Sosok yang Menginspirasi Bung Karno

Wagiman. Sebuah nama yang biasa saja. Akan tetapi, nama itu sesungguhnya begitu melekat di jantung hati Sukarno. Wagiman adalah sebuah inspirasi. Wagiman adalah sebuah potret bangsa yang terjajah. Wagiman adalah orang miskin harta tetapi kaya hati. Ia tinggal tak jauh dari rumah keluarga Bung Karno di Mojokerto. Untuk pengen tahu lebih lengkapnya nonton videonya.

Tak bisa disangkal, benih-benih kecintaan Bung Karno terhadap rakyat kecil, tumbuh sejak ia “bergaul” dengan Wagiman, si petani di pelosok Mohokerto, saat usianya masih bocah. Kalau saya Bung Karno masih hidup, barangkali ia tidak akan keberatan jika ajaran Marhaenisme disebut juga sebagai Wagimanisme.

Total Bung Karno 2, Siap Luncur

buku total bk 2-bPuji syukur dumateng Gusti Ingkang Ngakaryo jagat…. Sholawat serta salam kepada Sang Nabi SAW junjungan saya….

Buku Total Bung Karno 2, Serpihan Sejarah yang Tercecer, akhirnya selesai disusun, dan kini sudah dalam persiapan akhir untuk diluncurkan. Mudah-mudahan, buku ini sudah beredar luas Juni 2014. Begitu besar harapan yang menyertai penerbitan buku ini. Sebuah harapan, semoga buku ini bisa memperkaya khasanah bacaan di Tanah Air, dan lebih dari itu, mampu memuaskan dahaga kaum Nasionalis, khususnya saudara-saudara Sukarnois di mana pun berada.

Buku Total Bung Karno 2, adalah seri lanjutan dari buku dengan judul yang sama yang terbit setahun lalu. Sumber utama buku ini, masihlah berasal dari tulisan-tulisan yang saya posting di sini. Tentu saja, untuk menjadi buku, materi-materi itu sudah diperkaya dengan referensi lain.

Sedikit berbeda dengan buku Total Bung Karno pertama, maka pada buku ini, konten bisa diklasifikasikan menjadi tiga bagian besar. Pertama, periode pembuangan di Ende (1934 – 1938), kedua, tentang marhaenisme, dan ketiga, kisah-kisah human interest yang menarik untuk disimak tentang perjalanan hidup Putra Sang Fajar.

Khusus tulisan-tulisan yang mengangkat tema periode pembuangan Bung Karno di Ende, sekaligus menjawab permintaan khalayak atas terbitnya buku saya berjudul “Bung Karno Ata Ende” yang diterbitkan oleh Chakrisma bekerjasama dengan Ditjen Kebudayaan, Kemendikbud. Karena sifat penerbitannya yang terbatas, sehingga buku tadi tidak tersebar secara luas. Karena itulah, saya mengangkatnya kembali sebagai bagian dari isi buku Total Bung Karno 2 ini.

Saat postingan ini saya unggah, buku masih dalam proses pembuatan dummy. Dari pihak penerbit, tengah mengupayakan endorsement dari sejumlah tokoh. Terbetik sejumlah nama yang tengah dimintai endorsement untuk buku ini, antara lain Joko Widodo, Prabowo Subianto, Kartika (Karina) Soekarno Putri, Permadi, SH, dll. Akan tetapi, hingga 20 Mei 2014, belum ada respon dari mereka.

Karena itu, jika dalam buku ini terdapat endorsement dari Joko Widodo, Prabowo Subianto, seyogianya sidang pembaca memakluminya sebagai upaya penerbit. Sama sekali tidak ada campur tangan dan kemauan dari saya pribadi selaku penulis. Karenanya, endorsement dari siapa pun yang ada di buku ini, entah Jokowi, entah Prabowo, atau siapa pun, pada dasarnya merupakan usaha pihak penerbit dengan alasan lebih meningkatkan bobot buku. Mungkin juga ada alasan bisnis di sana. Saya tidak tahu.

Yang pasti, sebagai penulis yang menggandrungi Sukarno, mohon sidang pembaca tidak menempatkan saya di kubu mana pun. Sebab, apa boleh buat, buku ini memang direncanakan terbit Juni 2014, bulan Bung Karno, yang kebetulan saja sedang hangat-hangatnya kampanye Pilpres 2014. Artinya, bukan berarti saya apolitik, tetapi saya menjauhkan sejauh mungkin, sikap politik dan pilihan politik saya dengan buku yang saya tulis.

Betapa pun, secara pribadi saya senang dengan dua kandidat presiden. Joko Widodo dalam banyak kesempatan menyebut diri nasionalis dan Sukarnois. Sementara, Prabowo juga tidak kalah Sukarnoisnya. Bukankah membanggakan, memiliki dua calon presiden yang sama-sama menjunjung tinggi Sukarno? Sukur-sukur jika keduanya membaca buku-buku tentang Sukarno tulisan saya. Atau bahkan menjadi pengunjung setia blog saya….

Lepas dari itu semua, seperti harapan semula, semoga buku ini bisa diterima dengan baik di tengah masyarakat Indonesia. Seperti sering saya kemukakan, meneladani Sukarno bukanlah sebuah dosa. Tentu saja dalam kadar proporsional, mengingat Sukarno sendiri adalah seorang manusia yang terdiri atas tulang dan daging, dengan otak dan gagasan, yang tentu saja tak lepas dari unsur kelebihan dan kekurangan. Nah, kita ambil semua yang baik, dan kita enyahkan semua yang tidak baik. Sesimpel itu.

Merdeka!!!

Published in: on 20 Mei 2014 at 05:39  Comments (6)  
Tags: , , , ,

Toto Suryawan SP dan “Laskar Marhaen”

Roso, Toto, Heni

Sabtu, 25 Desember 2012, saat Libur Natal, dua orang Sukarnois mengajak bertemu. Jadilah siang itu, saya ditemani rekan Sumarno, menerima dua orang Sukarnois di kantor Condet, Jakarta Timur. Dua orang itu masing-masing adalah anak biologis Bung Karno yang bernama Toto Suryawan Soekarnoputra, dan Hani Merliana, anak ideologis Bung Karno.

Apa yang kami rembug? Tidak jauh dari tema Bung Karno. Benar, kami membicarakan hal-ihwal tentang Sukarno dan Sukarnoisme, dan akhirnya mengerucut ke topik Marhaenisme. Toto Suryawan, putra tunggal Bung Karno dari istri Kartini Manoppo, cukup lama sebenarnya berkecimpung dalam politik praktis. Pernah dekat dengan lingkungan PDIP, dan sekarang duduk di pengurusan PNI Marhaenisme pimpinan Sukmawati.

Sekalipun nama Toto Suryawan tidak pernah di-declare sebagai putra Bung Karno, tetapi saudara-saudara sekandung dari ibu Fatmawati, Hartini, dan Ratna Sari Dewi memakluminya sebagai putra Bung Karno. Mereka pun bergaul relatif intens. Toto tampak hadir di sejumlah acara keluarga yang melibatkan putra-putri Bung Karno dari Fatmawati. “Orang tidak banyak mengenal saya sebagai putra Bung Karno. Buat saya tidak masalah. Saya sebagai putra biologis hanya concern bagaimana mengaplikasikan prinsip-prinsip hidup Bung Karno, serta berniat menyiarkan ajaran Bung Karno,” ujar Toto.

Seperti siang itu, dia antusias berbicara bagaiamana konsep marhaenisme yang sejatinya masih sangat relevan untuk diaplikasikan di bumi Indonesia. Dia bahkan sangat antusias ketika diajak membentuk semacam wadah pengkajian sekaligus sarana pengaplikasian ajaran-ajaran Bapaknya. Di wadah itulah, diharapkan akan terjadwal agenda-agenda sosialisasi ajaran Bung Karno, dengan menghadirkan narasumber-narasumber yang kompeten. Bahkan, di wadah itu pula dia memimpikan lahir karya nyata-karya nyata anggota dalam praktik kehidupan sehari-hari.

“Ini bukan wadah politik. Anggotanya, atau partisipannya bisa dari golongan mana saja. Kalau dia kader politik, tidak ada pembatasan dari parpol mana, tidak menyoal keyakinan dan agama… intinya ini wadah plural,” tegas Toto Suryawan.

Wadah itu ditunggangi sebuah pamrih, tentang kebutuhan akan lahirnya satu wadah Sukarnois yang bebas dari kepentingan politik, dan semata-mata mempropagandakan Bung Karno beserta semua ajarannya. Kami, berempat, menyepakati gagasan itu. Dan berharap, dalam waktu dekat, wadah itu terwujud, diikuti segala agenda kongkrit. (roso daras)

Senja Kala Marhaenisme

pni marhaenismeUntuk sekian lama, Marhaenisme menjadi asas partai, ya…. asas Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Sejak fusi tahun 1975, di mana pemerintah Orde Baru menggabung-gabungkan partai politik hingga hanya ada tiga parpol di Indonesia (PPP, Golkar, PDI), praktis PNI pun lebur ke dalam wadah baru, PDI bersama sejumlah parpol nasionalis lain.

Untuk sekian lama, setidaknya lebih tiga dasawarsa, marhaenisme seolah terkubur. Semua parpol menggunanakan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Itu artinya, PDI (sekalipun massa terbesar dari PNI), harus menanggalkan ideologi marhaenismenya. Dengan kata lain, mayoritas generasi muda sekarang, tidak paham marhaenisme.

Apakan itu sebuah kesalahan? Sama sekali tidak. Selain marhaenisme memang dikubur oleh Orde Baru, segala bacaan, referensi tekstual maupun oral juga langka. Ironisnya, buku-buku marxisme-leninisme dan banyak referensi buku sosialisme lain beredar luas di masyarakat kita dewasa ini.

Kondisi paradoksal di atas, tentu saja makin menenggelamkan marhaenisme lebih dalam lagi. Kehadiran angin reformasi yang membuka kembali keran parpol baru, telah melahirkan Partai Nasional Indonesia (PNI), bahkan kalau tidak keliru pernah sampai ada 3 (tiga) PNI ikut Pemilu. Ada PNI, PNI Front Marhaenis, dan PNI Massa Marhaen. Pada Pemilu 2004 ketiganya bergabung dengan terget meraih dukungan lima besar di Indonesia, tetapi gagal total.

Kegagalan itu bukan tanpa sebab. Sebab faktual dan terbilang klasik adalah, paham marhaenisme sudah lama terkubur. Lebih menyedihkan seandainya mayoritas pengurus PNI belum paham sejarah marhaenisme, marhaenisme sebagai ideologi, marhaenisme sebagai asas perjuangan. Bisa saja mereka telah mendapatkan buku pintar, tetapi ini persoalan ideologi. Tanpa usaha meresapkan, menghayatkan, dan mempraktekkan, niscaya akan sulit untuk menjadi darah yang mengalir dalam jiwa dan raganya.

Itu berarti, PNI sebagai partai politik dengan ideologi marhaenisme, tentu akan mengalami kesulitan manakala menugaskan segenap pengurus dan kadernya untuk “berjualan” kepada massa pemilih dalam Pemilu. Bagi kalangan tua, yang kebetulan berafiliasi ke PNI, barangkali mendengar sebutan “marhaen” atau “marhaenisme” sudah merasa tergetar hatinya. Sebaliknya, massa muda, pemilih pemula, tidak demikian halnya.

Itu artinya, marhaenisme harus kembali digali, di-syiar-kan, diramai-ramaikan, didiskusikan, diangkat ke permukaan… semua usaha untuk merevitalisasi ajaran Bung Karno. Marhaenisme sebagai bentuk sosialisme-Indonesia, harus diaktualisasikan dalam kondisi terkini dan mendatang. Roda zaman terus berputar. Mengangkat ideologi marhaenisme dengan cara “copy-paste”, dijamin tidak akan kena.

Apakah itu berarti ajaran tentang Marhaenisme sudah tidak lagi mengena di masyarakat Indonesia saat ini dan mendatang? Itu sebuah pertanyaan besar. Tetapi dengan keyakinan bahwa Bung Karno menggali marhaenisme dari lubuk hati bangsa Indonesia, maka saya pribadi sangat yakin, spirit marhaen sejatinya ada di dasar sanubari anak bangsa Indonesia, dari Sabang hingga Merauke. Persoalannya adalah, diperlukan strategi jitu dan cerdas untuk menggalinya. (roso daras)

Published in: on 3 Desember 2012 at 04:45  Comments (11)  
Tags: , , , , ,

Wagimanisme

Wagiman. Sebuah nama yang biasa saja. Akan tetapi, nama itu sesungguhnya begitu melekat di jantung hati Sukarno. Wagiman adalah sebuah inspirasi. Wagiman adalah sebuah potret bangsa yang terjajah. Wagiman adalah orang miskin harta tetapi kaya hati. Ia tinggal tak jauh dari rumah keluarga Bung Karno di Mojokerto.

Jabatan Wagiman di desanya adalah Kabayan. Atas jabatannya itu ia berhak mengelola tanah bengkok yang tidak seberapa. Dari tanah bengkok itulah ia bercocok tanam dan menghidupi keluarganya. Cukup? Jauh dari cukup. Wagiman terbilang melarat untuk ukuran segala zaman. Bayangkan, jika kemarau, dari dalam rumah bisa melihat langit dari lubang-lubang atap rumah yang bolong-bolong. Jika musim hujan, dipan beralas tikar serta lantai yang tanah itu, basah kuyup akibat terobosan air yang tumpah dari langit.

Di rumah Wagiman inilah sebenarnya, spirit Marhaenisme Bung Karno tumbuh. Usianya belum lagi 12, ketika ia masih sekolah di ELS Mojokerto. Hampir setiap hari, Sukarno melawat ke rumah Wagiman. Sambil menemani Wagiman mencangkul pekarangan… Wagiman mengasah cangkul, parang, dan perlengkapan bercocok-tanam… Wagiman duduk leyeh-leyeh di serambi rumah… Bung Karno memasang kuping untuk semua yang keluar dari mulut Wagiman.

Sesekali, Wagiman melantunkan tembang Jawa yang sarat makna. Sebait dilantunkan, kemudian berhenti dan menerjemahkan makna yang terkandung dalam bait tembang itu. Selarik bait tembang dilantukan, Wagiman berhenti lagi dan menjelaskan apa maksud dari syair tembang tadi….

Pada kali yang lain, Wagiman menceritakan babat Ramayana… babat Mahabharata, mengisahkan ephos Pandawa dalam dunia pewayangan. Wagiman pun mendalang, dan Bung Karno makin tenggelam menyimak lakon yang dimainkan Wagiman. Mata Sukarno yang berbinar-binar, menatap tajam ke arah Wagiman. Yang ditatap, tetap saja asyik mendalang dan bercerita sambil tetap melakukan apa yang sedang ia lakukan.

Dari Wagiman pula Bung Karno banyak mendapatkan hakikat kerakyatan. Dari Wagiman pula Bung Karno mengetahui betapa penjajahan telah memelaratkan bangsanya. Dari Wagiman pula Bung Karno terlecut hati untuk memerdekakan bangsanya. Dalam bahasa Cornelis Lay (UGM – Yogyakarta), ide Marhaenisme yang dicetuskan Bung Karno, sejatinya sudah ada dalam benak Sukarno ketika di Mojokerto bergaul intens dengan Wagiman.

Seperti halnya Sarinah, sejatinya Wagiman merupakan sosok penting pembentuk karakter Bung Karno. Terkadang saya hanya bisa merenung, terlambatkah jika saat ini kita melacak jejak-keturunan Wagiman? Sekali lagi, Wagiman pastilah orang yang sangat penting bagi Sukarno. Niscaya, Bung Karno tidak akan keberatan jika ajarannya yang terkenal tentang Marhaenisme itu, disebut pula sebagai Wagimanisme. (roso daras)

Published in: on 21 November 2010 at 08:57  Comments (2)  
Tags: , , , ,