Ingat Harun Al-Rasyid, ingat dongeng 1001 malam. Khafilah yang terkenal merakyat, dan gemar menyamar untuk membaur dengan rakyatnya. Legenda Harun Al-Rasyid rupanya lekat pula di benak Bung Karno. Makanya, dalam hal-hal tertentu, Sukarno pun gemar menyamar menjadi rakyat jelata, dan keliling masuk-keluar pasar, masuk-keluar kerumunan manusia, hanya sekadar ingin dekat dengan rakyatnya.
Ketika sedang menyamar, Bung Karno akan mengenakan baju biasa dan tanpa kopiah. Paling tidak ia bertopi. Ada satu hal yang harus selalu Bung Karno ingat, yakni ia tidak boleh bersuara. Sebab, pernah ada peristiwa, ketika ia blusukan ke Pasar Senen, demi melihat ada pekerja tengah membangun Gudang Stasiun Senen, ia spontan bertanya kepada para kuli bangunan, ihwal dari mana material-material itu didatangkan.
Belum lagi pertanyaannya mendapat jawaban, spontan ada seorang perempuan di kerumunan pasar yang berteriak, “Bapak… itu suara Bapak…. Itu Bapak…..” Dan dalam sekejap mata, manusia sudah mengerubungi Bung Karno, sekadar bersalaman atau sekadar menyentuhnya.
Tinggalkan Balasan