Siang terik di kawasan Saharjo, Jakarta Selatan, ketika saya mampir di kedai bung Doni, baru-baru ini. Kedai yang terletak menjelang simpang Jalan Minangkabau itu, masih sama seperti tahun 2005, saat pertama kali Doni menggelar dagangannya. Di kedai sederhana berukuran sekitar 2 x 3 meter itulah Doni setia “berjualan Bung Karno”.
“Di sini sejak tahun 2005. Tetapi saya menjual poster-poster Bung Karno dari tahun 80-an. Pernah di Tebet, pernah di Tangerang… pokoknya pindah-pindah,” ujar ayah enam orang anak ini.
Enam anaknya, dibesarkan dan disekolahkan dari hasil “menjual Bung Karno”. “Walaupun sudah wafat, Bung Karno masih bisa menghidupi keluarga saya,” katanya, bangga. Yang dia maksud adalah, sekalipun Bung Karno sudah tiada, tetapi poster-posternya masih diburu orang. Masih banyak yang meminati, mengoleksi, bahkan menjadikannya sebagai souvenir.
“Pak Permadi cukup sering mampir. Beliau kalau beli poster bisa lima sekaligus. Katanya buat souvenir…,” kata Doni. Bukan hanya Permadi SH, tokoh paranormal yang dikenal sebagai “penyambung lidah Bung Karno”, masih banyak tokoh nasionalis lain yang akrab dengan kedai Doni. “Saya bangga bisa bertemu tokoh-tokoh, anggota DPR, bahkan dengan bu Rachmawati. Waktu pameran foto Bung Karno di TIM, bu Rachma membeli satu,” tutur Doni pula.
Poster-poster Bung Karno, dia dapat dari hasil hunting ke berbagai daerah. Dari sana, kemudian ia cetak ulang, bahkan diperbesar, kemudian dibingkai. Untuk mencari poster Bung Karno, tak jarang Doni melakukannya hingga keluar Jawa.
Dari ketekunannya “menjual Bung Karno”, Doni sudah beberapa kali menjadi objek tulisan suratkabar, bahkan diliput sejumlah stasiun televisi. Mungkin karena itu juga, dibanding para “penjual Bung Karno” yang lain, nama dan wajah Doni relatif yang paling familiar.
Sejatinya, ada banyak “penjual Bung Karno” yang lain. Di Semarang Utara misalnya (saya lupa nama jalannya), ada satu kios yang dimiliki warga keturunan Cina, juga menjual poster-poster Bung Karno. Bahkan di sana, jika sedang beruntung, kita bisa mendapatkan koleksi foto asli, bukan hasil repro. Harganya bisa jutaan rupiah.
Masih banyak lainnya. Termasuk di salah satu kios di dalam pengapnya pasar tradisional Kebumen selatan. Di Surabaya, di Denpasar, di Bengkulu, di Medan, … ratusan tempat lain bisa saya deret di sini. Maka kesimpulan saya, Bung Karno benar-benar masih “hidup” dalam sanubari rakyat Indonesia.
Tinggallah sebuah renungan, “mengagumi saja terkadang tidak cukup!” (roso daras)