Mata Najwa, Belajar dari Sejarah

Sekadar mengingatkan… malam ini pukul 22.05, acara Mata Najwa di Metro TV akan mengupas tema “Politik Mercusuar”. Saya menjadi salah satu nara sumber acara tersebut. Tema itu sungguh menarik, mengingat adanya kesenjangan informasi tentang hal-hal yang bersifat sejarah pemerintahan Bung Karno dengan era setelahnya.

Hampir semua rakyat Indonesia mengetahui Tugu Monas… demikian pula Masjid Istiqlal, dan tentu saja Gedung DPR-MPR RI. Akan tetapi, berani bertaruh, tidak sampai sepertiga rakyat Indonesia yang mengetahui detail sejarah pendiriannya. Bahkan, warga Ibukota Jakarta yang setiap hari hilir-mudik di jembatan Semanggi, melintasi Patung Dirgantarai (Pancoran), Patung Pak Tani, Tugu Selamat Datang di Bundaran HI, Patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, dan masih banyak lagi situs lainnya, sangat sedikit yang memahami latar belakang sejarah berdirinya situs-situs tersebut.

Alhasil, topik mengupas situs-situs peninggalan Bung Karno dalam kemasan “Politik Mercusuar” di acara Mata Najwa Metro TV, Rabu 11 Mei pukul 22.05 nanti malam, menjadi moment penting dalam pembelajaran bersama tentang sejarah bangsa kita. Seperti berulang kali Bung Karno sering menegaskan, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”… sebab bangsa yang melupakan sejarah, akan menjadi bangsa yang “vacuum”, bangsa yang akan berjalan di kegelapan tanpa lentera.

Istiqlal menyiratkan rasa bangga, rasa nasionalisme yang tinggi, dan tentu saja pembelajaran akan filosofi agama yang dalam. Tugu monas menggelorakan rasa persatuan dan respek terhadap perjuangan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan. Gedung DPR yang dirancang sebagai gedung Conefo tahun 1966, adalah simbol kemandirian kita sebagai bangsa besar, yang tidak mau didikte oleh kekuatan asing mana pun. Jembatan semanggi adalah lambang persatuan, lambang ikatan persaudaraan yang membuat Indonesia bisa bersatu meski berbagai suku, beragam agama, budaya dan adat istiadatnya.

Nah, sekalipun hanya sekelumit, setidaknya Mata Najwa nanti malam sedia melambungkan nostalgi kita ke era kejayaan masa lalu. Mata Nanti malam akan memberi referensi yang sangat berarti bagi generasi penerus. (roso daras)

Published in: on 11 Mei 2011 at 06:21  Comments (8)  
Tags: , , , , ,

Monas dan Obelisk La Place de la Concorde

Alkisah, meluncurlah sebuah kabar: Bung Karno mendirikan Tugu Monas setelah kembali dari Perancis. Ide pembuatan tugu itu muncul ketika Bung Karno melawat ke sana, dan menginap di Hotel Crillon. Sebuah hotel yang biasa digunakan menginap para tamu negara, yang terletak di kawasan La Place de la Concorde. Dari jendela kamar, tatapannya bisa langsung mengarah ke obelisk (tugu) luxor (Obélisque de Luxor), karena letak obelisk dan hotel itu memang berhadap-hadapan.

Nah, bentuk obelisk itulah yang kemudian mengilhaminya, sehingga lahir gagasan mendirikan Tugu Monas. Bentuk Monas dan Obelisk of Luxor seperti terlihat pada foto di atas, sejatinya tidak sama persis. Karenanya, ketika keduanya disandingkan, atau bahkan ada yang dengan spontan berujar, Bung Karno meniru obelisk luxor dalam membangun Monas, tak urung, silang pendapat pun bermunculan.

Menjadi tak berkesudahan mengingat kabar itu memang belum ada satu pun yang diperkuat dengan data dan fakta. Untuk mempersempit masalah, dari literasi yang sempat saya baca, memang tidak ada satu kalimat langsung Bung Karno yang membenarkan kabar itu. Ditambah, bentuk tugu, di mana pun, dari era kapan pun, yaaa umumnya memang berbentuk obelisk, tinggi menjulang dengan bentuk runcing di puncaknya.

Karenanya, agak sulit memang menyetujui tudingan Bung Karno meniru obelisk of luxor waktu merancang Monas. Terlebih kalau dicermati, memang tidak sama dan sebangun. Dalam konteks lain, “kemiripan” situs, monumen, prasasti, atau bangunan kesohor di dunia ternyata tidak melulu Monas – Obelisk of Luxor.

Kita bisa melihat Tokyo Tower (Jepang) dan menyandingkannya dengan Eiffel Tower (Perancis). Atau Patung Liberty (Amerika Serikat) dan Collosus of Rhodes (Yunani). Anda mungkin bisa memperpanjang deretan ini.

Lepas dari itu semua, Tugu Monas yang digagas 17 Agustus 1954, kita kenal sebagai monuman peringatan setinggi 132 meter (433 kaki) yang didirikan untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia merebut kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Prosesnya melalui perlombaan. Meski dalam sayembara itu tidak ada pemenang, dan Bung Karno kemudian merancang sendiri garis besarnya, untuk kemudian diterjemahkan dengan baik oleh Silaban.

Dan lebih dari itu, Monas kini menjadi salah satu monumen kebanggaan. Era mengagumi lapis emas di puncaknya mungkin sudah lewat. Lantas, apa yang membuat Monas masih begitu bernilai di hati rakyat? Entahlah. Barangkali karena presiden Indonesia setelah Bung Karno memang tidak ada yang memiliki gagasan besar. (roso daras)

Published in: on 1 November 2010 at 09:38  Comments (3)  
Tags: , ,

“Sihir” Bung Karno di Lapangan Ikada

BK Menenangkan Massa di Ikada

Mengenang saat-saat mula Indonesia merdeka, banyak kisah heroik sekaligus unik. Seperti misalnya momentum bersejarah yang dikenal dengan nama Rapat Raksasa di Lapangan Ikada, 19 September 1945. Saat itulah secara resmi Bung Karno berpidato di hadapan lautan manusia sebagai Presiden.

Tanggal 19 September adalah “tanggal kecelakaan”. Disebut demikian karena pidato sesungguhnya, dijadwal tanggal 17 Agustus, atau genap satu bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan di Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Akan tetapi, mengingat situasi yang tidak kondusif, maka diundurlah “rapat raksasa” itu menjadi 19 September.

Mengapa tidak kondusif? Jepang, setelah menyerah kepada Sekutu, berperan sebagai penjaga status quo di bumi Nusantara, sampai “penguasa” yang asli, Belanda, mendarat dan melakukan ketertiban sipil. Itu artinya, segala aktivitas terkait pengerahan massa, diharamkan. Bahkan, berkumpul lebih dari lima orang, bisa diciduk dan dijebloskan penjara.

Bagaimana dengan kemerdekaan yang sudah diproklamasikan? Proklamasi hanyalah awal dari mula sebuah perjuangan hidup dan mati. Ya… “merdeka atau mati!” Babak-babak selanjutnya adalah perang mempertahankan kemerdekaan. Perang… berunding… perang… berunding….

Kembali ke “rapat raksasa” di Ikada. Ikada kependekan dari Ikatan Atletik Djakarta. Sehampar lapangan di pojok Gambir, menghadap langsung Istana Negara. Sekarang, lokasi itu menjadi Taman Tugu Monas. Pada masanya, Lapangan Ikada menjadi lokasi paling strategis untuk berkumpul dan mengerahkan massa. Di sisi lain, lokasi yang berdekatan dengan sentral kekuasaan, tentu saja masuk kategori ring satu, yang dijaga ketat dalam rentang 1.440 menit sehari.

Singkat kalimat, pagi tanggal 19 September 1945 ribuan massa sudah bergerak menuju Lapangan Ikada. Mereka datang dari seluruh penjuru kota, dan dari kota-kota lain di pinggir Jakarta. Tidak sedikit yang sudah datang ke Jakarta tanggal 18 September, dan menginap di rumah sanak saudara, sahabat, atau bahkan di masjid dan surau-surau. Mereka antusias membawa bendera merah putih hendak mendengarkan pidato dari presidennya. Sekelompok massa yang lain ingin sekadar memastikan bahwa bangsa kita sudah merdeka.

Rapat Raksasa Ikada-1

Maklumlah, proklamasi 17 Agustus 1945, tidak serta merta didengar oleh penduduk di pelosok-pelosok negeri. Bahkan warga Jakarta sendiri tidak semuanya mengetahui bahwa hari itu sudah merdeka. Selain fasilitas komunikasi yang sangat terbatas, tidak banyak pula warga Jakarta yang memiliki radio transistor. Itulah mengapa, para orangtua kita sering berkisah, zaman dulu, satu radio bisa didengar oleh warga sekampung.

Nah, kembali ke Ikada. Di sana, bala tentara Jepang sudah berjaga-jaga. Bukan saja pasukan infanteri yang berbaris menghunus senapan berbayonet, bahkan pasukan kavaleri pun menyiagakan panser-pansernya di seputar Ikada. Sinyal yang mereka kirim sangat jelas, “Massa dilarang berkumpul, atau berhadapan langsung dengan bedil dan tank.”

Massa bergeming. Sedikit pun tidak gentar dengan moncong senapan, moncong meriam, dan pasukan berseragam Jepang dengan senjata yang siap memuntahkan peluru sewaktu-waktu. Mereka terus mengalir menuju Lapangan Ikada. Rakyat berdatangan, bergelombang-gelombang, berbondong-bondong. Dalam waktu tak lama, Lapangan Ikada sudah menjadi lautan manusia. Karena itu pula, “rapat raksasa” di Lapangan Ikada itu juga dinamakan “rapat samudera”.

Di mana Bung Karno? Tidak jauh. Sangat dekat dengan Lapangan Ikada. Dia berada di salah satu gedung di Jl. Merdeka Utara (sekarang gedung Mahkamah Agung), sedang memimpin sidang kabinet yang sudah berlangsung sejak pukul 09.00. Sidang kabinet berlangsung hingga pukul 15.00, tanpa segelas teh, tanpa secangkir kopi, tanpa kue, tanpa kudapan…. Negara Indonesia belum berpenghasilan. Semua yang terlibat dalam struktur pemerintah dan alat negara, bekerja suka rela tanpa digaji. Sekalipun begitu, mereka bekerja keras menegakkan sebuah negara yang sudah diproklamasikan sebulan lalu.

Bagaimana dengan suasana di Lapangan Ikada? Massa sudah tumpah ruah sejak pagi, melewati terik siang, hingga matahari bergulir ke barat. Sebuah dapur umum disiapkan oleh para relawan putri di sudut Lapangan Ikada. Mereka merebus air, menyediakan makanan ala kadarnya, demi ribuan massa yang antusias menyambut presidennya. Semangat memastikan kemerdekaannya.

Di antara lautan manusia di Ikada dan sidang kabinet tak jauh darinya, berlangsung komunikasi antara tokoh-tokoh muda dan tentara Jepang. Negosiasi tak juga membuahkan kata sepakat. Jepang tetap melarang massa berkumpul, sebaliknya memerintahkan massa untuk segera bubar. Jika tidak, maka tentara Jepang akan membubarkan secara paksa. Dan jika itu terjadi, tentu akan banyak nyawa melayang sia-sia.

Semua komunikasi disampaikan ke meja Bung Karno dan Bung Hatta melalui secarik kertas demi secarik kertas, di tengah-tengah sidang kabinet. Bung Karno dan Bung Hatta, sesekali berisik. Materi bisik-bisik dapat dipastikan, tak luput dari situasi tegang antara lautan massa di Lapangan Ikada yang sudah berhadap-hadapan langsung dengan pasukan Jepang bersenjata.

Sekitar pukul 15.30, Bung Karno berdiri dan berkata, “Saya akan menjumpai rakyat. Saudara-saudara boleh ikut, tetapi boleh juga tidak.” Ia melangkah keluar. Anggota kabinet? Semua berjalan di belakang Sukarno. Barangkali mereka berpikir, “Jika Bung Karno berani menerjang bahaya, mengapa saya tidak?”

Kronologi IKADADi luar, sekelompok pemuda sudah menyiapkan mobil bak terbuka. Bung Karno menaiki mobil itu dan mobil dipacu ke Lapangan Ikada, membelah lautan manusia yang gemuruh mengelu-elukannya. Mobil tak bisa menerobos hingga ke dekat podium, melainkan berhenti di pojok Merdeka Timur (dekat Gedung Pertamina sekarang). Dari situ, Bung Karno dan anggota kabinet yang lain, berjalan kaki menuju mimbar.

Bala tentara Jepang kebingungan, antara perintah melarang dan –mungkin saja– gentar menghadapi Bung Karno dan massanya yang begitu heroik. Sebab, setelah Bung Karno turun dan mobil dan berjalan menuju podium, sekelompok pemuda langsung membuat pagar betis melingkari Bung Karno. Merekalah tameng hidup. Merekalah perisai bernyawa. Merekalah pagar bertulang dan berdaging, berdarah dan bernafas, yang siap menerima muntahan peluru tentara Jepang, jika itu harus terjadi.

Bung Karno menebar senyum, membalas pekik merdeka, dan menatap rakyatnya dengan penuh wibawa. Hingga kaki kanan menaiki tangga nomor satu, disusul kaki kiri di tangga nomor dua, dan seterusnya hingga ia berada di atas podium yang tingginya kurang lebih dua meter dari permukaan tanah itu, tentara Jepang hanya bisa diam dan mengawasi semua yang terjadi di depan bola matanya, tanpa bisa berbuat apa-apa. Ribuan manusia bergemuruh menyambut presidennya. Gelegar suara mereka, pastilah akan menenggelamkan suara meriam sekalipun.

“Saudara-saudara…” Bung Karno membuka kata, dan… ceppp... hening. Semua diam. Tak bersuara. Khidmat. Tenang sekali. Kemana pergiranya gemuruh suara massa? Laksana masuk dalam genggaman tangan Bung Karno.

“Saudara-saudara, kita akan tetap mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan kita. Kita tidak mndur satu patah kata pun…” begitu kalimat pertama yang diucapkan Bung Karno dengan sangat lantang, keras, menggelegar. Pertama dan mula sekali, ia memang menegaskan ihwal kemerdekaan yang sudah diproklamasikan, dan tidak akan pernah dicabut sama sekali.

Rakyat tetap khidmat, menunggu guliran kalimat-kalimat selanjutnya dari Sukarno. Di sisi lain, Bung Karno paham benar ihwal situasi tegang yang menyelimuti rapat samudera sore hari itu. Artinya, sungguh tidak tepat jika ia harus berpidato bermenit-menit, berbelas-belas menit, apalagi berpuluh-puluh menit. Kemudian ia melanjutkan pidatonya….

“Saya mengetahui, bahwa saudara-saudara berkumpul di sini untuk melihat presiden saudara-saudara dan untuk mendengarkan perintahnya. Nah, apabila saudara-saudara masih setia dan percaya kepada presidenmu, ikutilah perintahnya yang pertama….”

Massa terus menatap tajam ke arah sosok Bung Karno yang berdiri anggun di atas podium. Rasa takjub, bangga, dan bahagia telah menjadi bangsa merdeka, begitu meluap-luap di setiap dada siapa saja. Bung Karno melanjutkan kalimatnya….

“Pulanglah dengan tenang. Tinggalkan rapat ini sekarang juga, dengan tertib dan teratur, dan tunggulah berita dari para pemimpin di tempatmu masing-masing. Sekarang… bubarlah. Pulanglah saudara-saudara, dengan tenang.”

Itulah pidato pertama yang didengar rakyat usai proklamasi kemerdekaan. Itulah perintah pertama yang rakyat terima dari presidennya. Gelombang manusia segera mematuhi perintah presidennya. Mereka beringsut mundur, berjalah menyebar, dan bubar. Tertib dan teratur. Sama sekali tidak ada provokasi, dan sama sekali tak terjadi bentrokan.

Demi melihat itu semua, tentara Jepang hanya bisa menundukkan kepala. Sebagian tentara Jepang yang lain, memandangi massa yang tertib membubarkan diri dengan terbengong-bengong. Entah apa yang ada di benak mereka. Apakah bersyukur karena tidak harus “berperang” dengan rakyat berbambu runcing, atau kagum melihat “sihir” Bung Karno terhadap rakyatnya. (roso daras)

Published in: on 9 Juli 2009 at 03:42  Comments (25)  
Tags: , , , ,

Jembatan Semanggi, Simbol Persatuan

SEMANGGI

Stigma buruk terhadap kebijakan pejabat, tidak hanya di era sekarang, tapi sudah ada sejak zaman dulu. Bung Karno tak luput dari cercaan sebagian masyarakat yang tidak setuju dengan beberapa gagasan pembangunan sarana fisik. Pembangunan Tugu Monas, Hotel Indonesia, Sarinah, Semanggi, Stadion Senayan, Gedung Conefo (sekarang gedung DPR-MPR RI), dll, dianggap sebagai poyek mercu suar. Proyek yang menghambur-hamburkan uang negara.

Bukan Bung Karno kalau tidak berani menerjang badai. Ia –sebagai pemimpin– tak takut menabrak risiko. Sebagai Presiden, ia buka dada untuk semua suara protes. Tentu saja, semua kebijakan dan keputusan Bung Karno, saat ini kita cerna sebagai sebuah sejarah. Satu sejarah yang berikut adalah ihwal Jembatan Semanggi.

Pembangunan jembatan Semanggi merupakan satu paket dengan pembangunan fasilitas lain menyambut perhelatan Asian Games tahun 1962. Beberapa banguna lain yang dibangun serentak antara lain Gelora Senayan (sekarang bernama Gelora Bung Karno), Hotel Indonesia, dan lain sebagainya. Jembatan itu sendiri dimulai pembangunannya tahun 1961.

Ketika Presiden Sukarno telah mantap dengan idenya untuk membangun sebuah stadion olahraga megah di kawasan Senayan, Ir Sutami, yang ketika itu menjabat Menteri Pekerjaan Umum (PU), dalam sebuah rapat kabinet mengusulkan membangun jembatan guna mengatasi kemungkinan munculanya persoalan kemacetan lalu lintas.
Semanggi dipilih sebagai nama jembatan tersebut.

marsilea_mutica SEMANGGISemanggi sesungguhnya nama lokal (Jawa) tumbuhan marsilea mutica yang bisa dijadikan lalapan. Setiap tangkai daun semanggi terdiri atas empat helai daun berbentuk lonjong yang panjangnya mencapai dua cm dan lebar 1 cm.

Dalam satu kesempatan, Bung Karno sendiri pernah mengemukakan filosofi daun semanggi. Filosofi yang dimaksud adalah simbol persatuan, dalam bahasa Jawa ia menyebut “suh” atau pengikat sapu lidi. Tanpa “suh” sebatang lidi akan mudah patah. Sebaliknya, gabungan lidi-lidi yang diikat dengan “suh” menjadi kokoh dan bermanfaat menjadi alat pembersih.

Bung Karno sendiri, sejak perjuangan hingga menjadi pemimpin negeri, kepeduliannya sangat tinggi terhadap persatuan bangsa. Baginya, persatuan bangsa adalah sebuah harga mati.

Begitulah Bung Karno memfilosofikan jembatan semanggi yang berkonsep perempatan tanpa traffic light. Kini, Jembatan Semanggi telah menjadi sejarah, sekaligus saksi sejarah bagi banyak peristiwa penting negeri ini. (roso daras)

Published in: on 1 Juli 2009 at 08:44  Comments (9)  
Tags: , , , , ,