Surat Dewi kepada Soeharto (4)

Surat Ratna Sari Dewi selanjutnya adalah sebagai berikut:

Ratna Sari Dewi3Bisa dimengerti dan merupakan realitas politik, bahwa warga negara yang ramah, yang selalu hidup dalam ketakutan dan ketidak-amanan, harus bersahabat dengan mereka yang memegang kekuasaan. Tetapi, 2 Januari 1966, pada suatu rapat kabinet di Bogor, Sukarno telah memperingatkan Anda, “Situasi yang tidak menentu ini harus diakhiri tanpa saudara-saudara sebangsa saling membunuh. Bila pembunuhan massal terhadap sesama warga negara tetap berlangsung, akan timbul kekuatan-kekuatan balik yang buruk”.

Tetapi dengan cara yang “menakjubkan” Anda memecahkan persoalan situasi yang tidak aman ini dengan cara Anda sendiri. Saya sama sekali tidak membenarkan aksi 30 September 1965 itu. Saya tidak menyalahkan siapa pun, dan saya tidak mengadili. Apalagi bila saya seorang komunis. Saya sama sekali tidak berharap seolah-olah saya seorang “simpatisan komunis”, yang secara pribadi menarik perhatian saya adalah apa yang sebenarnya terjadi.

Bila memang terbukti bahwa penyulut gerakan 30 September adalah mereka yang termasuk PKI, kita hanya bisa bertanya-tanya mengapa partai berkuasa yang terorganisasikan dengan ketat ini melakukan langkah-langkah yang tak berguna dan kurang terarah seperti itu dan untuk tujuan apa? Mengapa tentara mengabaikan kebakaran besar yang terjadi di markas besar PKI, yang disulut oleh pembuat onar itu. Bukankah yang bisa terjadi adalah bahwa di markas besar tersebut Anda bisa menemukan bukti-bukti campur tangan tentara yang bila ditemukan tidak akan menyenangkan pihak tentara?

Bila biang keladi pencetus gerakan 30 September benar-benar anggota PKI, sudah sepantasnya bila pelaku-pelakunya diadili secara terbuka di depan seluruh rakyat Indonesia. Tetapi mengapa tentara menghilangkan nyawa Ketua PKI, DN Aidit, secara rahasia? (Baru berbulan-bulan kemudian pembunuhan itu Anda laporkan kepada Sukarno). Dan mengapa wakil ketua pertama dan kedua PKI, Njoto dan Lukman, juga dibunuh dengan cara yang sama?

Orang mengatakan bahwa Partai Nahdlatul Ulama beranggotakan 6.000.000 orang. Tetapi mengapa di lingkungan ini orang begitu takut terhadap PKI, yang hanya beranggotakan 3.000.000 orang. Terlalu banyak hal yang tetap tidak dapat dijelaskan. Komunisme, yang sangat Anda takuti itu, akan hilang dengan sendirinya, bila kemiskinan teratasi. Ideologi PKI di bawah pimpinan Aidit (Ketua Kongres Partai) didasarkan atas Pancasila (Sukarnoisme). PKI memegang peranan penting saat bangsa ini dilahirkan dan mereka memperjuangkan sosialisme Indonesia.

Nasution, Ketua MPR-Sementara, menuduh PKI melakukan aksi-aksi yang telah merugikan negara, terutama di bidang ekonomi. Penyebab utama inflasi saat ini adalah hutang kepada luar negeri sebesar 2,5 miliar dolar AS. Di antaranya adalah utang kepada Uni Sovyet untuk impor senjata seharga satu miliar dolar. Orang yang menandatangani kontrak-kontrak itu adalah Jenderal Nasution sendiri, yang untuk tujuan itu dua kali pergi ke Moskow. Dan sekarang dia mengatakan bahwa dia tidak bertanggung jawab?

Bapak Soeharto, saya ingin melihat sejumlah fakta yang Anda sendiri laksanakan sebagai barang bukti untuk menuduh PKI. Mengapa Anda tidak membuka kembali penyelidikan tentang kejadian-kejadian pada 30 September 1965 dengan mengumpulkan fakta-fakta yang sebenarnya dan bukan kesaksian-kesaksian dan barang-barang bukti sepihak. Seluruh negeri mempunyai hak untuk mengetahui. Juga pemberitahuan mengenai pengalaman-pengalaman Anda sendiri.

Cerita yang beredar malah mengatakan bahwa PKI tidak bekerja sendiri, tetapi bahwa Sukarno sendiri telah dicurigai bersekongkol dengan Dewan Revolusioner. Ada pula dikatakan bahwa beberapa ribu anggota PKI menjelang gerakan 30 September mendapatkan pendidikan militer di suatu daerah sekitar Halim, di  mana Sukarno pada pagi insiden itu terjadi, diselamatkan. Orang hanya bisa bertanya-tanya, bagaimana mungkin ribuan orang mendapatkan latihan militer secara rahasia tanpa diketahui orang. Dan mengapa Sukarno mencari perlindungan di tempat yang akan melibatkan dirinya?

Berita-berita yang kami terima pada hari itu di Halim, bisa disimpulkan sebagai berikut, “Telah timbul konflik dalam tubuh tentara. Pribadi presiden tidak boleh dibahayakan oleh suatu kecelakaan mendadak”. Saya sendiri secara rahasia pergi ke Halim untuk berada di samping suamiku pada saat-saat keresahan dan ketakutan yang mencekam itu. Kami tidak menyadari bahwa Jenderal Yani telah dibunuh. Kami tidak yakin apakah Bapak termasuk kawan atau lawan kita. Tetapi saya masih tetap berpendapat bahwa bila Jenderal Yani tidak meninggal dalam insiden ini, keadaan di Indonesia akan lain sama sekali saat itu. Sukarno sangat mengkhawatirkan keberadaan Yani. (roso daras/bersambung)

Surat Dewi kepada Soeharto (3)

Bagian ketiga surat Ratna Sari Dewi kepada Presiden Soeharto tahun 1970-an ini, terus menekan Soeharto dengan gugatan-gugatan atas berbagai keanehen dan kejanggalan yang terjadi sebagai epilog dari peristiwa Gestok atau G-30-S/PKI.

Dalam membaca surat ini, imajinasi dan frame kita harus ditarik mundur jauh ke tahun 1970-an, kurang lebih 4 (empat) tahun setelah peristiwa Gestok. Artinya, gugatan Dewi masih sangat hangat. Ia melakukannya justru di awal-awal kepemimpinan Soeharto mengibarkan rezim Orde Baru. Berikut narasinya.

Ratna Sari Dewi2Dan bolehkah saya bertanya, apa yang dimaksudkan Jenderal Nasution, dengan ucapannya, “fitnah dari para pengkhianat” dan “kami tidak akan melakukannya terhadap musuh-musuh kami?” Tujuan utama lima puluh orang yang berseragam pasukan pengawal Presiden Sukarno “dan bergerak menuju rumah dinas Jenderal Nasution adalah untuk membunuhnya karena dia seorang antikomunis yang terkenal. Atau bukankah begitu? Tetapi sebagai gantinya mereka melihat ajudannya jenderal, yakni Letnan Tendean sebagai Jenderal Nasution. Saya yakin bahwa tiap anggota pasukan pengawal Presiden Sukarno dengan segera akan mengenali Jenderal Nasution. Teori yang mengatakan bahwa para anggota PKI yang katanya mendapat tugas penting untuk membunuh jenderal, tidak mengenali wajahnya, rasanya tidak masuk akal.

Sadahkah Anda bahwa masyarakat di Indonesia mempersoalkan dan curiga bahwa Anda sebagai satu-satunya anggota staf tertinggi dari Angkatan Bersenjata pada malam naas itu tidak diserang, karena para pembunuh dalam perjalanan ke rumah Anda tidak dapat menemukan alamatnya yang tepat? Dan lebih hebat lagi. Dini hari tanggal 1 Oktober 1965 itu Anda mengambil alih komando Angkatan Bersenjata dan dengan kecepatan yang hampir tidak manusiawi Anda bisa membungkam Dewan Revolusi.

Setelah Sukarno kehilangan Menteri Pertahanannya, Jenderal Yani, beliau mengangkat Anda, yang pada saat itu masih berpangkat mayor jenderal, sebagai Menteri Pertahanan, sekaligus pemimpin tertinggi Angkatan Bersenjata. Itu terjadi pada tanggal 14 Oktober 1965. Pada kesempatan itu Sukarno berkata, “Tidak bisa dihindarkan ketertiban dan keamanan harus dikembalikan untuk menciptakan suasana damai, agar emosi baik dari pihak kiri maupun dari pihak kanan bisa mereda… dan untuk menemukan jalur keluar politik dari peristiwa 30 September ini sangat perlu untuk mengetahui dan mengenali fakta-fakta umum dan fakta-fakta yang menyangkut berbagai hal mengenai peristiwa itu. Fakta-fakta itu tidak akan meresahkan saya, dengan warna politik mana pun mereka menampakkan diri, merah hijau ataupun kuning”.

Menurut instruksinya, Presiden Sukarno memerintahkan agar Anda mengumpulkan “fakta-fakta” dan menyerahkannya kepadanya secara pribadi. Jadi, seharusnya Anda segera mulai mengadakan penyelidikan. Akan tetapi perintah Sukarno itu Anda interpretasikan sendiri dan Anda malah mengatakan, “Sekarang saya telah mendapatkan kepercayaan presiden. Sekarang saya akan melanjutkan mengenyahkan kekuatan-kekuatan yang masih tersisa dari insiden itu”. Ini semua mempunyai arti. Presiden Sukarno menghendaki dan mengharapkan dari Anda bahwa Anda akan setia dan akan loyal menaati perintahnya.  Presiden telah bertekad untuk menemukan hukuman yang adil bagi pelaku-pelaku makar, siapa pun pelakunya, PKI atau militer.

Anda tidak menyampaikan fakta-fakta kepada presiden dan Anda juga tidak mendapatkan persetujuannya untuk menggerakkan Angkatan Bersenjata, dengan jenderal-jenderal seperti Sarwo Edhie. Dan segera setelah itu mulailah pembunuhan terhadap orang-orang yang tak bersalah, yakni yang disebut para komunis. Sudah menjadi fakta bahwa yang diketahui secara umum bahwa Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atas perintah khusus dari Anda mulai dengan menyiksa, membakar, merampok, dan memperkosa di seluruh negeri. Angkatan Bersenjata melakukan teror yang Anda lindungi. Dengan publikasi besar-besaran mengenai pembunuhan terhadap para jenderal, rakyat yang cinta damai terpicu sampai titik kemarahan yang memuncak. Rakyat mulai membenci PKI karena melakukan kekejian-kekejian tersebut dan sering Cina dianggap sebagai biang-keladi peristiwa ini.

Sebagian besar rakyat Indonesia tidak percaya bahwa pernah  ada “Dewan Jenderal”. Selanjutnya Sukarno dipaksa menempatkan PKI di luar hukum dan menyatakan bahwa PKI-lah yang bertanggung-jawab atas peristiwa 30 September. Selama satu tahun penuh para mahasiswa dan kelompok-kelompok lain yang tidak puas berdemonstrasi dengan cara melakukan kekerasan-kekerasan terhadap Sukarno, justru karena ia menolak untuk menyatakan PKI sebagai partai yang ilegal tanpa adanya bukti bahwa PKI adalah satu-satunya pihak yang bertanggung-jawab atas insiden itu.

Para pemimpin demonstrasi itu yang disebut para “mahasiswa”, yang usianya jauh di atas 30 tahun, yang menghadiahkan pada para pengikutnya perlengkapan-perlengkapan parasut yang bagus yang entah dari mana asalnya. Dan dari mana datangnya dana yang sungguh tidak sedikit untuk menyelenggarakan aksi-aksi para mahasiswa yang berdemonstrasi itu yang jelas-jelas dibiayai.

Dan mengapa para “pemimpin”, para pembuat kerusuhan itu sekarang menduduki jabatan-jabatan yang penting dalam pemerintahan Anda? Kerusuhan yang dengan sengaja dikobarkan ini berlangsung selama kira-kira setahun. Sementara itu dilakukan serangan propaganda terhadap PKI, yang digambarkan sebagai biang keladi semua kerusuhan yang terjadi. Saya ingin bertanya kepada Anda, berapa banyak kejahatan yang kecurangan yang telah dilakukan atas nama PKI? Dan ini masih tetap berlangsung, sampai sekarang, empat tahun setelah gerakan 30 September. (roso daras/bersambung)

Published in: on 2 September 2013 at 08:26  Comments (4)  
Tags: , , , , ,

Surat Dewi kepada Soeharto (1)

Memasuki bulan September, masyarakat Indonesia akan dikenangkan oleh peristiwa G-30-S/PKI atau Gestok (Gerakan Satu Oktober). Memperingati itu, menarik kiranya kita mengkaji ulang surat terbuka yang pernah dilayangkan Ratna Sari Dewi Sukarno kepada Presiden Soeharto. Surat itu ditulis dan dikirim dari Paris, Perancis pada April 1970.

Mengingat panjangnya surat terbuka Dewi kepada Soeharto, saya mempostingnya dalam beberapa bagian. Berikut adalah surat  Dewi kepada Soeharto bagian pertama.

Ratna Sari Dewi - 1970Yang Mulia, Presiden Soeharto

Sekali-kali bukanlah maksud saya untuk mengingatkan Anda akan hal-hal yang rupanya ingin Anda lupakan. Tetapi karena saya mengikuti kejadian-kejadian di Indonesia  dari dekat, saya anggap tugaskulah untuk berbicara. Mungkin akan lebih bijaksana untuk tetap membisu seperti sphink. Pertanggungjawaban untuk melanggar tabu biasanya amat berat, karena itu saya juga sadar bahwa saya  akan dikucilkan. Barangkali lebih berat daripada yang saya pikirkan.

Baik di dunia maupun di Indonesia lambat-laun akan beredar cerita-cerita yang dipalsukan bahwa saatnya  sudah tiba saya membeberkan kejadian-kejadian dari sudut pandang saya. Saya telah memutuskan untuk menyampaikan surat kepada Anda sebagai warrga negara Indonesia. Selain itu saya mengharapkan agar tidak timbul keragu-raguan bahwa keputusan saya untuk mengirimkan surat terbuka kepada Anda, maupun isinya, sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya dan tidak ada sangkut pautnya dengan Sukarno, mantan Presiden Indonesia.

Sekarang sudah terlambat untuk membicarakan para perwira yang telah dihukum mati sebagai “kontra-revolusioner” dan sebagai “pelaku maker terhadap negara”. Sudah sejak dahulu, sejak hari-hari Sukarno masih berkuasa, saya tidak setuju dengan pendapat bahwa “kekuasaan selalu menang”. Saya juga tidak setuju bila kepala negara mengelilingi dirinya dengan yes-man. Saya masih saja berpendapat bahwa di sekitar Anda masih terlalu banyak orang berkumpul, yang selalu bungkam, yang pura-pura setuju dan menaati Anda, agar mendapatkan lebih banyak kekuasaan untuk dirinya.

Yang pertama-tama saya kutuk ialah yang disebut proses-proses, di mana orang dihukum mati untuk “kejahatan-kejahatan yang dilakukan terhadap negara” tanpa mengindahkan norma-norma yang lazim dilakukan dalam suatu proses di pengadilan. Proses-proses itu berlangsung dalam suasana kekerasan dan terror.

Mereka, yang di bawah pimpinan Sukarno hampir tidak punya suara, kemudian melampiaskan diri dengan sangat tidak bertanggung-jawab dan membunuh serta menteror dari posisi kekuasaan yang baru mereka peroleh. Bila suatu waktu nanti tempat Anda kosong untuk diisi oleh orang lain, bisa saja terjadi, bahwa mereka yang menonjol dalam rezim Anda, termasuk di dalamnya tentu Anda sendiri, dan sejumlah  mitra militer Anda, akan  dihukum mati karena pengkhianatan terhadap negara dan kejahatan-kejahatan lain, misalnya korupsi yang telah menyebar luas kemana-mana.

Mengapa Anda memberikan contoh seburuk itu kepada negara semuda Indonesia? Dalam hal ini yang saya maksud tidak hanya proses-proses politik yang telah Anda selenggarakan. Tetapi yang teringat olehku adalah orang-orang yang terbunuh oleh yang dinamakan “pembersihan merah” menyusul peristiwa 30 September 1965. Berapa dari orang-orang ini hanyalah pengikut-pengikut Sukarno? Berita yang merebak menyebutkan bahwa tidak kurang dari 800.000 orang Indonesia, termasuk perempuan dan anak-anak, telah dibunuh karena mereka merupakan pengikut PKI (Partai Komunis Indonesia).

Januari 1966, London Times menulis, “Setelah kejadian-kejadian di Indonesia, tiga bulan yang lalu, telah dibunuh seratus ribu komunis, angka itu menurut diplomat-diplomat Barat amat rendah. Laporan itu selanjutnya menyebutkan ‘Para usahawan dan turis Eropa, yang baru kembali dari Indonesia mengabarkan bahwa mereka melihat sebuah sungai penuh dengan mayat tanpa kepala, sedangkan di desa-desa anak-anak bermain sepakbola dengan kepala korban’. Tiga bulan setelah peristiwa 30 September merupakan mimpi buruk dengan kekejaman-kekejaman yang tak terlukiskan yang diwarnai darah – tanpa tandingan dalam sejarah Indonesia.

Seorang koresponden “Washington Post” menulis dari Jakarta, bahwa di Jawa Timur saja telah dibunuh 250.000 orang menurut juru bicara pihak Islam. Koran itu kemudian memberitahukan bahwa “pembunuhan mencapai puncaknya pada bulan November 1965. Kepala orang dipakai sebagai dekorasi di atas jembatan. Di tempat lain orang melihat jenazah-jenazah tanpa kepala berjajar di atas perahu-perahu di sungai. Apa yang terjadi di sini sungguh tak bisa dibayangkan. Rupanya seperti di neraka. Bengawan Solo yang didendangkan dengan begitu indah memuat demikian banyhaknya jenazah, sehingga arinya pun kadang-kadang tam tampak. Beberapa pengamat berbicara tentang dasar sungai yang berwarna merah karena darah”, demikian Washington Post. Koran Inggris “The Economist” memperkirakan korban pembunnuhan missal berjumlah satu juta. (Roso Daras – BERSAMBUNG)

Published in: on 29 Agustus 2013 at 09:20  Comments (7)  
Tags: , , , ,

Ketika Bung Karno tak Lagi Didengar

Ada masa yang bisa kita sebut sebagai antiklimaks pada diri seorang Sukarno. Masa itu adalah bentang tahun antara 1965 – 1967, atau persisnya sejak Gestok, 1 Oktober 1965 hingga dilengserkannya dia tahun 1967. Pada saat itu, suara Sukarno benar-benar seperti angin lalu, di tengah gencarnya kekuatan yang digalang Soeharto dengan Angkatan Darat serta mahasiswa, yang semuanya didukung Amerika Serikat.

Tragedi G-30-S/PKI itu sendiri, dalam dokumen yang terekspos serta bukti-bukti yang tersaji, sungguh sebuah rekayasa jahat. Sebagian pengamat menyebutnya “kudeta merangkak”, mulai dari aksi pembunuhan jenderal hingga pendiskreditan atas diri Sukarno, hingga berujung pada tindakan pembunuhan karakter dan pembunuhan dalam pengertian yang mendekati arti sesungguhnya.

Dokumen Arsip Nasional mencatat sedikitnya Bung Karno berpidato sebanyak 103 kali dalam bentang September 1965 hingga 1967. Di tengah serangan aksi demo mahasiswa yang bertubi-tubi, serta pembunuhan karakter di media massa, Bung Karno terus dan terus berpidato dalam setiap kesempatan. Dalam setiap pidatonya, Bung Karno menjawab semua tudingan dengan sangat gamblang dan masuk akal. Akan tetapi, tidak satu pun yang mendengar.

Jenderal-jenderal yang semula patuh dan tunduk, mulai membangkang. Setiap isi pidato Bung Karno, tidak pernah lolos dari gunting sensor Angkatan Darat, sehingga tidak satu pun substansi pidato Bung Karno tadi terekspos di media massa. Sedangkan pemberitaan yang muncul selalu berisi pemutarbalikan fakta, dan opini-opini kaum oposan yang menyudutkan Bung Karno.

Sejatinya, barisan pendukung Sukarno sudah begitu kuat. Bahkan semua angkatan bersenjata dan Polisi (kecuali Angkatan Darat) berdiri di belakang Sukarno, dan siap perintah untuk menumpas aksi demo sokongan Amerika, dan aksi membangkang Angkatan Darat. Di atas kertas, kalau saja Bung Karno mau, maka dengan mudah aksi perlawanan Angkatan Darat yang dipimpin Soeharto bisa ditumpas.

Dalam banyak dokumen sejarah terungkap, Bung Karno tidak menghendaki perang saudara. Ia melarang para pendukungnya untuk melakukan aksi basmi terhadap saudara sebangsa yang membangkang. Bahkan kemudian Bung Karno memilih “mengalah” demi rakyat Indonesia, demi keutuhan bangsa. Ia bersedia menjadi tumbal. Kepada orang dekatnya, Maulwi Saelan ia pernah bertutur, biar nanti sejarah yang membuktikan, siapa yang salah dan siapa yang benar…. Sukarno atau Soeharto.

Bung Karno bahkan mulai menguak temuannya tentang adanya transfer dana dari pihak asing sebesar Rp 150 juta pada tahun 1965 dengan tujuan untuk mengembangkan the free world ideology. Dalam pada itu, Bung Karno juga mengemukakan bahwa ia memiliki surat Kartosoewirjo yang menyuruh para pengikutnya terus berjuang mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) karena “Amerika di belakang kita”. Dalam kesempatan lain lagi, Bung Karno mengutuk nekolim dan CIA. Ia bahkan berseru di hadapan para diplomat asing di Jakarta, “Ambasador jangan subvesi!”.

Atas tragedi G-30-S/PKI itu sendiri, Bung Karno terus disudutkan sebagai pihak yang patut diduga terlibat. Meski di kemudian hari kita baru menyadari… bagaimana mungkin seorang presiden mengkudeta dirinya sendiri? Itu jika kita menggunakan analogi bahwa gerakan itu dimaksudkan untuk mengganti kepemimpinan nasional.

Dalam salah satu pidato yang ia ucapkan di Bogor, Bung Karno menyebutkan bahwa berdasar visum dokter, tidak ada kemaluan jenderal korban G-30-S itu yang dipotong dalam pembantaian di Lubang Buaya. Demikian pula, tidak ada mata yang dicungkil seperti ditulis pers dengan sangat dramatis. Dalam pidato berikutnya tangal 13 Desember 1965 di hadapan par gubernur se-Indonesia, Bung Karno bahkan menuturkan, pisau yang disebut-sebut digunakan mencongkel mata para jenderal tak lain adalah sebilah pisau penyadap lateks, getah pohon karet. Tapi oleh kelompok Soeharto disebut sebagai barang bukti yang digunakan mencungkil mata para jenderal. Tidak ada bekas darah kecuali getah karet di pisau itu.

Semua pidato Bung Karno yang bermaksud meng-counter tudingan, sangkaan, dugaan serta segala bentuk pencemaran nama baik, tak mempan. Kekuatan Angkatan Darat didukung Amerika Serikat begitu merajalela. Di sisi lain, Bung Karno yang sudah mendapatkan ikrar setia dari segenap elemen masyarakat, bergeming tidak mau bertindak menumpas. Ia tidak ingin perang saudara di bumi yang dengan susah payah ia lepaskan dari jerat penjajahan. (roso daras)

Published in: on 23 Mei 2011 at 10:37  Comments (16)  
Tags: , , ,