Benang Merah Pidato Bung Karno (2)

bung karno pidato2Berikut nukilan pidato Bung Karno, sebagai kelanjutan dari posting judul yang sama sebelumnya. Sekali lagi, nukilan ini cukup penting, setidaknya guna menarik satu benang merah, tentang alur pikir, konsepsi, dan garis perjuangan Bung Karno, khususnya setelah dia berhasil memerdekakan bangsa Indonesia serta memimpin bangsa ini sebagai Presiden.

1951: Capailah Tata-Tentrem-Kerta-Raharja

“Adakanlah koordinasi, adakanlan simfoni yang seharmonis-harmonisnya antara kepentingan-sendiri dan kepentingan-umum, dan janganlah kepentingan-sendiri itu dimenangkan di atas kepentingan-umum!”.

1952: Harapan dan Kenyataan

“Kembali kepada jiwa proklamasi… kembali kepada sari-intinya yang sejati, yaitu pertama jiwa merdeka-nasional… kedua jiwa ikhlas… ketiga jiwa persatuan… keempat jiwa pembangun”.

1953: Jadilah Alat Sejarah!

“Bakat persatuan, bakat ‘gotong-royong’ yang memang telah bersulur-akar dalam jiwa Indonesia, ketambahan lagi daya-penyatu yang datang dari azas Pancasila”.

1954: Berirama dengan Kodrat

“Dengan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ dan Pancasila, kita prinsipil dan dengan perbuatan, berjuang terus melawan kolonialisme dan imperialisme di mana saja”.

1955: Tetap Terbanglah Rajawali

“Panca Dharma”: Persatuan bangsa harus kita gembleng… tiap-tiap tenaga pemecah persatuan harus kita berantas… pembangunan di segala lapangan harus kita teruskan… perjuangan mengembalikan Irian Barat pada khususnya, perjuangan menyapu bersih tiap-tiap sisa imperialisme-kolonialisme pada ummnya, harus kita lanjutkan… pemilihan umum harus kita selenggarakan”.

Nafas konsistensi jelas terbaca di sana. Perang dan spirit memberantas imperialisme-kolonialisme di satu sisi, serta membangun dignity di sisi yang lain, berjalan paralel menuju bangsa yang besar. (roso daras/Bersambung)

Published in: on 2 Desember 2012 at 06:49  Comments (1)  
Tags: , ,

Indie Verloren Rampspoed Geboren

Sekitar tahun 1929, Partai Nasional Indonesia (PNI) berada pada puncak kejayaan. Setiap rapat-rapat kader, Bung Karno sendiri yang turun melakukan propaganda. Tak heran jika dari waktu ke waktu, pengikutnya semakin banyak saja. Kader PNI bukan saja kaum petani, kaum buruh, tetapi juga para pelacur dan pegawai pemerintahan Hindia Belanda.

Selain propaganda dalam bentuk rapat-rapat raksasa, sejumlah kader menerbitkan suratkabar. Salah satunya “Banteng Preangan” di Bandung. Koran ini sangat diminati masyarakat. Setiap hari menerbitkan tajuk-tajuk yang berisi propaganda, agitasi yang bertujuan membentuk opini publik tentang brengseknya aksi penjajahan, dan perlunya kita segera melepaskan diri dari belenggu kolonialisme Belanda.

Menuju Indonesia Merdeka, adalah topik utama gerakan PNI ketika itu. Rapat-rapat PNI, seperti 25 Agustus 1929 di Jakarta, dan 15 September 1929 di Bandung. Di kedua rapat umum tersebut, propaganda menuju Indonesia merdeka kian lantang disuarakan. Bersamaan dengan itu, para petuga intel pemerintahan penjajah, secara intens memberi masukan pula kepada aparat keamanan. Tidak heran jika dari hari ke hari, sikap pemerintah makin keras.

Mereka tidak saja memberi peringatan, tetapi juga aksi penggrebekan, penangkapan, termasuk surat-surat edaran bagi pegawai pemerintahan (yang sipil maupun militer dan kepolisian) agar tidak ikut-ikutan terjun ke politik. Harap dicatat, tidak sedikit bangsa kita yang bekerja di kantor-kantor pemerintahan Hindia Belanda. Di antara mereka, tidak sedikit pula yang menyokong penuh gerakan kemerdekaan Bung Karno dan kawan-kawan.

Nah, di antara tekanan yang makin keras itulah, Bung Karno terus saja melakukan gerakan. Bahkan makin berani. Seperti di Bandung 15 September 1929. Ia melancarkan propaganda tentang pengertian Persatuan Indonesia dan perjuangannya untuk mencapai Indonesia merdeka, lepas dari Belanda.

Dalam retorika yang heroik, Bung Karno menegaskan, pergerakan kebangsaan adalah serupa dengan mengalirnya sungai, dan bertaut dengan sungai-sungai lainnya. Dan dalam persatuan dan pemaduan sungai-sungai itu, akan merupakan aliran banjir yang dahsyat yang sangup mendobrak penghalang-penghalangnya, sehingga akhirnya banjir tadi mencapai lautan bebas.

Bung Karno manambahkan, pihak “sana” (Belanda, maksudnya…), sedang dalam keadaan menderita demam puyuh (koorts), karena mereka terlalu banyak makan karet kita, terlalu banyak minum minyak kita.

Pada kesempatan yang sama, Bung Karno juga mengingatkan tentang aksi licik pemerintah Belanda. Mereka membentuk dan memfasilitasi sejumlah kaum amtenar untuk membentuk organisasi tandingan. Seperti lahirnya Tolak Bahla Tawil Oemoer (TBTO). Dengan cara begitu, pihak “sana” hendak memperbodoh dan mengadu domba bangsa kita. Mereka mengadu domba, dan membayar “coro-coro” (kecoa) sebagai spion dan pengkhianat dengan tujuan menghancurkan PNI.

Atas aksi pihak “sana” itu, Bung Karno menyerukan kepada seluruh kader PNI, agar tetap waspada dan tidak putus asa. “Semangat banteng harus kita tunjukkan. Janganlah kita tidur menutup mata kita sebelum kita sembahyang dan mendoa, semoga Tuhan segera menurunkan penyakit pest terhadp binatang “coro” itu. Bila kita telah mencapai Indonesia merdeka, kaum kapitalis itu tidak akan memperoleh keuntungan lagi, dan akhirnya akan datang, ‘Indie verloren rampspoed geboren‘ (Indonesia Merdeka, bencana akan menimpa negeri Belanda).” (roso daras)

Published in: on 15 Januari 2011 at 02:47  Comments (5)  
Tags: , , ,

Tiga Tujuan Revolusi Kita

Pernah seorang mahasiswa jurusan sejarah menelepon, hendak mewawancarai saya seputar Bung Karno. Saya menjadi ketakutan… memangnya siapa saya ini? Tapi toh dengan segenap kekuatan saya sempatkan bertanya, “Tentang apanya?” Tentang pidato-pidato Bung Karno yang mengguncang dunia, tentang pidato Bung Karno yang menjadi tonggak sejarah, tentang pidato Bung Karno yang patut dikenang.

Spontan saya jawab, semua pidato Bung Karno mengguncang dunia… semua pidato Bung Karno menjadi tonggak sejarah… semua pidato Bung Karno patut dikenang… bukan hanya patut, tetapi sudah sehausnya dikenang oleh segenap anak bangsa. Bukan karena Bung Karno yang berpidato, tetapi lebih karena isinya begitu berbobot. Dalam bahasa yang lebay saya bahkan bisa mengatakan, pidato Bung Karno yang paling santai saja, jauh lebih berbobot dari pidato paling serius dari lima orang presiden kita setelahnya.

Biarlah dianggap berlebihan… toh itu hanya opini pribadi. Nah, si mahasiswa tadi mendesak untuk lebih mengkhususkan lagi, memilah beberapa pidato saja. Artinya, saya diminta memilih pidato-pidato mana saja yang memenuhi unsur-unsur “ter”… unsur-unsur “paling” seperti yang dia sebut di atas. Sangat sulit, tapi toh saya tahu ini hanya untuk tugas akademik… jadi ya saya buatkan saja.

Satu kalimat Bung Karno yang masih terus relevan, kalimat yang kita bisa maknai cocok di segala zaman, termasuk zaman reformasi saat ini adalah, “revolusi kita belum selesai!” Seperti berulang kali Bung Karno tegaskan bahwa proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah sebuah awal revolusi yang hebat dari segenap bangsa Indonesia. Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah tanda permulaan revolusi hebat bangsa kita.

Ada tiga tujuan revolusi kita. Tiga…, satu… dua… tiga… ya tiga tujuan revolusi kita yang acap didengungkan Bung Karno dalam banyak kesempatan. Pertama, ialah mendirikan Republik Indonesia, Republik Kesatuan berwilayah kekuasaan antara Sabang dan Merauka. Oleh karena antara Sabang dan Meraukelah kita punya tanah air. Antara Sabang dan Meraukelah Ibu Pertiwi kita. Republik Kesatuan Indonesia yang kuat sentosa dari Sabang sampai Merauke.

Kedua, mengadakan di dalam Republik Indonesia satu masyarakat yang adil dan makmur, satu masyarakat yang tiap-tiap orang hidup bahagia, cukup sandang cukup pangan. Mendapat perumahan yang baik. Tidak ada anak-anak sekolah yang tidak masuk sekolah. Pendek kata, satu masyarakat yang adil dan makmur, yang tiap-tiap manusia hidup bahagia di dalamnya.

Ketiga, menempatkan Republik Indonesia itu sebagai satu negara daripada semua negara di dunia. Negara sahabat daripada semua bangsa di dunia. Tetapi, meskipun kita hendak bersahabat dengan semua negara di dunia, kita tidak mau bersahabat dengan kolonialisme. Kita tidak mau bersahabat dengan imperialisme. Jikalau masih ada sesuatu bangsa hendak mengkolonisasi kita, hendak menjajah kita, hendak menjalankan imperialisme di atas tubuh kita, kita berjuang terus sampai tetes darah yang penghabisan. Kita akan berjuang terus sampai imperialisme dan kolonialisme lenyap sama sekali dari muka bumi ini.

Itulah tiga tujuan revolusi kita yang makin tahun bukan makin dekat ke arah pencapaian secara esensi, melainkan makin jauh dari jangkauan. Undang-Undang Otonomi Daerah yang mengarah ke perubahan bentuk negara dari kesatuan, sudah menjerumuskan kita ke arah disintegrasi. Sabang sampai Merauka hanya merupakan bentang teritori yang berisikan “aku orang Aceh”… “aku orang Medan”… “aku orang Jawa”… “aku orang Kalimantan”… “aku orang Sulawesi”… “aku orang Maluku”… “aku orang Nusa Tenggara”… “aku orang Papua”…

Atau lebih menyedihkan lagi dari itu… tanah Indonesia berisi warga masyarakat yang terdiri dari “aku orang Sabang… aku orang Meulaboh”… “aku orang Padang”… “aku orang Lampung”… “ake arek Suroboyo”… “Nyong wong Tegal”… “beta putra Maluku”… dan seterusnya…. Mulai luntur “keindonesiaan” kita.

Bagaimana dengan pangan, sandang, papan, pendidikan? Akibat tidak meratanya kesejahteraan, mengakibatkan kesenjangan yang begitu lebar. Ada kelompok kecil yang begitu mudah mendapatkan semua kemewahan dan kebutuhan hidup… sementara ada yang begitu susah payah hanya untuk sekadar bertahan hidup.

Pendidikan? Mudah, tetapi tidak murah. Pasca sekolah, mencari pekerjaan susah.

Pergaulan kita di antara bangsa-bangsa makin terpinggirkan. Alih-alih mengenyahkan kolonialisme dan imperialisme… regulasi negara kita bahkan membuka diri dengan dua tangan terbuka, dengan senyum lebar, masuknya penjajahan baru di bidang ekonomi. Adakah kita sekarang berdiri di atas kaki sendiri? Tidak. Adakah semua kekayaan alam yang terkandung di bumi, laut, angkasa Republik Indonesia telah dikelola negara dengan baik bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat?

Sudah… sudah… sudah…. Sudahlah… jangan dilanjutkan bahasan ini…. Saya jadi ingin marah. (roso daras)

Jika Orator Menjadi Guru

Bung Karno

Bung Karno lepas dari jenjang perguruan tinggi tahun 1926. Saat itu, ia berhak menyandang titel insinyur. Biro arsitek pertama yang ia dirikan bersama Ir. Anwari, terbilang tidak langgeng. Kurang lebih sama nasibnya dengan biro arsitek kedua di kemudian hari, yang ia dirikan bersama Ir. Rooseno.

Sekalipun begitu, demi menafkahi keluarga, ia mengerjakan beberapa pekerjaan untuk kabupaten-kabupaten serta bangunan rumah-rumah pejabat pemerintah. Bukan hanya itu, Sukarno bahkan ditawari jabatan menarik di Departemen Pekerjaan Umum pemerintah Hindia Belanda.

Saat datang tawaran itulah ia tersentak sadar, bahwa ia tak bisa terus menekuni pekerjaan tadi, karena pada dasarnya ia hidup untuk sebuah prinsip non-koperasi. Persis seperti alasan yang ia ungkapkan kepada profesornya di THS, sesaat setelah lulus, yang menyarankannya agar bekerja membantu pemerintah Hindia Belanda.

Saat itu Sukarno muda menukas, “Profesor, saya menolak bekerja sama, supaya saya tetap bebas dalam berpikir dan bertindak. Kalau saya bekerja pada pemerintah, secara diam-diam saya membantu politik penindasan dari rezim mereka yang otokratis dan monopolistis itu. Pemuda sekarang harus merombak kebiasaan menjadi pegawai kolonial segera setelah memperoleh gelarnya. Kalau tidak begitu, kami tidak akan merdeka selama-lamanya.”

Faktanya, Sukarno sendiri akhirnya kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya. Kiriman orang tuanya praktis sudah dihentikan, segera setelah ia lulus kuliah. Tiba pada suatu saat, ia mendengar adanya lowongan mengajar di sekolah Yayasan Ksatrian yang diselenggarakan oleh pemimpin kebangsaan Dr. Setiabudi alias Douwes Deker di kota Bandung. Mereka mencari guru untuk dua mata pelajaran, Sejarah dan Ilmu Pasti.

“Huh…,” gerutu Bung Karno. “Dua mata pelajaran yang paling tidak aku kuasai,” gumamnya dalam hati. Akan tetapi, manakala perwakilan sekolah bertanya, “Insinyur Sukarno, tuan adalah insinyur berijazah, jadi tentu tuan ahli dalam ilmu pasti. Bukankah begitu?” Spontan Bung Karno menjawab “pe-de”, “Ohh… ya tuan! Ya… betul, aku menguasainya.”

Termasuk saat ditanya, “Baiklah. Tuan dapat mengajar ilmu pasti?”, Bung Karno menyambar, “Mengapa tidak! Saya menguasai betul ilmu pasti. Ini mata pelajaran yan saya senangi,” katanya benar-benar mantap dalam berbohong. Apa hendak dikata, saat itu ia dan Inggit benar-benar dalam keadaan kering kerontang. Apa yang dapat mereka suguhkan jika tamu datang hanyalah secangkir teh tanpa gula. Dalam keadaan begitu, haruskah ia mengaku bahwa sesungguhnya ia tidak dapat mengajar ilmu pasti dan sejarah?

Ringkas kalimat, Bung Karno diterima mengajar. Mata pelajaran sejarah, yang semula ia bayangkan mudah, ternyata begitu susah. Kelas yang dihadapi Bung Karno berisi 30 murid, satu di antaranya adalah Anwar Cokroaminoto, putra H.O.S. Cokroaminoto, gurunya di Surabaya dulu.

Tanpa satu orang guru pun yang memberi tahu ihwal metode mengajar, Bung Karno memainkan perannya sebagai guru dengan penuh improvisasi. Mulailah ia mengajar sejarah dengan gayanya sendiri. Gaya seorang pembicara. Gaya orator!

Sebagai guru sejarah, Sukarno tak hirau soal tanggal dan tahun. Sebagai guru sejarah, Sukarno tidak mau memusingkan kepala murid-muridnya dengan persoalan tahun berapa Columbus menemukan Amerika, atau tahun berapa Napoleon gagal di Waterloo. Pendek kata, cara mengajar sejarah Bung Karno benar-benar beda dari yang ada.

Ia, laksana sang aktor berakting di panggung tonil. Ia lantangkan hakikat kebenaran. Ia gemakan mengapa terjadi ini, dan mengapa pula terjadi itu. Manakala ia berkisah sejarah Sun Yat Sen, “Pak Guru” Sukarno benar-benar berteriak menggelegar, sesekali tangannya diayun dan digebrakkannya di atas meja. Murid mana tidak terbelalak mendapatkan seorang guru seperti itu?

Sementara, sudah menjadi aturan Departemen Pengajaran Hindia Belanda, untuk mengirim para penilik sekolah pada waktu-waktu tertentu. Hingga tiba saatnya, sekolah Yayasan Ksatrian dikunjungi penilik sekolah. Dalam satu kesempatan, sang penilik itu masuk ke kelas Sukarno. Ia duduk di bangku paling belakang, mengamati, mencermati, dan mengevaluasi cara Sukarno mengajar.

Kebetulan, hari itu Sukarno membawakan materi “Imperialisme”. Sebuah pokok soal yang begitu dikuasainya. Dan begitulah tabiat Sukarno jika sudah berbicara, ia akan berbicara tanpa hirau dampak dan akibat. Ia terus dan terus mencerca sistem imperialisme dengan sangat bersemangat, sambil melompat, sesekali menggebrak, dan tak jarang berteriak.

Atas “cara mengajar” yang unik itu, sang penilik sekolah berkebangsaan Belanda itu terperangah. Ia menjadi lebih tak bisa berkata-kata demi mendengar materi yang diajarkannya. Bisakah Anda bayangkan, seorang guru pribumi, di hadapan penilik sekolah berkebangsaan Belanda, berteriak-teriak tentang imperialisme, dan ditutup dengan kalimat, “Negeri Belanda adalah Kolonialis yang terkutuk!”

Geram menahan amarah, sang penilik harus menguasai diri hingga Sukarno selesai memberi pelajaran. Syahdan, ketika selesai mengajar, sang penilik sekolah pun mengayun langkah, dengan wajah merah, menghampiri “pak guru” dan berkata marah, “Raden Sukarno, tuan bukan guru… tuan seorang pembicara!”

Dan, begitulah akhir daripada karier Bung Karno yang singkat sebagai guru…. (roso daras)

Published in: on 31 Agustus 2009 at 22:41  Comments (11)  
Tags: , , ,