Kalau saja Ende sedekat Yogyakarta. Kalau saja Ende ada di Jawa, niscaya saya pasti mengunjunginya secara reguler. Berada di rumah pengasingan Bung Karno di Jalan Perwira, Ende, Flores, serasa berkunjung ke rumah orangtua, ke rumah guru, ke rumah sahabat sekaligus. Entahlah, aura apa yang ada di sana.
Berdiam di ruang depan, berada di ruang tamu, bahkan duduk-duduk di serambi belakang saja, rasanya ingin menghentikan detak-detik jarum jam. Bayangkan saja. Ketika berada di ruang depan, mengamati satu per satu koleksi peninggalan yang tersusun rapi di meja kaca, imaji langsung melayang ke suasana tahun 1934 – 1938. Terbayang juga suasana pengajian dua kali dalam seminggu di ruang itu. Bung Karno mendidik puluhan rakyat jelata dengan dogma-dogma Islam modern.
Berada di ruang tamu, sekaligus ruang kerja Bung Karno, terbayang jam-jam yang berlalu, saat Bung Karno dengan tekun menulis surat-surat Islam kepada T.A. Hassan. Terbayang saat-saat Bung Karno dengan serius menulis naskah-naskah tonil bagi klub tonil Kelimutu yang dibentuknya.
Di ruang tidur Bung Karno, selain tempat tidur, masih tersisa lemari kayu yang sudah lapuk, gantungan baju, dan sejumlah lukisan tua. Hmm… di kamar ini, Bung Karno menatap langit-langit kamar dengan sejuta gundah. Gundah akan masa depan perjuangan mencapai kemerdekaan yang dengan gigih ia kobarkan di Bandung. Gundah akan kepastian masa depan hidup dan kehidupannya. Masa depan bangsanya. Di kamar itu pula, Inggit dengan setia dan sabar memberinya dorongan semangat dengan elusan mesra seorang istri yang begitu setia dan mencintainya.
Berhadap-hadapan dengan kamar Bung Karno adalah kamar tempat tidur ibu mertua (Ibu Amsi) dan anak angkatnya, Ratna Djuami (Omi). Sungguh kamar yang mengguratkan kedukaan yang dalam. Di kamar itu, Bung Karno selama empat hari menunggui sakitnya Ibu Amsi. Menjaga ibu Amsi yang tak kunjung siuman. Bahkan meratapinya dengan tangis sejadi-jadinya demi akhirnya mengetahui ibu mertua terkasih, wafat di pangkuannya karena serangan malaria.
Tengoklah di bagian belakang. Ada sebuah ruang berukuran sekitar 2,4 x 3,5 meter, tempat yang awalnya digunakan Bung Karno untuk sholat dan berdzikir. Ruang yang pada lantainya masih tertinggal bekas telapak tangan dan kening ketika bersujud. Ketika Bung Karno membangun sebuha mushola kecil di belakang rumah, terpisah dari bangunan utama rumah, ruang itu digunakan Inggit untuk menjahit. Hmm, sungguh ruang kecil lagi sederhana yang menyimpan berjuta kenangan suram, dalam hari-hari hidup di pengasingan.
Pada bagian lain di belakang rumah, berderet sebuah ruang yang biasa dipakai istirahat para pembantu, kemudian dapur, dan kamar mandi, serta sumur tua yang airnya begitu segar diminum, meski tidak dimasak. Di area ini pula, Karmini, Encom, Riwu, Bertha dan sejumlah pembantu lain menjadi saksi atas hidup dan kehidupan Bung Karno dan keluarganya.
Suatu saat, ketika saya mengunjungi situs itu tengah malam, saya minta Safrudin atau yang akrab disapa Udin, penjaga situs, untuk mematikan semua lampu. Spontan rumah menjadi gelap. Bagian luar, cukup tersinari oleh lampu-lampu neon dari rumah-rumah tetangga. Menatap rumah dalam keadaan gelap, kemudian melayangkan pandangan ke langit… langit berawan. Selang beberapa saat, awan-awan itu bergerak menyingkir, lalu tampaklah berjuta bintang beradu terang dengan rembulan separuh bulatan.
Bagaimana hati saya tidak tertinggal di sana, demi melihat dan merasakan itu semua? Benar-benar sepanggal waktu, yang begitu berharga. Menyesal sekali, ketika tiga minggu berlalu, dan saya harus kembali ke Jakarta, seperti ada keengganan untuk beranjak dari rumah pengasingan itu.
Spontan terpikir, bagaimana saya bisa “hadir” di rumah pembuangan itu setiap saat? Saya menemukan satu ide kecil yang akhirnya meringankan langkah saya meninggalkan Ende. Ya, saya akan membuatkan sebuah brosur. Brosur buatan saya sendiri, brosur berisi ringkasan kisah tentang rumah pembuangan Bung Karno di Ende. Berisi juga beberapa reportase saya ke Nangaba, Kelimutu, Teluk Numba, dan lain-lain. “Udin, saya tidak melihat ada brosur di sini. Para pengunjung datang dan pergi tanpa bisa membawa selembar brosur pun. Bagaimana kalau saya buatkan brosur?” saya menawarkan kepada Udin sang penjaga.
Ya, Udin menerima dengan sangat baik. Sebab, sebagai situs yang dikelola pemerintah, statusnya yang honorer Kemendikbud, memang tak ada yang bisa dilakukannya kecuali bertugas sesuai tugasnya sebagai tenaga honorer penjaga situs rumah pengasingan itu. Ia juga mengakui, tidak adanya brosur, sehingga dirinya acap kewalahan untuk meladeni pertanyaan-pertanyaan para pengunjung. “Kalau ada brosur, tentu sangat baik,” sambutnya.
Begitulah. Dengan sedikit kebisaan menulis, memotret, mengoperasikan program pagemaker dan photoshop, kemudian memformatnya dalam bentuk PDF, jadilah brosur satu halaman bolak-balik dengan nuansa merah-putih. Saya mengemailnya ke percetakan langganan. Saat saya memposting tulisan ini, proses pencetakan sedang berlangsung. Insya Allah, seminggu lagi, brosur itu sudah ada di situs rumah pengasingan Bung Karno di Ende. Saya pun merasa tetap hadir di sana. Alhamdulillah. (roso daras)