Roso Daras Ingatkan NASASOS

Dalam kepanitiaan peringatan harlah Bung Karno 6 Juni 2011 lalu, saya hanyalah satu orang anggota panitia (Wakil Ketua). Entah alasan apa, pengatur acara hari itu mendaulat saya untuk naik podium. Mereka menyebutnya sebagai “penulis sejarah Bung Karno”. Baiklah. Ini sebuah amanah, wajib bagi saya menunaikannya.

Hal pertama yang saya sampaikan pada hari itu adalah perasaan yang sangat sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Ada haru dan bangga dalam dada. Untuk bentang waktu yang begitu lama, sejak kematiannya hingga peringatan kelahiran yang ke-110, belum sekalipun ada peringatan hari kelahiran Bung Karno di tanah kelahirannya. Di Surabaya. Di tempat tumpah darahnya. Yang lebih membanggakan, gelar acara itu murni hasil gotong royong sejumlah elemen rakyat, yang kemudian didukung sepenuhnya oleh Walikota Surabaya.

Maka, hampir dapat dipastikan, bahwa yang hadir pada kesempatan itu adalah (mayoritas) kaum Sukarnois, Marhaenis, Nasionalis. Terlintas akan jenis audiens yang hadir itulah maka selintas saya ingat akan ajaran Bung Karno tentang ruh “Nasasos” (Nasionalis, Agamis, Sosialis). Di era Bung Karno, manakala Partai Komunis Indonesia (PKI) bukanlah partai terlarang, dan Marxis bukan lagi ideologi terlarang, maka Bung Karno menyebutnya Nasakom.

Kini, saat komunis menjadi “hantu” terlarang, maka saya pun memilih kata “Nasasos”, sebab Bung Karno sendiri mengatakan, bagi yang phobi terhadap kata-kata “komunis” maka baiklah, kita ganti menjadi “sosialis”, maka Nasakom bisa juga diucapkan Nasasos. Itulah salah satu ajaran Bung Karno.

Ajaran yang digali dari realita bangsa Indonesia yang nasioanlis, agamis, dan berjiwa sosialis. Sekalipun begitu, Bung Karno tidak pernah mengagungkan yang satu lebih dari yang lain. Karenanya, Nasasos harus dibaca dalam satu tarikan nafas, satu ruh, satu jiwa. Jiwa nasasos itulah yang sejatinya hidup dalam setiap relung hati bangsa kita.

Bangsa kita, bangsa yang cinta tanah air, berjiwa nasionalis yang berperikemanusiaan. Dalam pada itu, bangsa Indonesia juga bangsa yang berketuhanan. Bahkan bisa dibilang sangat religius. Terakhir, tak bisa dipungkiri bahwa jiwa bangsa kita memanglah sosialis. Mereka adalah makhluk sosial yang mengimplementasikan praktik-praktik sosialisme dalam kehidupan sehari-hari.

“Maka, jangan mengaku diri seorang Sukarnois jika tidak berjiwa Nasasos!” itu pekik saya, dan inti dari pembicaraan saya yang tidak lebih dari 10 menit.

Lepas dari segala atribut yang membanggakan dari seorang Sukarno, pada hakikatnya, Sukarno tidak hanya seorang proklamator, dia juga sekaligus bapak bangsa, peletak dasar-dasar berbangsa dan bernegara. Dalam ilmu kepemimpinan, ia mewariskan ajaran untuk semua aspek kehidupan. Tugas kitalah sekarang, untuk mengambil butir-butir ajaran Bung Karno bagi sebesar-besarnya kemaslahatan umat. (roso daras)

Published in: on 10 Juni 2011 at 10:53  Comments (4)  
Tags: , , , ,

Bung Karno Arek Suroboyo

Dalam kalimat geram, acap saya berucap, “Kesintingan apa lagi ini… menyebut Bung Karno lahir di Blitar?!” Bahkan, meski begitu banyak literatur yang menyebutkan bahwa Bung Karno lahir di Surabaya, toh Kementerian Pendidikan tidak mengubah “kesintingan” tadi.

Tidak heran jika di sejumlah kelas setingkat SMU, acap terjadi perdebatan konyol antara sang guru dengan murid. Manakala guru menyebutkan Bung Karno lahir di Blitar, sejumlah siswa kritis dan doyan membaca buku, kontan menyangkal, “Bukan pak Guru! Bung Karno tidak lahir di Blitar, tetapi di Surabaya.”

Dan apa yang terjadi? Guru yang malas membaca dan tidak benar-benar mendalami sejarah, serta merta marah dan dengan ngototnya menyebut Blitar sebagai kota kelahiran Bung Karno. Bahkan di salah satu sekolah di Surabaya sendiri, peristiwa seperti terlukis di atas, sungguh-sungguh terjadi. Perdebatan guru-murid tentang tempat kelahiran Bung Karno itu berhenti, manakala guru memberi ultimatum dan mengintimidasi sang murid.

Ending dari peristiwa debat tadi, mungkin begini… sang guru berkata dalam hati, “Guru kok dilawan!”… sementara sang murid termenung sambil menerawang, “bagaimana saya akan jadi manusia cerdas, kalau dididik oleh guru yang bodoh?!”

Bung Karno lahir di Surabaya. Titik. Bung Karno ternyata arek Suroboyo. Final. Tanggal 6 Juni 2011, Gang Pandean IV di bilangan Peneleh, Surabaya, riuh-rendah di depan rumah bernomor 40. Ya, atas dasar penelusuran, penelitian, kajian mendalam rekan-rekan Soekarno Institut Surabaya, ditemukanlah rumah tempat Putra Sang Fajar dilahirkan.

Sebelumnya, lebih tiga dasawarsa pemerintahan Orde Baru menenggelamkan segala sesuatu menyangkut Bung Karno. Jangankan tentang jasa-jasa dan pemikiran-pemikirannya, bahkan tempat di mana ia dilahirkan pun sedia disesatkan. Literatur yang digunakan di sekolah-sekolah, disebutkan Bung Karno lahir di Blitar. Ini adalah pembenar atas keputusan Soeharto yang memakamkan Bung Karno di Blitar.

Padahal, alasan di balik pemakaman Bung Karno di Blitar, semata karena pemerintah Orde Baru memang sedia menjauhkan jazad Bung Karno dari pusat kekuasaan. Padahal, jelas-jelas dalam testimoninya, Bung Karno menghendaki dimakamkan di Bogor. Begitulah, dengan kuasanya, Soeharto memutuskan mengubur jazad proklamator nun jauh di Blitar sana. Kemudian, memperkuatnya dengan alasan karena Bung Karno kelahiran Blitar.

Kengawuran sejarah yang berlangsung demikian lama, tanpa siapa pun kuasa meluruskannya. Elan reformasi digunakan oleh elemen Sukarnois untuk meluruskan sejarah tadi. Berbagai literatur dan bukti-bukti sejarah pun mulai diteliti. Jauh sebelum penelitian yang perisnya dilakukan sejak tahun 2002 itu, sejatinya sudah banyak publikasi yang menunjukkan bahwa tempat kelahiran Bung Karno adalah di Surabaya.

Pertama, buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia tulisan Cindy Adams. Jelas menyebutkan tuturan Bung Karno, bahwa ia lahir di Surabaya. Kedua, biograf Lambert Giebels dalam bukunya “Soekarno, Biografi Politik 1901 – 1950” menyebutkan Bung Karno lahir di Jalan Pasar Besar, Surabaya. Dalam buku yang sama, Giebels juga menyebut tempat kelahiran Bung Karno di Gang Lawang Seketeng, suatu jalan masuk di kampung di seberang Kali Mas. Data terakhir dikutip dari “Soerabaja, Beeld van een stad, hal 24).

Nah, atas data-data itu pula, kemudian dilakukan penelusuran, hingga ditemukanlah rumah tempat Bung Karno dilahirkan, yaitu di Jalan Pandean IV, di sebuah rumah yang sekarang bernomor 40. Lokasinya memang dekat Kali Mas, dekat Lawang Seketeng.

Apa artinya? Artinya, semua literatur yang ditulis sebelum tahun 1966, semua menyebutkan bahwa Bung Karno lahir di Surabaya. Sebaliknya, semua literatur yang ditulis pasca 1967, bersamaan naiknya rezim Orde Baru, pemutarbalikkan sejarah pun terjadi.

Bangga sekaligus lega rasanya, di pagi buta, tanggal 6 Juni 2011, saya berada di tengah-tengah teman-teman Soekarno Institut di depan rumah tempat Bung Karno…. Dan kami melakukan sedikit ritual. Menjelang pagi merekah, saya, atas permintaan teman-teman diminta mengetuk rumah itu. Dan ketika si pemilik rumah membukakan pintu dan uluk salam, disusul mas Tjuk menyampaikan niatnya mengambil prasasti yang akan kami pancangkan menjelang fajar merekah.

Dari dalam rumah, kami mengeluarkan prasasti tadi, dan mengusungnya bersama-sama ke mulut jalan. Kami mengembangkan sepasang payung. Kami berbusana aneka warna. Kami memang dari beragam agama dan suku. Berjalan bersama mengusung prasasti. Hingga di ujung jalan, saya pun memegang salah satu sudut kanan atas prasasti itu, sementara tiga rekan lain memegangnya di tiga sudut lainnya.

Dengan melesakkan lafal basmallah, pelan dan pasti saya bersama teman meletakkan prasasti itu pada tempatnya. (roso daras)

Published in: on 7 Juni 2011 at 04:06  Comments (11)  
Tags: , ,

“Menghidupkan” Kembali Bung Karno

Bung Karno lahir 6 Juni 1901 di Pandean, Peneleh, Surabaya. Tentang fakta ini, banyak yang tahu, tapi yakinlah… lebih banyak lagi yang tidak tahu. Terlebih generasi muda. “Cilaka”nya lagi, berbagai peringatan tentang kelahiran Sang Proklamator ini, justru selalu dan seringnya dilangsungkan di Blitar. Bahkan salah satu buku sejarah terbitan Departemen Pendidikan tahun 80-an, menyebutkan Bung Karno lahir di Blitar.

Sejarah mendasar yang keblinger ini sempat tak tersentuh. Bukan saja karena di era kepemimimpinan Soeharto, segala hal yang berbau Sukarno diberangus, tetapi para Sukarnois sendiri seperti tertidur lelap. Tidak mau berurusan dengan rezim Soeharto yang sepertinya selalu dan selalu merasa kurang dalam mengubur Bung Karno. Yang lebih parah, putra-putri biologis Bung Karno sendiri seperti menganggap hal itu tidak penting.

Tak terkecuali Megawati Soekarnoputri. Sejak terjun ke politik dan mendapat sampur kekuasaan sebagai Wakil Presiden, kemudian Presiden, tidak pernah berinisiatif memperingati hari kelahiran bapaknya di Surabaya. Maka tidak heran, meluruskan sejarah bapaknya saja tidak mau, apalagi mengadopsi ajaran-ajarannya. Darah nasionalis yang mengalir pada tubuhnya, sudah terkontaminasi oleh paham liberal dan kapitalistis. Itu mengapa tidak ada satu pun mercu suar peninggalan Presiden Megawati yang bisa dibanggakan.

Eeeeittt... mengapa jadi mengkritisi Megawati? Back to the topic…. Ini tentang upaya “menghidupkan” kembali Bung Karno. Seorang rekan, Peter A. Rohi, seorang sukarnois tulen asal NTT, penggagas Soekarno Institut sekaligus jurnalis kawakan, suatu hari memboyong ide brilian. Ia mengajak saya terlibat dalam kepanitiaan nasional peringatan kelahiran Bung Karno di kota kelahirannya, Surabaya. Bukan hanya itu, ia juga menggagas pembangunan monumen Bung Karno di lokasi Putra Sang Fajar dilahirkan.

Yang lebih membuat saya tidak bisa menolak, bahkan merasa wajib ikut serta adalah, idenya untuk membangun monumen secara gotong royong. Ya, gotong royong, ciri khas bangsa Indonesia yang kemudian dijabarkan Bun Karno dalam panca sila. Ihwal bentuk gotong royong yang dimaksud, antara lain dengan mengimbau masyarakat untuk menyumbangkan satu-dua batu bata yang tak terpakai, yang lazim tergeletak di belakang atau samping rumah.

Begitulah sekilas ide dasar peringatan hari kelahiran Bung Karno di Surabaya, 6 Juni mendatang. Selain peletakan batu pertama pembangunan monumen Bung Karno di lokasi ia dilahirkan, panitia juga merancang dua agenda lain berupa sarasehan dan peluncuran buku.

Sifat gotong royong juga sudah diletakkan pada saat pembentukan kepanitiaan. Semua yang terlibat, memberi kontribusi tanpa pamrih, baik pikiran, tenaga, dana, bahkan doa. Yang menyenangkan, tidak satu pun anggota panitia yang mengusulkan untuk “membuat proposal”…. Bahkan tidak satu pun yang mengajukan usul, “bicarakan ke keluarga Bung Karno yang masih hidup”….

Sekalipun begitu, panitia ini sangat optimistis, para Sukarnois akan berbondong-bondong mendukung. Baik dalam bentuk dukungan pikiran, tenaga, doa, maupun dana, yang kesemuanya dalam bingkai semangat gotong royong. Mohon doa restu. (roso daras)

Published in: on 1 Mei 2011 at 05:04  Comments (7)  
Tags: , , ,

Bung Karno Lahir di Surabaya

Untuk kesekian kalinya, anak muda Indonesia masih ada yang bertanya, “Di mana Bung Karno dilahirkan? Blitar atau Surabaya?” Sedih sekaligus senang mendengar pertanyaan itu. Menyedihkan, betapa bapak bangsa tidak dikenali di mana kelahirannya oleh generasi penerusnya. Ada yang salah dalam proses berjalannya sejarah di negeri ini. Ihwal rasa senang yang membuncah, karena si muda tidak malu untuk bertanya.

Baiklah. Kita mengilas balik sejarah kelahiran Bung Karno, dari “geger” pernikahan beda suku, beda agama antara Raden Soekeni Sosrodihardjo yang Islam Theosof dan berasal dari Jawa, dengan Ida Ayu Nyoman Rai yang Hindu dan berasal dari Singaraja, Bali. Untuk menikahi Idayu secara Islam, maka Idayu terlebih dulu harus masuk Islam. Satu-satunya jalan bagi mereka adalah kawin lari.

Seperti penuturan Bung Karno dalam otobiografi yang ditulis Cindy Adams, bahwa untuk kawin lari menurut kebiasaan di Bali, harus mengikuti tata-cara tertentu. Kedua “merpati” itu bermalam di malam perkawinannya di rumah salah seorang kawan. Sementara itu dikirimkan utusan ke rumah orangtua si gadis untuk memberitahukan bahwa anak mereka sudah menjalankan perkawinannya.

Soekeni dan Idayu mencari perlindungan di rumah Kepala Polisi yang menjadi kawan Soekeni. Keluarga Idayu kemudian datang hendak menjemput mempelai wanita, tetapi Kepala Polisi tidak mau melepaskan. “Tidak, dia berada dalam perlindungan saya,” katanya.

Saat tiba mereka harus dihadapkan ke pengadilan, Idayu pun sempat ditanya oleh hakim, “Apakah laki-laki ini memaksamu, bertentangan dengan kemauanmu sendiri” Dan Idayu menjawab, “Tidak, tidak. Saya mencintainya dan melarikan diri atas kemauan saya sendiri.” Maka, tiada pilihan bagi mereka untuk mengizinkan perkawinan itu. Sekalipun demikian, pengadilan mendenda Idayu 25 ringgit, yang nilai sama dengan 25 dolar ketika itu. Idayu mewarisi beberapa perhiasan emas, dan untuk membayar denda itu, ia menjualnya.

Tak lama setelah pernikahan mereka, sekitar tahun 1900, Soekeni mengajukan permohonan pindah tugas ke wilayah Jawa. Pemerintah mengabulkan, dan memindahkan Soekeni ke Surabaya. Keluarga muda ini tinggal di Gang Pandean IV Nomor 40, Peneleh, Surabaya. Di sanalah Putra Sang Fajar dilahirkan. (roso daras)