Mengemas Bandung-Ende-Bengkulu

roso daras dan reza indragiri amriel-cropSuatu hari, Reza Indragiri Amriel berkirim pesan lewat Facebook. Tak lama hari berselang, Reza datang bersama temannya, Bara Setiaudi. Adu-bincanglah kami bertiga. Topiknya seputar ide menyelenggarakan paket wisata sejarah “Bandung-Ende-Bengkulu”.

Ah… mendengar tiga kota itu disebut, sontak pikiran jadi penuh sesak. Bandung dengan Studie-Club-nya, dengan Banceuy-nya, dengan PNI-nya, dengan Cinta Inggit-nya, dengan Sukamiskin-nya, bahkan dengan Marhaen-nya.

Ende? Ah, rumah tua di Ambugaga, makam keramat Ibu Amsi, pulau bunga di antah-berantah, malaria, Pancasila, Nangaba, Teluk Numba, Kelimutu… campur-aduk berdesak-desak di rongga kepala.

roso daras dan bara setiaudi-cropBengkulu? Cinta Fatma, Pantai Panjang, “insiden” di masjid, mendaratnya Jepang, kocar-kacirnya Belanda, perjalanan panjang ke Muko-Muko… entah apa lagi yang berdesak-desakan di ruang memori.

Sungguh tiga kota yang lekat-sarat dengan kenangan Bung Besar. Untungnya, Reza dan Bara tidak menambahkan Surabaya sebagai kota yang tak kurang bersejarahnya. Bukan saja ada memori ciuman pertama Bung Karno dengan noni Belanda Mien Hessels, tapi juga padat dengan aktivitas Sukarno mendampingi HOS Cokroaminoto, gurunya. Perdebatan konstruktif dengan Alimin, Kartosuwirjo, dan anak-anak didik Cokro lainnya di Gang Peneleh. Suka-duka menimba ilmu di HBS dengan selingan perkelahian dengan murid-murid berambut jagung lainnya.

Matahari sudah tergelincir ke barat, ketika Reza dan Bara berpamitan. Sepanjang itu pula, kami berdiskusi tentang kemasan tour sejarah ke Bandung – Ende – Bengkulu selama lima hari empat malam. Cukup padat memang. Bara mengemas dalam bentuk proposal kegiatan yang menarik. Intinya, tinggal dimatangkan, dan digulirkan. Juni, bulan Bung Karno yang akan datang, rencana itu ditargetkan harus berjalan. Tidak penting berapa orang pesertanya. (roso daras)

 

Published in: on 1 April 2016 at 12:01  Comments (2)  
Tags: , , , , ,

Santap Pecel di Atas Tikar

Lagi, soal nasi pecel. Bung Karno paling menikmatinya. Dan, Inggit Garnasih sangat tahu itu. Maka, bukan saja ketika Bung Karno masih tinggal di Bandung pada awal-awal pernikahan mereka, hingga di tempat-tempat pembuangan pun, Inggit begitu rajin membuatkan menu nasi pecel buat suaminya.

Sebuah menu yang sangat sederhana. Makanan khas Jawa Timur (Madiun) ini, sejatinya sudah dikenal bangsa ini turun-temurun. Tidak hanya masyarakat Jawa Timur, tetapi juga masyarakat di belahan bumi yang lain. Yang membedakan adalah jenis sayuran, dressing atau bumbu, serta penamaan. Masyarakat Barat, menyebut pecel dengan “salad”….

Di Bengkulu misalnya, Inggit menjadikan halaman belakang sebagai tempat makan nasi pecel di pagi dan atau sore hari. Menyajikan hidangan pecel, bukan soal sulit. Daun bayam, kacang panjang, bunga turi, tauge, kemangi… sangat mudah didapat. Bumbu pecel yang utama adalah kacang tanah yang disangrai. Bahan lain adalah kentang, bawang putih, cabai merah, cabe rawit, gula jawa sisir, daun jeruk, dan garam tentunya.

Versi bahan-bahan bumbu pecel, bisa saja berbeda. Tetapi apa pun bahan yang diracik Inggit, kita tidak tahu. Satu hal yang kita tahu adalah, Bung Karno sangat menyukainya. Tidak satu pun istri Bung Karno yang bisa menghidangkan nasi pecel sebaik dan seenak Inggit. Hartini, dia jago memasak sayur lodeh. Sayur lodeh yang bisa membuat Bung Karno mabuk kepayang….

Kembali ke nasi pecel racikan Inggit. Di Bengkulu, Inggit acap mengajak makan Bung Karno dan teman-teman seperjuangan di halaman belakang. Menu utama, nasi pecel dengan lauk tempe goreng dan tempe bacem. Komplit sudah semua hidangan kegemaran Bung Karno. Ia akan makan dengan sangat lahap menggunakan tangan kanannya.

Ihwal cara makan Bung Karno? Sudah pernah pula dibahas di sini. Jika pada umumnya orang makan nasi dan lauk satu piring membutuhkan waktu 10 sampai belasan menit, Bung Karno cukup 3 – 4 menit. Ya, kebiasaan makan cepat terpatri sejak ia akrab dengan hotel prodeo. Di dalam penjara, setiap narapidana harus makan cepat. Pasalnya, sipir penjara tidak memberinya banyak waktu untuk makan.

Lihat dalam gambar, manakala Inggit masih mengulek bumbu, dan Hanfi lahap, Bung Karno (hanya kelihatan tangan di atas piring) sudah hampir menghabiskan santapannya. Bayangkan saja, betapa nikmat makan nasi pecel, dengan lauk tempe goreng dan tempe bacem, makan sambil lesehan di halaman belakang, beratap langit dikelilingi orang-orang tercinta. Itulah salah satu energi Bung Karno. (roso daras)

Published in: on 24 Februari 2011 at 18:59  Comments (2)  
Tags: , ,

Pohon Kemuning dan Radikalisme

AM Hanafi, tokoh penting dalam jagat revolusi Indonesia. Nama ini muncul tahun 1937, tahun kedatangan Bung Karno di Bengkulu, bumi pembuangan pasca Ende. Dua huruf AM di depan nama Hanafi adalah pemberian Bung Karno, sebagai kependekan dari Anak Marhaen. Nama itu kemudian diabadikan oleh si empunya nama menjadi Anak Marhaen Hanafi, atau AM Hanafi.

Dalam fase pra kemerdekaan, Hanafi juga dikenal sebagai salah satu aktivis “Menteng 31”, bersama sejumlah tokoh muda lain seperti Adam Malik, Wikana, Sukarni, dan lain-lain. Di markasnya para pemuda revolusioner itu pula, Hanafi banyak terlibat gerakan-gerakan menuju Indonesia merdeka.

Jika menengok ke belakang, sejarah mencatat bahwa sejak tahun 1937, Hanafi banyak merajut kisah bersejarah bersama Bung Karno. Termasuk, saat ia dan teman-temannya harus memperbaiki sebuah rumah sebagai tempat tinggal Bung Karno dan keluarga selama dalam masa pembuangan di Bengkulu.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda menempatkan Bung Karno di sebuah rumah bekas administratur inderneming Van der Vossen yang punya pabrik kebun sereh di Pantai Panjang. Namun, ketika rumah itu diperkenankan Belanda untuk dipakai sebagai kediaman Ir Sukarno yang mereka sebut “bandit politik”, keadaannya sangat memprihatinkan.

Sebagian atap rontok. Di beberapa sufut plafon rumah bahkan sudah menjadi sarang kalong. Ratusan kalong bersarang di sana. Sementara di luar, semak belukar tumbuh liar. Rumah itu lebih mirip “rumah hantu” daripada rumah yang layak bagi tahanan politik nomor wahid.

Foto di atas adalah rumah pembuangan Bung Karno di Bengkulu yang masih rusak dan penuh belukar. Adalah Bung Karno yang mengajak Hanafi bekerja gotong royong membersihkan rumah. Hanafi kemudian dibantu teman dekatnya, Mun’im dan Imam. Tak lama kemudian, para tetangga pun berdatangan, ikut bergotong royong memperbaiki rumah bagi kediaman Bung Karno selama di pembuangan.

Satu kutipan bersejarah yang kemudian melekat di memori Hanafi adalah saat ia dan Bung Karno menanam pohon kemuning di muka rumah itu. Ia ingat betul petuah Bung Karno, “Hanafi, engkau gali itu lobang, kau tanam itu pohon kemuning! Nanti, kalau pucuk-pucuknya pohon itu menjadi layu dan mau mati, engkau jangan rawat lagi pucuk-pucuknya atau dahan-dahannya itu, tapi kau harus cabut sampai ke akar-akarnya, lalu ganti dengan yang lain. Dalam politik itu namanya radikal, het radikalisme. Jadilah kau seorang radikal dalam pergerakan nasional. Engkau diberhentikan dari pekerjan dari kantor Residen itu karena berhubungan dengan saya. Kalau jadi orang pergerakan yang radikal, kita ganti pemerintah Belanda ini sekaligus sampai ke akar-akrnya, dengan pemerintahan bangsa kita sendiri. Itulah radikal!”  (roso daras)

 

Published in: on 22 Januari 2011 at 05:39  Comments (7)  
Tags: , , ,

Masjid “Bung Karno” di Bengkulu

Bulan Februari 1938, lima tahun sudah berlalu… Bung Karno dan keluarga hidup dalam pembuangan di Pulau Bunga, Ende. Februari 1938 terbetik berita Bung Karno dan keluarga bakal dipindah ke Bengkulu. Pemerintah Hindia Belanda begitu rapi mengawal proses pemindahan narapidana politik nomor satu ini.

Rute yang sudah disiapkan adalah Ende – Tanjung Perak, Surabaya. Dari Surabaya dinaikkan ke kereta api menuju ujung barat pulau Jawa, Merak. Dari pelabuhan Merak dinaikkan lagi ke kapal niaga menuju Bengkulu.

Akan tetapi, di semua persinggahan, pemerintah Hindia Belanda mengumumkan jam-jam kedatangan bohong. Seperti ketika rakyat Surabaya berbondong-bondong ke Pelabuhan Tanjung Perak hendak menyambut Bung Karno, serta merta pemerintah mengumumkan bahwa kapal yang membawa Bung Karno baru tiba di Tanjung Perak jam 16.00 sore. Padahal, Bung Karno sudah tiba di Surabaha jam 04.00 pagi.

Bengkulu, adalah negeri yang bergunung-gunung, dilingkungi Bukit Barisan. Masyarakatnya sangat agamis, karenanya Bengkulu sempat dijuluki Benteng Islam. O ya, satu lagi, kembang raksasa Raflesia Arnoldi yang lebarnya mencapai tiga kaki, adalah hal lain yang cukup menonjol di Bengkulu. Selain ciri-ciri itu, Bengkulu sesungguhnya tidak memiliki arti penting dalam geopolitik Hindia Belanda.

Kehadiran Bung Karno di Bengkulu, pada awalnya nyaris diasingkan masyarakat. Pasalnya, pembawaannya yang terbuka, didorong hasrat berkawan yang meluap-luap, ada kalanya membuat Bung Karno menabrak pakem-pakem sosial yang sudah lama tertanam. Seperti contoh, pemasangan tabir untuk laki-laki dan perempuan, tidak hanya terjadi di dalam masjid, tetapi juga di setiap perhelatan atau hajatan keluarga.

Suatu ketika, saat Bung Karno diundang menghadiri hajatan di salah satu rumah penduduk setempat, Bung Karno mempertanyakan, “Mengapa dipasang tabir untuk memisahkan perempuan dan laki-laki?” Tidak satu pun hadirin yang menjawab pertanyaan Bung Karno. Karena tak ada yang menjawab, Bung Karno langsung menyingkap tabir itu sehingga tidak ada lagi sekat antara tamu perempuan dan laki-laki.

Apa yang terjadi kemudian? Masyarakat Bengkulu langsung memasang sekat terhadap Bung Karno. Atau dalam bahasa Bung Karno, “setelah kejadian itu, sebuah tabir lain memisahkanku dari penduduk kota itu.”

Dalam suasana baru tiba di daerah pembuangan yang baru… dalam suasana dijauhi masyarakat setempat, Bung Karno tetap saja menjalin silaturahmi dengan para tetokoh. Ia haus teman diskusi, ia rindu teman bicara, ia menginginkan kehidupan bermasyarakat yang akrab.

Masjid. Itulah yang spontan terbetik di benaknya. Masjid tempat masyarakat berkumpul lima kali dalam sehari, untuk menjalankan shalat berjamaah. Ke masjidlah langkahnya diayunkan kala shubuh, dhuhur, ashar, maghrib, dan isya. Sesering ia mendatangi masjid, sesering itu pula ia menyaksikan bangunan masjid tua yang lusuh, kotor, kolot, tua….

Kembali muncul gagasannya yang brilian. Sebagai “tukang insinyur”, Bung Karno membuat rencana bangunan masjid dengan tiang-tiang yang cantik, dengan ukiran-ukiran timbul yang sederhana, dengan pagar tembok bercat putih yang tidak ruwet.

Muluskan rencana Bung Karno membangun masjid sebagai pengganti masjid tua yang sudah kusam dan kolot itu? Tidak mudah. Generasi tua yang tidak menyukai perubahan, adalah penentang utama gagasan Bung Karno. Bersamaan itu pula, tabir yang memisahkan Bung Karno dengan masyarakat makin tebal. Bahkan suara-suara negatif mulai dialamatkan ke arah Bung Karno.

Alhamdulillah… dengan kemampuan persuasi, dengan kecakapan bicara, dengan pembawaan yang terbuka, tidak terlalu sulit Bung Karno mencairkan kebekuan suasana tadi. Alhasil, ia berhasil menggalang dukungan masyarakat mendirikan masjid yang lebih representatif. Tercatat, bangunan masjid itu dibangun tahun 1938 dan selesai dibangun tahun 1941.  (roso daras)

Published in: on 4 Mei 2010 at 08:15  Tinggalkan sebuah Komentar  
Tags: , , ,