugas misi, hingga ketika mereka melakukan kunjungan ke stasi-stasi.

Stasi adalah istilah kewilayahan dalam Gereja Katolik. Ibadat atau misa di stasi masih tergantung jadwal imam dan diakon di Paroki yang menaunginya. Stasi juga bisa terbentuk kelompok doa. Nah, sebagai wilayah binaan, tentu saja para pastor sering melakukan kunjungan ke stasi-stasi yang tersebar di wilayah Ende.

Kedekatan Bung Karno dengan Huijtink dan Bouma setidaknya bisa dilukiskan dengan kepercayaan Huijtink yang begitu besar kepada Bung Karno. Diriwayatkan, ketika mereka sudah begitu dekat, tak jarang Huijtink menitipkan kunci pintu ruang kerjanya kepada Bung Karno. Maksudnya adalah, jika Bung Karno memerlukan bacaan yang ada di ruang kerjanya, ia bisa datang kapan saja, dan membaca sepuasnya. (roso daras)

Published in: on 14 Oktober 2013 at 02:27  Comments (1)  
Tags: , , ,