Obituari Amin Arjoso (1)

obituariWAFATNYA tokoh nasionalis, senior GMNI yang juga Sukarnois, H. Amin Arjoso, SH betapa pun menyedot rasa duka bangsa. Berita duka datang dari Gedung A, Lantai 1, kamar 115 RSCM Jakarta Pusat, tempat dia dirawat. Jam wafat tercatat pukul 23.05 WIB. Almarhum mengembuskan napas terakhir di antara orang-orang tercinta, antara lain sang istri Sumarjati Arjoso dan putranya Azis Arjoso.

Semasa hidup, nama Amin Arjoso tampil sebagai pengacara yang berani berhadap-hadapan langsung dengan Soeharto dan rezim Orde Barunya. Itu terjadi saat Amin Arjoso tampil menjadi pembela mantan Wakil Perdana Menteri (Waperdam) sekaligus orang dekat Bung Karno, Dr Soebandrio ketika diadili di Mahmilub akhir Oktober 1966.

Amin Arjoso, bersama Kwik Kian Gie, Soetardjo Soerjoguritno, dan sejumlah senior lain, adalah tokoh-tokoh nasionalis yang berada di belakang tampilnya Megawati Soekarnoputri ke dunia politik, dan memimpin PDI Perjuangan. Sempat pula duduk di DPR RI mewakili aspirasi PDI Perjuangan, dan berada di barisan penentang Amandemen UUD 1945, yang digagas MPR RI antara tahun 1999 hingga pengesahannya tahun 2002.

Usahanya membendung amandemen bersama ratusan anggota dewan lain, menyisakan luka politik yang dalam. Sejak itu, ia tidak pernah berhenti menghimpun kekuatan politik untuk mengembalikan UUD 1945 ke UUD 1945 yang asli. Ia bukan anti perubahan apalagi reformasi. Yang ia sepakati adalah pembatasan masa jabatan presiden, sebagai concern tuntutan rakyat ketika gerakan reformasi 1998 meletus. Bukan mengubah tatanan politik, ekonomi, dan dengan sendirinya tatanan budaya melalui amandemen pasal-pasal krusial yang menjadikan Indonesia sekarang menjadi liberal.

Sebagai alat perjuangan, Amin Arjoso menerbitkan Tabloid Cita-Cita bersama Roso Daras, Roy Mahieu, Eddi Elison, dan lain-lain. Ia bahkan membaca sendiri satu per satu naskah sebelum dicetak. Meski menampilkan keragaman rubrik, tetapi semua bermuara pada satu visi, yakni gerakan kembali ke UUD 1945 yang asli.

Di kediamannya, Jl. Taman Amir Hamzah No 28, Pegangsaan, Menteng, Jakarta Pusat bahkan Amin Arjoso secara regular mengundang tokoh-tokoh nasionalis untuk berdiskusi. Dari sinilah forum kemudian menggulir ke acara rutin yang diselenggarakan secara bergilir. Sekali waktu, pernah diselenggarakan di restoran. Kali lain, sejumlah purnawirawan perwira tinggi mengundang untuk diskusi di Gedung Cawang Kentjana, Cawang, Jakarta Timur. Pernah juga di kantor Kwik Kian Gie. Sekali waktu, berdiskusi di kantor Yayasan Bung Karno.

Nama-nama yang ketika itu cukup intens terlibat di antaranya Moch. Achadi, John Lumingkewas, Kwik Kian Gie, Soenardi, Ki Utomo Darmadi, Ridwan Saidi, Haryanto Taslam, dan masih banyak lagi. Dari kalangan militer, ada Try Sutrisno, Saiful Sulun, Tyasno Sudarto, Ian Santoso Perdanakusuma, dan lain-lain. Sebagian di antara mereka sudah wafat, mendahului Amin Arjoso.

Meski kondisi Amin Arjoso ketika itu sudah sulit untuk berbicara secara lancar akibat stroke, tetapi hampir semua ajang diskusi ia hadir. Tidak jarang, saya diminta ikut mendampingi, dan menerjemahkan apa yang hendak ia utarakan.

amin dan soetardjo

Amin Arjoso dan Soetardjo Soerjogoeritno.

Amin Arjoso juga rajin mendatangi tokoh-tokoh lain yang sekiranya bisa memperkuat perjuangannya mengembalikan konstitusi kita ke UUD 1945 yang asli. Saya masih ingat, ketika ia cukup intens sowan ke Ali Sadikin. Juga keluar-masuk ruang Soetardjo Soerjogoeritno yang ketika itu Wakil Ketua DPR RI. Kali lain, saya pun diajak mendatangi mantan Dirut Garuda, Soeparno di kantornya Grand Wijaya, Kebayoran Baru.

Beberapa kali, umumnya malam hari, diajak menemui Taufiq Kiemas di kediaman Jl Tengku Umar. Bahkan menyambangi tokoh pers dan penulis yang sempat dituding terlibat G-30-S seperti Karim DP di Jl Duren Tiga, Jakarta selatan, dan Koesalah Toer di Depok, Jawa Barat. Sejumlah tokoh lain yang intens diajak bicara adalah tokoh PNI Abdul Madjid di bilangan Setiabudi, Jakarta Selatan, dan Usep Ranuwijaya, juga di Jakarta Selatan.

Mengingat nama-nama yang disinggung dan bersinggungan dengan Amin Arjoso, khususnya pasca ia tidak lagi menjabat anggota DPR, masih teramat panjang. Ia berkomunikasi dengan kalangan tua, juga kalangan muda.

Semua langkah Amin Arjoso, adalah “langkah Bung Karno” ketika melakukan apa yang disebutnya samenbundeling van alle revolutionaire krachten. Sebuah penggalangan kekuatan-kekuatan revolusioner. ***

Sukarnois “Bandel” itu Meluncurkan Buku

Bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober lalu, H. Amin Arjoso, SH meluncurkan bukunya. Tokoh Sukarnois ini menuangkan perjalanan perjuangan menegakkan kembali UUD 1945, setelah diobok-obok melalui proses empat kali amandemen ngawur. Amin Arjoso sendiri menyebut konstitusi kita saat ini dengan nama UUD 2002.

Dalihnya, terdapat perbedaan mencolok. Bukan saja dalam hal membengkaknya jumlah pasal, tetapi juga perubahan pada dihilangkannya penjelasan, dan tentu saja masuknya pasal-pasal yang secara politik dan ekonomi menjadikan konstitusi kita begitu liberal. Dampak amandemen masih tersisa sampai sekarang. Kita menjadi terjajah secara ekonomi, tidak lagi berdaulat di bidang politik, bahkan di bidang kebudayaan pun kita seperti kehilangan arah.

Bersama M. Achadi, Eddi Elison, Azis Arjoso dan Giat Wahyudi, saya merasa terhormat terlibat dalam penyusunan buku “Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso Menegakkan Kembali UUD ’45”. Proses penyusunan bukunya sendiri relatif tidak terlalu sulit, karena semua pemikiran dan perjuangan Amin Arjoso terdokumentasi dengan baik.

Buku ini adalah buku terlengkap yang memuat latar belakang (konspirasi) amandemen UUD 1945, praktik-praktik kotor di seputar amandemen, hingga dampak yang ditimbulkan akibat amandemen. Selain itu, buku ini juga memuat testimoni rekan-rekan seperjuangan Amin Arjoso. Dari komentar rekan-rekannyalah keluar istilah “bandel”… “keras kepala”…  serta banyak apresiasi, sanjungan, dan pujian atas kegigihannya memperjuangkan kembalinya UUD 1945 yang asli.

Sedikit riwayat Amin Arjoso juga tergambar di buku ini. Sekalipun tidak mendetail, kita jadi tahu bagaimana sebagai anggota GMNI dan Sukarnois tulen, ia terpaksa harus mendekam di sel tahanan Orde Baru bersama Sukarnois-Sukarnois lain.  Sebagai advokat, buku ini juga mengisahkan, bagaimana sebagai eks Tapol ia berusaha eksis di rezim Orde Baru. Sebagai manusia, buku ini juga membeberkan kesukaannya makan makanan enak, sekalipun untuk itu harus ia tebus dengan serangan stroke.

Sebagai sebuah buku, sebagai salah satu penyusun, saya sendiri merasa belum puas. Proses produksi yang terkesan tergesa-gesa mengakibatan finishing-nya kurang sempurna. Masih juga dijumpai typo error di sejumlah halaman. Sekalipun begitu, buku ini bakal menjadi catatan maha penting bagi perjalanan sejarah kebangsaan kita. Inilah satu-satunya buku yang mendokumentasikan secara lengkap proses amandemen keblinger atas UUD 1945 kita. (roso daras)

Published in: on 30 Oktober 2010 at 03:40  Comments (1)  
Tags: , ,

Selamat Jalan Mbah Tardjo….

Terus terang, tidak ada hentakan rasa kaget yang sangat, manakala seorang sahabat berkirim sms, mewartakan wafatnya tokoh senior PDI-Perjuangan, Soetardjo Soerjogoeritno. Politisi senior yang akrab disapa “Mbah Tardjo” mengembuskan napas terakhir di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan, Sabtu (7/8) sekitar pukul 17.00 WIB, dalam usia 76 tahun.

Meski orang mengenal kiprah politiknya sebagai tokoh PDI-P dari Jogjakarta, tetapi Mbah Tardjo sendiri adalah kelahiran Klaten, Jawa Tengah 30 April 1934. Puncak karier politiknya adalah Wakil Ketua DPR RI periode 2004 – 2009. Secara pribadi, mbah Tardjo bukan orang asing dalam keseharian saya, khususnya selama berkecimpung dengan komunitas nasionalis.

Seperti jujur saya katakan di atas, bahwa tidak ada rasa kaget yang menyengat demi mendengar berpulangnya Mbah Tardjo, sama sekali tidak mengurangi rasa haru dan duka yang mendalam. Perasaan “biasa saja” itu justru karena kami tengah intens khususnya dalam satu pekerjaan yang melibatkan saya di dalamnya. Pekerjaan itu bernama penyusunan buku tokoh nasionalis lain, H. Amin Arjoso, SH.

Ya, Mbah Tardjo bahkan sudah berkenan menuliskan kata pengantar untuk buku yang sedang saya –dan sejumlah reka– susun. Bukan hanya berkenan, bahkan sudah menyelesaikannya tepat waktu. Bahkan saat ini sudah masuk proses dummy akhir, menjelang proses pencetakan. Karenanya, nama Mbah Tardjo selalu terucap dalam setiap rapat. Nama Mbah Tardjo selalu mengudara dalam setiap acara.

Karena itu pula, kami, saya khususnya tahu benar ihwal kesehatan Mbah Tardjo yang terus menurun. Dalam sejumlah agenda, beliau mulai sering absen. Sekalipun begitu, ada pesan terakhir kepada kami penyusun buku Amin Arjoso, agar tidak lupa mengundangnya hadir pada saat peluncuran nanti. Peluncuran buku H. Amin Arjoso itu sendiri, diagendakan sekitar tanggal 20 Agustus 2010.

Mbah Tardjo… saya tetap mengundangmu, meski kami tahu fisikmu takkan hadir.

Mbah Tadjo… saya tetap mengharapmu datang, dan kami yakin harapan kami terkabul.

Mbah Tardjo… saya yakin, spiritmu, semangatmu, petuah-petuahmu… selalu hadir mengisi setiap ruang kosong… mengisi setiap jiwa kering,

Tinggallah kami yang merindu… Rindu semangatmu. Rindu tawanmu yang terkekeh. Rindu kepulan asap rokokmu yang… ah… jangan-jangan itu yang merenggut nyawamu!

Satu hal yang pasti, Mbah Tardjo sudah berpulang ke Rahmatullah… Semoga, arwahmu diterima di sisi Tuhan Yang Maha Pengasih. Diampuni semua dosa dan kesalahanmu…. Selamat jalan, Mbah Tardjo…. (roso daras)

Published in: on 8 Agustus 2010 at 16:24  Tinggalkan sebuah Komentar  
Tags: , ,

Saiful Sulun: Bung Karno, Pemimpin Dunia

Dalam proses penyusunan buku H. Amin Arjoso, SH sampailah saya kepada seorang tokoh militer Indonesia, Mayjen TNI (Pur) Saiful Sulun. Sebenarnya, persinggungan saya dengan dia sudah terjadi tahun 1985 saat dia menjabat Panglima Kodam V/Brawijaya, di Surabaya. Kemudian tidak lagi intens, sampai akhirnya ia menjabat Wakil Ketua DPR RI.

Belakangan, Saiful Sulun termasuk satu di antara banyak jenderal Angkatan Darat yang resah dengan arah perjalanan bangsa dan negara akibat telah melenceng dari cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945. “Konstitusi kita sudah diamandemen secara serampangan…. Pancasila sudah diabaikan. Tidak heran jika belakangan kita merasakan suasana kebangsaan yang semakin tidak karuan,” ujar Saiful Sulun, saat saya jumpai di kediamannya, di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan.

Berkomentar tentang Bung Karno, penggagas Pancasila maupun perumus UUD 1945, Saiful mengaku jujur, tidak kenal secara personal. “Maklumlah, sebagian besar saya hidup dan mengabdi di era Orde Baru. Persentuhan pertama saya dengan Bung Karno ya saat pelantikan sebagai perwira tahun 1960, saat lulus dari akademi militer. Itulah satu-satunya saya bersalaman dengan Bung Karno. Jadi, praktis saya hanya mengenyam Orde Lama selama tujuh tahun. Nah, sebagai perwira muda, tentu saja sangat jarang bersinggungan langsung dengan Panglima Tertinggi, Presiden Sukarno,” kenang Saiful.

Artinya, kekagumannya terhadap Bung Karno lebih banyak didengar dari cerita. Namun ia sepakat, bahwa Bung Karno merupakan satu-satunya pemimpin bangsa Indonesia yang memiliki kapasitas dan kualitas dunia. Tentu saja dengan kesadaran bahwa tidak semua pemimpin itu memiliki kesempurnaan. Sama seperti manusia yang juga memiliki banyak kekurangan, termasuk Bung Karno.

Akan tetapi sebagai pemimpin, Bung Karno tidak bisa dikatakan sebagai pemimpin lokal. Bung Karno adalah pemimpin yang mendunia. Kaliber kepemimpinan Bung Karno tidak hanya tingkat nasional, tetapi diakui dunia. Bahkan, tanpa mengurangi rasa hormat, belum ada pemimpin Indonesia yang menyamai Bung Karno.

“Karenanya, mempelajari sejarah Bung Karno, menjadi sangat penting untuk mengetahui lebih dalam jati diri bangsa dan sejarah bangsa. Selain itu, kita juga harus proporsional dalam menmpatkan setiap pemimpin. Bung Karno punya jasa besar, Pak Harto juga punya jasa besar… sekalipun begitu, tak lepas dari kekurangan, karena keduanya hanyalah manusia biasa,” tegas Saiful Sulun, yang belakangan aktif di Forum Komunkasi Purnawirawan ABRI. (roso daras)

Published in: on 8 Juni 2010 at 02:54  Comments (1)  
Tags: , ,