Adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang memprakarsai produksi film sejarah dokumenter tentang Bung Karno. Meski film ini hanya menukil sepenggal kisah yang terjadi antara tahun 1934 – 1938, tetapi, sutradara Viva Westi menggarapnya dengan sangat serius.
Sebelum memulai produksi, sejumlah narasumber beberapa kali berkumpul dalam forum diskusi. Bahkan, para narasumber itu pun dilibatkan dalam proses penyusunan skenario (screen play). Bersyukur sekali bahwa saya dilibatkan di dalam tim itu. Lebih bersyukur ketika tim produksi kemudian meminta saya untuk ikut “menggembleng” Baim Wong, sang pemeran Bung Karno, dalam film yang diberi judul “Ketika Bung di Ende”.
Alhasil, dialog demi dialog tentang sosok Bung Karno pun terjalin. Diskusi bukan hanya di teras hotel, tetapi sesekali juga terjadi di sela-sela pengambilan gambar. “Bagaimana tadi bang? Kurang apa, bang?!” tanya Baim sesekali, dengan polosnya.
Satu catatan yang menarik, bahwa aktor kelahiran 27 April 1981 ini, begitu tekun menggeluti “belantara” Sukarno. Sejumlah buku dilahapnya. Sejumlah narasumber didatanginya. Ia benar-benar terobsesi untuk mengenal lebih dekat karakter Sukarno yang bakal dimainkannya. “Ini peran luar biasa. Saya percaya betul, bahwa hanya berkat Tuhan semata, jika saya akhirnya terpilih memerankan tokoh besar bangsa ini,” tutur aktor yang terlahir dengan nama Muhammad Ibrahim ini.
“Terus terang,” ujarnya, “saya tadinya sama sekali tidak mengenal Bung Karno. Saya malah mengagumi mantan presiden Soeharto. Tapi sekarang saya bisa dengan yakin mengatakan, ‘tidak ada pemimpin Indonesia lebih besar dari Sukarno’.”
Untuk melakoni peran Sukarno, Baim merasa ada getaran khusus. Bahkan, ketika ia menyempatkan diri melakukan sholat malam di situs rumah pembuangan Bung Karno, Baim merasakan adanya “sesuatu” yang membuatnya lebih serius memerankan figur Putra Sang Fajar. “Susah dilukiskan dengan kata-kata. Tetapi setiap mengingat peristiwa itu, bulu roma saya berdiri,” ujar Baim.
Sesuatu yang sulit dilukiskan, barangkali hanya Baim saja yang merasakan. Tetapi yang bisa dilihat adalah pada perubahan karakter Baim. Dan itu diakuinya sendiri. “Dulu saya cuek saja kalau terlambat sholat… sekarang, justru kepikiran kalau sampai terlambat sholat. Dulu, saya masih cukup mudah tergoda hal-hal yang bersifat duniawi, sekarang saya merasa geli jika mengenang masa-masa itu. Mudah-mudahan, melalui peran Bung Karno, akan membawa kebaikan dalam diri saya,” ujarnya, pelan.
Untuk itu, ia mengaku akan total memerankan tokoh Sukarno. Bahkan demi menunjang karakter, Baim rela menambah lapisan gigi di bagian taring, agar lebih menonjol, persis gigi Sukarno. “Gigi ini bisa dibilang bagian dari properti. Sama seperti tuntutan saya harus senantiasa membawa tongkat. Nah, ini pun tantangan. Bagaimana saya bisa memainkan properti tongkat. Dalam usia Bung Karno yang ketika dibuang di Ende masih 33 tahun, saya tahu, tongkat itu bukan berfungsi layaknya tongkat bagi lelaki yang sudah tua, yakni untuk penopang tubuh saat berjalan,” papar Baim, antusias.
Ada pemandangan menarik pada keseharian Baim di luar jadwal syuting. Dia, di dalam kamar, atau di luar kamar, sering berjalan mondar-mandir sambil mulutnya bicara. Ketika didekati, rupanya dia sedang menghafal dialog bahasa Belanda. “Susah sekali!!! Sangat susah. Ini mungkin tantangan terberat,” ujarnya sambil terus melanjutkan latihan berbahasa Belanda-nya..
Seiring guliran hari-hari syuting ke depan, masih akan banyak cerita di balik pembuatan film “Ketika Bung di Ende” yang menurut Dirjen Kebudayaan, Kemendikbud, Kacung Marijan, film ini diharapkan mampu menumbuhkan rasa nasionalisme anak-anak Indonesia. Menurut Kacung, film ini akan ditayangkan di TVRI pada hari khusus serta disebar di sekolah-sekolah. “Karena anggarannya berasal dari pemerintah, maka siapa pun bisa menyaksikan film ini secara gratis,” ujarnya. (roso daras)