Sudah lebih seminggu di Ende, rasanya kurang afdol kalau tidak berziarah ke makam ibu Amsi, ibu mertua Bung Karno, ibunda Inggit Garnasih. Ibu Amsi termasuk dalam rombongan yang menyertai Bung Karno melakoni pembuangan ke Pulau Bunga (Flores), tepatnya di Ende tahun 1934.
Sebelum mengembuskan napas terakhir pada 12 Oktober 1935, ibu Amsi sempat tergolek tak sadar diri selama lima hari. Dan selama itu pula, Bung Karno setia mendampinginya bersama Inggit. Pada saat bersamaan, anak angkat kesayangan mereka, Ratna Djuami, juga mengalami sakit yang sama. Sungguh sebuah kerundung duka yang menyesakkan dada.
Seperti dituturkan Inggit dalam buku “Kuantar ke Gerbang”, ibu Amsi tidak berwasiat apa pun sebelum meninggal dunia. Inggit hanya merekam pembicaraan yang terjadi di perjalanan naik kereta api ekspres Bandung – Surabaya, sebelum akhirnya mereka naik kapal menuju lokasi interniran di Ende, Pulau Bunga (Flores). Ketika itu, ibu Amsi bertutur, “Jika saya meninggal dunia di sana (Ende), maka kuburkanlah di sana.”
Menjelang ajal, ibu Amsi memang tak sadar diri. Inggit sendiri dalam hati sudah mengikhlaskan, seandainya Tuhan yang Maha Kuasa berkehendak mengambil sang bunda. Tapi toh, hantaman duka cita itu begitu menohok ketika akhirnya ibu Amsi benar-benar wafat di pangkuan Bung Karno.
Ibu Inggit berusaha keras menahan air mata. Demikian pula Ratna Djuami, yang meski belum sembuh benar, bangkit demi mengetahui neneknya wafat. Tak ada air mata. Inggit telah mendidik Omi, untuk tidak menitikkan air mata saat melayat jenazah. Demikian pula anak angkat yang lain, Kartika. Meski masih kecil, dia sudah pandai menghayati ajaran ibu angkatnya, ibu Inggit. Sebaliknya, Bung Karno yang menitikkan air mata. Bung Karno begitu mencintai ibu mertua, sama besar seperti ibu Amsi mencintai anak menantu yang dibanggakan itu.
Jarak rumah duka ke pemakaman kurang lebih dua kilometer. Dalam biografi Bung Karno maupun ibu Inggit, foto-foto yang ada menampakkan lokasi makam yang terletak di tengah hutan dalam dataran tinggi. Bung Karno pun melukiskan, ia bersama rekan-rekan anggota tonil Kelimutu yang menggotong jenazah Ibu Amsi naik lereng gunung, masuk ke tengah hutan.
Tentu saja, 7 Oktober 2013, saat saya menziarahinya, suasana itu tidak ada lagi. Kini, lokasi makam ibu Amsi boleh dibilang berada di tengah kota Ende. Akses ke lokasi pekuburan pun relatif mudah dijangkau. Mobil bisa parkir tak jauh dari pintu makam. Ya, di lokasi itu, kini menjadi pemakaman umum.
Ketika tiba di lokasi, tampak kegiatan sejumlah pekerja yang diawasai dua orang mandor. Rupanya, mereka adalah para pekerja yang tengah mengerjakan pemugaran makam ibu Amsi. Ketika terlibat obrolan, betapa kaget dan masygul hati ini, demi melihat gambar renovasi yang menghilangkan batu nisan maupun tulisan tangan Bung Karno. “Ya, kami akan tutup makam ini, dan membangun makam baru di atasnya,” ujar sang mandor.
Apakah itu berarti, prasasti yang dibikin sendiri oleh tangan Bung Karno juga akan ditimbun? “Benar,” jawabnya enteng. Apakah batu-batu yang berjumlah 21 yang kesemuanya dibawa oleh Bung Karno dan teman-temannya juga akan ditimbun? “Ya, benar, pokoknya sesuai gambar. Saya hanya mengerjakan sesuai perintah,” ujar sang mandor. Dan sesuai gambar, dia akan mengurug semua bangunan makan asli. “Kalau nanti ada yang bertanya aslinya, ya masih ada. Silakan dibongkar,” ujarnya enteng.
Bukankah dengan demikian pemugaran ini justru akan menghilangkan nilai sejarah makam ini? Bukankah dengan demikian pemugaran ini justru akan menghilangkan peninggalan Bung Karno? Bukankah dengan demikian pemugaran ini justru akan mengubur sejarah itu sendiri? Bukankah dengan demikian pemugaran ini justru sama dengan upaya menghilangkan salah satu jejak Bung Karno di Ende?
Sang mandor sempat terpekur. Dia pun menyadari hal itu. Akan tetapi, kuasa mengubah gambar bukan ada di tangannya. “Pemborongnya dari Jakarta. Gambar ini juga saya terima dari Jakarta,” ujarnya. Ketika ditanya, apakah pemborong maupun penggambar desain makam pernah berkunjung ke makam ibu Amsi? Dijawab, “Mereka belum pernah datang ke sini.”
Saya yang berziarah bersama keluarga almarhumah, yakni Bung Tito Asmarahadi (cicit atau buyut Ibu Amsi, karena dia putra dari Ratna Djuami), dan wartawan senior Peter A. Rohi, merasa “ketiban mandat”. Tentu bukan suatu kebetulan, kalau kita ditakdirkan berziarah di saat mereka sedang bekerja hendak mengurug makam ibu Amsi. Ini semacam mandat agar kita mencegah rencana pemugaran dengan gambar atau desain yang ngawur itu.
Kami sepakat berusaha agar pemugaran itu sebisa mungkin tidak mengubur bangunan asli, terlebih menenggelamkan batu nisan dan pahatan tangan karya Bung Karno. Sang mandor yang mulai paham konteks sejarah, mulai mengerti. Dia bahkan menyarankan untuk mengambil titik nol pengurugan dari bawah (dasar) bangunan nisan ibu Amsi. “Tapi konsekuensinya, di bagian atas harus dipangkas agar permukaan makam lebih tinggi. Itu tentu menyalahi gambar, dan ada konsekuensi biaya tambahan,” ujarnya. Khas bahasa pemborong….
Semoga saja, upaya mencegah penghapusan jejak sejarah Bung Karno di makam Ibu Amsi berhasil. Namun jika gagal, dan akhirnya makam ibu Amsi dipugar sesuai dalam gambar si mandor tadi, maka dengan ini saya nyatakan, “Terkutuklah siapa pun yang terlibat dalam pemugaran makam ibu Amsi, yang tidak tahu sejarah itu!!!” (roso daras)
