Bung Baim pun Menjadi Sukarnois

BAIM WONG jadi Bung Karno

Adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang memprakarsai produksi film sejarah dokumenter tentang Bung Karno. Meski film ini hanya menukil sepenggal kisah yang terjadi antara tahun 1934 – 1938, tetapi, sutradara Viva Westi menggarapnya dengan sangat serius.

Sebelum memulai produksi, sejumlah narasumber beberapa kali berkumpul dalam forum diskusi. Bahkan, para narasumber itu pun dilibatkan dalam proses penyusunan skenario (screen play). Bersyukur sekali bahwa saya dilibatkan di dalam tim itu. Lebih bersyukur ketika tim produksi kemudian meminta saya untuk ikut “menggembleng” Baim Wong, sang pemeran Bung Karno, dalam film yang diberi judul “Ketika Bung di Ende”.

Alhasil, dialog demi dialog tentang sosok Bung Karno pun terjalin. Diskusi bukan hanya di teras hotel, tetapi sesekali juga terjadi di sela-sela pengambilan gambar. “Bagaimana tadi bang? Kurang apa, bang?!” tanya Baim sesekali, dengan polosnya.

Satu catatan yang menarik, bahwa aktor kelahiran 27 April 1981 ini, begitu tekun menggeluti “belantara” Sukarno. Sejumlah buku dilahapnya. Sejumlah narasumber didatanginya. Ia benar-benar terobsesi untuk mengenal lebih dekat karakter Sukarno yang bakal dimainkannya. “Ini peran luar biasa. Saya percaya betul, bahwa hanya berkat Tuhan semata, jika saya akhirnya terpilih memerankan tokoh besar bangsa ini,” tutur aktor yang terlahir dengan nama Muhammad Ibrahim ini.

“Terus terang,” ujarnya, “saya tadinya sama sekali tidak mengenal Bung Karno. Saya malah mengagumi mantan presiden Soeharto. Tapi sekarang saya bisa dengan yakin mengatakan, ‘tidak ada pemimpin Indonesia lebih besar dari Sukarno’.”

Untuk melakoni peran Sukarno, Baim merasa ada getaran khusus. Bahkan, ketika ia menyempatkan diri melakukan sholat malam di situs rumah pembuangan Bung Karno, Baim merasakan adanya “sesuatu” yang membuatnya lebih serius memerankan figur Putra Sang Fajar. “Susah dilukiskan dengan kata-kata. Tetapi setiap mengingat peristiwa itu, bulu roma saya berdiri,” ujar Baim.

Sesuatu yang sulit dilukiskan, barangkali hanya Baim saja yang merasakan. Tetapi yang bisa dilihat adalah pada perubahan karakter Baim. Dan itu diakuinya sendiri. “Dulu saya cuek saja kalau terlambat sholat… sekarang, justru kepikiran kalau sampai terlambat sholat. Dulu, saya masih cukup mudah tergoda hal-hal yang bersifat duniawi, sekarang saya merasa geli jika mengenang masa-masa itu. Mudah-mudahan, melalui peran Bung Karno, akan membawa kebaikan dalam diri saya,” ujarnya, pelan.

Untuk itu, ia mengaku akan total memerankan tokoh Sukarno. Bahkan demi menunjang karakter, Baim rela menambah lapisan gigi di bagian taring, agar lebih menonjol, persis gigi Sukarno. “Gigi ini bisa dibilang bagian dari properti. Sama seperti tuntutan saya harus senantiasa membawa tongkat. Nah, ini pun tantangan. Bagaimana saya bisa memainkan properti tongkat. Dalam usia Bung Karno yang ketika dibuang di Ende masih 33 tahun, saya tahu, tongkat itu bukan berfungsi layaknya tongkat bagi lelaki yang sudah tua, yakni untuk penopang tubuh saat berjalan,” papar Baim, antusias.

Ada pemandangan menarik pada keseharian Baim di luar jadwal syuting. Dia, di dalam kamar, atau di luar kamar, sering berjalan mondar-mandir sambil mulutnya bicara. Ketika didekati, rupanya dia sedang menghafal dialog bahasa Belanda. “Susah sekali!!! Sangat susah. Ini mungkin tantangan terberat,” ujarnya sambil terus melanjutkan latihan berbahasa Belanda-nya..

Seiring guliran hari-hari syuting ke depan, masih akan banyak cerita di balik pembuatan film “Ketika Bung di Ende” yang menurut Dirjen Kebudayaan, Kemendikbud, Kacung Marijan, film ini diharapkan mampu menumbuhkan rasa nasionalisme anak-anak Indonesia. Menurut Kacung, film ini akan ditayangkan di TVRI pada hari khusus serta disebar di sekolah-sekolah. “Karena anggarannya berasal dari pemerintah, maka siapa pun bisa menyaksikan film ini secara gratis,” ujarnya. (roso daras)

Published in: on 2 Oktober 2013 at 17:21  Comments (5)  
Tags: , , ,

Rachmawati dan Film Bung Karno

FILM BK dan Rachma

Tulisan ini di-posting 30 September 2013. Mengapa tidak mengangkat tema G-30-S/PKI atau Gestok? Alasannya ada dua. Pertama, sejak awal September, blog ini sudah memuat surat Ratna Sari Dewi kepada Soeharto. Saking panjangnya surat itu, pemuatannya harus berseri. Alasan kedua, belum ada hal baru yang ingin diposting.

Lantas mengapa menyoroti “perseteruan” Rachmawati Soekarnoputri dengan Multivision ihwal film Soekarno: Indonesia Merdeka? Ada dua alasan juga. Pertama, lelah ditanya-tanya teman. Kedua, saya sendiri sedang terlibat dalam produksi film “Ketika Bung di Ende“, produksi Kementerian Pendidikan Nasional.

Sejak mencuat perseteruan Rachma dan Multivision (Hanung Bramantyo di dalamnya), tak terhitung teman yang meminta komentar atau pendapat saya. Pendapat saya yang datar adalah, “Tidak semestinya hal itu terjadi. Siapa pun, terlebih anak Bung Karno, seharusnya berterima kasih kepada para pihak yang berkenan memfilmkan bapaknya.”

Atas jawaban itu, ada juga yang ingin memperpanjang dengan pernyataan, “Tapi bagaimana kalau pemerannya tidak cocok? Atau jalan ceritanya tidak benar?” Cocok atau tidak cocok, itu mutlak tanggung jawab kreatornya. Kalau cocok, tentu akan dipuji, kalau tidak cocok, kratornya pasti akan menuai kritik. Biarkan saja. Akan halnya jalan cerita…. Jangankan film, buku-buku karangan profesor, doktor, dan penulis-penulis besar pun banyak yang tidak benar.

Bukan itu saja. Buku sejarah untuk anak-anak sekolah di Indonesia pun pernah diselewengkan. Ada yang menulis kelahiran Bung Karno di Blitar (padahal di Surabaya), ada yang menulis Bung Karno pengkhianat, dan lain sebagainya. Sikap saya (tentang hal itu) sudah jelas, “Bung Karno tidak akan lebih besar jika kita puja-puji, Bung Karno tidak akan lebih kecil kalau kita caci-maki”. Sejarah Bung Karno, seperti sejarah yang lain, akan mengalir menemukan jalan kebenarannya sendiri.

Karena itu, atas pertanyaan teman ihwal “perselisihan” Rachma dan Multivision, pernah juga terlontar jawaban saya, “Sikap Rachma tidak pantas sebagai anak seorang Sukarno!” Terlalu vulgarkah komentar itu? Biarkan saja. Anak Sukarno, toh tidak selalu benar. Anak Sukarno bisa juga khilaf. Anak Sukarno bisa saja keliru, dan anak Sukarno, bisa saja melakukan perbuatan kontroversi. Anak Sukarno, bisa saja melakukan hal-hal yang –seandainya masih hidup— membuat Bung Karno murka.

Bung Karno bukan saja “milik” anak-anak biologisnya. Bung Karno adalah milik bangsa. Setelah dijatuhkan secara biadab oleh Soeharto, disusul pelarangan semua ajaran Bung Karno, disusul praktik-praktik pemutar-balikan sejarah, dilengkapi gerakan-gerakan desukarnoisasi, mengakibatkan semua kebesaran Sukarno seolah tertutup awan tebal. Tiga dasawarsa, bangsa ini seperti dilarang membicarkaan Bung Karno (kecuali yang mendiskreditkan).

Ario Bayu (pemeran Bung Karno pilihan Hanung) adalah generasi yang “tidak tahu” siapa Bung Karno. Pernyataannya sebagai seorang yang bukan nasionalis, sontak membuat Rachma menolak. Rachma seperti lupa, bahwa casting bukanlah rekruitmen kader partai. Hanung tidak butuh aktor nasionalis tetapi tidak memenuhi kualifikasi pemeran Sukarno seperti yang ada dalam alam kreatifnya.

Rachma tidak pernah berhitung, sukses Ario Bayu memerankan tokoh Bung Karno, justru bisa menumbuhkan dan melahirkan ribuan, bahkan jutaan Sukarnois baru. Keberhasilan Ario Bayu melakonkan Bung Karno, bisa meninggikan derajat Bung Karno yang telah dikhianati oleh anak bangsanya sendiri. Masih banyak hal positif lain terkait Bung Karno dan nasionalisme yang akan tumbuh subur jika film ini sukses menyedot penonton. Jika itu terjadi, Rachma sudah seharusnya malu. Malu besar!!!

Satu lagi yang cukup mengganggu saya. Aksi mengembalikan uang dua ratus juta rupiah dalam pecahan sepuluh-ribu-an, kepada pihak Multivision.  Sungguh menggelikan. Entah apa yang ada dalam pikiran Rachma saat melakukan aksi itu. Mungkin jengkel karena “Bung Karno” idolanya, Anjasmara, ditolak Hanung. Mungkin juga ada alasan lain yang tidak dia ungkap kepada publik.

Bung Karno kita kenal sebagai manusia istimewa. Keistimewaannya terutama karena dia lebih mengutamakan rakyat dibanding diri-pribadi maupun keluarganya. Keistimewaannya terutama sekali karena dia begitu humanis. Keistimewaannya terutama pula karena dia tidak hanya berkawan dengan kaum nasionalis, tetapi juga berkawan dengan komunis, agamis, bahkan yang tak berpaham sekalipun.

Mengingat itu semua, saya merasa harus lebih bekerja keras untuk syiar Bung Karno. Terutama ketika perbuatan anaknya, setidaknya di mata saya, disadari atau tidak disadari, justru (dalam bahasa anak muda) “bukan Sukarno bangeeeets”….

Nah ihwal keterlibatan saya dalam proyek film Bung Karno yang lain, garapan Kementerian Pendidikan Nasional, ini juga alasan mengapa saya tertarik memposting tulisan ini. Dalam film non-komersial yang didanai APBN ini, judulnya Ketika Bung di Ende. Film yang hanya memotret sebuah fase dalam perjalanan hidup Bung Karno, yakni fase antara tahun 1934 – 1938 ketika ia dibuang ke Ende, Flores (Pulau Bunga).

Pemeran Bung Karno di film ini adalah aktor Baim Wong. Menurut saya, kondisi awalnya “lebih parah” dibanding Ario Bayu yang mengaku bukan nasionalis. Baim bahkan mengaku, (awalnya) dia adalah pengagum Soeharto!!! Setelah menerima peran itu, secara profesional dia mendalami Bung Karno, membaca buku-buku tentang Bung Karno, berdiskusi (salah satunya dengan saya) tentang Bung Karno…. apa kata Baim sekarang? “Tidak ada pemimpin Indonesia sehebat Bung Karno!”

Tentang film “Ketika Bung di Ende”, tunggu tanggal postingnya…. (roso daras)

Published in: on 30 September 2013 at 15:00  Comments (24)  
Tags: , , , ,

Treatment Film Bung Karno

Sekadar mengingatkan saja, proses pembuatan film Bung Karno terus berjalan. Hingga posting ini di-upload, penulis skenario (ehemm…) sudah merampungkan step kedua: Treatment, setelah langkah pertama, sinopsis selesai dan disetujui. Percayakah Anda? Adalah sangat sulit ketika harus memulai proses penulisan treatment tersebut.

Satu demi satu adegan coba dituang… dan harus saya hapus lagi ketika membaca ulang, dan terlintas ide yang lain. Mengulang lagi dari awal… dan saya hapus lagi manakala muncul gagasan yang lain lagi…. Begitu silih berganti, hingga nyaris frustrasi. Fokus!!! Itu intinya. Revized possibilities, harus pula dicamkan. Ah, kalau begitu, mengapa harus repot?

Berkatalah saya kepada “ide”… silakan datang memenuhi batok kepalaku… (bertubi-tubi bila perlu) niscaya akan saya catat sebagai “alternatif”.  Sementara itu, biarkan saya mengalirkan imajinasi runtutan cerita.

Sekalipun begitu, saya sadar, proses ini harus terus saya komunikasikan dengan pihak PH. Maka, ketika sepertiga treatment selesai, saya pun mendatangi PH dan mendiskusikannya dengan person in charge. “Haahh… baru sampai sini, sudah setebal ini?! Kepanjangan mas!”

Lega saya. Memenggal jauh lebih mudah daripada menambah, bukan? Saya pun meminta satu kondisi, biarkan saya menuangkan semua, jangan dibatasi halaman. Jika harus 100 lembar, ya 100 lembar yang akan saya tulis. Jika harus 1.000 lembar, maka terjadilah. Setelah itu, baru direvisi bersama.

Nah, lepas dari istilah teknis Int (interior), Ext (eksterior) dan nama-nama pemain yang terlibat dalam peristiwa demi peristiwa…, inilah sepenggal treatment itu:

1.

Suasana dibuka dengan bumi yang bergoncang (gempa). Pagi masih buta. Sebagian rakyat terbangun bukan karena kokok ayam jantan, tetapi karena bumi yang bergerak-gerak… “Ana lindu… ana lindu,” teriak sebagian rakyat, panik.

Gambaran kepanikan meliputi segenap rakyat di desa-desa, hingga ke rumah-rumah gedong para meneer Belanda.

Sementara itu….

Di waktu bersamaan, di sebuah rumah, tokoh Soekeni gelisah, menunggui istrinya, Ida Ayu Nyoman Rai (Idayu) yang hamil tua, dan sudah saatnya melahirkan. Ia pun menjadi lebih panik demi merasakan adanya gempa bumi.

Jam menunjukkan pukul 05.30, dan kalender menunjukkan tanggal 6 Juni 1901.

2.

Gunung Kelud meletus… menumpahkan lahar, menyemburkan awan panas.

Bersamaan dengan letusan gunung kelud, lahirlah si jabang bayi dari rahim Idayu. Sebuah kelahiran yang bukan dibantu dokter, bidan, atau dukun beranak, melainkan oleh kakek-kakek, yang tak lain adalah kakek si jabang bayi dari kerabat sang bapak.

Segala suara gemuruh letusan gunung, kepanikan ayam jantan, kegaduhan masyarakat…. Langsung sirep oleh “gelegar” tangis sang jabang bayi. Tangis bayi yang kemudian diberi nama Koesno itu, menenggelamkan semua kegaduhan alam.

DISSOLVE

3.

Di dalam kamar, Koesno kecil nan kurus bangun dari tidur. Mengucek-ucek matanya, dan mencari sang ibu, yang sudah tidak ada di sisinya. Ia turun dari dipan dan berjalan ke depan, mencari sang ibu. Demi melihat sang ibu tengah duduk di beranda depan menghadap ke timur, Koesno segera menghampiri dan memanggil, “Buuu….”

Sang ibu segera menoleh, dan merengkuh serta memeluknya di pangkuan. Sejurus kemudian, sang surya merekah, sang ibu pun mengingatkan kepada Koesno, sebagai seorang anak yang dilahirkan saat fajar menyingsing. “Engkau putra dari sang fajar, nak…. Jangan sekali-kali lupakan itu.”

DISSOLVE

4.

Di tanah lapang, Koesno kecil tengah bermain bersama teman-temannya. Ia tampak paling unggul. Memanjat pohon paling tinggi… balap lari menjadi yang terdepan… Paling jago memburu belalang, menangkap capung, bahkan berenang di kali, hingga naik kerbau.

Dari kecil, ia sudah menunjukkan keunggulannya dibanding teman-teman sebaya, bahkan di antara teman yang lebih besar sekalipun. Koesno selalu dan selalu mau unggul dibanding yang lain. Bahkan, setiap perintah dan ucapannya, selalu dituruti oleh teman-temannya… (roso daras)

Published in: on 25 Desember 2010 at 10:23  Comments (10)  
Tags: , , ,

Peter A. Rohi dan Dua Bukunya

Belum lima menit meninggalkan komplek pemakaman Bung Karno di Blitar, beberapa hari lalu, telepon bergetar… Peter A. Rohi di ujung telepon sana. Nama Peter Rohi sudah beberapa kali muncul dalam blog ini. Semua tulisan tentang pembantu sekaligus pengawal Bung Karno yang bernama Riwu Ga, selalu mengait ke sebuah nama: Peter Rohi. Sebab, dialah wartawan senior yang berhasil melacak jejak Riwu dan menampilkannya di suratkabar tempatnya bekerja.

Peter berkata,  “Ada dua buku yang saya mau berikan ke mas Roso…. Jangan sekali-kali menulis skenario film Bung Karno sebelum baca kedua buku ini,” ujar Peter. Alhamdulillah…. Tuhan begitu lugas…. Dia menjawab tuntas doaku. Segera kami bikin janji temu keesokan harinya.

Selepas makan siang… Peter, mantan marinir, jurnalis senior, seniman, sekaligus sastrawan ini tampak memasuki halaman hotel. Rambutnya masih gondrong diikat. Ia mencangklong ransel…. “Harta karunku datang,” gumamku menyambut Peter.

Berbicaralah kami ngalor-ngidul seputar Bung Karno, seputar Soekarno Institut yang dia kelola, seputar ini dan itu…. sangat mengasyikkan. Tibalah gilirannya membuka ransel dan mengeluarkan dua buku yang ia janjikan…. Yang satu berjudul “Soekarno sebagai Manoesia” tulisan Im Yang Tjoe.

Nah, jika Anda membaca buku “Bung Karno, Serpihan Sejarah yang Tercecer, The Other Stories ke-1”, pada pengantar buku oleh Cornelis Lay, tentu ingat. Dalam salah satu bagian, Cornelis menyebutkan tentang buku biografi pertama Bung Karno yang ditulis oleh penulis Tionghoa tahun 30-an, dan diterbitkan di Solo. Buku itu mengupas masa kecil Bung Karno. Meski ditulis tahun 1933, tetapi sang penulis sudah meramalkan dalam bukunya, bahwa Sukarno akan menjadi orang besar.

Inilah buku yang dimaksud. Rupanya, Peter A. Rohi sempat menulis ulang buku itu. Luar biasa… tidak henti-henti saya mengucap kata “luar biasa”… dengan senangnya.

Sedangkan buku kedua berjudul  “Ayah Bunda Bung Karno”, tulisan Nuriswa Ki S. Hendrowinoto, dkk. Inilah buku yang paling lengkap dan akurat yang menguak biogradi R. Soekeni Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai, orangtua Bung Karno. Ditulis oleh seorang peneliti, melalui sebuah riset yang panjang dan mendalam.

Berbekal kedua buku itulah (dan tentu saja literatur yang lain), saya kemudian memulai pekerjaan penulisan skenario film Bung Karno. Saat ini, baru pada tahap penyusunan treatment.  Saya begitu bersemangat! (roso daras)

Published in: on 15 November 2010 at 07:41  Comments (10)  
Tags: , ,

Bung! Aku Datang…

Jika Tuhan berkenan mengabulkan, maka tanggal 11 November mendatang, aku akan bersimpuh di pusaramu, Bung! Ya, aku akan ke Blitar, memasuki pendopomu dengan takzim, dan mengusap pusaramu dengan cinta. Aku tidak menjanjikan banyak, kecuali sebait ayat suci yang coba aku jadikan oleh-oleh buat Bung. Meski tidak akan menjadi sinar penerang di alammu, setidaknya ia akan berkerlip, laksana kunang-kunang di bawah siraman purnama dan bintang-gemintang.

Aku datang dengan pamrih Bung. Maafkan. Sebuah pamrih yang biasa saja. Karena itu, kukira kau tidak akan berkeberatan. Sebab, pamrihku sesungguhnya pamrihmu juga. Ya, ini adalah sebuah tarikan sejarah, yang kemudian mempertemukan kita pada satu garis sejajar. Engkau di garis yang satu, aku di garis yang samar, menempel ketat garismu, garis hidupmu.

Begini Bung… Rabu malam minggu lalu, seseorang yang kukira cukup sukses dalam karier duniawinya… berbaik hati mengemukakan tekadnya untuk mengangkat kehidupan Bung ke layar perak. Sejauh yang saya tangkap, tidak ada pamrih yang Bung tidak suka, di balik niatnya memfilmkan Bung. Di atas landasan idealisme, barulah ia letakkan landasan bisnis. Ahhh… itu wajar saja.

Bisnis adalah konsekuensi dari sebuah perdagangan bernama film. Artinya, ketika seseorang membuat film tentang Bung dengan biaya yang tidak sedikit, tidak salah kalau kemudian (sebagai pengusaha), ia pun berharap uangnya kembali berikut “teman-teman”nya. Bung tentu tahu, mengalirnya rupiah ke kocek si pengusaha tadi, harus kita lihat bahwa film tentang Bung memang diminati. Vulgarnya begini, film tentang Bung itu laris-manis.

Orang Indonesia, siapa pun dia, tentu berkeinginan menyaksikan kisah proklamatornya. Melihat gambaran tentang bapak bangsanya. Bahkan kepada pihak produser, sudah saya sampaikan pula gagasan “menjual” film tentang Bung ke manca negara. Bung tentu ingat, betapa Bung begitu dielu-elukan sebagai Pahlawan Asia, Pahlawan Islam, Pahlawan Negara Berkembang…. Bung adalah inspirasi bangsa-bangsa.

Back to the topic…. Rabu malam itu pula, ia bertitah, “Dengan ini saya menunjuk Sdr. Roso Daras untuk memimpin pekerjaan penulisan dan ide cerita film Bung Karno.” Asal Bung tahu, demi mendapat penunjukan itu, spontan saya mengucap, “Innalilahi wa’inna illaihi raji’un… kemudian baru alhamdulillah”. Bukankah benar begitu Bung? Saya harus merespon tugas ini dengan sikap dasar, ini adalah sesuatu yang datang atas kehendak Allah SWT, karenanya harus saya kembalikan kepadaNya.

Selesai urusan bersyukur dan mohon petunjuk Allah SWT. Engkau berada di giliran berikutnya Bung. Saya orang Jawa, senang ke kuburan, menyenangi berziarah. Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan klenik. Ketika aku bersimpuh di makam rama-biyung dan mengiriminya doa… rasanya kok lebih khusuk. Ketika saya hendak “berdialog” denganmu Bung, rasanya kok lebih enak jika itu saya lakukan sambil duduk bersila di samping pusaramu.

Untuk itu Bung, aku datang. (roso daras)

Published in: on 8 November 2010 at 07:17  Comments (24)  
Tags: , ,

Film tentang Bung Karno

Bukan satu dua… sebut saja banyak… komentator blog ini yang berandai-andai, “seandainya kisah Bung Karno diangkat ke layar perak”…. “seandainya ada film tentang Bung Karno”…. Sejatinya, harapan itu bukan harapan kosong. Sejumlah sineas pernah membuat film tentang Putra Sang Fajar. Hanya saja, entah karena alalasan politik atau alasan lain, belum ada satu pun produser film yang berani mengangkat film tentang Bung Karno secara utuh.

Karenanya, film tentang Bung Karno hanya bersifat tempelan. Ada film tentang G-30-S yang menampilkan Bung Karno dalam sudut pandang pemerintahan Orde Baru. Ada film dokumenter tentang Bung Karno yang mandeg di laci produser. Ada film TV tentang kisah cinta Bung Karno dan Fatmawati. Alhasil, belum ada satu pun film tentang Bung Karno secara utuh. Sebuah film yang memotret sang proklamator secara utuh, sejak kelahiran hingga wafatnya.

Kini, kita boleh berharap tentang hadirnya film tersebut. Sebuah PH di bilangan Kebayoran Baru, tengah mempersiapkan produksi film Bung Karno. Itu tentu sebuah kabar gembira bagi kita semua anak bangsa. Buat saya? Lebih menggembirakan lagi. Pasalnya, saya ternyata terpilih sebagai salah satu calon penulis skenario film itu!!!

Rasa bahagia yang membuncah inilah yang hendak saya bagi ke pengunjung blog setia. Atas permintaan PH tersebut, saya sudah menyusun sebuah sinopsis, yang saat ini tengah mereka pelajari. Selain saya, ternyata juga bercokol sejumlah calon penulis skenario lain, yang barangkali juga diminta menulis sinopsis pula. Para calon penulis itu, percayalah, qualified. Sejumlah nama penulis besar ada di kantong mereka.

Itu artinya, hingga posting ini saya upload, belum ada kepastian, siapakah yang bakal terpilih menjadi penulis skenario film Bung Karno. Kepada produser dan stafnya, saya pribadi hanya mengucap terima kasih atas peluang dan kesempatan menyampaikan sinopsis yang diberikan. Sebab, siapa pun yang nanti terpilih, sama sekali tidak mengurangi rasa hormat dan apresiasi saya kepada PH ini yang telah berkenan memfilmkan tokoh pemersatu bangsa kita.

Dalam hati, bergemuruh gairah yang meluap-luap untuk bisa mendedikasikan sebuah karya bagi Bapak Bangsa itu. Sudah melayang imaji saya pada Sukarno kecil yang kelahirannya disambut letusan Gunung Kelud, 6 Juni 1901. Sudah tergambar bagaimana di suatu fajar, Ibunda memangku Kusno kecil berkata, “Ingat nak, engkau adalah putra dari sang fajar. Engkau akan menjadi orang besar.”

Ingat pula bagaimana Sukarno remaja berkelahi dengan remaja bule. Terbayang pula bagaimana HOS Cokroaminoto menanamkan benih-benih cinta tanah air, benih-benih pemberontakan, benih-benih tekad baja melepaskan bangsa ini dari belenggu penjajah Belanda. Melayang-layang pula masa-masa perjuangan Bung Karno hingga ditangkap, dipenjara, dan dibuang. Terlintas pula bagaimana Bung Karno mengguncang dunia… dan tentu saja, lekat pula bayangan bagaimana Bung Karno dinista oleh bangsanya sendiri hingga ajal menjemput, 21 Juni 1970….

Sudahlah… satu hal yang patut kita catat hari ini adalah, siapa pun penulis skenarionya, kita segenap anak bangsa, boleh bergembira menyambut itikad mulia sebuah PH yang hendak mengangkat kisah Bung Karno ke layar perak. (roso daras)

Published in: on 7 Oktober 2010 at 12:25  Comments (29)  
Tags: ,