Puti Guntur Soekarno tentang Kartini

Sidang pembaca blog yang mulia… spesial hari Kartini, saya sajikan tulisan Puti Guntur Soekarno. Sarjana FISIP UI ini memandang “Kartini” dari perspektif “Sarinah”, ini sudut pandang yang sangat menarik. Sekalipun, judulnya kurang menarik: “Jadilah Perempuan Sejati Indonesia”…. Selamat merenungkan hari Kartini….

Man works from rise to set of sun

Women’s work is never done

–Syair Inggris  

pgsDari sekian surat korespondensi Kartini dengan Abendanon, saya terkesan pada satu surat dengan kalimat: “Saya mohon kepada Anda untuk memberikan kesempatan bagi kaum perempuan pribumi untuk mendapatkan pendidikan dan pengetahuan, bukan dalam rangka untuk menyaingi kaum laki-laki, melainkan untuk lebih menyempurnakan perannya pada peradaban”.

Untaian kalimat itu memberi pelita bagi gerakan perempuan dan emansipasi di Indonesia. Kesetaraan gender  telah menjadi konsumsi publik, kadang dimaknai sebagai kehendak atas persamaan hak antara kaum laki-laki dan perempuan (egalitarian). Namun sesungguhnya pelita itu turut menyempurnaan hadirnya peran perempuan pada peradaban (emansipatoris), sebuah tahapan yang lebih tinggi lagi dari persamaan. Gerakan emansipatoris memberi terang jalan bagi peran perjuangan kaum perempuan untuk dalam pembangunan bangsa Indonesia. Alhasil saat ini kita kaum perempuan dapat menikmati pengakuan dan pemenuhan hak-hak atas jabatan di pemerintahan yang setara dengan kaum laki-laki. Kuota wakil rakyat dari unsur perempuan dihormati. Bahkan kami bersyukur bangsa Indonesia mampu menunjukkan kepada dunia bahwa perempuan mampu menjadi pemimpin negara yaitu saat Ibu Megawati Soekarnoputri menjadi orang nomor satu di Indonesia sebagai Presiden perempuan pertama di Indonesia.

Puncak jabatan yang bisa didaki dan digapai kaum perempuan, sejatinya bukanlah esensi perjuangan Kartini. Kehendak agar perempuan mendapatkan pendidikan dan pengetahuan, diutamakan bukan untuk menyaingi kaum laki-laki, akan tetapi lebih untuk menyempurnakan perannya pada peradaban dan kemajuan bangsa dan negara Indonesia. Kemuliaan kalimat inilah yang –suka-tidak-suka—acap ditafsir secara keliru.

Pemaknaan Hari Kartini bukan lagi kepada hakikat “penyempurnaan peran perempuan pada peradaban”, melainkan pada aktivitas seremonial. Kajian ilmiah atas statistik angka perempuan yang berpendidikan dan berpengetahuan, disandingkan dengan perannya pada peradaban bangsa, menjadi tidak lagi terukur. Bukankah itu pesan moral dari surat-surat Kartini? Celakanya, ketiadaan guideline atas peran perempuan pada peradaban bangsa tadi, menjadikan peringatan hari Kartini dari tahun ke tahun, perlu pencerahan kembali. Kita tidak lagi heran mendengar seorang anak atau remaja melempar jawab, “Hari berkebaya”, ketika ditanya, “Apa makna hari Kartini bagimu?” Itulah yang terjadi, manakala bangsa ini meninggalkan sejarah. Padahal, Bung Karno sejatinya sudah melakukan kajian mendalam atas surat-surat Kartini, kemudian menurunkannya dalam enam buah artikel tentang perempuan Indonesia dalam buku berjudul “Sarinah”.

Catatan-catatan Sukarno tentang perempuan itu, bahkan sudah dijadikan bahan ajar dalam kursus-kursus perempuan di awal kemerdekaan. Buku Sarinah terbit pertama kali tahun 1947, itu terdiri atas 6 bab, setebal 329 halaman. Bab 1 – Soal Perempuan; Bab 2 – Laki-laki dan Perempuan; Bab 3 – Dari Gua ke Kota; Bab 4 – Martiarchart dan Patriarchat; Bab 5 – Wanita Bergerak; dan Bab 6 – Sarinah dalam Perjoangan Republik Indonesia.

Buku Sarinah karya Bung Karno adalah lampu pijar bagi bangsa ini untuk memahami posisi kaum perempuan Indonesia. Bung Karno berupaya mengungkapkan makna kemerdekaan dan kesetaraan perempuan “ala” Indonesia, bukan yang lain. Bung Besar menentang keras pergerakan feminisme Eropa yang menurutnya, “Mau menyamaratakan saja perempuan dengan laki-laki” (hal. 11). Ia lebih mendukung gagasan Ki Hadjar Dewantara yang mengingatkan agar bangsa Indonesia tidak tergesa-gesa meniru cara modern atau cara Eropa, meski jangan pula terikat oleh paham konservatif, melainkan “Mencocokkan segala hal sesuai dengan kodratnya”. Bagi Bung Karno, berbicara tentang kesetaraan perempuan maka bicara kesetaraan dalam segala aspek, namun juga tidak berarti sekaligus menyamaratakan perempuan begitu saja dengan laki-laki. Bahkan Bung Karno pun mengajak laki-laki untuk memikirkan persoalan persoalan perempuan yang saat ini juga dikampanyekan gerakan perempuan dengan istilah (male participation).

Harapan kita ada sebuah gerakan yang tidak hanya berbunyi setahun sekali, tetapi menjadi pergerakan kaum perempuan dalam membangun Indonesia. Kita tidak bisa hanya berpuas karena perempuan Indonesia sudah mengeyam pendidikan tinggi,  sudah tidak terkungkung lalu selesailah persoalan perempuan. Penghancuran identitas dan martabat perempuan akibat pengaruh ekonomi, politik dan budaya sampai hari ini tetap ada. Dengan demikian, peringatan Hari Kartini tidak sekadar parade perempuan berkebaya. Lebih dari itu, ada grafik yang terukur tentang peran perempuan terdidik dalam membangun peradaban bangsa di tengah tamansarinya peradaban dunia. Itulah sejatinya perempuan  Indonesia. ***

Jakarta, 21 April 2016

Puti Guntur Soekarno

Permadi dan “400 Satrio Piningit”

Permadi SHPermadi SH adalah sosok yang unik. Setidaknya, dilihat dari sisi “julukan”. Pada diri lelaki asal Semarang itu, setidaknya melekat tiga julukan. Ia bisa dijuluki sebagai aktivis, mengingat untuk sekian lama Permadi malang-melintang sebagai Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Pemadi juga dikenal sebagai paranormal. Dari tahun 80-an, Permadi sudah bercokol sebagai salah satu tokoh paranormal nasional. Sekitar tahun 1985, dia dan kawan-kawan pernah memprakarsai “seminar tuyul” di Semarang.

Predikat ketiga adalah Permadi sebagai seorang politisi. Sejak bergabung dengan PDI Perjuangan, kiprahnya cukup mengesankan. Sebagai anggota dewan, dia cukup vokal. Karenanya, acap berbenturan dengan eksekutif, bahkan sesame anggota dewan, terlebih sesama kader PDIP. Dia bahkan mengaku pernah berkonflik dengan Megawati Soekarnoputri, sekalipun keduanya sangat dekat.

“Kurang dekat gimana… tengah malam dia sering menelepon saya, meminta datang ke rumahnya, lalu dia curhat sambil nangis,” ujar Permadi sambil tersenyum, “dan itu tidak hanya sekali,” tambahnya.

Belakangan, dia bahkan memutuskan keluar dari DPR RI, keluar pula dari PDI Perjuangan. Kini, dia malah bercokol sebagai salah satu anggota dewan Pembina DPP Partai Gerindra pimpinan Prabowo Subianto. “Saya masuk Gerindra karena diminta  oleh Prabowo. Meski banyak masukan saya tidak dipakai, saya ya bertahan. Kecuali Prabowo memecat saya dari Gerindra, baru saya keluar,” katanya.

Nah, itu sekilas tentang Permadi. Lebih dalam tentang ketiga julukan yang melekat pada dirinya, ternyata tersimpan banyak sekali cerita menarik. Bahkan sangat menarik. “Makanya saya ingin membukukan. Tapi saya inginnya menerbitkan sepuluh buku sekaligus, karena memang sangat banyak dan beragam temanya,” ujar Permadi pula.

Salah satu yang menarik adalah ketika berbicara tentang “satrio piningit”. Permadi mengaku, selama ini dia telah menerima sedikitnya 400 (empat ratus) orang tamu yang mengaku sebagai satrio piningit, titisan Bung Karno. “Setiap menerima mereka, saya selalu tes, apakah bisa ‘mendatangkan’ Bung Karno di hadapan saya. Ternyata banyak yang palsu, hanya mengaku-aku, kecuali satu. Ya, hanya ada satu yang benar-benar memuaskan saya,” kata Permadi.

Sang “satrio piningit” yang satu itu, ketika diminta ‘menghadirkan’ Bung Karno, lebih dari itu, bahkan bisa ‘menghadirkan’ Raja Brawijaya. “Saya berdialog dengan Brawijaya, juga Bung Karno. Saya puas. Karena saya rasa, yang ’hadir’ benar-benar Bung Karno. Dia bisa menjawab semua pertanyaan saya dengan sangat memuaskan. Berbeda dengan satrio piningit ‘gadungan’ lainnya, yang sangat mengecewakan,” ujar Permadi.

Apa saja yang ia dialogkan dengan “Bung Karno”? Permadi menjawab, “Banyak hal. Mulai dari soal ideologi sampai wanita, ha…ha…ha…,” katanya sambil tertawa. Bahkan dia juga mengonsultasikan ihwal julukan yang ia pakai, “penyambung lidah Bung Karno”. Atas predikat itu, Bung Karno pada prinsipnya merestui. (roso daras)

Mega Menyebutnya “WC Istimewa”

kencing di semakTidak biasanya, Guntur Soekarnoputra bangun siang. Tapi kebetulan, pada suatu pagi di akhir tahun 1964, dia bangun siang karena malamnya ada aktivitas bersama teman-teman kampus. Dia kuliah di Bandung, tetapi sehubungan musim penerimaan mahasiswa baru, dia dan rekan-rekannya memasang sejumlah poster di Jakarta. “Mencari massa untuk organisasi kemahasiswaan,” katanya.

Pukul 09.00, usai bermalas-malasan, Guntur duduk di kursi malas yang terbuat dari rotan yang ada di beranda belakang Istana. Dari kursi ini, Guntur bisa memandang hamparan taman yang indah. Di situ juga nyaman digunakan untuk membaca koran, majalah, sambil minum teh atau kopi.

Di kursi itu pula Bung Karno duduk setiap pagi untuk membaca koran dan majalah. Ya, di kursi yang pagi itu diduduki Guntur. Selagi asyik membaca, ia melihat sekelebat sosok manusia masuk ke semak-semak tak jauh dari beranda istana.

Guntur mengamati ke arah semak-semak hingga keluarlah sosok bapaknya. Guntur tentu berpikir, “Apa yang dikerjakan bapak di semak-semak Istana. Sementara ia mendengar suara banyak tamu di istana,” gumam Guntur dalam hati.

Hingga Guntur memutuskan mandi kurang lebih dua jam sejak ia melihat bapaknya keluar semak, setidaknya Guntur sudah melihat bapaknya dua-tiga kali masuk ke semak-semak tadi. Sehabis mandi, Guntur melanjutkan duduk-duduk santai di kursi rotan kesayangan keluarga itu. Baru saja ia mendaratkan pantat di bantal kursi rotan, ia sudah melihat bapaknya keluar dari semak-semak.

Makin penasaran saja Guntur melihat bapaknya yang bolak-balik ke semak Istana. Ia mengurungkan semua agenda siang itu, dan spesial menunggu bapaknya usai menerima tamu. Ia membaca sambil menunggu bapaknya selesai menerima tamu, menandatangani surat-surat penting, dan aktivitas lainnya.

Jarum jam menunjuk pukul 14.30 ketika bapaknya turun dari beranda dan berjalan hendak menuju kamarnya. Guntur bergegas menyusul, “Pak… pak….” Bung Karno menghentkan langkah demi mendengar Guntur memanggilnya. “Ada apa?”

Mas Tok gelagapan bertanya, “Anu… emmmm…. anu… emmm… tadi saya perhatikan bapak keluar-masuk semak, ngapain?”

Bung Karno tertawa terbahak…. “Ooo… itu… Kencing!!! Bapak nguyuh… ha…ha…ha…,” sambil berlalu meninggalkan Guntur yang melongo. Lepas dari kekagetannya mendengar jawaban yang tidak pernah terlintas di benaknya (presiden kencing di semak-semak), Guntur mengolah alasan mengapa bapaknya melakukannya. Ia hanya menemukan dugaan yang kira-kira paling masuk akal. Jarak beranda ke toilet tamu, tak kurang dari 40 meter. Sedang jarak ke kamar mandi utama dan anak-anaknya, lebih jauh lagi, sekitar 70 – 80 meter. Sedangkan jarak beranda ke semak itu hanya sekitar 6 meter!!!

Beberapa hari kemudian, ketika Guntur kembali ke Bandung melanjutkan aktivitas kuliah, yang pertama ia sampaikan ke adiknya, Megawati adalah kejadian “bapak bolak-balik masuk semak, yang ternyata kencing”. Mega, yang sudah tahu kebiasaan Bapaknya, tidak terlalu kaget. Ia malah menimpali, “Semak itu sekarang malah sudah jadi WC Istimewa. Bukan cuma bapak yang kencing di situ, tapi para menteri dan duta besar juga….” (roso daras)

Perbincangan dengan H. Abdul Madjid (2-Selesai)

Ini bagian kedua dari perbincangan yang agak serius dengan Abdul Madjid. Di luar transkrip ini, sebenarnya banyak sekali berseliweran kisah menarik, utamanya persinggungan dia dengan Bung Karno, semasa dia aktif di PNI. Bahkan, ia juga menyinggung persinggungannya dengan putra-putri Bung Karno. Termasuk kisah ia didamprat Megawati Soekarnoputri, terkait amandemen UUD 1945.

Baiklah, kisah itu menjadi bahan posting di lain kesempatan. Sekarang, kita tuntaskan dulu perbincangan dengan Abdul Madjid tentang konstitusi, tentang masa depan bangsa….

Satu lagi, apakah arti DPR dan Parlemen menurt konteks UUD kita…

Yaaa… pada dasarnya DPR dan Parlemen itu sama. DPR itu Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan Parlemen itu juga suatu perwakilan rakyat. Cuma, parlemen itu tukang bicara, diambil dari kata “parle” bicara.

Siapa pemegang hakikat kekuasaan dalam suatu negara, khususnya di Indonesia?

Sekarang kan kekuasaan terbagi-bagi, ada eksekutif, ada legislatif, ada pula kekuasaan pengawasan. Cuma sekarang itu, amandemen dibikin, tetapi yang bikin amandemen tidak konsekuen. Artinya begini. Anda sarjana hukum, anda wartawan, punya logika. Saya menyatakan, semua Undang Udang di Indonesia ini tidak sah.

Dasarnya, amandemen pertama itu mengubah. Perubahan yang hebat. Dulu yang membikin UU itu Presiden, dengan disetujui oleh DPR. Amandemen pertama, siapa yang membikin UU? DPR dengan syarat draft UU dibicarakan bersama Presiden untuk mendapatkan mufakat. Sekarang coba baca. Waktu Presiden berkuasa, kepala UU selalu menyebutkan, Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Presiden Republik Indonesia, menimbang, memperhatikan, menetapkan, memutuskan….

Sekarang bunyinya pun sama. Begitu juga. Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Presiden Republik Indonesia… dst. Apa itu sah? Jadi sekarang kalau melihat bunyinya, UU itu dibuat oleh Presiden. Ada UU Nomor 20 tahun 2004 itu menetapkan, jadi setelah amandemen, UU itu menetapkan kalau mau membentuk UU itu harus benar.  Setelah frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, harus diikuti nama lembaga yang berwenang membuat UU. Sedangkan yang terjadi sekarang, setelah frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, dikuti kalimat Presiden Republik Indonesia, padahal presiden tidak berwenang membuat Undang Undang. Nah, apakah UU itu sah? Tidak, sebab sudah menyalahi. Dan itu artinya, semua produk UU itu dapat dibatalkan dan atau batal demi hukum. Itu bunyi UU. Anehnya, tidak ada yang protes. DPR sendiri yang membuat UU, tidak “ngeh”.

Apa pendapat Pak Madjid tentang amandemen UUD 1945?

Mestinya tidak sah. Karena Dekrit Presiden tidak pernah dibatalkan.

Apa yang pak Madjid ketahui tentang keterlibatan lembaga asing?

Saya membaca bukunya pak A.S.S.  Tambunan. Jelas tertulis, bahwa NDI (National Democratic Institute) terlibat. Dan NDI itu arahnya adalah democratic reform dan constitutional reform. Pak Tambunan menulis itu. Bahwa ada keterlibatan asing dalam proses amandemen konstitusi kita oleh MPR RI periode 1999 – 2004. Di panitia ad hoc selalu ada orang asingnya untuk mengamat-amati. Saya baca buku pak Tambunan, jelas dikatakan ini misi asing, misi Amerika Serikat.

Dia tulis di buku. Buku itu sendiri tersebar luas. NDI dalam hal ini tidak pernah menggugat atau memprotes dan menolak. Dan kalau Tambunan bersalah atau menulis fakta yang tidak benar, kan dia bisa digugat dan dituntut secara hukum. Akan tetapi faktanya tidak ada gugatan dan tuntutan dari mana pun, termasuk NDI. Karena itu kesimpulan saya, pak Tambunan benar. (roso daras)

Published in: on 27 Juni 2010 at 16:41  Comments (1)  
Tags: , ,

Sasak Rambut pun Dikempiskan

Ini kutipan kisah yang dilansir dari mulut seorang Megawati Soekarnoputri. Moral kisah yang ia kemukakan adalah sebuah pendidikan kepribadian bagi wanita Indonesia. Penuturan ini dikemukakan tahun 80-an, dan penuturan yang ia sampaikan adalah kejadian tahun 60-an, saat ia diajak bapaknya, Bung Karno, menghadiri sebuah acara jamuan yang dihadiri ibu-ibu.

Megawati mengiringi langkah bapaknya yang seperti biasa, berjalan gagah mendatangi barisan para tetamu dan menyalaminya satu per satu dengan sangat ramah. Pada saat itulah, Megawati melihat raut wajah bapaknya memerah seperti menahan marah. Mega yang biasa dipanggil “Gadis” oleh bapaknya, tahu betul bahwa ada sesuatu yang tidak berkenan di benak bapaknya. Apakah sesuatu itu? Mega tidak tahu.

Barulah ketika Bung Karno sampai di depan seorang ibu, berdandan dengan sangat cantik, berkain-kebaya dengan anggun… tapi… ya, tetapi satu hal yang membuat Bung Karno tidak berkenan, yaitu pada tatanan rambutnya yang kelewat menjulang tinggi karena disasak. Spontan usai menyalami ibu-ibu itu, Bung Karno mengangkat tangan kanannya persis ke arah atas kepala ibu itu, dan kemudian menekannya ke bawah. Ya, mengempiskan sasakan rambut ibu itu.

Usai menekan sasak ibu itu, tanpa berkomentar apa pun, Bung Karno langsung bergeser ke ibu-ibu di sebelahnya, dan kembali melanjutkan ritual menyalami sisa barisan yang ada. Megawati menyaksikan itu semua. Dan dia sangat penasaran, sehingga ketika sampai di rumah, ekspresi ketidaktahuan tentang sikap bapaknya tadi, masih membekas.

Bung Karno, tak lama kemudian, memanggil Megawati dan langsung mengemukakan hal yang benar-benar menggantung di saraf gelisah Megawati. “Gadis…,” Bung Karno membuka kata, “Tahu mengapa Bapak marah sama ibu tadi?” Antara tahu dan tidak, Mega menganggukkan kepala. Bung Karno seolah menganggap Mega tidak tahu, sehingga ia pun melanjutkan kalimatnya, “Ibu itu tidak menunjukkan keprbadian Nasional!”

Mega uluk tanya, “Lalu, bagaimana berkepribadian Nasional itu, Pak? Seorang wanita Indonesia, jawab Bung Karno, adalah wanita yang berpakian kain kebaya dan sebagainya, tetapi harus, sekali lagi harus menunjukkan citra keaslian, yaitu berpakaian cantik, rapih, dan serasi, dan tetap cekatan dalam tindakan, tidak terkungkung ruang geraknya. Karena lahiriahnya bebas, batiniahnya juga bebas dan perasaan menjadi enak. “Mereka harus mempunyai jiwa merdeka,” tegas Bung Karno.

Singkatnya, berkain kebaya saja tidak cukup. Sebab, sasakan rambut menjulang jelas tidak masuk dalam terminologi wanita Indonesia yang canti, rapih, serasi tetapi cekatan dalam tindakan. Terhadap wanita seperti itu, Bung Karno menjamin, lahiriah dan batiniahnya tidaklah bebas. Tanpa kebebasan lahirian dan batiniah, maka ia belum berjiwa merdeka. (roso daras)

Published in: on 14 Maret 2010 at 18:35  Comments (4)  
Tags: , ,

Pernikahan Kartika Soekarno

Seegers-Kartika

“Mas… tulis dong tentang Karina Soekarno…,” begitu permintaan seseorang yang termasuk golongan orang-orang yang rajin berkunjung ke blog ini…. Yang terlintas di benak saya adalah serentet peristiwa terkait Kartika Sari Soekarno atau yang akrab disapa Karina. Dialah buah cinta Bung Karno dan Ratna Sari Dewi, wanita cantik asal Jepang, yang bernama asli Naoko Nemoto.

Ada sekelebat peristiwa ketika Karina kecil dituntun-tuntun di antara kerumuman pelayat jenazah Bung Karno di Wisma Yaso tahun 1971. Ada pula lintasan peristiwa manakala Karina diajak ibundanya berziarah ke makam ayahandanya di Blitar, beberapa tahun kemudian. Dan… tentu saja yang masih lekat adalah peristiwa pernikahan Karina dengan seorang bankir Belanda.

Pernikahan Karina dengan Frits Frederik Seegers berlangsung 2 Desember 2005 di hotel Continental, Amsterdam, Belanda. Frits adalah President Citibank wilayah Eropa. Saat itu, saya masih mengelola Tabloid Cita-Cita dan mendapat sumbangan materi foto-foto eksklusif dari Guruh Soekarnoputra di Yayasan Bung Karno.

Seegers-Kartika3

Megawati sebagai saksi

Dalam pernikahan itu, Megawati Soekarnoputri, kakak Karina dari ibu Fatmawati, bertindak selaku saksi. Tampak Mega tengah menandatangani dokumen pernikahan adiknya. Megawati sendiri hadir bersama putrinya, Puan Maharani, dan adik bungsunya, Guruh Soekarnoputra.

mempelai-guruh-cindy-mega

Pasca upacara pernikahan, Frits Frederik Seegers dan Karina bergambar bersama Guruh Soekarnoputra, Cindy Adams, dan Megawati Soekarnoputri.

guruh-cindy-mega-ratna sari dewi

guruh-mega-puan-kartika

Guruh - Kartika

Dalam resepsi itu, hadir sejumlah orang dekat mempelai, tak terkecuali hadirnya Cindy Adams, penulis biografi Bung Karno. Tak ayal, momentum pernikahan Karina – Seegers menjadi ajang kangen-kangenan di antara kerabat yang sehari-hari terpisah bentang jarak ribuan mil.

tari bali di resepsi

Di hotel Continental pula, pada malamnya langsung digelar resepsi. Selain gala dinner yang eksklusif, Karina juga mendatangkan para penari Bali untuk menghibur para tamu.

Usai menikah, pasangan pengantin baru langsung kembali ke London, Inggris, dan menetap di sana. Karina kembali ke rutinitasnya sebagai aktivis sosial dengan bendera Kartika Soekarno Foundation, sementara suaminya, kembali ke Citibank. (roso daras)