Mengemas Bandung-Ende-Bengkulu

roso daras dan reza indragiri amriel-cropSuatu hari, Reza Indragiri Amriel berkirim pesan lewat Facebook. Tak lama hari berselang, Reza datang bersama temannya, Bara Setiaudi. Adu-bincanglah kami bertiga. Topiknya seputar ide menyelenggarakan paket wisata sejarah “Bandung-Ende-Bengkulu”.

Ah… mendengar tiga kota itu disebut, sontak pikiran jadi penuh sesak. Bandung dengan Studie-Club-nya, dengan Banceuy-nya, dengan PNI-nya, dengan Cinta Inggit-nya, dengan Sukamiskin-nya, bahkan dengan Marhaen-nya.

Ende? Ah, rumah tua di Ambugaga, makam keramat Ibu Amsi, pulau bunga di antah-berantah, malaria, Pancasila, Nangaba, Teluk Numba, Kelimutu… campur-aduk berdesak-desak di rongga kepala.

roso daras dan bara setiaudi-cropBengkulu? Cinta Fatma, Pantai Panjang, “insiden” di masjid, mendaratnya Jepang, kocar-kacirnya Belanda, perjalanan panjang ke Muko-Muko… entah apa lagi yang berdesak-desakan di ruang memori.

Sungguh tiga kota yang lekat-sarat dengan kenangan Bung Besar. Untungnya, Reza dan Bara tidak menambahkan Surabaya sebagai kota yang tak kurang bersejarahnya. Bukan saja ada memori ciuman pertama Bung Karno dengan noni Belanda Mien Hessels, tapi juga padat dengan aktivitas Sukarno mendampingi HOS Cokroaminoto, gurunya. Perdebatan konstruktif dengan Alimin, Kartosuwirjo, dan anak-anak didik Cokro lainnya di Gang Peneleh. Suka-duka menimba ilmu di HBS dengan selingan perkelahian dengan murid-murid berambut jagung lainnya.

Matahari sudah tergelincir ke barat, ketika Reza dan Bara berpamitan. Sepanjang itu pula, kami berdiskusi tentang kemasan tour sejarah ke Bandung – Ende – Bengkulu selama lima hari empat malam. Cukup padat memang. Bara mengemas dalam bentuk proposal kegiatan yang menarik. Intinya, tinggal dimatangkan, dan digulirkan. Juni, bulan Bung Karno yang akan datang, rencana itu ditargetkan harus berjalan. Tidak penting berapa orang pesertanya. (roso daras)

 

Published in: on 1 April 2016 at 12:01  Comments (2)  
Tags: , , , , ,

Tan Malaka, Bung Hatta, dan Hamka

Alhamdulillah…. Terima kasih Tuhan, yang telah memperkenankan saya menjejakkan kaki di bumi kelahiran para bapak Bangsa di Sumatera Barat. Sejumlah tokoh kemerdekaan dari ranah Minang tak cukup dihitung dengan jari. Sejumlah nama yang banyak dikenal adalah Agus Salim, Tan Malaka, Bung Hatta, Sjahrir, Buya Hamka, dan masih banyak lagi lainnya.

20140628_181825

Rumah Tan Malaka adalah yang pertama saya tuju. Alasannya sederhana, di antara Hatta, Tan Malaka, dan Hamka, maka rumah Tan Malaka-lah yang terjauh. Hitungan terjauh diukur baik dari Padang, ataupun Bukittinggi. Lokasi persisnya di Desa Pandan Gadang, Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten Lima Puluh Kota. Akan tetapi, masyarakat setempat lebih akrab menyebut kawasan itu Suliki.

20140629_090355

Berada di rumah Tan Malaka hingga larut, sebelum memutuskan kembali ke Bukittinggi. Keesokan paginya, berbekal peta kota Bukittinggi, saya berjalan kaki menuju situs rumah kelahiran Bung Hatta. Letaknya persis di pinggir jalan raya. Persisnya di Jalan Soekarno-Hatta No. 37, Bukittinggi, Sumbar. Tidak jauh dari rumah itu, terdapat pasar kota. Saya spontan bergumam, “Kalau Tan Malaka wong ndeso, maka Hatta anak kota….”

20140629_132257

Sebuah rumah gadang yang sangat-sangat indah…. Di sinilah Buya Hamka dilahirkan. Bangunan yang sudah menjadi aset bersejarah itu, masih terawat rapi. Berisi benda-benda peninggalan keluarga Hamka. Yang lebih istimewa adalah lokasi rumahnya yang terletak di bibir danau Maninjau. Jika mengunjungi kediaman Hamka dari Bukittinggi, maka kita akan melalui jalan Kelok-44 yang fantastis.

Sekian pengantar tentang ketiga orang besar yang selama hidupnya juga mengalami persinggungan dengan Bung Karno. Insya Allah, pada postingan berikut, kita bisa melihat dari dekat ketiga situs tersebut. Bagaimana dengan Agus Salim dan Sjahrir? Sayang, kedua pendiri bangsa itu “hanya” memiliki kampung kelahiran, tetapi tidak memiliki rumah petilasan. (roso daras)

Published in: on 20 Juli 2014 at 07:04  Comments (2)  
Tags: , , , ,

Huijtink, Bouma, dan Bung Karno

huijtink-bouma-sukarno

Adalah Pastor P. Gerardus Huijtink, yang banyak disebut Bung Karno, ketika berbicara tentang masa-masa pembuangannya di Ende (14 Januari 1934 sampai 18 Oktober 1938). Seorang pastor lain yang juga diingat dengan baik oleh Bung Karno adalah Pastor Dr. Jan (Johanes) Bouma. Kedua orang Belanda inilah yang menjadi teman berbincang sekaligus lawan diskusinya.

Sungguh bukan hal sulit bagi seorang Sukarno untuk bisa lekas menjadi “sahabat”, sekalipun kepada orang yang berbeda kewarganegaraan, berbeda suku, bahkan berbeda agama. Saat itu, sebagai orang buangan politik, Bung Karno diawasi sangat ketat. Opas Belanda melakukan pengawasan 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu…. Jika hendak keluar melebihi radius 2 kilometer dari Kota Ende, ia harus mengajukan izin kepada meneer Residen Ende.

Ketika itu, penduduk kota Ende tak lebih dari 5.000 jiwa. Sebagian besar di antara mereka adalah kaum petani, nelayan, buruh kasar, dan rakyat jelata dengan pekerjaan rendah. Sebagian kecil lainnya adalah pejabat Belanda di karesidenan Ende, para ambtenar, para pemilik toko (umumnya keturunan Cina, Makassar, bahkan Arab), dan keluarga raja. Bagian terkecil yang lain adalah komunitas paroki yang terdiri atas pastor-partor dan bruder-bruder.

Di bagian terbesar dari penduduk Ende tadi, sebagian besarnya terdiri atas rakyat yang takut mendekati Bung Karno. Bukan saja karena dia distigmakan sebagai orang berbahaya, lebih dari itu, siapa saja yang berani menemuinya, apalagi berbicara, kontan digelandang ke kantor polisi untuk diinterogasi. Jadi, lazim terjadi, seseorang warga jelata, yang mendadak balik kanan, belok kanan, atau belok kiri ketika sadar akan berpapasan dengan Bung Karno.

Sedangkan kelompok ambtenar dan keluarga raja, adalah kelompok yang sedikit terpelajar tetapi terkadang sikapnya lebih Belanda dari orang Belanda. Awalnya, mereka bahkan membuang muka, atau bahkan meludah setiap melihat Bung Karno. Sedangkan golongan pedagang yang terbilang kaya, para pemilik toko, sikapnya lebih pragmatis: “Ane jual, ente beli, abis perkara….”

Adapun lingkungan paroki, cenderung memiliki concern sendiri dengan misi yang mereka emban. Dalam banyak hal, kehidupan paroki relatif steril dari kepentingan penjajah. Ini terlihat dari sejarah panjang kepastoran di Ende, hingga fase datangnya Bung Karno. Seperti ditulis sosiolog Flores, Ignas Kleden dalam hidupkatolik.com, ketika Soekarno tiba di Ende pada 1934, Flores dan Timor sudah menjadi wilayah misi biarawan SVD (Serikat Sabda Allah), setelah terjadi peralihan misi dari para biarawan Jesuit.

Proses peralaihan itu tercatat pada tanggal 1 Maret 1913 di Lahurus, Timor. Serah-terima ini membutuhkan waktu. Dua imam Jesuit, P. Hoeberechts SJ dan P. van de Loo SJ, baru meninggalkan Larantuka di Flores Timur pada 1917, sedangkan empat imam Jesuit dan dua bruder Jesuit meninggalkan Sika-Maumere dan kembali ke Jawa pada bulan Desember 1919 dan Februari 1920.

Para biarawan SVD kemudian melanjutkan pembangunan Gereja Katolik di Ende. Paroki pertama di Ende terbentuk pada 1927, dan seorang pastor paroki pertama di sini adalah P. Gerardus Huijtink SVD. Sedangkan Bouma menjabat Pemimpin para Pastor Serikat Sabda Allah (SVD) se-Flores.

Tujuh tahun kemudian, di tahun 1934 datanglah Sukarno di Ende. Sejarah mencatat mereka lantas terlibat persahabatan rapat. Persahabatan terjalin karena berpautnya banyak faktor. Bung Karno memerlukan teman diskusi yang seimbang. Para pater membutuhkan teman bicara yang dalam berdialog bisa terjadi tanya-jawab, umpan-balik, dan perdebatan. Sesuatu yang tidak didapatkan ketika mereka menjalankan tugas misi, hingga ketika mereka melakukan kunjungan ke stasi-stasi.

Stasi adalah istilah kewilayahan dalam Gereja Katolik. Ibadat atau misa di stasi masih tergantung jadwal imam dan diakon di Paroki yang menaunginya. Stasi juga bisa terbentuk kelompok doa. Nah, sebagai wilayah binaan, tentu saja para pastor sering melakukan kunjungan ke stasi-stasi yang tersebar di wilayah Ende.

Kedekatan Bung Karno dengan Huijtink dan Bouma setidaknya bisa dilukiskan dengan kepercayaan Huijtink yang begitu besar kepada Bung Karno. Diriwayatkan, ketika mereka sudah begitu dekat, tak jarang Huijtink menitipkan kunci pintu ruang kerjanya kepada Bung Karno. Maksudnya adalah, jika Bung Karno memerlukan bacaan yang ada di ruang kerjanya, ia bisa datang kapan saja, dan membaca sepuasnya. (roso daras)

Published in: on 14 Oktober 2013 at 02:27  Comments (1)  
Tags: , , ,

Bung Karno dan Pesona Teluk Numba

Dalam empat tahun lebih masa pembuangannya di Ende, Bung Karno mengisinya dengan menikmati keindahan alam setempat. Salah satu objek pemandangan yang sangat disenangi adalah Teluk Numba, sekitar 12 kilometer ke arah barat dari kota Ende. Ia bahkan meminta pelukis besar, Basuki Abdullah untuk menuangkannya ke dalam kanvas, kemudian mengoleksinya sebagai kenang-kenangan bersejarah.

Ini memang tulisan tentang salah satu objek lukisan berjudul “Pantai Flores” karya pelukis besar Basuki Abdullah. Lukisan itu, bisa dipastikan sangat spesial. Setidaknya, itu adalah salah satu lukisan yang dikoleksi Bung Karno, dan dipajang di ruang tengah Istana Bogor. Perhatikan foto berikut:

Omi-BK-Asmarahadi-Teluk Numba

Foto Bung Karno diapit anak angkat kesayangan, Ratna Djuami atau akrab disapa Omi (meninggal 23 Juni 2013), dan suaminya, Asmarahadi. Foto ini diambil tahun 1956, di Istana Bogor. Bung Karno secara khusus mengajak Omi dan Asmarahadi berfoto dengan latar belakang lukisan “Pantai Flores” yang tak lain adalah Teluk Numba ankah itu sangat menyentuh? Inilah lukisan aslinya:

Pantai Flores - Basuki Abdullah

Omi, sangat boleh jadi, dan bisa dipastikan, turut serta ke Teluk Numba, menemani papinya menikmati keindahan Teluk Numba. Asmarahadi? Bisa jadi ada di Teluk Numba pula saat Bung Karno ke sana. Sebab, Asmarahadi sempat dipanggil ke Ende oleh Bung Karno untuk mengajar Omi dan Kartika (anak angkat Bung Karno – Inggit yang lain), agar tidak tertinggal pendidikannya, meski berada di tanah buangan. Bung Karno tegas-tegas menolak menyekolahkan Omi di sekolah Belanda yang ada di Ende.

Kembali ke foto bersejarah itu. Perhatikan latar belakangnya. Itulah lukisan Basuki Abdullah yang dipesan khusus oleh Bung Karno. Lalu, perhatikan foto Teluk Numba 12 Oktober 2013 di bawah ini. Kiranya, dari sudut inilah Basuki Abdullah melukis “Pantai Flores” yang tak lain adalah Teluk Numba.

Teluk Numba kini

Ya, kiranya, inilah objek lukisan yang digemari Bung Karno karena nilai sejarahnya. Bagi pelalu-lintas rute Ende – Labuan Bajo, tentu akrab dengan pemandangan ini. Sebab, letak Teluk Numba di bibir jalan provinsi antarkota di Flores bagian selatan. Dari pusat kota Flores, berjarak kurang lebih 12 kilometer ke arah barat. Tidak terlalu jauh dari lokasi sungai Nangaba, tempat Bung Karno gemar berendam.

Di sepanjang jalur Ende – Teluk Numba, dan masih jauh setelahnya, sangat banyak pemandangan yang begitu indah, perpaduan dari gunung karst di kanan jalan, dan hamparan laut di kiri jalan. Nah, yang menarik adalah, alam seperti sudah menyediakan space untuk menikmati keindahan pemandangan Teluk Numba. Titik pandang foto itu, diambil dari semacam semenanjung, yaaa… tepatnya tanah-lebih yang menjorok ke arah laut, sehingga bisa untuk memarkir kendaraan, dan turun menikmati keindahan Teluk Numba. Tanah lapang yang saya maksud seperti tampak dalam foto di bawah ini. Di pinggir kanan foto itulah tanah lapang tempat Basuki Abdullah melukis dulu.

Sayang, dalam buku “Koleksi Lukisan Bung Karno” yang terdapat lukisan “Pantai Flores” karya Basuki Abdullah itu, tidak menyebutkan tanggal kapan dilukis. Jika Basuki Abdullah berangkat ke Ende (untuk melukis Teluk Numba) bersama Bung Karno, ada dua kemungkinan, yakni tahun 1950 dan 1954.

DSC04689

Jika saja kita layangkan imajinasi ke tahun antara 1934 – 1938, bentang waktu selama Bung Karno dibuang di Ende, yang pertama terlintas di benak adalah, “Bung Karno memang tidak bisa diam berpangku tangan”. Di tanah interniran ini, ia gunakan waktu sebaik-baiknya. Dari yang lazim diketahui, tentang perenungannya di bawah pohon sukun, tentang aktivitasnya melatih grup tonil Kelimutu, tetapi kini kita tahu, bahwa Bung Karno juga memanjakan dahaga mereguk indahnya Indonesia melalui kunjungan ke lokasi-lokasi yang memang sangat indah.

Seperti kata Bung Karno kepada penulis biografinya, Cindy Adams, dia akan menghela nafas panjang manakala menyaksikan indahnya bumi Indonesia. Tahun 30-an, kawasan Teluk Numba tentunya jauh lebih alami, jauh lebih indah. Belum ada hiruk-pikuk kendaraan bermotor. Dan Bung Karno pun bisa menikmati Teluk Numba dari “semenanjung” kecil yang tampak di foto atas.

Roso Daras di Teluk NumbaEnde benar-benar menjadi bumi inspirasi bagi Bung Karno. Inspirasi bagi gagasan landasan negara yang kemudian dikenal dengan Pancasila, maupun inspirasi bagi lahirnya karya-karya seni dari otak dan tangannya. Ia menulis belasan naskah tonil. Ia melukis set-dekor panggung pertunjukan tonil. Ia melukis berbagai objek alam dan kehidupan manusia, di atas kanvas. Ia menanam bunga dan sayuran. (roso daras)

Published in: on 13 Oktober 2013 at 10:16  Comments (3)  
Tags: , , , , , ,

Nangaba, Pemandian Bung Karno

Bung Karno berenang di NangabaBung Karno (tertawa) dan enam orang sahabatnya, berendam di Nangaba.

Nangaba, sebuah sungai yang mengalir jernih, terletak sekitar delapan kilometer dari kota Ende. Di tempat inilah dulu, semasa pembuangan antara tahun 1934 – 1938, Bung Karno dan kawan-kawan sering menghabiskan waktu untuk berendam. Ya, berendam, karena airnya relatif dangkal, sehingga kurang pas kalau disebut berenang, bukan?

Dalam foto kenangan di Nangaba, Bung Karno tampak paling kanan, di antara enam kawan yang lain. Di kejauhan, tampak seseorang berbaju putih, berdiri di tengah sungai, dengan kedalaman selutut saja. Kini, sekitar 76 – 79 tahun kemudian, di tahun 2013, suasana di Nangaba tentu saja tidak serimbun dulu.

Masyarakat sekitar menceritakan, dulu, di Sungai Nangaba banyak sekali batu besar berdiameter satu hingga dua meter. Kini, pemandangan itu tak ada lagi. Kalaupun ada batu besar, diameternya tak lebih dari setengah meter. Itu pun relatif tidak banyak. Sekalipun begitu, menurut warga sekitar, kodisi dasar sungai, relatif sama. Yakni terdiri dari bebatuan aneka warna.

Melihat dari permukaan, sangat jelas terlihat batu-batu di dasar sungai yang begitu indah karena corak dan warnanya yang beragam. Ukuran batu di dasar sungai, dari yang seujung jempol, sampai yang sekepal-dua-kepalan tangan. Di sana-sini tampak ikan-ikan kecil berenang kian-kemari dengan gesitnya. Di dinding batu besar, biasanya menempel ikan-ikan kecil. Ya, menempel seperti lintah. Entah jenis ikan apa, dan apa pula namanya.

Dulu, menurut penuturan anak angkatnya, Kartika, kalau Bung Karno nyemplung Sungai Nangaba, ia langsung memerintahkan teman-teman, termasuk Kartika, Ratna Djuami, membuat tanggul dari batu-batu yang ada. Dengan membedung sungai, sekalipun air tetap saja mengalir, setidaknya bisa meninggikan permukaan air di tempat Bung Karno berendam. Walhasil, jika kita perhatikan foto di atas, dalam posisi duduk, permukaan air bisa seleher.

Begitu rimbun alam sekitar, serta begitu jernih air sungai yang mengalir, membuat siapa pun akan menikmati suasana Nangaba. Tidak salah, Bung Karno sang pecinta keindahan itu begitu gemar mandi di sini, sampai-sampai menyempatkan diri mengajak teman-teman dan juru foto….

Hingga tahun 70-an, menurut penuturan masyarakat di sana, acap orang datang berendam dengan tujuan “ngalap berkah” Bung Karno. Ada yang berendam malam-malam, ada pula yang berendam siang-siang. Maklum, bagi sebagian masyarakat Ende, nama Bung Karno begitu dimuliakan. Bahkan bagi sebagian orang, hingga periode tertentu, Bung Karno cenderung dikultuskan.

Roso Daras di NangabaKini? Nangaba masih Nangaba. Beda masa, sudah beda pula pemandangannya. Kondisi air memang masih sangat-sangat jernih, tetapi pinggiran sungai tidak begitu bersih. Banyak sampah plastik di sana.

Di beberapa ruas sungai, tampak aktivitas sehari-hari masyarakat. Ada orang mencuci mobil, ada sekelompok perempuan mencuci pakaian, ada pula sekelompok anak bermain-main. Dan, …ada pula pemilik blog ini yang berendam di sana….. (roso daras)

Published in: on 10 Oktober 2013 at 09:04  Comments (3)  
Tags: , , , , , ,

Rumah Ende, 20 Tahun Kemudian

rumah ende

Perhatikan caption (keterangan foto) di atas: “Pengresmian rumah museum (bekas rumah kediaman Bung Karno di Ende) oleh P.J.M. Presiden Rep. Indonesia, pada hari Minggu, tgl 16 Mei 1954.”

Akhirnya, 20 tahun kemudian, Bung Karno “pulang” ke rumah Ende. Bukan sebagai orang interniran (buangan) penjajah seperti yang ia alami tahun 1934, tetapi sebagai Presiden Republik Indonesia, pada tahun 1954.

Sejak itu, rumah tadi menjadi situs peninggalan sejarah yang dipelihara pemerintah. Sebelumnya, Bung Karno sudah meminta Kepala Daerah Flores di Ende, Monteiro untuk melakukan proses pembelian rumah yang terletak di kawasan bernama Ambugaga itu. Monteiro pun langsung menghubungi sang pemilik, salah satu orang berada di sana, Haji Abdul Amburawuh. Transaksi pun terjadi, dan selanjutnya, menjadi aset pemerintah hingga sekarang.

Membayangkan peta kota Ende, tahun 1934, barangkali kawasan Ambugaga terbilang jauh kemana-mana. Tetapi dalam peta kota sekarang, rumah yang oleh ibu Inggit dilukiskan sebagai cukup luas, tetapi beratap pendek, dan pengap di dalamnya itu, berada di tengah kota. Jalan di depannya sudah beraspal. Jalan Perwira, adalah nama jalan yang melintang di depan rumah bersejarah itu.

Jika dahulu ada kesan jauh, bisa dimaklumi, karena jarak antar satu rumah dan rumah lain berjauhan. Dengan kata lain, populasi kota Ende belum sepadat sekarang. Padahal, kalau berbicara dari ukuran atau jarak, nyata, bahwa lokasi itu relatif dekat ke mana-mana.

Menyandingkan foto lama dengan foto sekarang, tampak benar bedanya. Pada foto lama, masih tampak latar belakang pepohonan, tetapi sekarang nyaris tak berpohon. Kiri-kanan-depan-belakang sudah padat dengan perumahan warga. Sayang memang, rumah bersejarah itu tidak dikembalikan pada keluasan semula. Kalau saja pemerintah membebaskan rumah-rumah di sekelilingnya, setidaknya masyarakat sekarang bisa melihat kondisi rumah itu dalam perspektif yang sebenarnya.

Kini, dengan dikelilingi pagar tembok, “rumah Bung Karno” di Ende itu lebih bersih. Menilik ruang-ruang di dalamnya, jauh dari kesan pengap. Apalagi di halaman belakang…. Lebih tertata rapi. Ya, tentu saja telah dilakukan penggantian material rumah. Tetapi otoritas pemugar rumah itu cukup baik, dengan tidak merombak struktur bangunan inti. Hanya sayang, mushola yang dibangun Bung Karno di sudut belakang rumah sudah hilang, dan beralih fungsi menjadi rumah warga.

Setidaknya, Bung Karno telah “menyelamatkan” situs itu menjadi peninggalan bersejarah. Dalam catatan, setidaknya dua kali Bung Karno (selama menjadi Presiden RI) berkunjung ke Ende. Dan dalam dua kali kunjungannya itu, selalu saja Bung Karno memanfaatkannya untuk mengenang masa-masa pembuangan di Ende. Salah satunya, dengan mengistirahatkan pasukan pengawal. Bung Karno minta dicarikan Riwu Ga, ya, putra Sabu yang ikut keluarga Bung Karno – Inggit, bahkan menyertainya hingga Bengkulu, sebagai “penjaga”-nya.

Riwu, pemuda Sabu, adalah pembantu setia Bung Karno, yang dalam perannya, acap bertugas pula sebagai pengawal sekaligus penjaga. Selama kunjungannya, Bung Karno menginap di rumah negara (rumah dinas kepala daerah), Riwu pun dihadirkan. Apakah untuk kembali mengawal Bung Karno? Itu barangkali bahasa resminya. Tetapi, hampir dapat dipastikan, Bung Karno hanya ingin bernostalgia bersama Riwu. Dengan Riwu di sisinya, maka keberadaan Bung Karno di Ende, tentu menjadi lebih bermakna. (roso daras)

foto di rumah ende

Foto lama. Duduk, Ibu amsi (kiri) dan Inggit Garnasih (kanan). Berdiri, dari kanan: Bung Karno, Asmarahadi, Ratna Djuami (Omi). Paling kanan, sahabat Bung Karno di Ende bersama istrinya (berdiri nyender di samping kanan Ibu Amsi). Hingga tulisan ini posting, belum terkonfirmasi nama kedua sahabat keluarga Bung Karno di Ende itu.

DSC04592

Jika foto lama di atas diambil dari sisi kiri rumah, maka foto tahun 2013 di atas, diambil dari sisi kanan. Bentuk masih asli. Dan tentu saja lebih terawat, setelah mengalami restorasi seperlunya.

DSC04594

Berfoto di samping rumah pembuangan Bung Karno di Ende. Dari kiri: Peter A. Rohi (wartawan senior), Tito Asmarahadi (putra ke-4 pasangan Ratna Djuami – Asmarahadi), Roso Daras.

Published in: on 10 Oktober 2013 at 02:09  Comments (5)  
Tags: , , , , ,

Indahnya Kelimutu

IMG-20131001-01263Pintu gerbang masuk ke kawasan Taman Nasional Kelimutu.

IMG-20131001-01265Jalan mendaki ke Gunung Kelimutu.

IMG-20131001-01266Ambil arah kiri… Kawah hijau dan biru bisa dilihat dari atas tiang petunjuk ini. Lihat jejak pendakian pengunjung. Jika beruntung, bisa sampai ke atas menikmati sensasi keindahan kawah dua warna (hijau dan biru cerah). Sebaliknya jika Anda kurang beruntung, akan langsung dipergoki petugas jaga yang segera menghardik dan mengusir Anda turun. Maksudnya baik, supaya Anda selamat dan tidak tergelincir masuk kawah…..

IMG-20131001-01268Alhamdulillah, saya beruntung bisa mendaki ke “rute terlarang” tadi dan kebetulan tidak ada petugas jaga, sehingga bisa mendapatkan pemandangan yang sangat-sangat indah ini, dari bibir kawah berwarna hijau.

IMG-20131001-01296Ini kawah dua warna dari sudut  yang lain. Satu kawah lagi yang berwarna hitam, terletak cukup jauh dari kedua kawah ini. Nanti Anda akan menyaksikannya.

IMG-20131001-01353Masih pemandangan kawah dua warna, dari sudut pengambilan bibir kawah yang berwarna biru  cerah.

IMG-20131001-01375IMG-20131001-01380Jalan mendaki ke puncak. Di atas (tampak kecil) monumen berupa tugu. Dari puncak sana, kita bisa memandang tiga kawah beda warna. Menengok ke arah kanan kita melihat kawah dua warna, dan menengok ke kiri, melihat satu kawah yang berwarna hitam, seperti foto di bawah ini.

IMG-20131001-01383Inilah kawah berwarna hitam. Masyarakat setempat percaya, Bung Karno pernah menuruni tebingnya, dan “nyemplung” ke kawah ini. Ketiga kawah, oleh masyarakat setempat sangat disakralkan.

IMG-20131001-01384Tugu di puncak Kelimutu. Dari sini, ke mana pun pandangan ditebar, yang tampak hanya keindahan dan keindahan. Tentu bukan suatu kebetulan, jika kemudian Bung Karno sang pecinta keindahan itu dibuang ke Ende. Alam Ende yang begitu indah, adalah spirit bagi Bung Karno untuk tidak berhenti berpikir. Memikirkan “Indonesia merdeka”. (roso daras)

Published in: on 8 Oktober 2013 at 04:22  Comments (2)  
Tags: , ,

Bung Karno dan Kelimutu

monyet di kelimutu

Bagi masyarakat Ende atau Flores pada umumnya, nama Kelimutu sangat lekat dengan Bung Karno. Selain karena nama itu kemudian diabadikan dalam nama grup sandiwara (tonil) pimpinan Bung Karno selama pembuangan di Ende, Bung Karno juga relatif sering rekreasi ke Kelimutu diiringi keluarga dan teman-temannya.

Nah, berikut sekilas tentang Kelimutu. Gunung Kelimutu, Ende, Flores, termasuk gunung berapi yang masih aktif. Perubahan warna air dari masing-masing danau merupakan indikasi adanya aktivitas tersebut. Berdasarkan catatan sejarah aktivitas vulkanik Gunung Kelimutu tidak begitu banyak. Umumnya kegiatan vulkanik yang terjadi berupa letusan freatik dan perubahan warna air danau kawah. Tercatat aktivitas vulkanik Gunung Kelimutu sejak tahun 1830 sampai dengan 1997 sekitar 11 kali aktivitas vulkanik.

Ketiga danau kawah selalu mengalami perubahan warna air. Perubahan warna air kawah itu erat terkait dengan aktivitas vulkanik dan perubahannya tidak memiliki pola yang jelas tergantung kegiatan magmatiknya. Kalangan ilmuwan dan peneliti memberikan informasi bahwa kandungan kimia berupa garam besi dan sulfat, mineral lainnya serta tekanan gas aktivitas vulkanik dan sinar matahari adalah faktor penyebab perubahan warna air.

Sebagai gunung api aktif, perubahan warna air kawah merupakan salah satu parameter yang dipakai dalam penentuan status kesiapsiagaan bencana gunung api. Perubahan warna air tercatat dari tahun 1915 sampai dengan 2011.

Kawah Tiwu Ata Polo (saat ini kawah berwarna hijau dengan luas 4 hektare dan kedalaman 64 meter) telah mengalami sekitar 44 kali perubahan warna, Tiwu Nua Muri Koo Faai (saat ini berwarna biru cerah, seluas 5,5 hektare dan kedalaman 127 meter) sekitar 25 kali perubahan warna, Tiwu Ata Mbupu (kawah yang saat ini berwana hitam, seluas 4,5 hektare dan kedalaman 67 meter) telah mengalami sekitar 16 kali perubahan warna.

Sedikit berbeda dengan sikap masyarakat tradisional, yang masih mengaitkan hal-hal gaib di seputar Kelimutu. Bahkan masyarakat di sekitar Kelimutu percaya, Bung Karno memiliki tempat khusus di bawah kawah Tiwu Ata Polo dan Tiwu Nua Muri Koo Faai yang biasa digunakan untuk bersemedi. Sementara di kawah yang berwarna hitam, masyarakat percaya, Bung Karno pernah turun dan masuk ke kawah tersebut.

Satu hal yang menarik adalah berkembang-biaknya monyet-monyet di hutan sekitar gunung Kelimutu. Diyakini, monyet-monyet itu adalah keturunan dari monyet yang pertama kali dilepas Bung Karno di sana, antara 1934 – 1938. Daripada berpanjang-panjang narasi, lebih menarik kalau kita lihat foto-foto yang saya abadikan dari kamera handphone….. (roso daras)

IMG-20131001-01294Kawah Tiwu  Ata Polo  dan Tiwu Nua Muri Koo Faai.

 

IMG-20131001-01383Kawah Tiwu Ata Mbupu

Published in: on 8 Oktober 2013 at 00:55  Comments (3)  
Tags: , , ,

Makam Ibu Amsi “Terancam”

Tito Asmarahadi di makam Ibu AmsiSudah lebih seminggu di Ende, rasanya kurang afdol kalau tidak berziarah ke makam ibu Amsi, ibu mertua Bung Karno, ibunda Inggit Garnasih. Ibu Amsi termasuk dalam rombongan yang menyertai Bung Karno melakoni pembuangan ke Pulau Bunga (Flores), tepatnya di Ende tahun 1934.

Sebelum mengembuskan napas terakhir pada 12 Oktober 1935, ibu Amsi sempat tergolek tak sadar diri selama lima hari. Dan selama itu pula, Bung Karno setia mendampinginya bersama Inggit. Pada saat bersamaan, anak angkat kesayangan mereka, Ratna Djuami, juga mengalami sakit yang sama. Sungguh sebuah kerundung duka yang menyesakkan dada.

Seperti dituturkan Inggit dalam buku “Kuantar ke Gerbang”, ibu Amsi tidak berwasiat apa pun sebelum meninggal dunia. Inggit hanya merekam pembicaraan yang terjadi di perjalanan naik kereta api ekspres Bandung – Surabaya, sebelum akhirnya mereka naik kapal menuju lokasi interniran di Ende, Pulau Bunga (Flores). Ketika itu, ibu Amsi bertutur, “Jika saya meninggal dunia di sana (Ende), maka kuburkanlah di sana.”

Menjelang ajal, ibu Amsi memang tak sadar diri. Inggit sendiri dalam hati sudah mengikhlaskan, seandainya Tuhan yang Maha Kuasa berkehendak mengambil sang bunda. Tapi toh, hantaman duka cita itu begitu menohok ketika akhirnya ibu Amsi benar-benar wafat di pangkuan Bung Karno.

Ibu Inggit berusaha keras menahan air mata. Demikian pula Ratna Djuami, yang meski belum sembuh benar, bangkit demi mengetahui neneknya wafat. Tak ada air mata. Inggit telah mendidik Omi, untuk tidak menitikkan air mata saat melayat jenazah. Demikian pula anak angkat yang lain, Kartika. Meski masih kecil, dia sudah pandai menghayati ajaran ibu angkatnya, ibu Inggit. Sebaliknya, Bung Karno yang menitikkan air mata. Bung Karno begitu mencintai ibu mertua, sama besar seperti ibu Amsi mencintai anak menantu yang dibanggakan itu.

Jarak rumah duka ke pemakaman kurang lebih dua kilometer. Dalam biografi Bung Karno maupun ibu Inggit, foto-foto yang ada menampakkan lokasi makam yang terletak di tengah hutan dalam dataran tinggi. Bung Karno pun melukiskan, ia bersama rekan-rekan anggota tonil Kelimutu yang menggotong jenazah Ibu Amsi naik lereng gunung, masuk ke tengah hutan.

Tentu saja, 7 Oktober 2013, saat saya menziarahinya, suasana itu tidak ada lagi. Kini, lokasi makam ibu Amsi boleh dibilang berada di tengah kota Ende. Akses ke lokasi pekuburan pun relatif mudah dijangkau. Mobil bisa parkir tak jauh dari pintu makam. Ya, di lokasi itu, kini menjadi pemakaman umum.

Ketika tiba di lokasi, tampak kegiatan sejumlah pekerja yang diawasai dua orang mandor. Rupanya, mereka adalah para pekerja yang tengah mengerjakan pemugaran makam ibu Amsi. Ketika terlibat obrolan, betapa kaget dan masygul hati ini, demi melihat gambar renovasi yang  menghilangkan batu nisan maupun tulisan tangan Bung Karno. “Ya, kami akan tutup makam ini, dan membangun makam baru di atasnya,” ujar sang mandor.

Apakah itu berarti, prasasti yang dibikin sendiri  oleh tangan Bung Karno  juga akan ditimbun? “Benar,” jawabnya enteng. Apakah batu-batu yang berjumlah 21 yang kesemuanya dibawa oleh Bung Karno dan teman-temannya juga akan ditimbun? “Ya, benar, pokoknya sesuai gambar. Saya hanya mengerjakan sesuai perintah,” ujar sang mandor. Dan sesuai gambar, dia akan mengurug semua bangunan makan asli. “Kalau nanti ada yang bertanya aslinya, ya masih ada. Silakan dibongkar,” ujarnya enteng.

Bukankah dengan demikian pemugaran ini justru akan menghilangkan nilai sejarah makam ini? Bukankah dengan demikian pemugaran  ini justru akan menghilangkan peninggalan Bung Karno? Bukankah dengan demikian pemugaran  ini justru akan mengubur sejarah itu sendiri? Bukankah dengan demikian pemugaran ini justru sama dengan upaya menghilangkan salah satu jejak Bung Karno di Ende?

Sang mandor sempat terpekur. Dia pun menyadari hal itu. Akan tetapi, kuasa mengubah gambar bukan ada di tangannya. “Pemborongnya dari Jakarta. Gambar ini juga saya terima dari Jakarta,” ujarnya. Ketika ditanya, apakah pemborong maupun penggambar desain makam pernah berkunjung ke makam ibu Amsi? Dijawab, “Mereka belum pernah datang ke sini.”

Saya yang berziarah bersama keluarga almarhumah, yakni Bung Tito Asmarahadi (cicit atau buyut Ibu Amsi, karena dia putra dari Ratna Djuami), dan wartawan senior Peter A. Rohi, merasa “ketiban mandat”. Tentu bukan suatu kebetulan, kalau kita ditakdirkan berziarah di saat mereka sedang bekerja hendak mengurug makam ibu Amsi. Ini semacam mandat agar kita mencegah rencana pemugaran dengan gambar atau desain yang ngawur itu.

Kami sepakat berusaha agar pemugaran itu sebisa mungkin tidak mengubur bangunan asli, terlebih menenggelamkan batu nisan dan pahatan tangan karya Bung Karno. Sang mandor yang mulai paham konteks sejarah, mulai mengerti. Dia bahkan menyarankan untuk mengambil titik nol pengurugan dari bawah (dasar) bangunan nisan ibu Amsi. “Tapi konsekuensinya, di bagian atas harus dipangkas agar permukaan makam lebih tinggi. Itu tentu menyalahi gambar, dan ada konsekuensi biaya tambahan,” ujarnya. Khas bahasa pemborong….

Semoga saja, upaya mencegah penghapusan jejak sejarah Bung Karno di makam Ibu Amsi berhasil. Namun jika gagal, dan akhirnya makam ibu Amsi dipugar sesuai dalam gambar si mandor tadi, maka dengan ini saya nyatakan, “Terkutuklah siapa pun yang terlibat dalam pemugaran makam ibu Amsi, yang tidak tahu sejarah itu!!!” (roso daras)

roso daras di makam ibu amsi

Published in: on 7 Oktober 2013 at 10:30  Comments (3)  
Tags: , , ,

“Hartono KKO”, Tragedi Loyalis Bung Karno

Pertama, saya harus menulis “Hartono KKO” untuk membedakan antara Letnan Jenderal (KKO) Hartono dengan nama-nama Hartono lainnya. Dia adalah satu di antara sekian banyak jenderal loyalis Bung Karno. Dia adalah satu di antara elite militer negeri kita pada masanya, yang begitu loyal kepada presidennya. Ucapan yang terkenal dari Hartono adalah, “Putih kata Bung Karno, Putih kata KKO. Hitam kata Bung Karno, Hitam kata Bung Karno”. Akibat statemen itu, tak lama kemudian di Jawa Timur, prajurit KKO berdemo dan membentang poster bertuliskan, “Pejah-gesang Melu Bung Karno”… yang artinya, Mati-Hidup Ikut Bung Karno. Ini adalah nukilan sejarah yang terjadi tahun 1966.

Tahun 1966 adalah tahun genting. Tahun transisi pemerintahan dari Bung Karno ke Soeharto. Dengan dukungan Kostrad (baca: Angkatan Darat), serta back-up asing, Soeharto makin mengukuhkan dominasi politiknya. Melalui jalan merangkak, satu per satu kekuataan Bung Karno dipreteli. Kewenangan yang dikebiri, hingga penggantian sebagian besar anggota DPR-MPR dengan kader-kader karbitan yang pro Soeharto, sehingga memuluskan semua proses penggulingan Bung Karno, yang seolah-olah konstitusional.

Kembali ke Hartono KKO. Dia termasuk elite militer yang mengetahui adanya gelagat mencurigakan sebelum peristiwa Gestok. Bukan itu saja, Hartono juga termasuk yang mencurigai Soeharto sebagai “master mind” di balik Gestok. Pernah suatu hari, dia bersama Waperdam Chaerul Saleh diutus Bung Karno untuk menyampaikan sepucuk surat kepada Soeharto sebagai pelaksana Supersemar. Intinya adalah, meluruskan hakikat Supersemar, termasuk melarang Soeharto mengambil tindakan-tindakan politik yang menjadi wewenang Presiden. Jawab Soeharto, “Sampaikan ke Bapak, itu tanggung jawab saya.”

Sebagai jenderal pasukan elite, mendidih hati Hartono. Meradang amarah demi melihat sesama prajurit (meski beda angkatan) tetapi berani menentang panglima tertinggi. Karena itu pula, tidak sekali dua, Hartono meminta izin Bung Karno untuk mengerahkan kekuatan KKO menggempur Soeharto dan semua anasir militer yang dia kendalikan untuk menggulingkan Bung Karno.

Peta kekuatan militer saat itu, sangat memungkinkan untuk menumpas Soeharto dan pasukannya, mengingat, angkatan lain, Laut, Udara, dan Kepolisian bisa dibilang mutlak berdiri di belakang Bung Karno. Bahkan beberapa divisi Angkatan Darat, juga tegas-tegas menyatakan loyal kepada Bung Karno. Sejarah menghendaki lain. Bung Karno melarang. Bung Karno tidak ingin persatuan dan kesatuan bangsa yang ia perjuangkan sejak remaja hingga menjadi presiden, kemudian hancur kembali oleh perang saudara, hanya demi membela dirinya. Bung Karno pasang badan untuk menjadi tumbal persatuan Indonesia.

Ketidakharmonisan hubungan Hartono – Soeharto, disadari benar bisa menjadi “ancaman” bagi berdirinya Orde Baru. Karena itu, pelan tapi pasti, dengan penyelewengan kewenangan, Soeharto mulai menghabisi lawan-lawan (nyata) politiknya, maupun loyalis Bung Karno semata. Seorang Sukarnois saat itu, bisa dengan mudah dijebloskan ke penjara.

Akan halnya Hartono, Soeharto tidak berani berhadapan muka, kecuali dengan “membuangnya” ke Pyongyang, Korea Utara, dengan dalih tugas sebagai Dubes Luar Biasa pada tahun 1968. Tiga tahun menjadi Dubes di Korea Utara, Hartono dipanggil ke Jakarta pada tahun 1971. Ia pulang sendiri, istri dan anak-anaknya masih di Pyongyang. Ia kemudian dikabarkan meninggal bunuh diri dengan cara menembakkan pistol ke kepalanya. Kisah bunuh diri itu disebutkan terjadi di kediaman Hartono, Jl. Prof. Dr. Soepomo, Menteng, Jakarta Pusat pada pagi hari pukul 05.30. Begitu bunyi statemen resmi rezim Orde Baru.

Ironis. Sebab, jenazah Hartono tidak divisum di rumah sakit netral seperti RSAL atau RSCM, melainkan dibawa ke RSPAD Gatot Subroto. Dari RSPAD baru kemudian jenazah disemayamkan di kediaman, untuk sejurus kemudian dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta Selatan, dengan inspektur upacara KSAL, Laksamana Madya Soedomo.

Kabar bunuh diri Jenderal KKO Hartono, begitu sulit dinalar akal sehat. Dua pentolan TNI-AL, seperti Letjen KKO Ali Sadikin dan Laksamana Madya Rachmat Sumengkar, Wakil KSAL, adalah sedikit dari sekian banyak orang yang meragukan Hartono meninggal bunuh diri. Kuat dugaan Hartono adalah korban pembunuhan.

Tak terkecuali, Grace, istri Hartono dan putrinya yang masih berada di Pyongyang. Betapa shock dan terpukul demi mendengar kabar suaminya meninggal akibat bunuh diri. “Suami saya meninggal 6 Januari 1971, tanggal di mana seharusnya dia kembali ke Pyongyang. Belakangan saya mendapat informasi, pagi sebelum meninggal, ada dua orang yang datang ke rumah,” ujar Grace. Nah, dua orang misterius inilah yang diduga membunuh Hartono di pagi buta itu, dengan cara menembak kepalanya di tempat tidur.

Grace dan keluarganya bahkan tidak dihadirkan segera. Tercatat dia baru bisa mendarat di Jakarta dua minggu setelah kematian suaminya. “Seminggu setelah suami saya meninggal, Menlu Adam Malik menghubungi saya. Dia berjanji akan memberi penjelasan detail menganai kematian suami saya. Janji yang tidak pernah ditepati,” ujar Grace pula.

Setiba di rumah, makin kuat dugaan bahwa suaminya memang dibunuh. Ia menyebutkan, menemukan sebuah lubang peluru di dinding kamar. Ini adalah hal yang janggal. Kemudian, kejanggalan lain adalah, tidak terdengarnya suara letusan pistol pada pagi buta itu. “Penggunaan alat peredam tembakan, hanya dilakukan oleh para pembunuh. Bukan oleh orang yang bunuh diri,” tandasnya. Ihwal alasan mengapa suaminya dibunuh, Grace hanya mengatakan, “Mungkin Bapak mengetahui suatu rahasia besar.” (roso daras)

Published in: on 18 November 2012 at 05:26  Comments (19)  
Tags: , , , ,