Sumpah di Depan Jenazah

Abdul Madjid

Kamis, 8 Oktober 2009 rumah di bilangan Setiabudi, Karet, Jakarta Selatan itu tampak sepi, meski adzan maghrib baru saja usai berkumandang. Pintu pagar tak terkunci. Ketika pintu utama diketuk, tak berjawab. Bergeser ke pintu samping, ketukan yang sama juga tak bersahut.

Melalui usaha –mengetuk pintu– terus-menerus, akhirnya keluar seorang pria muda usia. Ia mempersilakan kami masuk seraya mengatakan, “Bapak masih shalat (maghrib).” Siapa “kami”? Siapa “bapak”? Kami adalah saya bersama H. Amin Aryoso, seorang tokoh nasionalis, dan mas Giat, seorang rekan wartawan politik. Sedangkan “bapak” yang dimaksud adalah tokoh nasionalis lain, H. Abdul Madjid.

Tak lama menunggu, usai shalat maghrib, Abdul Madjid berjalan menjumpai kami. Langkahnya agak tertatih-tatih. Sejenak ia uluk salam dan duduk di kursi berhadap-hadapan dengan kami. Komunikasi basa-basi sebagai pencair suasana, tidak berjalan baik. Pasalnya, pendengaran Abdul Madjid terasa benar makin menurun. Karenanya, meski jarak antarkami hanya sekitar 1,5 meter, tetapi volume suara harus dibuat lebih tinggi, meski belum sampai ke tahap berteriak-teriak.

Saya menarik satu kursi dan duduk di sampingnya. Bukan saja komunikasi jadi lebih mudah, lebih dari itu, saya bisa mendekatkan voice recorder.  Tema pembicaraan malam itu seputar dua hal pokok. Pertama, mengenai “demokrasi Indonesia” disandingkan dengan demokrasi Amerika, Inggris, Jerman, Perancis, Jepang, Cina, dan lain-lain. Kedua, tentang amandemen UUD 1945 oleh MPR 1999-2004 yang melahirkan “UUD 2002”.

Suara Abdul Madjid masih menggelegar, berat, dan penuh semangat. Anda tahu? Usianya sudah lebih 90 tahun! Tutur katanya masih runut, sistematika berpikir masih tersusun rapi, dan daya ingatnya luar biasa.

Selagi menyimak dan merekam kata demi kata, saya menyapu seisi ruang tamu sekaligus ruang kerja Abdul Madjid. Selain banyak tumpukan buku, juga banyak sekali ornamen merah putih, deretan foto-foto aktivitasnya di berbagai kegiatan, dan tentu saja, foto Bung Karno.

Bahkan dalam salah satu foto Bung Karno, di bagian bawah ditempel foto Abdul Madjid yang sedang berpidato. Menilik usia foto dan sosok Abdul Madjid di dalam foto yang tertempel, saya taksir itu peristiwa sekitar 20 tahun lalu, saat Abdul Madjid masih berusia sekitar 70-an tahun. Tangan kanan mengepal meninju langit, tangan kiri memegang mic. Ia sedang berorasi. Di bagian bawah terbaca tulisan, “Saya tukang ngomong belaka”.

Memang benar. Abdul Madjid “tukang ngomong”, namun bukan sembarang omongan. Ia senantiasa menyuarakan ajaran-ajaran Bung Karno. Dalam setiap kiprahnya sebagai politisi, Sekjen PNI era 60-an ini, tak pernah sekalipun menanggalkan keteladanan Bung Karno. Ia juga menyerukan kepada setiap generasi muda untuk meneladani moral politik Bung Karno.

Bahkan, dalam diskusi-diskusi kecil, ia tak pernah meninggalkan kutipan-kutipan pidato atau artikel Bung Karno sebagai sumber rujukan. Nyata sekali, ia begitu bersemangat untuk terus dan terus menggelorakan ajaran Bung Karno. “Itu karena saya sudah bersumpah kepada Bung Karno,” ujar Abdul Madjid menjelaskan mengenai semangatnya yang tetap menyala dalam menyuarakan ajaran Bung Karno.

“Di depan jenazah Bung Karno di Wisma Yaso, saya pernah berkata, ‘Selamat jalan bung. Saya akan meneruskan ajaranmu’. Kalimat itu merupakan sumpah sekailigus janji saya. Dan itu pula yang akan saya lakukan hingga ajal menjemput,” ujar Abdul Madjid dalam getar suara yang mantap. (roso daras)

Published in: on 12 Oktober 2009 at 00:37  Comments (4)  
Tags: , , ,

Dewi Ngambek, Bung Karno Lolos dari Pembunuhan

Dewi dan SukarnoGerakan 30 September atau G-30-S, atau ada yang lebih suka menyebut Gerakan 1 Oktober atau Gestok, pada hakikatnya sama, yakni sebuah tragedi berdarah yang merenggut tujuh perwira TNI-AD. Catatan sejarah mengenai peristiwa kelabu itu, ditandai dengan episode sebuah aksi terkutuk yang diprakarsai Partai Komunis Indonesia (PKI). Karenanya, istilah G-30-S selalu diikuti dengan garis miring PKI.

Berbagai publikasi mengenai perisitwa tersebut sudah banyak beredar. Bahkan, berbagai diskusi, seminar, sarasehan acap digelar. Khususnya menjelang akhir September. Serpihan sejarah bermunculan, mulai dari keterlibatan CIA hingga keterlibatan –langsung atau tidak langsung– mantan penguasa Orba, Soeharto. Dalam pada itu, beredar pula publikasi yang mencoba mengukuhkan stigma bahwa Sukarno juga telibat, langsung atau tidak langsung dalam peristiwa tersebut.

Yang pasti, pasca G-30-S, pasca Gestok, yang secara kasat mata membenturkan Dewan Revolusi dan Dewan Jenderal, berakibat pada upaya sistematis menjatuhkan kredibilitas Sukarno sebagai Presiden. Adapun tujuh perwira yang menjadi korban kebrutalan oknum pasukan Resimen Cakrabirawa itu, adalah Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI Soeprapto, Mayjen TNI Harjono MT, Brigjen TNI Sutojo Siswomihardjo, Mayjen TNI  S. Parman, Brigjen TNI D.I.Panjaitan dan Lettu Pierre Tendean.

Nah, tahukah Anda, bahwa di balik itu semua, sejatinya Dewan Revolusi juga mengancam nyawa Presiden Sukarno? Kesaksian ini diungkapkan Moch. Achadi, mantan Menteri Transmigrasi dan Koperasi (Mentranskop) Kabinet Dwikora. Mengurai kesaksiannya ihwal peristiwa genting itu, sungguh laksana membayangkan sebuah lakon drama yang mencekam.

Kisah bermula dari Rapat Teknik, 30 September 1965 malam di Istora Senayan, Jakarta. Sesuai jadwal, usai memberi pidato, Bung Karno kembali ke Istana, karena esok paginya, 1 Oktober 1965, ia harus menerima sejumlah tamu untuk urusan negara.  Memang, dalam skenario gerakan, malam itu semua “objek” diatur sedemikian rupa supaya pada malam 1 Oktober 1965 ada di rumah masing-masing.

Ratna Sari Dewi SukarnoItulah mengapa, penculikan para jenderal berlangsung mulus, karena pada malam itu memang semua ada di rumah masing-masing. Bagaimana dengan Bung Karno? Inilah yang terkait erat dengan judul di atas… ya… terkait dengan ngambeknya Ratna Sari Dewi, istri Bung Karno nan jelita yang berdarah Jepang itu.

Syahdan, tanggal 29 September 1965 malam adalah giliran Bung Karno mengunjunginya di kediaman Wisma Yaso, sekarang Museum Satria Mandala di Jl. Gatot Subroto. Namun karena kesibukan yang luar biasa, Bung Karno lupa tidak mengunjungi Dewi. Maka, Dewi pun ngambek dibuatnya. Nah, esok malamnya, 30 September 1965, Dewi mengajak Ny. Sjarief Thayeb, istri Menteri Perguruan Tinggi, bersenang-senang di klub malam Hotel Indonesia.

Peristiwa itu diketahui oleh Letkol (Tit) Suparto. Dia adalah sopir, sekaligus orang dekat Bung Karno, khususnya pada hari itu. Dalam perjalanan dari Istora Senayan menuju Istana, melalui obrolan ringan, Suparto melapor ke Bung Karno. “Bu Dewi ngambek lho pak….” Awalnya hanya pernyataan pancingan. Namun ketika Bung Karno merespons antusas, barulah Suparto melanjutkan, “Bapak kan kemarin harusnya mengunjungi Bu Dewi, tetapi Bapak tidak ke sana.”

Atas laporan Suparto, Bung Karno makin antusias menyelidik dan mencari tahu cerita selanjutnya. “Yaaa… sekarang Bu Dewi sedang di kelab malam di Hotel Indonesia bersama Ibu Sjarief Thayeb.” Spontan Bung Karno mengeluarkan perintah dadakan, dan hanya Suparto yang tahu perintah itu. Intinya, “Lekas kembali ke Istana. Tukar mobil dan tukar pakaian, langsung keluar lagi ke Hotel Indonesia, jemput Bu Dewi.”

Itulah peristiwa 30 September 1965 malam. Sekembali ke Istana, Bung Karno bertukar pakaian, lalu keluar lagi bersama Suparto menjemput Dewi di Hotel Indonesia. Sesampai di pelataran parkir, Bung Karno menyuruh Suparto masuk, menjumpai Dewi dan memberi tahu ihwal kedatangannya menjemput.

Demi mendapati kedatangan Suparto dan informasi yang disampaikan, Dewi pun bergegas keluar kelab malam dan menemui Bung Karno yang sudah menunggu di dalam mobil. Cerita berlanjut ke Suparto membawa pasangan Bung Karno – Dewi ke Wisma Yaso. Di sanalah Bung Karno menghabiskan malam berdua istrinya yang jelita.

Kisah berlanjut pagi hari, ketika Brigjen Supardjo datang ke Istana hendak menjumpai Bung Karno. Sebagai pentolan Cenko (Central Komando) PKI, Supardjo mendapat tugas untuk meminta persetujuan Bung Karno atas gerakan Dewan Revolusi yang menghabisi apa yang disebut Dewan Jenderal. Perintah Cenko PKI kepada Supardjo adalah, kalau Bung Karno menolak menandatangani persetujuan pembantaian Dewan Jenderal, maka Supardjo harus membunuh Bung Karno pagi itu juga. Seketika.

Apa yang terjadi? Bung Karno tidak ada di Istana. Ajudan dan pengawal yang ada di Istana pun tidak tahu di mana Bung Karno berada. Bisa dimengerti, karena yang mengetahui peristiwa malam itu hanya Bung Karno dan Suparto, sopir dan orang dekat yang mendampingi Bung Karno 30 September 1965.

Sementara itu, pada episode yang lain, Bung Karno bersama Suparto meninggalkan Wisma Yaso pagi hari hendak kembali ke Istana. Apa yang terjadi? Di luar Istana tampak keadaan yang mencurigakan, banyak pasukan tak dikenal. Pengawal spontan membelokkan arah mobil Bung Karno ke Slipi, ke kediaman istri yang lain, Harjatie. Dari Slipi itulah pengawal dan ajudan berkoordinasi mengenai situasi genting yang sedang terjadi.

Satu hal yang bisa dipetik dari peristiwa 30 September 1965 malam, adalah, kalau saja Dewi tidak ngambek…. Kalau saja Suparto tidak melaporkan kepada Bung Karno ihwal ngambeknya Dewi…. Kalau saja Bung Karno tidak berinisiatif menjemput Dewi di Hotel Indonesia dan pulang ke Wisma Yaso…. Bung Karno pasti sudah ditembak mati Supardjo. Mengapa? Semua kalkulasi tidak akan menyimpulkan Bung Karno tunduk pada Supardjo dan menandatangani persetujuan gerakan Dewan Revolusi. Dan ketika Bung Karno menolak tanda tangan, sudah jelas apa yang terjadi, Supardjo harus menembak mati Bung Karno saat itu juga.

achadi2Bagaimana rangkaian kisah di atas tersusun? Adalah Moch. Achadi, yang secara kebetulan adalah paman dari Sutarto, sopir Bung Karno pada 30 September 1965, sehingga ia mengetahui dari Sutarto langsung peristiwa tadi. Kemudian, secara kebetulan pula, ketika Achadi ditahan penguasa Orde Baru, ia berdekatan dengan sel Brigjen Supardjo yang bertugas mengeksekusi Bung Karno seandainya tidak memberi restu kepada Dewan Revolusi. Begitulah sejarah terbentuk. Begitulah kebenaran mengalir menemukan jalannya sendiri.  (roso daras)

Hari-hari Terakhir Bung Karno (1)

BK di Akhir KejayaanBung Karno, di akhir hayatnya sangat nista. Ia dinista oleh penguasa ketika itu. Ia sakit, dan tidak mendapat perawatan yang semestinya bagi seorang Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia sekaligus tokoh pemersatu bangsa. Bahkan untuk sekadar bisa menghirup udara Jakarta (dari pengasingannya di Bogor), ia harus menulis surat dengan sangat memelas kepada Soeharto.

Mengenang hari-hari terakhir Bung Karno, saya sengaja menukil kisah sedih yang dipaparkan Reni Nuryanti dalam bukunya Tragedi Sukarno, Dari Kudeta Sampai Kematiannya. Harapannya, kita semua bisa berkaca dari sejarah. Detail kisah mengharu biru, dari praktik-praktik biadab aparat militer ketika itu kepada Bung Karno selama hidup dalam “kerangkeng” Orde Baru di Wisma Yaso, cepat atau lambat akan terbabar.

Hari-hari terakhir Bung Karno ini, saya penggal mulai dari peristiwa tanggal 16 Juni 1970 ketika Bung Karno dibawa ke RSPAD (Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto).  Ia dibawa pukul 20.15, harinya Selasa. Ada banyak versi mengenai peristiwa ini. Di antaranya ada yang menyebutkan, Sukarno dibawa paksa dengan tandu ke rumah sakit.

Dewi SukarnoHal itu ditegaskan oleh Dewi Sukarno yang mengkonfirmasi alasan militer, bahwa Bung Karno dibawa ke RS karena koma. Dewi mendapat keterangan yang bertolak belakang. Waktu itu, tentara datang membawa tandu dan memaksa Bung Karno masuk tandu. Tentara tidak menghiraukan penolakan Bung Karno, dan tetap memaksanya masuk tandu dengan sangat kasar. Sama kasarnya ketika tentara mendorong masuk tubuh Bung Karno yang sakit-sakitan ke dalam mobil berpengawal, usai menghadiri pernikahan Guntur. Bahkan ketika tangannya hendak melambai ke khalayak, tentara menariknya dengan kasar.

Adalah Rachmawati, salah satu putri Bung Karno yang paling intens mendampingi bapaknya di saat-saat akhir. Demi mendengar bapaknya dibawa ke RSPAD, ia pun bergegas ke rumah sakit. Betapa murka hati Rachma melihat tentara berjaga-jaga sangat ketat. Hati Rachma mengumpat, dalam kondisi ayahandanya yang begitu parah, toh masih dijaga ketat seperti pelarian. “Apakah bapak begitu berbahaya, sehingga harus terus-menerus dijaga?” demikian hatinya berontak.

Dalam suasana tegang, tampak Bung Karno tergolek lemah di sebuah ruang ujung becat kelabu. Tak ada keterangan ruang ICU atau darurat sebagaimana mestinya perlakuan terhadap pasien yang koma. Tampak jarum infus menempel di tangannya, serta kedok asam untuk membantu pernapasannya.

Untuk menggambarkan kondisi Sukarno ketika itu, simak kutipan saksi mata Imam Brotoseno, “Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa –dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar kemana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas. (roso daras)

Published in: on 20 Juni 2009 at 15:05  Comments (11)  
Tags: , ,