Lelaki Berjubah Putih di Tepian Telaga Biru

Sejak masih sekolah di HBS Surabaya, dalam usia belasan tahun, Bung Karno sudah gemar menulis. Menulis apa saja… mulai dari artikel politik sampai surat cinta. Mulai dari renungan konsep kebangsaan sampai puisi. Menulis adalah ekspresi jiwa sang Proklamator. Kebiasaan menulis, menulis apa saja, terus berlanjut hingga fisiknya tak lagi memungkinkan.

Dengan tulisan tangannya, ia bisa membikin merah padam wajah durjana Belanda. Dengan tulisan tangannya, seorang gadis bisa tergila-gila dibuatnya. Baiklah, tapi bukan itu perkaranya. Kita wajib menelisik lebih dalam, kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf, sehingga kita bisa memaklumi, sebegitu dahsyatkah tulisan Bung Karno?

Beruntung, sejarah memberinya jalan lurus lagi lapang, bagi munculnya karya-karya Sukarno, khususnya berupa tulisan yang tercecer melalui banyak bentuk publikasi. Suatu kondisi yang patut disyukuri, mengingat lebih tiga dekade semua hal tentang Sukarno diberangus, ditabukan, bahkan dilarang. Itulah masa-masa desukarnoisasi yang dilakukan pemerintahan Soeharto.

Sekian banyak tulisan tangan Sukarno, berikut satu surat yang ia tulis 31 Agustus 1963, ditujukan kepada Hariyatie, salah satu istri yang dinikahinya 21 Mei 1963. Waktu itu, Hariyatie masih tinggal di rumah Jl Madiun, Menteng – Jakarta Pusat. Itu artinya, surat itu ditulis dalam suasana “bulan madu”, alias “penganten anyar”. Wajarlah kalau Bung Karno selalu terkenang-kenang kepada sosok wanita penari berparas ayu itu.

Surat itu terdiri atas dua lembar. Pada sisi kertas ditulis miring, Bung Karno menulis “Bali saka hotel, ora bisa turu, njur nulis layang iki” (Pulang dari hotel, tidak bisa tidur, lantas menulis surat ini). Memang, surat kepada Harijatie banyak dituang dalam bahasa Jawa. Berikut kutipan surat tersebut:

Yatie adikku wong ayu,

Iki lho arloji sing berkarat kae. Kulinakna nganggo, mengko sawise sesasi rak weruh endi sing kok pilih: sing ireng, apa sing dek mau kae, apa karo-karone? Dus: mengko sesasi engkas matura aku (Dadi: senajan karo-karone kok senengi, aku ya seneng wae).

Masa ora aku seneng! Lha wong sing mundut wanodya pelenging atiku kok! Aja maneh sekadar arloji, lha mbok apa-apa wae ya bakal tak wenehke.

Tie, layang-layangku ki simpenen ya! Karben dadi gambaran cintaku marang kowe kang bisa diwaca-waca maneh (kita baca bersama-sama) ing tembe jen aku wus arep pindah-omah sacedake telaga biru sing tak ceritake dek anu kae. Kae lho, telaga biru ing nduwur, sak nduwure angkasa. Coba tutupen mripatmu saiki, telaga kuwi rak katon ing tjipta! Yen ing pinggir telaga mau katon ana wong lanang ngagem jubah putih (dudu mori lho, nanging kain kang sinulam soroting surya), ya kuwi aku, — aku, ngenteni kowe. Sebab saka pangiraku, aku sing bakal ndisiki tindak menyang kono, — aku, ndisiki kowe!

Lha kae, kembang semboja ing saknduwure pasareanku kae, — petiken kembang iku, ambunen, gandane rak gandaku. Dudu ganda kembang, nanging sawijining ganda kang ginawe saka rasa-cintaku. Sebab, oyote kemboja mau mlebu ing dadaku ing kuburan.

Masmu

(tanda tangan Soekarno)

Jika Anda mengerti bahasa Jawa, tentu memahami isi surat Bung Karno. Pada bagian akhir begitu dalam maknanya, dan –maaf– saya saja merinding membacanya… antara membayangkan alam kubur dan suasana hati Bung Karno saat menuliskan kalimat itu. Baiklah… berikut terjemahan (bebas)-nya….

Yatie, adikku yang ayu,

Ini lho, arloji bertahta emas itu. Biasakan memakai, nanti setelah sebulan kamu akan tahu mana yang hendak dipilih, yang hitam atau yang satunya, atau keduanya? Jadi, nanti sebulan lagi, bilanglah (walaupun suka keduanya, aku senang juga).

Masakan aku tidak senang, lha yang meminta saja wanita jantung hatiku! Jangankan sekadar arloji, minta apa pun akan aku beri.

Tie, surat-suratku ini tolong disimpan ya! Supaya menjadi gambaran cintaku kepadamu, yang bisa dibaca-baca lagi (kita baca bersama-sama) pada suatu saat nanti, kala aku mau pindah-rumah di dekat telaga biru yang saya ceritakan ketika itu. Itu lho, telaga di atas, di atasnya angkasa. Coba kau pejamkan matamu sekarang, maka kau akan bisa membayangkan telaga itu! Kalau di tepian telaga tadi tampak lelaki berjubah putih (bukan kain kafan lho… tetapi kain yang bersulamkan pancaran sinar matahari), ya itu aku, –aku, menunggumu. Sebab dari perkiraanku, aku yang bakal mendahului pergi ke sana, aku mendahuluimu!

Lha itu, kembang kamboja di atas nisanku, petiklah kembang itu, ciumilah, maka kamu akan rasakan aroma tubuhku. Bukan aroma bunga, tetapi sebuah aroma yang tercipta dari rasa-cintaku. Sebab, akar kamboja itu menusuk menembus dadaku, di dalam kuburan sana.

Masmu

(tanda tangan Soekarno).

Demi dan atas nama surat itu, Hariyatie pun rajin berziarah ke makam Bung Karno di Blitar. Sayang, di atas pusara Bung Karno, tak tertanam pohon kamboja. Meski begitu, Hariyatie tentu bisa merasakan, aroma Bung Karno di sekitar pusara. Sebab, jazad Bung Karno begitu dicintai oleh tanah yang memeluknya dengan hangat. (roso daras)

Published in: on 29 September 2010 at 03:11  Comments (5)  
Tags: , ,

Bahagia di Meja Makan

Kalau Hariyatie ditanya, selama empat tahun menjadi istri Bung Karno (1963 – 1967), saat-saat mana yang dirasa paling mengesankan? Hariyatie, pegawai Setneg yang berlatar belakang penari ini, tidak akan menyebut saat jalan-jalan. Ia juga tidak akan menyebut saat menghadiri resepsi. Tidak pula saat bercinta. “Saat-saat paling mengesankan bersama bapak adalah di meja makan,” tutur Hariyatie.

Di meja makan, Bung Karno sangat menyenangkan. Ia bisa mencairkan suasana dan bersenda-gurau dengan semua yang ikut makan. Kebiasaan Bung Karno pula untuk bertanya kepada siapa saja, “Sudah makan? Sudah makan?” dan akan mengajak siapa saja untuk makan bersama.

Selama menjadi istri Presiden, Hariyatie selalu mengingat dan melaksanakan semua hal “yang Bapak suka” dan “yang Bapak tidak suka”. “Sebelum kami menikah, Bapak sering wanti-wanti tentang itu. Kalau beliau nulis surat ke saya, selalu saja ada kalimat dalam bahasa Inggris, always keep mind what I like and what I don’t like,” tandasnya. Karena itu pula Hariyatie tidak ingin kena marah Bung Karno, presiden sekaligus suaminya.

Nah, ihwal status “presiden” dan “suami”, Hariyatie juga harus pandai-pandai menempatkan diri. Patokan sederhana adalah begini, ketika Bung Karno mengenakan busana kepresidenan, maka Hariyatie akan menempatkannya sebagai Presiden. Termasuk ia menjaga sikapnya, untuk tetap correct. Sekalipun, di meja makan.

Seperti diungkap di bukunya, Hariyatie mengatakan bagaimana Bung Karno acap datang tiba-tiba ke kediamannya di Slipi untuk makan siang. “Ya, beliau sering rawuh tiba-tiba, masih dengan pakaian lengkap kepresidenan, kemudian makan siang di rumah. Beruntung saya selalu siap menanti Bung Karno datang. Dari pagi saya sudah mandi, sudah rapi, dan tidak lupa berkebaya, karena Bapak senang melihat saya berkebaya,” tuturnya.

Usai makan, Bung Karno akan masuk kamar dan berganti busana dengan busana santai di rumah. Inilah saat-saat Bung Karno harus diperlakukan sebagai seorang suami. Hariyatie tahu betul kebiasaan suaminya. Karena Bung Karno sudah tidak lagi berbusana kepresidenan, maka Hariyatie pun leluasa melampiaskan kemesraannya sebagai seorang istri kepada sang suami, dan Bung Karno sangat menikmatinya.

Itulah beda Bung Karno saat di meja makan (berbusana kepresidenan) dan saat Bung Karno duduk rileks di sofa (berpakaian santai). Kedua foto di atas, menunjukkan itu. (roso daras)

Published in: on 11 Juli 2010 at 08:48  Comments (4)  
Tags: , ,

Hariyatie dan Inggit

Usia Hariyatie masih 23 tahun saat dinikahi Bung Karno yang sudah berusia 63 tahun. Sekalipun begitu, Bung Karno menghargai benar sikap dewasa Hariyatie. Termasuk kemampuan Hariyatie dalam membawakan diri di depan lingkungan Istana, bahkan dalam situasi-situasi sulit, terkait dengan posisi Bung Karno sebagai Presiden dengan istri lebih dari satu.

Dalam “kisah tersembunyi” Hariyatie Soekarno, ia mengisahkan sejumlah peristiwa yang ia sebut sebagai gesekan antarpara istri Bung Karno. Belum lagi resmi menjadi istri, ia pernah bergesekan dengan Hartini. Bahkan setelah bercerai dari Bung Karno, ia pernah pula bergesekan dengan Ratna Sari Dewi.

Namun, terhadap Inggit Garnasih, ia tidak pernah mengalami gesekan berarti. Sebaliknya, Hariyatie tergolong istri Bung Karno yang relatif paling rajin dan rutin mengunjungi Inggit di Jalan Ciateul, Bandung (sekarang Jalan Inggit Garnasih). Dalam bukunya, ia hampir setiap bulan atau sebulan sekali, menyempatkan diri mengunjungi Inggit dengan iring-iringan mobil dari Jakarta.

Salah satu alasan yang mendasari langkahnya menuju Bandung bertemu Inggit setiap bulan adalah karena ia begitu hormat, begitu respek terhadap Inggit. Bagi Hariyatie, Inggit adalah sosok wanita yang pantas dituakan. Inggit di mata Hariyatie adalah sosok perempuan pendamping Bung Karno yang setia. Inggit yang mengantar Bung Karno menjadi orang nomor satu di Indonesia.

Pemahaman Hariyatie tumbuh dari pemahamannya sendiri, setelah mendengar Bung Karno menceritakan panjang lebar tentang peran Inggit pada masa-masa awal revolusi hingga pra kemerdekaan. Bahkan Bung Karno kepada Hariyatie pernah berujar, sangat sulit mencari sosok istri yang lebih berbakti daripada Inggit. Sekitar dua puluh tahun hidup bersama Inggit, Bung Karno merasakan benar bakti Inggit kepadanya.

Sekalipun Ibu Inggit bukan tergolong perempuan berpendidikan tinggi, tetapi Bung Karno mengakui dedikasi dan pengabdian Inggit selama menjadi pendampingnya. Itu pula yang membuat Hariyatie begitu mengagumi Inggit. Kedatangannya sebulan sekali ke Bandung, menemui Inggit, tentu juga dalam rangka belajar bagaimana mengabdi yang baik kepada suami. Kepada Bung Karno. (roso daras)

Published in: on 18 Mei 2010 at 02:34  Comments (2)  
Tags: , , , ,

Hariyatie Soekarno, The Hidden Story

Judul itu adalah judul buku tentang percintaan dan pernikahan Hariyatie dengan Bung Karno, yang berlangsung antara tahun 1963 – 1967. Bung Karno menikahi Hariyatie saat berusia 63 tahun, sementara Hariyatie sang penari cantik itu baru berusia 23 tahun. Postingan ini semoga saja mengobati dahaga akan informasi seputar Bung Karno dan para wanita yang pernah singgah dan mengisi hari-harinya.

Buku ini diterbitkan oleh PT Grasindo (Gramedia Group) tahun 2001. Tidak terlalu tebal, hanya 78 halaman, tetapi cukup menarik. Selain berisi romansa percintaan keduanya, juga diseling latar belakang suasana genting yang terjadi pada periode tahun 1965 – 1966.

Yang tak kalah menarik adalah pemasangan foto-foto kenangan Hariyatie  Soekarno serta surat-surat yang ditulis tangan Bung Karno. Tampak Bung Karno begitu gemar menulis surat. Ia berkirim surat untuk merayu Hariyati… Ia berkirim surat untuk meluruskan sebuah persoalan…. Ia menulis surat untuk mengatur pernikahan…. Ia menulis surat di kala susah tidur…. Dan, ia pun menulis sepucuk surat untuk menceraikan Hariyatie….

Buku ini sungguh bermaksud menguak sisi-sisi kehidupan keduanya yang tersembunyi. Kehadiran buku ini tahun 2001, bisa jadi memang sangat dinanti oleh masyarakat luas. Hal itu mengingat, tidak semua kehidupan pernikahan Bung Karno dengan para istrinya terkuak lebar-lebar.

Dalam otobiografinya, Bung Karno hanya menyinggung Oetari, Inggit Ganasih, Fatmawati, dan Hartini. Sedangkan para istri lain, seperti Ratna Sari Dewi (Naoko Nemoto), Hariyatie, Yurike Sanger, Kartini Manoppo, dan Heldy Djafar tidak tersedia bahan publikasi yang lengkap. Beruntung, bersamaan jalannya sang waktu catatan-catatan tentang istri-istri Bung Karno mulai terpublikasi. Termasuk Hariyatie Soekarno.

Kisah tersembunyi Hariyatie Soekarno, dibagi dalam tiga bagian. Bagian pertama di bawah judul inti “Pada Mulanya Adalah Suharjati”. Empat sub judul sebagai pengurai judul inti. Pertama, “Ke Jakarta Berkat Dewi Dja”, kedua “Kembali ke Kota Surabaya”, ketiga “Mengenal Istana Kepresidenan”, dan keempat “Setelah Menari Menakjinggo”.

Bagian kedua diberinya judul inti “Meniti Garis Hidup”. Judul ini diurai dalam enam sub judul. Urut-urutan keenam sub judul itu adalah, “Menerima Lamaran Bapak”, “Ikut Barisan Sukwati”, “Membeli Rumah Slipi”, “Dua Jam di Rumah Slipi (1 Oktober 1965)”, “Pertama Kali Naik Haji”, dan “Sendiri Lagi”.

Sedangkan bagian ketiga, diisi dengan “Serba Putih: Sebuah Pilihan”, dilengkapi Kenangan Foto. Itulah gambaran umum buku Harijatie Soekarno, The Hidden Story, Hari-hari Bersama Bung Karno 1963 – 1967. (roso daras)

Published in: on 16 Mei 2010 at 05:06  Comments (7)  
Tags: , ,