Gaji Bung Karno Saat Jadi Buruh Kasar

Suatu waktu, mertua Bung Karno, HOS Cokroaminoto ditangkap Belanda, dengan tuduhan mendalangi aksi mogok kerja. Mendengar kabar itu, Bung Karno yang sedang kuliah di THS spontan pamit kepada pihak THS untuk pulang ke Surabaya, mengambil-alih tugas kepala rumah tangga.

Sukarno pun balik ke Surabaya. Ia bekerja sebagai klerk, buruh kasar di stasiun Surabaya. Dari penghasilannya, ia bisa menafkahi keluarga Cokro, dan menyisakan sedikit untuk dirinya.

Beda Inggit dengan Wanita Eropa

inggit-levasseur-christiane-crecence

S.I. Poeradisastra seorang penulis hebat lagi produktif. Dalam buku “Kuantar ke Gerbang – Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno” tulisan Ramadhan KH, ia memberi kata pengantar yang sungguh menarik. Bukan saja karena gaya bertuturnya yang enak dibaca, lebih dari itu, penulis yang acap menggunakan nickname Boejoeng Saleh ini, menunjukkan kekayaan literasi yang dimilikinya, sebagai bumbu-penyedap.

Di salah satu bagian, ia menyandingkan sosok Inggit dengan tiga orang perempuan “biasa”, sebagai pendamping orang besar. Pertama ia sebut nama Marie Therese le Vasseur (1721-1801). Ia adalah istri Jean Jacqus Rousseau, seorang filsuf, penulis, sekaligus komposer besar kelahiran Genewa, Swiss (1712), dan meninggal dunia di Perancis (1778).

Kedua, Inggit disandingkan dengan “wanita biasa” pendamping orang besar lain, yaitu Christiane Vulpius (1765 – 1816). Ia adalah istri dari Johan Wolfgang von Goethe, pujangga besar bangsa Jerman (1749 – 1832).

Terakhir, Inggit diumpamakan Crecence Eugenie Mirat ( 1815 – 1883), istri Heinrich Heine, sastrawan, jurnalis, dan esais handal yang lahir di Dusseldorf, Jerman (1797) dan wafat di Perancis (1856).

Inggit yang notabene tidak berpendidikan (konon hanya pernah belajar di madrasah), tetapi ia belajar banyak dari apinya perjuangan bangsa. Sekalipun bukan keturunan bangsawan, tetapi budi-pekertinya sangat luhur.

Upaya menyandingkan Inggit dengan tiga wanita asing pendamping tokoh-tokoh dunia tadi, sesungguhnya tidaklah terlalu tepat. Bukan saja karena besarnya perbedaan kultur, lebih dari itu, ketiga tokoh wanita Eropa tadi, memang berbeda dengan Inggit. Berbeda asal-usulnya, berbeda kadar perjuangannya, dan berbeda pula ending-story-nya.

Marie Thérèse Le Vasseur misalnya, dia adalah keturunan pejabat di Orleans, sementara ibunya adalah seorang pedagang. Ia “ditemukan” Rousseau sebagai pekerja tukang cuci dan pelayan di Hotel Saint-Quentin, di Rue des Cordiers, Jenewa sebagai wanita matang berusia 24 tahun. Rousseau sendiri 33 tahun. Pernikahan mereka dikaruniai lima orang anak.

Le Vasseur juga mewarisi harta suaminya, termasuk naskah dan royalti. Bahkan, setelah kematian Rousseau tahun 1778 , ia menikah dengan lelaki lain, Jean Henri Bally, setahun kemudian. Mereka tinggal bersama di Le Plessis – Belleville sampai kematiannya pada 1801. Jauh benar kisah le Vasseur dengan Inggit, bukan?Akan halnya Christiane Vulpius (1765 – 1816). Christiane Vulpius tak terlacak jejak pendidikannya. Sejumlah literatur hanya menyebutkan, bahwa setidaknya dia belajar membaca dan menulis. Ia pernah menjadi pekerja pabrik yang memproduksi topi.Meski begitu, saudara laki-lakinya tergolong orang berpendidikan pada masanya.Pada12 Juli 1788ChristianeVulpius bertemuJohannWolfgangvonGoethe, yang merupakan sahabat kakaknya. Mereka menjalin hubungan rahasia selama delapan tahun! Baru padamusim semi1789,mereka tidak lagi menyembunyikan hubungannya. Goethe yang radikal bahkan rela menabrak norma-norma sosial dengan kumpul-kebo hingga beranak pinak. Mereka sedikitnya melahirkan empat orang anak (dua meninggal cepat). Sejak bertemu dan berselingkuh tahun 1788, mereka baru meresmikan pernikahannya 18 tahun kemudian, tepatnya19 Oktober 1806.

Kesamaan apa yang ada pada diri Christiane dengan Inggit? Jauh pula kiranya.

Nah, bagaimana dengan pengumpamaan Inggit dengan Crecence Eugenie Mirat (1815-1883) istri Heinrich Heine yang masyhur itu? Heine yang menjumpainya tahun 1934, saat Eugenie berusia 19 tahun itu, awalnya sangat tidak tertarik. Wanita yang juga akrab dipanggil “Mathilde” itu di mata Heine sebagai wanita “rendah” lantaran tidak bisa baca-tulis, tidak berkelas. Intinya, Heine tidak punya ketertarikan secara bidaya maupun intelektual terhadap Mathilde.

Tak digambarkan secara rinci bagaimana akhirnya Heine mengajak hidup bersama Mathilde pada tahun 1836, dua tahun sejak pertemuan pertamanya. Keduanya baru melangsungkan pernikahan pada tahun 1841, dan hidup bersama hingga maut memisahkan keduanya. (roso daras)

Lokat Kembang Hinis Jati buat Inggit

inggit-roso darasBermula dari sebuah “tag” di akun FB, ihwal pameran foto dan artefak Inggit Garnasih di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, saya tergerak untuk menyaksikannya. Selasa sore, 24 Februari 2015, saya meluncur ke Kota Kembang. Percayalah, gedung Indonesia Menggugat, relatif tidak asing buat saya, tetapi “Ini Bandung Bung!”…. Artinya, tetap saja tidak bisa mencapainya tanpa bertanya.

Kalau saja saya gunakan aplikasi waze, mungkin lebih mudah, toh saya memilih cara yang lebih sulit. Secara manual saya bertanya arah… Dari empat kali bertanya, saya acak, memilih dari anak muda, hingga yang kisaran umur 50-an. Jangan ditanya, mengapa untuk bertanya saja saya memilah usia? Saya sudah katakan, “memilih cara yang lebih sulit?”

Kepada sekelompok anak muda di depan BIP saya bertanya, “Maaf dik, boleh saya bertanya? Arah mana menuju Gedung Indonesia Menggugat?” Saya perhatikan ekspresi dan responsnya. Ternyata mereka hanya saling pandang, gagap. Saya timpali dengan pertanyaan kedua, “Itu lho, gedung bersejarah tempat Bung Karno dulu diadili Belanda….” Saya nantikan responsnya, …. Blank!!!

Sejatinya, peristiwa itu tidak berarti apa-apa, jika kita melihatnya dalam konteks, bahwa Gedung Indonesia Menggugat bukan tempat yang asyik buat dikunjungi. Bahwa Gedung Indonesia Menggugat tidak semenarik mal atau tempat kongkow lain. Bahwa Gedung Indonesia Menggugat, kurang penting. Bahwa saya prihatin, iya!

Nah, karena memilih cara sulit itulah, saya tiba di lokasi terlambat 30 menit. Meski begitu, saya masih kebagian prosesi pembukaan acara. Kesimpulannya, belum telat-telat amat…..

Bukan pejabat, bukan kerabat Inggit, bukan juga tokoh masyarakat… melainkan empat orang Marhaen yang diberi kehormatan panitia untuk menggunting seutas-tali-berpita-merah-putih-di-tengah, tanda diresmikannya pameran foto dan artefak Inggit Garnasih. Mereka adalah Achmad (juru pelihara penjara Banceuy), Akhmad (juru pelihara Gedung Indonesia Menggugat), Jajang (juru pelihara rumah bersejarah Inggit), dan Oneng (juru pelihara makam Inggit).

Tali digunting sudah. Dua daun pintu besar peninggalan Belanda itu pun dikuak…. Gelap… berasap… beraroma dupa. Memasuki ruang tengah, tampak sebuah ritual tengah digelar. Dari Budi Gunawan, salah satu personel panitia saya beroleh gambaran tentang ritual yang tengah digelar itu.

pembukaan pameran inggit

“Lokat Kembang Hinis Jati”, adalah tagline ritual magis tersebut. Budi menggambarkan, bahwa ritual ini merupakan persembahan kepada Ibu Inggit Garnasih. Persembahan sekaligus ungkapan rasa bangga tiada tara kepada sosok perempuan yang sangat tajam melihat masa depan bangsanya. Selain itu, ritual ini juga sebagai penghargaan atas keteguhannya menghadapi berbagai rintangan. Bahkan Inggit begitu kuat serta berani berkorban menghadapi segala tantangan demi Indonesia merdeka.

“Kembang” dimaknai sebagai perjuangan Inggit yang tetap mewangi, menghampar di persada bangsa untuk selamanya. “Hinis” adalah pengibaratan ketajaman intuisi Inggit Garnasih seperti tajamnya (hinis) bambu. Sejarah hidup dan kehidupannya telah menunjukkan ketajaman batin melihat Indonesia jauh ke depan.”Jati” adalah pohon yang kuat sekaligus kokoh. Ini adalah perlambang bagi seorang Inggit yang kuat dan kokoh menghadapi segala macam cobaan dan ujian dalam hidup.

Tampak, sembilan orang (satu perempuan) duduk melingkar. Di tengah, seorang penari cantik bersimpuh di hamparan bunga-bunga. Kesepuluh pelaku ritual itu adalah Neneng S Dinar, Ki Ustad Ridwan CH, Bah Enjum, Neneng R Dinar, Doni Satia Eka, Deni Rahmat, Bah Nanu, Neng Enok, Asep Gunawan, dan Gunadi.

Mereka membakar dupa…. tiupan suling menyayat-nyayat hati… ditingkah tembang Sunda yang melantun-mendayu…. Sejurus kemudian, sang penari memupus diam, dan melenggangkan gerakan pelan penuh penghayatan. Di sudut sana, meningkahi dengan mantram, doa, dan cucuran kata-kata puisi bermuatan kritik-sosial.

ritual inggit

Tak lebih 30 menit, ritual pun usai. Byarrrr lampu menyala…. Pelaku ritual menepi, dan panitia menyilakan hadirin untuk melihat-lihat materi pameran.

tito-roso-inggit-okAlhamdulillah saya bisa hadir di acara itu. Terlebih, saya bisa bersilaturahmi dengah “saudara” Tito Asmarahadi, cucu mendiang Inggit, putra pasangan Ratna Djuami – Asmarahadi. Tentunya berkat kata-kata “setuju” dari Tito-lah pameran ini tergelar.

Tito pula yang mengizinkan sejumlah artefak seperti alat membuat jamu yang digunakan Inggit, dipamerkan dalam kesempatan itu. Bukan hanya itu, Tito juga mengizinkan meja belajar Bung Karno semasa kuliah di THS dipamerkan juga. “Masih ada artefak lain, tapi karena soal teknis, belum bisa dipamerkan semua,” ujar Tito.

Akhirnya, saya bersyukur bisa berada di tengah komunitas pecinta Inggit Garnasih, dus… pecinta Bung Karno juga. (roso daras)

Fatmawati di “Melawan Lupa”

fatmawati melawan lupa

Hari ini, Selasa 12 November 2013, pukul 23.05 malam, Metro TV menayangkan program “Melawan Lupa”. Kali ini, topik yang diangkat tentang Ibu Negara yang pertama, Fatmawati. Adalah Aji Baskoro, reporter Metro TV yang menghubungi serta meminta kesediaan saya menjadi salah satu (dari empat) narasumber program tersebut. Saya spontan menjawab, “Kenapa tidak Inggit Garnasih?” Aji menjawab, “Eposide Inggit sudah pernah, sekarang kita akan mengangkat Fatmawati.”

Saat saya memposting tulisan ini, sama sekali belum tahu, bagian-bagian mana dari wawancara saya yang ditayangkan, dan bagian-bagian mana yang tidak ditayangkan alias kena edit. Sebelum wawancara dilakukan pun, saya sudah menyampaikan ke Metro TV untuk diperkenankan memotret sosok Fatmawati secara jujur. Jujur dari pengamatan saya tentunya.

Sekalipun begitu, saya memiliki gunting sensor sendiri atas apa-apa yang harus dan patut dikemukakan, dan bagian-bagian mana yang tidak baik untuk konsumsi publik. Sebab, seperti halnya Bung Karno, maka sejatinya istri-istri Sukarno pun memiliki banyak dimensi sebagai seorang manusia. Termasuk sudut kelebihan dan kekurangan. Jika terhadap Bung Karno, siapa saja bisa menyoal sisi-sisi yang dipandang negatif, mengapa tidak kepada istri-istrinya?

Beberapa contoh saya kemukakan di sini…. Ihwal Fatmawati yang meninggalkan Istana (baca: meninggalkan suami). Ihwal, sikapnya yang keras kepala untuk tidak mau menengok Bung Karno saat tergolek sekarat di Wisma Yaso. Bahkan, sikapnya yang menolak melayat, menengok jenazah Bung Karno saat wafat 21 Juni 1970. Tentu saja Famawati punya alasan tersendiri, mengapa dia bersikap demikian. Landasan sikapnya, barangkali hanya dia dan  Tuhan yang tahu.

Saya, dan mungkin Anda, hanya bisa menebak-nebak tentang mengapa Fatmawati berbuat demikian. Salah satu kemungkinan, kemungkinan terbesar (sekaligus terbenar) adalah karena kecemburuan dan penolakannya, ketika Bung Karno meminta izin menikahi Hartini (bahkan kemudian Ratna Sari Dewi, dan seterusnya….).

Jika itu yang terjadi, memang berbeda dengan Inggit, yang tegas tidak mau dimadu, dan minta dicerai dulu, sebelum Bung Karno menikahi Fatmawati. Nah, sikap itu tidak pernah ditunjukkan Fatmawati kepada Bung Karno. Kesimpulannya, Fatmawati meninggalkan Bung Karno dalam status masih sebagai istri.

Bayangkan, baru satu contoh saja yang kita angkat, sudah begitu banyak dan panjang interpretasi yang bisa disuguhkan. Jika Anda seorang wanita anti-poligami, tentu punya pendapat sendiri. Jika Anda seorang pengkaji hukum-hukum Islam, tentu punya pendapat tersendiri tentang sikap Fatmawati kada Sukarno, suaminya. Jika Anda melihat dari disiplin yang lain lagi, sangat mungkin melahirkan pendapat yang juga berbeda.

Apa yang hendak saya simpulkan? Bahwa sebagai generasi penerus, kita harus mencoba melihat para tokoh pendahulu dengan lebih arif dan bijak. Terakhir, mengingat jasa-jasanya kepada nusa dan bangsa, terimalah para pahlawan itu dengan segala kelebihan dan kekurangannya. (roso daras)

Bung Karno dan Pesona Teluk Numba

Dalam empat tahun lebih masa pembuangannya di Ende, Bung Karno mengisinya dengan menikmati keindahan alam setempat. Salah satu objek pemandangan yang sangat disenangi adalah Teluk Numba, sekitar 12 kilometer ke arah barat dari kota Ende. Ia bahkan meminta pelukis besar, Basuki Abdullah untuk menuangkannya ke dalam kanvas, kemudian mengoleksinya sebagai kenang-kenangan bersejarah.

Ini memang tulisan tentang salah satu objek lukisan berjudul “Pantai Flores” karya pelukis besar Basuki Abdullah. Lukisan itu, bisa dipastikan sangat spesial. Setidaknya, itu adalah salah satu lukisan yang dikoleksi Bung Karno, dan dipajang di ruang tengah Istana Bogor. Perhatikan foto berikut:

Omi-BK-Asmarahadi-Teluk Numba

Foto Bung Karno diapit anak angkat kesayangan, Ratna Djuami atau akrab disapa Omi (meninggal 23 Juni 2013), dan suaminya, Asmarahadi. Foto ini diambil tahun 1956, di Istana Bogor. Bung Karno secara khusus mengajak Omi dan Asmarahadi berfoto dengan latar belakang lukisan “Pantai Flores” yang tak lain adalah Teluk Numba ankah itu sangat menyentuh? Inilah lukisan aslinya:

Pantai Flores - Basuki Abdullah

Omi, sangat boleh jadi, dan bisa dipastikan, turut serta ke Teluk Numba, menemani papinya menikmati keindahan Teluk Numba. Asmarahadi? Bisa jadi ada di Teluk Numba pula saat Bung Karno ke sana. Sebab, Asmarahadi sempat dipanggil ke Ende oleh Bung Karno untuk mengajar Omi dan Kartika (anak angkat Bung Karno – Inggit yang lain), agar tidak tertinggal pendidikannya, meski berada di tanah buangan. Bung Karno tegas-tegas menolak menyekolahkan Omi di sekolah Belanda yang ada di Ende.

Kembali ke foto bersejarah itu. Perhatikan latar belakangnya. Itulah lukisan Basuki Abdullah yang dipesan khusus oleh Bung Karno. Lalu, perhatikan foto Teluk Numba 12 Oktober 2013 di bawah ini. Kiranya, dari sudut inilah Basuki Abdullah melukis “Pantai Flores” yang tak lain adalah Teluk Numba.

Teluk Numba kini

Ya, kiranya, inilah objek lukisan yang digemari Bung Karno karena nilai sejarahnya. Bagi pelalu-lintas rute Ende – Labuan Bajo, tentu akrab dengan pemandangan ini. Sebab, letak Teluk Numba di bibir jalan provinsi antarkota di Flores bagian selatan. Dari pusat kota Flores, berjarak kurang lebih 12 kilometer ke arah barat. Tidak terlalu jauh dari lokasi sungai Nangaba, tempat Bung Karno gemar berendam.

Di sepanjang jalur Ende – Teluk Numba, dan masih jauh setelahnya, sangat banyak pemandangan yang begitu indah, perpaduan dari gunung karst di kanan jalan, dan hamparan laut di kiri jalan. Nah, yang menarik adalah, alam seperti sudah menyediakan space untuk menikmati keindahan pemandangan Teluk Numba. Titik pandang foto itu, diambil dari semacam semenanjung, yaaa… tepatnya tanah-lebih yang menjorok ke arah laut, sehingga bisa untuk memarkir kendaraan, dan turun menikmati keindahan Teluk Numba. Tanah lapang yang saya maksud seperti tampak dalam foto di bawah ini. Di pinggir kanan foto itulah tanah lapang tempat Basuki Abdullah melukis dulu.

Sayang, dalam buku “Koleksi Lukisan Bung Karno” yang terdapat lukisan “Pantai Flores” karya Basuki Abdullah itu, tidak menyebutkan tanggal kapan dilukis. Jika Basuki Abdullah berangkat ke Ende (untuk melukis Teluk Numba) bersama Bung Karno, ada dua kemungkinan, yakni tahun 1950 dan 1954.

DSC04689

Jika saja kita layangkan imajinasi ke tahun antara 1934 – 1938, bentang waktu selama Bung Karno dibuang di Ende, yang pertama terlintas di benak adalah, “Bung Karno memang tidak bisa diam berpangku tangan”. Di tanah interniran ini, ia gunakan waktu sebaik-baiknya. Dari yang lazim diketahui, tentang perenungannya di bawah pohon sukun, tentang aktivitasnya melatih grup tonil Kelimutu, tetapi kini kita tahu, bahwa Bung Karno juga memanjakan dahaga mereguk indahnya Indonesia melalui kunjungan ke lokasi-lokasi yang memang sangat indah.

Seperti kata Bung Karno kepada penulis biografinya, Cindy Adams, dia akan menghela nafas panjang manakala menyaksikan indahnya bumi Indonesia. Tahun 30-an, kawasan Teluk Numba tentunya jauh lebih alami, jauh lebih indah. Belum ada hiruk-pikuk kendaraan bermotor. Dan Bung Karno pun bisa menikmati Teluk Numba dari “semenanjung” kecil yang tampak di foto atas.

Roso Daras di Teluk NumbaEnde benar-benar menjadi bumi inspirasi bagi Bung Karno. Inspirasi bagi gagasan landasan negara yang kemudian dikenal dengan Pancasila, maupun inspirasi bagi lahirnya karya-karya seni dari otak dan tangannya. Ia menulis belasan naskah tonil. Ia melukis set-dekor panggung pertunjukan tonil. Ia melukis berbagai objek alam dan kehidupan manusia, di atas kanvas. Ia menanam bunga dan sayuran. (roso daras)

Published in: on 13 Oktober 2013 at 10:16  Comments (3)  
Tags: , , , , , ,

Mengenang Ibu Amsi, Mertua Bung Karno

ibu amsiHari ini, 12 Oktober 2013, adalah hari  wafat Ibu Amsi. Ya, 78 tahun yang lalu, tepatnya 12 Oktober 1935, ibu dari Inggit Garnasih, ibu mertua Bung Karno wafat terserang malaria. Lima hari tergolek di tempat tidurnya, di rumah pengasingan Bung Karno di Ambugaga, Ende, Flores. Diriwayatkan, hanya sekali ibu Amsi sadarkan diri, setelah itu tergolek tak sadar, hingga ajat menjemput. Ibu Amsi wafat di pangkuan Bung Karno, menantu kesayangan.

Ketika itu, cucu ibu Amsi, anak angkat Bung Karno – Inggit, Ratna Djuami juga terserang malaria. Bedanya, Omi, begitu ia dipanggil, pulih, sedangkan Tuhan menghendaki Ibu Amsi wafat di tanah interniran, di tanah buangan, nun jauh dari Bandung. Pemerintahan kolonial, karesidenan Ende, sama sekali tidak mau mengulurkan tangan untuk memberinya bantuan perawatan. Bahkan, setelah meninggal dunia pun, jenazahnya dilarang dikubur di dalam kota.

Bung Karno dan kawan-kawannya, harus menggotong jenazah Ibu Amsi jauh naik bukit, masuk ke tengah hutan. Ke tempat yang ditunjuk dan dibolehkan Belanda untuk memakamkan ibu Amsi. Bung Karno pula yang turun ke dasar lahat, menerima jazad ibunda mertua, meletakkannya di tanah menghadapkannya  ke arah kiblat, menutup dan mengurug.

Bukan hanya itu. Tangan Bung Karno sendiri yang memahatkan tulisan IBOE AMSI di dinding nisan sebelah utara. Bersama teman-temannya, Bung Karno naik ke pegunungan, mengambil bongkahan batu karst yang keras, dan memahatnya menjadi seukuran batako, kemudian meletakkannya di sekeliling-pinggir-atas permukaan nisan. Jumlahnya 21.

Ibu Amsi, seperti halnya Inggit, dan jutaan rakyat Indonesia, termasuk pengagum berat Bung Karno. Syahdan, ketika Inggit berunding bersama saudara-saudaranya di Bandung, tentang ikut-tidaknya Inggit ke pembuangan, Ibu Amsi muncul mendadak dan menyatakan sikapnya, “Saya juga ikut (ke pembuangan)”.

Inggit dalam buku “Kuantar ke Gerbang” menuturkan, di antara kerabatnya, terdapat silang pendapat. Antara yang setuju Inggit mendampingi Bung Karno ke pembuangan, dengan pendapat yang menyatakan sebaiknya Inggit tidak ikut. Dalam penuturannya, Inggit juga mengisahkan, jauh di dasar hati, sudah terpancang tekad akan setia mendampingi Bung Karno.

Bung Karno sendiri sempat bertanya ragu kepada Inggit, “Kumaha Enggit, enung, bade ngiring? (Bagaimana Inggit, sayang, akan ikut?). Akan ikut ke pembuangan atau tinggal di Bandung saja? Yang dibuang itu tidak tahu kapan ia akan kembali. Entah untuk lama, entah untuk sebentar. Entah untuk selama-lamanya. Tak berkepastian. Terserah kepadamu, Enggit….”

Inggit cepat menjawab, “Euh kasep (Ah, sayang), jangankan ke pembuangan, sekalipun ke dasar lautan aku pasti ikut. Kus jangan was-was mengenai itu, jangan ragu akan kesetiaanku”.

Keesokan harinya, di stasiun Bandung, betapa gembira Bung Karno saat melihat Inggit menyertai, diikuti pula ibu mertuanya, Ibu Amsi, beserta Ratna Djuami, dan dua orang pembantu, Muhasan (Encom) dan Karmini. Sungguh besar makna Ibu Amsi. Sekalipun dia sudah cukup usia, dan sering sakit-sakitan, tetap menunjukkan semangat mengikuti anak, cucu, dan menantu ke tanah interniran yang tak terbayang di mana letak dan jauhnya.

Di Ende, di tanah buangan, dalam banyak kisah dilukiskan, betapa Ibu Amsi menyemangati Inggit untuk menyemangati Bung Karno. Jika dilihatnya Bung Karno duduk murung di belakang rumah, Ibu Amsi segera mencari Inggit. Apa pun yang sedang dikerjakan Inggit, memasak atau menjahit, dimintanya untuk segera dihentikan. Inggit disuruhnya menemani Bung Karno, mengajak bicara, membangkitkan semangatnya, dan mencerah-ceriakannya kembali.

Ibu Amsi pula yang meminta Inggit menyiapkan makanan-makanan kesukaan Bung Karno di Bandung, di antaranya sari kacang ijo, sayur lodeh, dan lain-lain. Ibu Amsi, ibu mertua yang sadar peran dan fungsi, dalam ikut menjaga semangat Bung Karno. Semangat menggelora untuk memerdekakan bangsanya. Di  akhir riwayat, Bumi Ende-lah yang ditetapkan Tuhan, untuk memeluk jazad wanita mulia itu.

Bumi Ende dan masyarakat Ende, bisa dikata telah menyatu dengan Ibu Amsi. Tanpa diminta, warga Ende, terutama kerabat dan keturunan sahabat-sahabat lama semasa pembuangan Bung Karno, masih menziarahinya. Tragedi gempa bumi di Ende tahun 1992, mengakibatkan makam Ibu Amsi terurug longsoran tanah sehingga tak lagi tampak wujud nisannya. Adalah seorang warga bernama Abdullah, yang tinggal tak jauh dari makam Ibu Amsi, spontan menyingkirkan longsoran tanah, membersihkan makam Ibu Amsi, diikuti warga yang lain, sehingga makam itu tetap terjaga sampai sekarang.

Ini adalah sekelumit catatan buat mengenangmu, Ibu Amsi…. Seorang ibu, Ibu Inggit Garnasih, Ibu mertua Bung Karno, yang sekalipun samar, tak  layak dan tak boleh dihapus dari catatan sejarah bangsa. (roso daras)

Published in: on 12 Oktober 2013 at 05:06  Comments (2)  
Tags: , , , ,

Ketika Bung Karno Merasa Kalah

Inggit-BKUntuk sekian lama… bumi Ende dengan masyarakatnya, nyaris menenggelamkan Bung Karno secara intelektual. Ketika itu, ia belum melakukan korespondensi dengan T.A. Hassan di Bandung untuk berbicara tentang Islam. Ketika itu, dia belum berjumpa dengan Pastor Paroki di Ende, P.G. Huijtink SVD (Serikat Sabda Allah).

Inggit Garnasih, istri yang setia mendampingi Bung Karno, dalam penuturannya kepada Ramadhan KH (Kuantar ke Gerbang) mengisahkan dalam satu bagiannya. Ketika Bung Karno tampak murung, tidak seperti biasa, Inggit tahu benar perubahan roman wajah suami yang ia panggil Kus (Ngkus) itu. Inggit tahu benar, bahwa Bung Karno tidak boleh patah semangat. Bung Karno tidak boleh kehilangan harapan.

Saat malam tiba, Inggit pun mendesak lembut… Inggit berusaha keras mengeluarkan gumpalan gundah yang ada di dasar sanubari sang “kasep” Ngkus-nya. “Pengasingan ini sudah mengubah segalanya. Saya khawatir melihat Ngkus….”

Bung Karno masih berusaha menyembunyikan gundah. Inggit pun mengeluarkan kalimat pamungkas, “Saya tahu Kusno…. Semua terasa di sini… di batin. Kalau Ngkus senang, saya merasa senang. Ngkus sedih dan takut, saya merasa lebih sedih, lebih takut”.

Inggit melanjutkan, “Saya tahu Ngkus tidak bisa sendiri. Ngkus harus selalu didengar banyak orang. Ngkus harus selalu memimpin banyak orang. Di sini, di tanah pembuangan, saya tidak melihat Bung Karno singa podium yang gagah itu. Di mana semangatmu yang begitu menggelora, Ngkus kasep? Itu yang saya khawatirkan….”

Bung Karno masih diam. Tapi di keremangan malam, Inggit bisa melihat mata suaminya yang berkaca-kaca. Inggit meraih pundak suaminya, menatapnya lembut, “Menangis saja, Ngkus-ku…. Tumpahkan segala kekesalan, kegelisahan, ketakutan, kemarahanmu…. Jangan pernah malu di depan istrimu ini. Saya lebih takut jika tak tahu perasaan Ngkus yang sebenar-benarnya…. Saya lebih takut itu, Ngkus….”

Demi mendengar kata-kata istrinya, ketulusan dan kelembutannya… Bung Karno pun menangis…, “Maafkan saya Enggit… Maafkan… Singa podium itu sudah kalah…. sudah kalah….”

Inggit harus menangis… harus!!! Tapi dia mampu membendung air matanya, dan tidak ikut larut. Inggit sadar, menemani Bung Karno dalam kesedihan, hanya akan membuat Bung Karno makin dalam terbenam dalam keputus-asaan. Masih dengan elusan lembut, meluncur kalimat yang tak kalah lembutnya, berbisik di telinga Kusno…. “Ngkusku… kasepku… tolong kasih tahu, apa-apa saja yang bisa saya lakukan buatmu…. akan Inggit lakukan, asal Ngkus tidak putus asa seperti ini….”

Kusno makin dalam membenamkan kegalauan hatinya di pelukan Inggit…. “Nuhun Enggit… Nuhun… sudah sedemikian banyak pengorbanan Enggit buat saya…. Maafkan Ngkus, membuat geulis harus menanggung risiko yang berat ini….”

Inggit memeluk erat Bung Karno, mengusap kepalanya, dan sejurus kemudian menatap wajah Kusno…, “Cinta kadeudeuh saya kepada Ngkus tidak bisa diukur hanya dengan saya ikut ke tanah pembuangan ini. Saya senang, selalu senang bisa berbakti kepada suami. Saya senang, kaseeeppp…, asal Ngkus janji. Janji yaaa… Ngkus harus bangkit lagi.”

Inggit segera mengusap air mata suaminya…. Mata Enggit menatap dalam mata Ngkus… Kusno… Sukarno, suami yang selalu dipuji-puji kegantengannya itu, (kasep: Sunda = ganteng). Di keremangan malam, Inggit melihat sesungging senyum di bibir Kusno.

Seperti dituturkan dalam bukunya, Inggit mengakhirinya dengan kalimat…. “Seperti biasa… saya harus pandai membuatnya tenang, membuatnya senang, hingga tertidur pulas setelahnya….” (roso daras)

Published in: on 11 Oktober 2013 at 03:19  Comments (4)  
Tags: , , ,

Nangaba, Pemandian Bung Karno

Bung Karno berenang di NangabaBung Karno (tertawa) dan enam orang sahabatnya, berendam di Nangaba.

Nangaba, sebuah sungai yang mengalir jernih, terletak sekitar delapan kilometer dari kota Ende. Di tempat inilah dulu, semasa pembuangan antara tahun 1934 – 1938, Bung Karno dan kawan-kawan sering menghabiskan waktu untuk berendam. Ya, berendam, karena airnya relatif dangkal, sehingga kurang pas kalau disebut berenang, bukan?

Dalam foto kenangan di Nangaba, Bung Karno tampak paling kanan, di antara enam kawan yang lain. Di kejauhan, tampak seseorang berbaju putih, berdiri di tengah sungai, dengan kedalaman selutut saja. Kini, sekitar 76 – 79 tahun kemudian, di tahun 2013, suasana di Nangaba tentu saja tidak serimbun dulu.

Masyarakat sekitar menceritakan, dulu, di Sungai Nangaba banyak sekali batu besar berdiameter satu hingga dua meter. Kini, pemandangan itu tak ada lagi. Kalaupun ada batu besar, diameternya tak lebih dari setengah meter. Itu pun relatif tidak banyak. Sekalipun begitu, menurut warga sekitar, kodisi dasar sungai, relatif sama. Yakni terdiri dari bebatuan aneka warna.

Melihat dari permukaan, sangat jelas terlihat batu-batu di dasar sungai yang begitu indah karena corak dan warnanya yang beragam. Ukuran batu di dasar sungai, dari yang seujung jempol, sampai yang sekepal-dua-kepalan tangan. Di sana-sini tampak ikan-ikan kecil berenang kian-kemari dengan gesitnya. Di dinding batu besar, biasanya menempel ikan-ikan kecil. Ya, menempel seperti lintah. Entah jenis ikan apa, dan apa pula namanya.

Dulu, menurut penuturan anak angkatnya, Kartika, kalau Bung Karno nyemplung Sungai Nangaba, ia langsung memerintahkan teman-teman, termasuk Kartika, Ratna Djuami, membuat tanggul dari batu-batu yang ada. Dengan membedung sungai, sekalipun air tetap saja mengalir, setidaknya bisa meninggikan permukaan air di tempat Bung Karno berendam. Walhasil, jika kita perhatikan foto di atas, dalam posisi duduk, permukaan air bisa seleher.

Begitu rimbun alam sekitar, serta begitu jernih air sungai yang mengalir, membuat siapa pun akan menikmati suasana Nangaba. Tidak salah, Bung Karno sang pecinta keindahan itu begitu gemar mandi di sini, sampai-sampai menyempatkan diri mengajak teman-teman dan juru foto….

Hingga tahun 70-an, menurut penuturan masyarakat di sana, acap orang datang berendam dengan tujuan “ngalap berkah” Bung Karno. Ada yang berendam malam-malam, ada pula yang berendam siang-siang. Maklum, bagi sebagian masyarakat Ende, nama Bung Karno begitu dimuliakan. Bahkan bagi sebagian orang, hingga periode tertentu, Bung Karno cenderung dikultuskan.

Roso Daras di NangabaKini? Nangaba masih Nangaba. Beda masa, sudah beda pula pemandangannya. Kondisi air memang masih sangat-sangat jernih, tetapi pinggiran sungai tidak begitu bersih. Banyak sampah plastik di sana.

Di beberapa ruas sungai, tampak aktivitas sehari-hari masyarakat. Ada orang mencuci mobil, ada sekelompok perempuan mencuci pakaian, ada pula sekelompok anak bermain-main. Dan, …ada pula pemilik blog ini yang berendam di sana….. (roso daras)

Published in: on 10 Oktober 2013 at 09:04  Comments (3)  
Tags: , , , , , ,

Rumah Ende, 20 Tahun Kemudian

rumah ende

Perhatikan caption (keterangan foto) di atas: “Pengresmian rumah museum (bekas rumah kediaman Bung Karno di Ende) oleh P.J.M. Presiden Rep. Indonesia, pada hari Minggu, tgl 16 Mei 1954.”

Akhirnya, 20 tahun kemudian, Bung Karno “pulang” ke rumah Ende. Bukan sebagai orang interniran (buangan) penjajah seperti yang ia alami tahun 1934, tetapi sebagai Presiden Republik Indonesia, pada tahun 1954.

Sejak itu, rumah tadi menjadi situs peninggalan sejarah yang dipelihara pemerintah. Sebelumnya, Bung Karno sudah meminta Kepala Daerah Flores di Ende, Monteiro untuk melakukan proses pembelian rumah yang terletak di kawasan bernama Ambugaga itu. Monteiro pun langsung menghubungi sang pemilik, salah satu orang berada di sana, Haji Abdul Amburawuh. Transaksi pun terjadi, dan selanjutnya, menjadi aset pemerintah hingga sekarang.

Membayangkan peta kota Ende, tahun 1934, barangkali kawasan Ambugaga terbilang jauh kemana-mana. Tetapi dalam peta kota sekarang, rumah yang oleh ibu Inggit dilukiskan sebagai cukup luas, tetapi beratap pendek, dan pengap di dalamnya itu, berada di tengah kota. Jalan di depannya sudah beraspal. Jalan Perwira, adalah nama jalan yang melintang di depan rumah bersejarah itu.

Jika dahulu ada kesan jauh, bisa dimaklumi, karena jarak antar satu rumah dan rumah lain berjauhan. Dengan kata lain, populasi kota Ende belum sepadat sekarang. Padahal, kalau berbicara dari ukuran atau jarak, nyata, bahwa lokasi itu relatif dekat ke mana-mana.

Menyandingkan foto lama dengan foto sekarang, tampak benar bedanya. Pada foto lama, masih tampak latar belakang pepohonan, tetapi sekarang nyaris tak berpohon. Kiri-kanan-depan-belakang sudah padat dengan perumahan warga. Sayang memang, rumah bersejarah itu tidak dikembalikan pada keluasan semula. Kalau saja pemerintah membebaskan rumah-rumah di sekelilingnya, setidaknya masyarakat sekarang bisa melihat kondisi rumah itu dalam perspektif yang sebenarnya.

Kini, dengan dikelilingi pagar tembok, “rumah Bung Karno” di Ende itu lebih bersih. Menilik ruang-ruang di dalamnya, jauh dari kesan pengap. Apalagi di halaman belakang…. Lebih tertata rapi. Ya, tentu saja telah dilakukan penggantian material rumah. Tetapi otoritas pemugar rumah itu cukup baik, dengan tidak merombak struktur bangunan inti. Hanya sayang, mushola yang dibangun Bung Karno di sudut belakang rumah sudah hilang, dan beralih fungsi menjadi rumah warga.

Setidaknya, Bung Karno telah “menyelamatkan” situs itu menjadi peninggalan bersejarah. Dalam catatan, setidaknya dua kali Bung Karno (selama menjadi Presiden RI) berkunjung ke Ende. Dan dalam dua kali kunjungannya itu, selalu saja Bung Karno memanfaatkannya untuk mengenang masa-masa pembuangan di Ende. Salah satunya, dengan mengistirahatkan pasukan pengawal. Bung Karno minta dicarikan Riwu Ga, ya, putra Sabu yang ikut keluarga Bung Karno – Inggit, bahkan menyertainya hingga Bengkulu, sebagai “penjaga”-nya.

Riwu, pemuda Sabu, adalah pembantu setia Bung Karno, yang dalam perannya, acap bertugas pula sebagai pengawal sekaligus penjaga. Selama kunjungannya, Bung Karno menginap di rumah negara (rumah dinas kepala daerah), Riwu pun dihadirkan. Apakah untuk kembali mengawal Bung Karno? Itu barangkali bahasa resminya. Tetapi, hampir dapat dipastikan, Bung Karno hanya ingin bernostalgia bersama Riwu. Dengan Riwu di sisinya, maka keberadaan Bung Karno di Ende, tentu menjadi lebih bermakna. (roso daras)

foto di rumah ende

Foto lama. Duduk, Ibu amsi (kiri) dan Inggit Garnasih (kanan). Berdiri, dari kanan: Bung Karno, Asmarahadi, Ratna Djuami (Omi). Paling kanan, sahabat Bung Karno di Ende bersama istrinya (berdiri nyender di samping kanan Ibu Amsi). Hingga tulisan ini posting, belum terkonfirmasi nama kedua sahabat keluarga Bung Karno di Ende itu.

DSC04592

Jika foto lama di atas diambil dari sisi kiri rumah, maka foto tahun 2013 di atas, diambil dari sisi kanan. Bentuk masih asli. Dan tentu saja lebih terawat, setelah mengalami restorasi seperlunya.

DSC04594

Berfoto di samping rumah pembuangan Bung Karno di Ende. Dari kiri: Peter A. Rohi (wartawan senior), Tito Asmarahadi (putra ke-4 pasangan Ratna Djuami – Asmarahadi), Roso Daras.

Published in: on 10 Oktober 2013 at 02:09  Comments (5)  
Tags: , , , , ,

Makam Ibu Amsi “Terancam”

Tito Asmarahadi di makam Ibu AmsiSudah lebih seminggu di Ende, rasanya kurang afdol kalau tidak berziarah ke makam ibu Amsi, ibu mertua Bung Karno, ibunda Inggit Garnasih. Ibu Amsi termasuk dalam rombongan yang menyertai Bung Karno melakoni pembuangan ke Pulau Bunga (Flores), tepatnya di Ende tahun 1934.

Sebelum mengembuskan napas terakhir pada 12 Oktober 1935, ibu Amsi sempat tergolek tak sadar diri selama lima hari. Dan selama itu pula, Bung Karno setia mendampinginya bersama Inggit. Pada saat bersamaan, anak angkat kesayangan mereka, Ratna Djuami, juga mengalami sakit yang sama. Sungguh sebuah kerundung duka yang menyesakkan dada.

Seperti dituturkan Inggit dalam buku “Kuantar ke Gerbang”, ibu Amsi tidak berwasiat apa pun sebelum meninggal dunia. Inggit hanya merekam pembicaraan yang terjadi di perjalanan naik kereta api ekspres Bandung – Surabaya, sebelum akhirnya mereka naik kapal menuju lokasi interniran di Ende, Pulau Bunga (Flores). Ketika itu, ibu Amsi bertutur, “Jika saya meninggal dunia di sana (Ende), maka kuburkanlah di sana.”

Menjelang ajal, ibu Amsi memang tak sadar diri. Inggit sendiri dalam hati sudah mengikhlaskan, seandainya Tuhan yang Maha Kuasa berkehendak mengambil sang bunda. Tapi toh, hantaman duka cita itu begitu menohok ketika akhirnya ibu Amsi benar-benar wafat di pangkuan Bung Karno.

Ibu Inggit berusaha keras menahan air mata. Demikian pula Ratna Djuami, yang meski belum sembuh benar, bangkit demi mengetahui neneknya wafat. Tak ada air mata. Inggit telah mendidik Omi, untuk tidak menitikkan air mata saat melayat jenazah. Demikian pula anak angkat yang lain, Kartika. Meski masih kecil, dia sudah pandai menghayati ajaran ibu angkatnya, ibu Inggit. Sebaliknya, Bung Karno yang menitikkan air mata. Bung Karno begitu mencintai ibu mertua, sama besar seperti ibu Amsi mencintai anak menantu yang dibanggakan itu.

Jarak rumah duka ke pemakaman kurang lebih dua kilometer. Dalam biografi Bung Karno maupun ibu Inggit, foto-foto yang ada menampakkan lokasi makam yang terletak di tengah hutan dalam dataran tinggi. Bung Karno pun melukiskan, ia bersama rekan-rekan anggota tonil Kelimutu yang menggotong jenazah Ibu Amsi naik lereng gunung, masuk ke tengah hutan.

Tentu saja, 7 Oktober 2013, saat saya menziarahinya, suasana itu tidak ada lagi. Kini, lokasi makam ibu Amsi boleh dibilang berada di tengah kota Ende. Akses ke lokasi pekuburan pun relatif mudah dijangkau. Mobil bisa parkir tak jauh dari pintu makam. Ya, di lokasi itu, kini menjadi pemakaman umum.

Ketika tiba di lokasi, tampak kegiatan sejumlah pekerja yang diawasai dua orang mandor. Rupanya, mereka adalah para pekerja yang tengah mengerjakan pemugaran makam ibu Amsi. Ketika terlibat obrolan, betapa kaget dan masygul hati ini, demi melihat gambar renovasi yang  menghilangkan batu nisan maupun tulisan tangan Bung Karno. “Ya, kami akan tutup makam ini, dan membangun makam baru di atasnya,” ujar sang mandor.

Apakah itu berarti, prasasti yang dibikin sendiri  oleh tangan Bung Karno  juga akan ditimbun? “Benar,” jawabnya enteng. Apakah batu-batu yang berjumlah 21 yang kesemuanya dibawa oleh Bung Karno dan teman-temannya juga akan ditimbun? “Ya, benar, pokoknya sesuai gambar. Saya hanya mengerjakan sesuai perintah,” ujar sang mandor. Dan sesuai gambar, dia akan mengurug semua bangunan makan asli. “Kalau nanti ada yang bertanya aslinya, ya masih ada. Silakan dibongkar,” ujarnya enteng.

Bukankah dengan demikian pemugaran ini justru akan menghilangkan nilai sejarah makam ini? Bukankah dengan demikian pemugaran  ini justru akan menghilangkan peninggalan Bung Karno? Bukankah dengan demikian pemugaran  ini justru akan mengubur sejarah itu sendiri? Bukankah dengan demikian pemugaran ini justru sama dengan upaya menghilangkan salah satu jejak Bung Karno di Ende?

Sang mandor sempat terpekur. Dia pun menyadari hal itu. Akan tetapi, kuasa mengubah gambar bukan ada di tangannya. “Pemborongnya dari Jakarta. Gambar ini juga saya terima dari Jakarta,” ujarnya. Ketika ditanya, apakah pemborong maupun penggambar desain makam pernah berkunjung ke makam ibu Amsi? Dijawab, “Mereka belum pernah datang ke sini.”

Saya yang berziarah bersama keluarga almarhumah, yakni Bung Tito Asmarahadi (cicit atau buyut Ibu Amsi, karena dia putra dari Ratna Djuami), dan wartawan senior Peter A. Rohi, merasa “ketiban mandat”. Tentu bukan suatu kebetulan, kalau kita ditakdirkan berziarah di saat mereka sedang bekerja hendak mengurug makam ibu Amsi. Ini semacam mandat agar kita mencegah rencana pemugaran dengan gambar atau desain yang ngawur itu.

Kami sepakat berusaha agar pemugaran itu sebisa mungkin tidak mengubur bangunan asli, terlebih menenggelamkan batu nisan dan pahatan tangan karya Bung Karno. Sang mandor yang mulai paham konteks sejarah, mulai mengerti. Dia bahkan menyarankan untuk mengambil titik nol pengurugan dari bawah (dasar) bangunan nisan ibu Amsi. “Tapi konsekuensinya, di bagian atas harus dipangkas agar permukaan makam lebih tinggi. Itu tentu menyalahi gambar, dan ada konsekuensi biaya tambahan,” ujarnya. Khas bahasa pemborong….

Semoga saja, upaya mencegah penghapusan jejak sejarah Bung Karno di makam Ibu Amsi berhasil. Namun jika gagal, dan akhirnya makam ibu Amsi dipugar sesuai dalam gambar si mandor tadi, maka dengan ini saya nyatakan, “Terkutuklah siapa pun yang terlibat dalam pemugaran makam ibu Amsi, yang tidak tahu sejarah itu!!!” (roso daras)

roso daras di makam ibu amsi

Published in: on 7 Oktober 2013 at 10:30  Comments (3)  
Tags: , , ,