Sukarnois “Bandel” itu Meluncurkan Buku

Bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober lalu, H. Amin Arjoso, SH meluncurkan bukunya. Tokoh Sukarnois ini menuangkan perjalanan perjuangan menegakkan kembali UUD 1945, setelah diobok-obok melalui proses empat kali amandemen ngawur. Amin Arjoso sendiri menyebut konstitusi kita saat ini dengan nama UUD 2002.

Dalihnya, terdapat perbedaan mencolok. Bukan saja dalam hal membengkaknya jumlah pasal, tetapi juga perubahan pada dihilangkannya penjelasan, dan tentu saja masuknya pasal-pasal yang secara politik dan ekonomi menjadikan konstitusi kita begitu liberal. Dampak amandemen masih tersisa sampai sekarang. Kita menjadi terjajah secara ekonomi, tidak lagi berdaulat di bidang politik, bahkan di bidang kebudayaan pun kita seperti kehilangan arah.

Bersama M. Achadi, Eddi Elison, Azis Arjoso dan Giat Wahyudi, saya merasa terhormat terlibat dalam penyusunan buku “Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso Menegakkan Kembali UUD ’45”. Proses penyusunan bukunya sendiri relatif tidak terlalu sulit, karena semua pemikiran dan perjuangan Amin Arjoso terdokumentasi dengan baik.

Buku ini adalah buku terlengkap yang memuat latar belakang (konspirasi) amandemen UUD 1945, praktik-praktik kotor di seputar amandemen, hingga dampak yang ditimbulkan akibat amandemen. Selain itu, buku ini juga memuat testimoni rekan-rekan seperjuangan Amin Arjoso. Dari komentar rekan-rekannyalah keluar istilah “bandel”… “keras kepala”…  serta banyak apresiasi, sanjungan, dan pujian atas kegigihannya memperjuangkan kembalinya UUD 1945 yang asli.

Sedikit riwayat Amin Arjoso juga tergambar di buku ini. Sekalipun tidak mendetail, kita jadi tahu bagaimana sebagai anggota GMNI dan Sukarnois tulen, ia terpaksa harus mendekam di sel tahanan Orde Baru bersama Sukarnois-Sukarnois lain.  Sebagai advokat, buku ini juga mengisahkan, bagaimana sebagai eks Tapol ia berusaha eksis di rezim Orde Baru. Sebagai manusia, buku ini juga membeberkan kesukaannya makan makanan enak, sekalipun untuk itu harus ia tebus dengan serangan stroke.

Sebagai sebuah buku, sebagai salah satu penyusun, saya sendiri merasa belum puas. Proses produksi yang terkesan tergesa-gesa mengakibatan finishing-nya kurang sempurna. Masih juga dijumpai typo error di sejumlah halaman. Sekalipun begitu, buku ini bakal menjadi catatan maha penting bagi perjalanan sejarah kebangsaan kita. Inilah satu-satunya buku yang mendokumentasikan secara lengkap proses amandemen keblinger atas UUD 1945 kita. (roso daras)

Published in: on 30 Oktober 2010 at 03:40  Comments (1)  
Tags: , ,

Koesalah Soebagyo Toer, Merayakan Ultah Bung Karno di Moskow

Lagi, sang kala menggulirkan kesempatan kepada saya menjumpai satu tokoh bersejarah, Koesalah Soebagyo Toer. Dia seorang penulis, budayawan, dan tentu saja mantan narapidana yang dijebloskan ke penjara oleh rezim Orde Baru. Kurang lebih 10 tahun waktunya dihabiskan di tahanan mulai dari tahanan di Gunung Sahari V hingga LP Salemba, Jakarta Pusat.

Dijumpai di kediamannya di bilangan Depok, Jawa Barat, Koesalah tampil sederhana. Fisik masih tampak bugar, meski pendengarannya mulai menurun. Berbicara tentang Bung Karno, ekspresi semangat menyemburat dari rona wajah yang penuh gurat sejarah. “Saya Sukarnois!” ujarnya spontan.

Koesalah remaja, diboyong ke Jakarta oleh kakaknya, Pramoedya Ananta Toer bersama dua saudara yang lain. “Setelah ibu meninggal, saya dan dua saudara yang lain tinggal bersama ayah. Nah, ketika ayah saya wafat, kami bertiga langsung diboyong ke Jakarta dan tinggal di rumah mas Pram,” tutur Koesalah menceritakan awal mula ia ke Jakarta.

Oleh Pram, ia diajari menulis… menulis apa saja: cerpen, novel, puisi, prosa, bahkan joke-joke. Ia bahkan diajak serta bergabung dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), sebuah sanggar aktivitas seniman-seniwati yang berafiliasi ke Partai Komunis Indonesia (PKI).  Koesalah muda bahkan kemudian terlibat aktif sebagai anggota sebuah ansamble tari dan musik.

Nah, sebagai anggota ensamble tari dan musik itulah, Koesalah dan grupnya beberapa kali tampil di Istana Negara, di hadapan Presiden Sukarno, para pejabat tinggi negara serta para tamu negara. Sudah menjadi kebiasaan, usai acara, Bung Karno akan menghampiri semua seniman untuk menyalaminya satu per satu. Itulah pengalaman pertama kali Koesalah disalami Bung Karno.

Hari-hari berikutnya, Koesalah mengisinya dengan beragam kegiatan. Selain menekuni dunia tulis-menulis seperti kakaknya, Koesalah juga menekuni beragam aktivitas lain, hingga akhirnya ia terpilih menjadi salah satu penerima beasiswa untuk belajar di Moskow. Ia pun belajar ke sana atas beban biaya negara.

Selama di Rusia, ia mengalami banyak peristiwa baik yang menyangkut perjalanan hidup pribadinya, maupun pasang surut Republik Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara. Termasuk mengalami saat-saat hubungan dua negara dan dua kepala negara yang begitu intim: Rusia dan Indonesia, Kruschev dan Bung Karno.

Bahkan pernah suatu ketika di tahun 1958, saat Bung Karno berkunjung ke Rusia, bulannya bulan Juni, melewati tanggal kelahirannya, tanggal 6. Bertepatan peringatan ulang tahun Bung Karno itulah, Kedutaan Besar RI di Moskow menggelar suatu perayaan sederhana. Koesalah sebagai salah satu mahasiswa Indonesia di Rusia, juga hadir. “Lagi-lagi, saya berkesempatan disalami Bung Karno…he…he…he…,” tutur Koesalah pula.

Kembali dari Moskow, ia pun menjadi pegawai Departemen Pendidikan dan Pengajaran sebagai guru dan dosen bahasa Rusia. Sebelum ia dipecat dari statusnya sebagai PNS, setelah dipecat, dan hingga hari ini, kekagumannya kepada Bung Karno tak pernah pupus. “Saya Sukarnois. Saya bangga sebagai bangsa yang pernah memiliki seorang presiden bernama Sukarno,” ujarnya.

Di mata Koesalah, di antara semua pejuang kemerdekaan, di antara semua tokoh pergerakan, Bung Karno-lah yang pantas dan layak ditempatkan pada urutan nomor satu. “Dia berjuang dan berkorban dengan sangat sadar. Dia menerjang risiko sebagai pejuang dengan sangat sadar. Dia menabrak tembok kolonialisme dengan sangat sadar. Terlalu besar pengorbanan Bung Karno bagi bangsa dan negara Indonesia,” ujar Koesalah.

Sayang, kata Koesalah, nama besarnya ditenggelamkan. Gagasan dan ajarannya dinafikan. Lebih disayangkan lagi, manakalnya putrinya, Megawati Soekarnoputri menjabat Presiden, tidak ada pembelaan dan langkah-langkah pemulihan nama besar dan semua ajaran bapaknya. (roso daras)

Published in: on 21 Mei 2010 at 02:25  Comments (4)  
Tags: , , ,

Wahai Sukarnois… Bersatulah!!!

Di blog ini, pada akhirnya… tanpa kita sadari, telah mampu menghimpun dan mempertemukan para Sukarnois lintas generasi. Ada yang dari angkatan pelaku sejarah, ada yang dari angkatan muda, bahkan ada yang dari kelompok pelajar.

Atas kesadaran bahwa yang berkunjung ke blog ini adalah para insan nasionalis, munculah gagasan membentuk sebuah forum. Setidaknya, melalui forum tersebut, kita bisa bertukar pikiran, menuang gagasan, bahkan merancang masa depan yang lebih baik.

Untuk itu, sekali lagi, saya mengundang Anda untuk hadir dalam forum silaturahmi yang akan kami gelar. Undangan akan kami kirim via email. Bagi yang sudah berkirim email ke alamat: mengguncangdunia@yahoo.com tidak perlu khawatir. Undangan akan kami kirim ke alamat email Anda. Jadi, rajin-rajinlah buka email. Bagi yang berminat tetapi belum mendaftar melalui alamat email tersebut, saya mohon segera dan bergegaslah berkirim email berisi biodata dan narasi pendek seputar Bung Karno. (roso daras)

Published in: on 21 April 2010 at 02:24  Comments (4)  
Tags: ,

Tentang “Pemuda Mengguncang Dunia”

Rrrruuuaaaarrrr biasa… Itu kata-kata paling pas untuk menggambarkan antusiasme para pemuda yang menyatakan berminat untuk bergabung dalam komunitas “Pemuda Mengguncang Dunia”. Posting tentang undangan bagi para pemuda Sukarnois untuk berhimpun beberapa waktu lalu, ternyata mendapat sambutan dan dukungan di luar dugaan.

Di antara pengirim biodata ke alamat email mengguncangdunia@yahoo.com terdapat aneka latar belakang, aneka asal-usul, dan barangkali aneka angan-angan. Bersamaan dengan itu, tidak sedikit pula yang bernada protes, karena pada postingan awal, ada batasan usia. Di luar dugaan pula, sukarnois-sukarnois di atas 30 th, bahkan di atas 40 th ternyata banyak sekali yang ingin berpartisipasi.

Nah, di antara yang sudah berkirim biodata serta tulisan ringkas mengenai Bung Karno dan pemikiran-pemikirannya, tidak sedikit pula yang bertanya ihwal “untuk apa dan mau ke mana arahnya”.

Alhasil, saya terpikir untuk mengklarifikasinya sekali lagi. Bahwa usia 20 – 30 tahun bukanlah batasan mutlak. Kami terbuka untuk yang di atas 30 tahun, bahkan yang di bawah 20 tahun. Tujuan utama adalah menyatukan segenap elemen bangsa yang memilki ideologi dan pemikiran yang sama, ihwal ajaran Bung Karno.

Tentang ke mana arah dan tujuan setelah berhimpun? Ada banyak arah dan tujuan… dan bukan saya yang menentukan, melainkan kesepakatan floor. Yang jelas, kiprah sekumpulan manusia dengan landasan ideologi sama, tentu bisa menjadi sangat efektif. Baik itu berupa LSM, paguyuban, bahkan partai politik.

Karena itu, silakan bagi yang berminat gabung, segera berhimpun dan nyatakan melalui email ke mengguncangdunia@yahoo.com saya masih menanti. Ada rencana saya untuk memfasilitasi pertemuan pertama sekitar bulan Juni. Kepastian tanggal dan tempat, menyusul.  (roso daras)

Published in: on 25 Januari 2010 at 17:29  Comments (2)  
Tags: , , ,

“Menjual” Bung Karno

Gerai Foto BK copy

Entah bagaimana reaksi Anda… Yang ini adalah reaksi saya. Setiap kali melewati pedagang poster yang menggelar lapak di trotoar, spontan kaki ini seperti mengerem. Cakram pula. Jadi, pasti berhenti. Sejenak saya sapu poster-poster Bung Karno. Sayang, hampir semua poster yang mereka pajang, sudah saya koleksi. Sangat jarang menemukan pose baru Sukarno. Kalau sudah begitu, saya pun berlalu.

Ada kalanya, gambar yang “berbeda” dari Sukarno justru bisa dijumpai di lapak-lapak yang tak terduga. Satu contoh kecil, manakala pulang Lebaran yang lalu. Di sebuah pasar tradisional bernama Pasar Petanahan, saya punya warung soto langganan. Tak jauh dari penjaja soto, ada lapak yang menjual aneka buku (kebanyakan buku-buku agama), dan poster-poster pahlawan.

Sore itu, saya menyapu seluruh gantungan poster, tidak ada yang baru. Sampai akhirnya si penjual bertanya, “Nyari poster siapa? Manchester United? Inter Milan? Ronaldo? Obama?…” terus saja dia nyerocos menyebutkan poster dagangannya.

“Bung Karno!” jawab saya pendek.

“Oh… banyak…!!! Sebentar…,” jawab dia sambil bergegas masuk ke kios. Saya menunggu, semenit… dua menit… tiga menit…

“Mas… ada nggak?!” mulai tidak sabar saya.

“Adaaa… sebentar… saya bersihkan dulu…,” suara menyahut dari dalam. Setengah berteriak.

Tidak lama kemudian dia membawa setumpuk poster Bung Karno. Luar biasa… meski sudah lusuh, warna pudar, dan berdebu… akan tetapi itu adalah pose Bung Karno yang berbeda. Setidaknya, saya baru pertama kali melihat gambar itu. (Sayangnya, belum sempat saya scan… sehingga belum bisa diposting di sini…).

Saya pilih satu, dua, tiga, empat… Ya, hanya empat. Selebihnya tidak asing di mata saya. Apalagi, tumpukan poster Bung Karno dalam bentuk lukisan tangan yang jauh dari mirip… huhh!!! Siapa pula pelukisnya!!! Melukis Bung Karno kok jadinya mirip Benyamin S!!!

Singkatnya saya ambil empat lembar poster. Setelah digulung, saya –seperti biasa– tidak pernah bertanya harga, dan langsung memberinya lembaran uang merah pecahan seratus ribu… “Uang kecil saja mas…”, lalu saya tukar dengan lembar biru lima puluh ribuan… “Apa tidak ada yang lebih kecil mas…”, kemudian saya sodorkan lembar hijau dua puluh ribuan. Uang diterima seraya berkata, “Sebentar saya ambilkan kembalian mas…”

Uang dua puluh ribu tadi, dikembalikan dua belas ribu rupiah… Astaga! Satu lembar poster ukuran A0 berharga dua ribu rupiah? Bandingkan dengan poster dengan ukuran sama di lapak trotoar dekat Shopping, Yogya yang berharga dua puluh lima ribu rupiah per lembarnya.

Begitulah sekelumit kisah kaum marginal, yang masih “menjual” Bung Karno dalam upaya mengais rezeki. Dari serentet bincang-bincang dengan mereka, selalu saja didapat informasi beragam. Ada penjual aneka poster, termasuk poster Bung Karno, karena dia memang mengaku Sukarnois. Karenanya, dia memajang poster Bung Karno begitu terhormat, bahkan menyediakan pigura khusus bagi yang menghendaki.

Akan tetapi, tidak sedikit pula yang motivasinya hanya sekadar “menjual” Bung Karno. “Karena masih ada yang suka mencari gambar Bung Karno, jadi saya ambil di agen. Biar sedikit, yang penting ada,” ujar penjual aneka poster, mulai dari Ronaldo hingga Lazio. Mulai dari Hitler sampai Anjing Herder. Mulai dari Che Guevara sampai band Dewa. Mulai dari poster gadis semi-porno hingga Bung Karno. (roso daras)

Bung Karno dan ekspresi

Published in: on 20 Oktober 2009 at 17:33  Comments (8)  
Tags: , , ,