Sekadar Brosur di Rumah Ende

brosur endeKalau saja Ende sedekat Yogyakarta. Kalau saja Ende ada di Jawa, niscaya saya pasti mengunjunginya secara reguler. Berada di rumah pengasingan Bung Karno di Jalan Perwira, Ende, Flores, serasa berkunjung ke rumah orangtua, ke rumah guru, ke rumah sahabat sekaligus. Entahlah, aura apa yang ada di sana.

Berdiam di ruang depan, berada di ruang tamu, bahkan duduk-duduk di serambi belakang saja, rasanya ingin menghentikan detak-detik jarum jam. Bayangkan saja. Ketika berada di ruang depan, mengamati satu per satu koleksi peninggalan yang tersusun rapi di meja kaca, imaji langsung melayang ke suasana tahun 1934 – 1938. Terbayang juga suasana pengajian dua kali dalam seminggu di ruang itu. Bung Karno mendidik puluhan rakyat jelata dengan dogma-dogma Islam modern.

Berada di ruang tamu, sekaligus ruang kerja Bung Karno, terbayang jam-jam yang berlalu, saat Bung Karno dengan tekun menulis surat-surat Islam kepada T.A. Hassan. Terbayang saat-saat Bung Karno dengan serius menulis naskah-naskah tonil bagi klub tonil Kelimutu yang dibentuknya.

Di ruang tidur Bung Karno, selain tempat tidur, masih tersisa lemari kayu yang sudah lapuk, gantungan baju, dan sejumlah lukisan tua. Hmm… di kamar ini, Bung Karno menatap langit-langit kamar dengan sejuta gundah. Gundah akan masa depan perjuangan mencapai kemerdekaan yang dengan gigih ia kobarkan di Bandung. Gundah akan kepastian masa depan hidup dan kehidupannya. Masa depan bangsanya. Di kamar itu pula, Inggit dengan setia dan sabar memberinya dorongan semangat dengan elusan mesra seorang istri yang begitu setia dan mencintainya.

Berhadap-hadapan dengan kamar Bung Karno adalah kamar tempat tidur ibu mertua (Ibu Amsi) dan anak angkatnya, Ratna Djuami (Omi). Sungguh kamar yang mengguratkan kedukaan yang dalam. Di kamar itu, Bung Karno selama empat hari menunggui sakitnya Ibu Amsi. Menjaga ibu Amsi yang tak kunjung siuman. Bahkan meratapinya dengan tangis sejadi-jadinya demi akhirnya mengetahui ibu mertua terkasih, wafat di pangkuannya karena serangan malaria.

Tengoklah di bagian belakang. Ada sebuah ruang berukuran sekitar 2,4 x 3,5 meter, tempat yang awalnya digunakan Bung Karno untuk sholat dan berdzikir. Ruang yang pada lantainya masih tertinggal bekas telapak tangan dan kening ketika bersujud. Ketika Bung Karno membangun sebuha mushola kecil di belakang rumah, terpisah dari bangunan utama rumah, ruang itu digunakan Inggit untuk menjahit. Hmm, sungguh ruang kecil lagi sederhana yang menyimpan berjuta kenangan suram, dalam hari-hari hidup di pengasingan.

Pada bagian lain di belakang rumah, berderet sebuah ruang yang biasa dipakai istirahat para pembantu, kemudian dapur, dan kamar mandi, serta sumur tua yang airnya begitu segar diminum, meski tidak dimasak. Di area ini pula, Karmini, Encom, Riwu, Bertha dan sejumlah pembantu lain menjadi saksi atas hidup dan kehidupan Bung Karno dan keluarganya.

Suatu saat, ketika saya mengunjungi situs itu tengah malam, saya minta Safrudin atau yang akrab disapa Udin, penjaga situs, untuk mematikan semua lampu. Spontan rumah menjadi gelap. Bagian luar, cukup tersinari oleh lampu-lampu neon dari rumah-rumah tetangga. Menatap rumah dalam keadaan gelap, kemudian melayangkan pandangan ke langit… langit berawan. Selang beberapa saat, awan-awan itu bergerak menyingkir, lalu tampaklah berjuta bintang beradu terang dengan rembulan separuh bulatan.

Bagaimana hati saya tidak tertinggal di sana, demi melihat dan merasakan itu semua? Benar-benar sepanggal waktu, yang begitu berharga. Menyesal sekali, ketika tiga minggu berlalu, dan saya harus kembali ke Jakarta, seperti ada keengganan untuk beranjak dari rumah pengasingan itu.

Spontan terpikir, bagaimana saya bisa “hadir” di rumah pembuangan itu setiap saat? Saya menemukan satu ide kecil yang akhirnya meringankan langkah saya meninggalkan Ende. Ya, saya akan membuatkan sebuah brosur. Brosur buatan saya sendiri, brosur berisi ringkasan kisah tentang rumah pembuangan Bung Karno di Ende. Berisi juga beberapa reportase saya ke Nangaba, Kelimutu, Teluk Numba, dan lain-lain. “Udin, saya tidak melihat ada brosur di sini. Para pengunjung datang dan pergi tanpa bisa membawa selembar brosur pun. Bagaimana kalau saya buatkan brosur?” saya menawarkan kepada Udin sang penjaga.

Ya, Udin menerima dengan sangat baik. Sebab, sebagai situs yang dikelola pemerintah, statusnya yang honorer Kemendikbud, memang tak ada yang bisa dilakukannya kecuali bertugas sesuai tugasnya sebagai tenaga honorer penjaga situs rumah pengasingan itu. Ia juga mengakui, tidak adanya brosur, sehingga dirinya acap kewalahan untuk meladeni pertanyaan-pertanyaan para pengunjung. “Kalau ada brosur, tentu sangat baik,” sambutnya.

Begitulah. Dengan sedikit kebisaan menulis, memotret, mengoperasikan program pagemaker dan photoshop, kemudian memformatnya dalam bentuk PDF, jadilah brosur satu halaman bolak-balik dengan nuansa merah-putih. Saya mengemailnya ke percetakan langganan. Saat saya memposting tulisan ini, proses pencetakan sedang berlangsung. Insya Allah, seminggu lagi, brosur itu sudah ada di situs rumah pengasingan Bung Karno di Ende. Saya pun merasa tetap hadir di sana. Alhamdulillah. (roso daras)

Published in: on 1 Desember 2013 at 05:23  Comments (7)  
Tags: , , , , , ,

Bung Karno dan Pesona Teluk Numba

Dalam empat tahun lebih masa pembuangannya di Ende, Bung Karno mengisinya dengan menikmati keindahan alam setempat. Salah satu objek pemandangan yang sangat disenangi adalah Teluk Numba, sekitar 12 kilometer ke arah barat dari kota Ende. Ia bahkan meminta pelukis besar, Basuki Abdullah untuk menuangkannya ke dalam kanvas, kemudian mengoleksinya sebagai kenang-kenangan bersejarah.

Ini memang tulisan tentang salah satu objek lukisan berjudul “Pantai Flores” karya pelukis besar Basuki Abdullah. Lukisan itu, bisa dipastikan sangat spesial. Setidaknya, itu adalah salah satu lukisan yang dikoleksi Bung Karno, dan dipajang di ruang tengah Istana Bogor. Perhatikan foto berikut:

Omi-BK-Asmarahadi-Teluk Numba

Foto Bung Karno diapit anak angkat kesayangan, Ratna Djuami atau akrab disapa Omi (meninggal 23 Juni 2013), dan suaminya, Asmarahadi. Foto ini diambil tahun 1956, di Istana Bogor. Bung Karno secara khusus mengajak Omi dan Asmarahadi berfoto dengan latar belakang lukisan “Pantai Flores” yang tak lain adalah Teluk Numba ankah itu sangat menyentuh? Inilah lukisan aslinya:

Pantai Flores - Basuki Abdullah

Omi, sangat boleh jadi, dan bisa dipastikan, turut serta ke Teluk Numba, menemani papinya menikmati keindahan Teluk Numba. Asmarahadi? Bisa jadi ada di Teluk Numba pula saat Bung Karno ke sana. Sebab, Asmarahadi sempat dipanggil ke Ende oleh Bung Karno untuk mengajar Omi dan Kartika (anak angkat Bung Karno – Inggit yang lain), agar tidak tertinggal pendidikannya, meski berada di tanah buangan. Bung Karno tegas-tegas menolak menyekolahkan Omi di sekolah Belanda yang ada di Ende.

Kembali ke foto bersejarah itu. Perhatikan latar belakangnya. Itulah lukisan Basuki Abdullah yang dipesan khusus oleh Bung Karno. Lalu, perhatikan foto Teluk Numba 12 Oktober 2013 di bawah ini. Kiranya, dari sudut inilah Basuki Abdullah melukis “Pantai Flores” yang tak lain adalah Teluk Numba.

Teluk Numba kini

Ya, kiranya, inilah objek lukisan yang digemari Bung Karno karena nilai sejarahnya. Bagi pelalu-lintas rute Ende – Labuan Bajo, tentu akrab dengan pemandangan ini. Sebab, letak Teluk Numba di bibir jalan provinsi antarkota di Flores bagian selatan. Dari pusat kota Flores, berjarak kurang lebih 12 kilometer ke arah barat. Tidak terlalu jauh dari lokasi sungai Nangaba, tempat Bung Karno gemar berendam.

Di sepanjang jalur Ende – Teluk Numba, dan masih jauh setelahnya, sangat banyak pemandangan yang begitu indah, perpaduan dari gunung karst di kanan jalan, dan hamparan laut di kiri jalan. Nah, yang menarik adalah, alam seperti sudah menyediakan space untuk menikmati keindahan pemandangan Teluk Numba. Titik pandang foto itu, diambil dari semacam semenanjung, yaaa… tepatnya tanah-lebih yang menjorok ke arah laut, sehingga bisa untuk memarkir kendaraan, dan turun menikmati keindahan Teluk Numba. Tanah lapang yang saya maksud seperti tampak dalam foto di bawah ini. Di pinggir kanan foto itulah tanah lapang tempat Basuki Abdullah melukis dulu.

Sayang, dalam buku “Koleksi Lukisan Bung Karno” yang terdapat lukisan “Pantai Flores” karya Basuki Abdullah itu, tidak menyebutkan tanggal kapan dilukis. Jika Basuki Abdullah berangkat ke Ende (untuk melukis Teluk Numba) bersama Bung Karno, ada dua kemungkinan, yakni tahun 1950 dan 1954.

DSC04689

Jika saja kita layangkan imajinasi ke tahun antara 1934 – 1938, bentang waktu selama Bung Karno dibuang di Ende, yang pertama terlintas di benak adalah, “Bung Karno memang tidak bisa diam berpangku tangan”. Di tanah interniran ini, ia gunakan waktu sebaik-baiknya. Dari yang lazim diketahui, tentang perenungannya di bawah pohon sukun, tentang aktivitasnya melatih grup tonil Kelimutu, tetapi kini kita tahu, bahwa Bung Karno juga memanjakan dahaga mereguk indahnya Indonesia melalui kunjungan ke lokasi-lokasi yang memang sangat indah.

Seperti kata Bung Karno kepada penulis biografinya, Cindy Adams, dia akan menghela nafas panjang manakala menyaksikan indahnya bumi Indonesia. Tahun 30-an, kawasan Teluk Numba tentunya jauh lebih alami, jauh lebih indah. Belum ada hiruk-pikuk kendaraan bermotor. Dan Bung Karno pun bisa menikmati Teluk Numba dari “semenanjung” kecil yang tampak di foto atas.

Roso Daras di Teluk NumbaEnde benar-benar menjadi bumi inspirasi bagi Bung Karno. Inspirasi bagi gagasan landasan negara yang kemudian dikenal dengan Pancasila, maupun inspirasi bagi lahirnya karya-karya seni dari otak dan tangannya. Ia menulis belasan naskah tonil. Ia melukis set-dekor panggung pertunjukan tonil. Ia melukis berbagai objek alam dan kehidupan manusia, di atas kanvas. Ia menanam bunga dan sayuran. (roso daras)

Published in: on 13 Oktober 2013 at 10:16  Comments (3)  
Tags: , , , , , ,

Mengenang Ibu Amsi, Mertua Bung Karno

ibu amsiHari ini, 12 Oktober 2013, adalah hari  wafat Ibu Amsi. Ya, 78 tahun yang lalu, tepatnya 12 Oktober 1935, ibu dari Inggit Garnasih, ibu mertua Bung Karno wafat terserang malaria. Lima hari tergolek di tempat tidurnya, di rumah pengasingan Bung Karno di Ambugaga, Ende, Flores. Diriwayatkan, hanya sekali ibu Amsi sadarkan diri, setelah itu tergolek tak sadar, hingga ajat menjemput. Ibu Amsi wafat di pangkuan Bung Karno, menantu kesayangan.

Ketika itu, cucu ibu Amsi, anak angkat Bung Karno – Inggit, Ratna Djuami juga terserang malaria. Bedanya, Omi, begitu ia dipanggil, pulih, sedangkan Tuhan menghendaki Ibu Amsi wafat di tanah interniran, di tanah buangan, nun jauh dari Bandung. Pemerintahan kolonial, karesidenan Ende, sama sekali tidak mau mengulurkan tangan untuk memberinya bantuan perawatan. Bahkan, setelah meninggal dunia pun, jenazahnya dilarang dikubur di dalam kota.

Bung Karno dan kawan-kawannya, harus menggotong jenazah Ibu Amsi jauh naik bukit, masuk ke tengah hutan. Ke tempat yang ditunjuk dan dibolehkan Belanda untuk memakamkan ibu Amsi. Bung Karno pula yang turun ke dasar lahat, menerima jazad ibunda mertua, meletakkannya di tanah menghadapkannya  ke arah kiblat, menutup dan mengurug.

Bukan hanya itu. Tangan Bung Karno sendiri yang memahatkan tulisan IBOE AMSI di dinding nisan sebelah utara. Bersama teman-temannya, Bung Karno naik ke pegunungan, mengambil bongkahan batu karst yang keras, dan memahatnya menjadi seukuran batako, kemudian meletakkannya di sekeliling-pinggir-atas permukaan nisan. Jumlahnya 21.

Ibu Amsi, seperti halnya Inggit, dan jutaan rakyat Indonesia, termasuk pengagum berat Bung Karno. Syahdan, ketika Inggit berunding bersama saudara-saudaranya di Bandung, tentang ikut-tidaknya Inggit ke pembuangan, Ibu Amsi muncul mendadak dan menyatakan sikapnya, “Saya juga ikut (ke pembuangan)”.

Inggit dalam buku “Kuantar ke Gerbang” menuturkan, di antara kerabatnya, terdapat silang pendapat. Antara yang setuju Inggit mendampingi Bung Karno ke pembuangan, dengan pendapat yang menyatakan sebaiknya Inggit tidak ikut. Dalam penuturannya, Inggit juga mengisahkan, jauh di dasar hati, sudah terpancang tekad akan setia mendampingi Bung Karno.

Bung Karno sendiri sempat bertanya ragu kepada Inggit, “Kumaha Enggit, enung, bade ngiring? (Bagaimana Inggit, sayang, akan ikut?). Akan ikut ke pembuangan atau tinggal di Bandung saja? Yang dibuang itu tidak tahu kapan ia akan kembali. Entah untuk lama, entah untuk sebentar. Entah untuk selama-lamanya. Tak berkepastian. Terserah kepadamu, Enggit….”

Inggit cepat menjawab, “Euh kasep (Ah, sayang), jangankan ke pembuangan, sekalipun ke dasar lautan aku pasti ikut. Kus jangan was-was mengenai itu, jangan ragu akan kesetiaanku”.

Keesokan harinya, di stasiun Bandung, betapa gembira Bung Karno saat melihat Inggit menyertai, diikuti pula ibu mertuanya, Ibu Amsi, beserta Ratna Djuami, dan dua orang pembantu, Muhasan (Encom) dan Karmini. Sungguh besar makna Ibu Amsi. Sekalipun dia sudah cukup usia, dan sering sakit-sakitan, tetap menunjukkan semangat mengikuti anak, cucu, dan menantu ke tanah interniran yang tak terbayang di mana letak dan jauhnya.

Di Ende, di tanah buangan, dalam banyak kisah dilukiskan, betapa Ibu Amsi menyemangati Inggit untuk menyemangati Bung Karno. Jika dilihatnya Bung Karno duduk murung di belakang rumah, Ibu Amsi segera mencari Inggit. Apa pun yang sedang dikerjakan Inggit, memasak atau menjahit, dimintanya untuk segera dihentikan. Inggit disuruhnya menemani Bung Karno, mengajak bicara, membangkitkan semangatnya, dan mencerah-ceriakannya kembali.

Ibu Amsi pula yang meminta Inggit menyiapkan makanan-makanan kesukaan Bung Karno di Bandung, di antaranya sari kacang ijo, sayur lodeh, dan lain-lain. Ibu Amsi, ibu mertua yang sadar peran dan fungsi, dalam ikut menjaga semangat Bung Karno. Semangat menggelora untuk memerdekakan bangsanya. Di  akhir riwayat, Bumi Ende-lah yang ditetapkan Tuhan, untuk memeluk jazad wanita mulia itu.

Bumi Ende dan masyarakat Ende, bisa dikata telah menyatu dengan Ibu Amsi. Tanpa diminta, warga Ende, terutama kerabat dan keturunan sahabat-sahabat lama semasa pembuangan Bung Karno, masih menziarahinya. Tragedi gempa bumi di Ende tahun 1992, mengakibatkan makam Ibu Amsi terurug longsoran tanah sehingga tak lagi tampak wujud nisannya. Adalah seorang warga bernama Abdullah, yang tinggal tak jauh dari makam Ibu Amsi, spontan menyingkirkan longsoran tanah, membersihkan makam Ibu Amsi, diikuti warga yang lain, sehingga makam itu tetap terjaga sampai sekarang.

Ini adalah sekelumit catatan buat mengenangmu, Ibu Amsi…. Seorang ibu, Ibu Inggit Garnasih, Ibu mertua Bung Karno, yang sekalipun samar, tak  layak dan tak boleh dihapus dari catatan sejarah bangsa. (roso daras)

Published in: on 12 Oktober 2013 at 05:06  Comments (2)  
Tags: , , , ,

Makam Ibu Amsi “Terancam”

Tito Asmarahadi di makam Ibu AmsiSudah lebih seminggu di Ende, rasanya kurang afdol kalau tidak berziarah ke makam ibu Amsi, ibu mertua Bung Karno, ibunda Inggit Garnasih. Ibu Amsi termasuk dalam rombongan yang menyertai Bung Karno melakoni pembuangan ke Pulau Bunga (Flores), tepatnya di Ende tahun 1934.

Sebelum mengembuskan napas terakhir pada 12 Oktober 1935, ibu Amsi sempat tergolek tak sadar diri selama lima hari. Dan selama itu pula, Bung Karno setia mendampinginya bersama Inggit. Pada saat bersamaan, anak angkat kesayangan mereka, Ratna Djuami, juga mengalami sakit yang sama. Sungguh sebuah kerundung duka yang menyesakkan dada.

Seperti dituturkan Inggit dalam buku “Kuantar ke Gerbang”, ibu Amsi tidak berwasiat apa pun sebelum meninggal dunia. Inggit hanya merekam pembicaraan yang terjadi di perjalanan naik kereta api ekspres Bandung – Surabaya, sebelum akhirnya mereka naik kapal menuju lokasi interniran di Ende, Pulau Bunga (Flores). Ketika itu, ibu Amsi bertutur, “Jika saya meninggal dunia di sana (Ende), maka kuburkanlah di sana.”

Menjelang ajal, ibu Amsi memang tak sadar diri. Inggit sendiri dalam hati sudah mengikhlaskan, seandainya Tuhan yang Maha Kuasa berkehendak mengambil sang bunda. Tapi toh, hantaman duka cita itu begitu menohok ketika akhirnya ibu Amsi benar-benar wafat di pangkuan Bung Karno.

Ibu Inggit berusaha keras menahan air mata. Demikian pula Ratna Djuami, yang meski belum sembuh benar, bangkit demi mengetahui neneknya wafat. Tak ada air mata. Inggit telah mendidik Omi, untuk tidak menitikkan air mata saat melayat jenazah. Demikian pula anak angkat yang lain, Kartika. Meski masih kecil, dia sudah pandai menghayati ajaran ibu angkatnya, ibu Inggit. Sebaliknya, Bung Karno yang menitikkan air mata. Bung Karno begitu mencintai ibu mertua, sama besar seperti ibu Amsi mencintai anak menantu yang dibanggakan itu.

Jarak rumah duka ke pemakaman kurang lebih dua kilometer. Dalam biografi Bung Karno maupun ibu Inggit, foto-foto yang ada menampakkan lokasi makam yang terletak di tengah hutan dalam dataran tinggi. Bung Karno pun melukiskan, ia bersama rekan-rekan anggota tonil Kelimutu yang menggotong jenazah Ibu Amsi naik lereng gunung, masuk ke tengah hutan.

Tentu saja, 7 Oktober 2013, saat saya menziarahinya, suasana itu tidak ada lagi. Kini, lokasi makam ibu Amsi boleh dibilang berada di tengah kota Ende. Akses ke lokasi pekuburan pun relatif mudah dijangkau. Mobil bisa parkir tak jauh dari pintu makam. Ya, di lokasi itu, kini menjadi pemakaman umum.

Ketika tiba di lokasi, tampak kegiatan sejumlah pekerja yang diawasai dua orang mandor. Rupanya, mereka adalah para pekerja yang tengah mengerjakan pemugaran makam ibu Amsi. Ketika terlibat obrolan, betapa kaget dan masygul hati ini, demi melihat gambar renovasi yang  menghilangkan batu nisan maupun tulisan tangan Bung Karno. “Ya, kami akan tutup makam ini, dan membangun makam baru di atasnya,” ujar sang mandor.

Apakah itu berarti, prasasti yang dibikin sendiri  oleh tangan Bung Karno  juga akan ditimbun? “Benar,” jawabnya enteng. Apakah batu-batu yang berjumlah 21 yang kesemuanya dibawa oleh Bung Karno dan teman-temannya juga akan ditimbun? “Ya, benar, pokoknya sesuai gambar. Saya hanya mengerjakan sesuai perintah,” ujar sang mandor. Dan sesuai gambar, dia akan mengurug semua bangunan makan asli. “Kalau nanti ada yang bertanya aslinya, ya masih ada. Silakan dibongkar,” ujarnya enteng.

Bukankah dengan demikian pemugaran ini justru akan menghilangkan nilai sejarah makam ini? Bukankah dengan demikian pemugaran  ini justru akan menghilangkan peninggalan Bung Karno? Bukankah dengan demikian pemugaran  ini justru akan mengubur sejarah itu sendiri? Bukankah dengan demikian pemugaran ini justru sama dengan upaya menghilangkan salah satu jejak Bung Karno di Ende?

Sang mandor sempat terpekur. Dia pun menyadari hal itu. Akan tetapi, kuasa mengubah gambar bukan ada di tangannya. “Pemborongnya dari Jakarta. Gambar ini juga saya terima dari Jakarta,” ujarnya. Ketika ditanya, apakah pemborong maupun penggambar desain makam pernah berkunjung ke makam ibu Amsi? Dijawab, “Mereka belum pernah datang ke sini.”

Saya yang berziarah bersama keluarga almarhumah, yakni Bung Tito Asmarahadi (cicit atau buyut Ibu Amsi, karena dia putra dari Ratna Djuami), dan wartawan senior Peter A. Rohi, merasa “ketiban mandat”. Tentu bukan suatu kebetulan, kalau kita ditakdirkan berziarah di saat mereka sedang bekerja hendak mengurug makam ibu Amsi. Ini semacam mandat agar kita mencegah rencana pemugaran dengan gambar atau desain yang ngawur itu.

Kami sepakat berusaha agar pemugaran itu sebisa mungkin tidak mengubur bangunan asli, terlebih menenggelamkan batu nisan dan pahatan tangan karya Bung Karno. Sang mandor yang mulai paham konteks sejarah, mulai mengerti. Dia bahkan menyarankan untuk mengambil titik nol pengurugan dari bawah (dasar) bangunan nisan ibu Amsi. “Tapi konsekuensinya, di bagian atas harus dipangkas agar permukaan makam lebih tinggi. Itu tentu menyalahi gambar, dan ada konsekuensi biaya tambahan,” ujarnya. Khas bahasa pemborong….

Semoga saja, upaya mencegah penghapusan jejak sejarah Bung Karno di makam Ibu Amsi berhasil. Namun jika gagal, dan akhirnya makam ibu Amsi dipugar sesuai dalam gambar si mandor tadi, maka dengan ini saya nyatakan, “Terkutuklah siapa pun yang terlibat dalam pemugaran makam ibu Amsi, yang tidak tahu sejarah itu!!!” (roso daras)

roso daras di makam ibu amsi

Published in: on 7 Oktober 2013 at 10:30  Comments (3)  
Tags: , , ,

Dari Sukarti, Poppy, lalu Kartika

Ini sepenggal kisah menarik antara Bung Karno dan dua anak angkatnya, Ratna Djuami dan Kartika. Penuturan ini disampaikan langsung oleh Omi, ketika Kartika berulang-tahun ke-83, beberapa tahun lalu.

Omi sendiri, ketika “diberi” adik angkat oleh kedua “orang-tua”nya, yakni Bung Karno dan Inggit Garnasih, merasa sangat senang. Terlebih sejak ia ikut dalam pembuangan Bung Karno di Ende, praktis tak ada lagi teman bermain.

Kehadiran adik angkat yang kemudian ia tahu bernama Sukarti itu, menjadi pelengkap kehidupan anak-anak Omi. Sebagai sesama anak angkat, sejatinya tidak ada sama sekali kemiripan antara Omi dan Sukarti. Demikian pula antara Omi, Kartika dengan orang tua angkata mereka, Bung Karno dan Inggit.

Akan tetapi, karena sehari-hari hidup dalam satu lingkungan keluarga, maka mereka menjadi sangat akrab. Inggit dengan sifat keibuannya. Bung Karno dengan karakter tegas dan disiplin. Nenek Amsi yang menjadi tempat mengadu bagi semuanya. Pendek kata, sebagai sebuah keluarga, mereka sangat harmonis.

Tiba pada suatu hari, Bung Karno marah demi mendengar Omi memanggil adiknya dengan sebutan Poppy. Ya, Sukarti kecil memang berkulit putih dan cantik. Karena itu banyak orang, tidak hanya Omi, yang memanggilnya Poppy. Tapi, Bung Karno tetap tidak suka. “Papi sangat membenci nama berbau asing,” kenang Omi.

Ia juga masih ingat ketika Bung Karno yang dipanggilnya papi itu berkata, “Itu tidak baik untuk nama seorang anak Indonesia. Kartika, ya Kartika nama yang cantik untukmu. Lain kali jangan mau dipanggil Poppy lagi, ya…,” begitulah Bung Karno mengganti nama Sukarti menjadi Kartika, sekaligus melarang semua orang, termasuk Omi, memanggilnya Poppy.

Di usianya yang sudah sangat sepuh, Omi menuturkan, betapa adiknya ini sangat manis, penurut, dan halus tutur-katanya. “Tidak pernah membantah. Selalu menurut, dan tidak suka bertengkar. Pokoknya adikku ini manis sekali. Aku sangat sayang padanya. Dan sampai kini kami saling merindukan,” tutur Omi, dalam kesan-kesan yang dituliskannya khusus menyambut ulang tahun Kartika ke-80, tiga tahun yang lalu. (roso daras)

Published in: on 25 November 2010 at 03:48  Comments (2)  
Tags: , , , , ,

Sowan Ibu Kartika, Anak Angkat Bung Karno

Saat dibuang ke Ende tahun 1934, Bung Karno membawa serta istrinya, Inggit Garnasih, anak angkatnya, Ratna Djuami (Omi), dan Ibu Amsi (mertua). Omi adalah keponakan Ibu Inggit. Karena itu, dalam banyak lembar sejarah banyak yang melupakan nama Sukarti atau Kartika, sebagai anak angkat Bung Karno (juga).

Bisa dimaklumi. Sebab, tidak seperti anggota rombongan buangan pemerintah Kolonial Belanda lainnya, Sukarti atau Kartika memang “diangkat” di Ende. Benar. Dia adalah putri sulung keluarga Atmo Sudirdjo, seorang juru ukur yang bekerja pada dinas pekerjaan umum pemerintahan Kolonial Belanda. Atmo sendiri asli Purwokerto.

Pertemuan pertama kali Sukarti atau Kartika itu sendiri terjadi tahun 1934, saat usianya baru menginjak enam tahun. Ia diajak serta oleh kedua orangtuanya, menuju pelabuhan untuk menjemput “tokoh besar” yang namanya sudah begitu semerbak di seantero Hindia Belanda sebagai “pejuang kemerdekaan”. Ya, Sukarti atau Kartika ikut ke pelabuhan bersama para pribumi lain dalam rangka menjemput Bung Karno dan rombongannya.

Ia tidak memiliki kesan mendalam, kecuali sebuah tanda tanya di benak otak seorang anak usia enam tahun. Mengapa begitu banyak orang Ende menjemput tokoh ini? Siapa gerangan dia? Lebih penasaran manakala ia melihat bahwa tokoh yang disambut itu berkulit sawo matang, bukan lelaki bule berambut jagung.

Sekanjutnya, Sukarti atau Kartika sering diajak ibudanya, Chotimah yang kelahiran Purworejo, mengikuti pengajian yang diadakan di kediaman Bung Karno. Dari sekali ke dua kali… dari dua kali ke tiga kali… lama kelamaan Sukarti atau Kartika semakin akrab dengan keluarga Bung Karno, khususnya dengan Ratna Djuami alias Omi.

Omi sangat merindukan adik. Sementara, sebagai putri sulung, Sukarti juga merindukan sosok kakak. Klop-lah mereka. Demi melihat keakraban di antara keduanya, Bung Karno berinisiatif mengangkat Sukarti atau Kartika sebagai anak angkatnya. Bung Karno pun memintanya kepada keuarga Atmo Sudirdjo.

Keluarga Atmo Sudirdjo sangat ikhlas… bahkan sangat senang dan bangga demi melihat tokoh perjuangan kemerdekaan itu sudi dan berkena mengangkat anaknya menjadi putrinya. Alhasil, lengkaplan anak angkat Bung Karno, Ratna Djuami dan Sukarti. Oleh Bung Karno, nama itu kemudian diubah menjadi Kartika.

Hingga kini, Sukarti pun dikenal sebagai Kartika. Nyonya Kartika. Dia masih tampak segar saat dijumpai di kediamannya di bilangan Jagakarsa, Jakarta Selatan. “Terakhir saya tinggal di Cibinong. Tetapi sejak suami saya meninggal, saya tinggal bersama anak-anak saya. Kadang di Jagakarsa, kadang di tempat anak saya yang lainnya,” tutur Kartika.

Untuk perempuan usia 82 tahun, Kartika masih tampak bugar. Daya ingatnya masih sangat tajam. Bicaranya jelas dan lugas. Ini berbeda dengan “kakak angkat”-nya, Ratna Djuami yang juga masih hidup dan tinggal di Bandung. Omi sepuh kini sudah mulai pikun. Hanya kepada orang-orang tertentu dia masih bisa berkomunikasi dengan baik.

Syahdan, Kartika adalah saksi sekaligus pelaku sejarah Bung Karno yang masih hidup.  Ia pun memiliki begitu banyak kenangan menjadi “anak angkat” Bung Karno. (roso daras)

Published in: on 23 November 2010 at 01:32  Comments (3)  
Tags: , , , ,

Awak Kapal Ajak Bung Karno Kabur

Dari Jawa ke Ende

Pulau Bunga, Flores, pulau cantik yang dijadikan tempat pembuangan Bung Karno. Enam tahun hidup dalam pengasingan, cukuplah bagi Sukarno untuk menyelami kehidupan rakyat Ende, pantai indah dan para nelayan yang ramah, kehidupan pelabuhan yang pikuk saat kapal berlabuh, serta masyarakatnya yang ramah sedikit tertutup.

Di sini, Bung Karno hidup bersama Inggit Garnasih sang istri, Ibu Amsi sang mertua, dan Ratna Djuami sang anak angkat yang biasa dipanggil Omi. Tak berapa lama kemudian, barulah bergabung empat orang pembantu, satu di antaranya Riwu Ga yang mengikuti Bung Karno hingga ke era pembuangan di Bengkulu sampai Indonesia merdeka.

Selama dalam masa pembuangan, Bung Karno telah menjelma menjadi “penyelundup” ulung. Ia menjalin komunikasi penuh sandi dengan para awak kapal. Terlebih, kapal-kapal lintas pulau, umumnya diawaki para ABK pribumi, yang semuanya menaruh hormat kepada Sang Tokoh Pergerakan, Sang Musuh Penjajah. Ada kalanya, Bung Karno sendiri yang berdesak-desakan di pelabuhan. Ada kalanya cukup lewat orang suruhan. Dengan bahasa-bahasa tertentu, komunikasi berjalan lancar.

Alhasil, semua kebutuhan Bung Karno terpenuhi dengan mudah. Sampailah suatu ketika, saat Bung Karno sedang menanti paket pesanan rahasia di pelabuhan, tiba-tiba turun seorang awak kapal berbadan tinggi besar, berkulit gelap. Ia menyeruak kerumunan orang dan mendekati Bung Karno. Setelah tiba di hadapan Bung Karno, ia sedikit membungkuk dan berkata bisik, “Bung, katakanlah kepada kami, kami akan menyelundupkan Bung Karno. Saya jamin aman, tidak akan ada orang yang tahu.”

“Terima kasih, saudara. Lebih baik jangan,” kata Bung Karno sambil menatap awak kapal tadi penuh rasa terima kasih. “Terkadang memang terbuka jalan seperti yang saudara katakan itu. Dan sering juga datang pikiran menggoda untuk lari secara diam-diam dan kembali bekerja untuk rakyat kita.”

Si awak kapal menyambar, “Kalau begitu, kenapa tidak dicoba saja, Bung?! Kami akan sembunyikan Bung Karno dan membawa Bung ke tempat kawan-kawan.”

Bung Karno menjawab tenang, “Kalau saya lari, ini hanya saya lakukan untuk memperjuangkan kemerdekaan. Begitu saya mulai bekerja, saya akan ditangkap lagi dan dibuang lagi. Jadi, tidak ada gunanya.”

Awak kapal bertanya lagi, “Apakah Bung Karno tidak bisa bekerja secara rahasia?”

“Itu bukan caranya Bung Karno.”

“Sekiranya di suatu saat berubah pendirian Bung Karno, tak usah ragu, sampaikan kepada kami.”

Bung Karno merangkul awak kapal tadi, dan tanpa ragu mencium kedua pipinya. “Terima kasih. Di suatu masa, kita semua akan merdeka. Begitupun saya.” (roso daras)

Published in: on 29 Juli 2009 at 05:03  Comments (15)  
Tags: , , , ,