Universitas Kokushikan Tokyo Gelar Simposium Bung Karno

20161103_094345

Pagi itu, suasana kampus Universitas Kokushikan, di Setagaya, Tokyo – Jepang, mulai pikuk, ketika rombongan Puti Guntur Soekarno tiba, Kamis (3/11). Mahasiswa dan masyarakat berkumpul di halaman kampus dalam pelaksanaan sebuah festival tradisional yang diperingati tiap tahun.

Rektor dan pejabat kampus antusias menyambut kehadiran Puti Guntur yang hari itu didampingi bapaknya, Guntur Soekarnoputra dan istri, Henny. Nama Guntur dan Puti, begitu lekat di kampus bersejarah ini. Terlebih, ini bukan kali pertama Puti hadir.

Tahun lalu, di kampus yang sama, dalam rangka peresmian “Soekarno Research Center”, Puti hadir dan membawakan pidato kebudayaan, “Pancasila Bintang Penuntun”. Kali ini, kehadiran Puti pun sejalan dengan program Pusat Studi Asia-Jepang, Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Kokushikan, yakni simposium internasional mengenai Soekarno, yang berjudul “Merefleksikan Pemikiran Soekarno dari Masa Kini Abad ke-21”.

Sebelum menuju aula di kampus lantai tiga, Puti dan rombongan diterima Rektor Prof Keiichi Sato, PhD dan Direktur Pusat Studi Asia-Jepang, Tokubumi Shibata, yang merupakan cucu pendiri Universitas Kokushikan, Tokujiro Shibata. Hadir juga Kepala Pascasarjana Jurusan Ilmu Politik, Prof Masami Hiraishi.

Usai beramah-tamah, Puti dan rombongan diiringkan berjalan kaki, menapaki kampus Kokushikan yang luas, menuju tempat acara di sebuah bangunan lima lantai. Acara simposium itu sendiri digelar di lantai tiga. Tepat pukul 09.00, simposium dibuka, diawali sambutan-sambutan dari pihak universitas.

Rektor Keiichi Sato menceritakan ihwal hubungan Kokushikan dengan Indonesia. Tersebutlah pasca Konferensi Asia Afrika 1955, Bung Karno memperkuat solidaritas bangsa-bangsa Asia-Afrika, antara lain dengan menggelar Games of New Emerging Forces (Ganefo) 1962. Jepang yang hadir pada KAA termasuk yang diundang dalam Ganefo. Akan tetapi, demi menjaga perasaan Barat, pemerintah Jepang tidak mengirimkan atlet. Akan tetapi, Universitas Kokushikan-lah yang mengirimkan atlet dan mendapatkan medali pada cabang judo. Ini adalah keputusan penting dari pendiri Universitas Kokushikan, Tokujiro Shibata yang memang dari awal fokus pada persoalan Asia.

Rektor Sato yang sudah tiga kali berkunjung ke Indonesia, tak habis-habis memuji. Indonesia yang dikatakannya “fitur ideal dunia”. Negara dengan keragaman suku, adat-istiadat, budaya, dan bahasa. Bahasa Jawa adalah paling dominan di antara suku yang lain. Akan tetapi, Presiden Sukarno tidak menjadikan bahasa Jawa sebagai bahasa nasional.

Juga tentang agama. Bangsa Indonesia 88 persen Islam, tetapi Bung Karno tidak menjadikan Islam sebagai agama negara. Negara menjamin warganya memeluk agama dan kepercayaan masing-masing. Inilah warisan berharga dari Sukarno. “Bisa dikatakan, Indonesia mempraktekkan salah satu model ideal perdamaian dunia,” ujar Rektor Sato.

bonnie-triyana-dan-prof-dadan-umar-daihani

Pada kesempatan berikut, Direktur Pusat Studi Asia-Jepang, Tokubumi Shibata juga menyebut Bung Karno sebagai tokoh besar yang meninggalkan gagasan berharga untuk kerjasama dan keharmonisan Asia dan dunia. Ketidakharmonisan dunia yang cenderung tampak jelas akhir-akhir ini, memerlukan kebijaksanaan Timur untuk menyelesaikannya. “Saya berpikir bahwa Presiden Sukarno sudah melihat dan memberikan jawabannya sejak 70 tahun lalu,” ujar Shibata yang juga Ketua Soekarno Research Center.

Sambutan ketiga diberikan Kepala Pascasarjana Jurusan Ilmu Politik, Prof Masami Hiraishi. Ia berterima kasih kepada Puti, di tengah kesibukannya sebagai Anggota DPR RI, masih berkenan menyisihkan waktu hadir dan memberi kuliah umum, sekaligus menerima penyerahan gelar sebagai profesor tamu di Jurusan Ilmu Politik, Pascasarjana Universitas Kokushikan.

Lebih lanjut Prof Hiraishi memprihatinkan, akhir-akhir ini terjadi kecenderungan kita memilih kehidupan modern dengan membuang kehidupan tradisional. Padahal, modernitas tidak selalu benar, melainkan harus dengan melihat masa lalu. Nah, simposium yang digelar hari itu, menghadirkan dua peneliti dari Indonesia dan dua peneliti dari Jepang. “Masing-masing memiliki sudut pandang berbeda, tentu menjadi sesuatu yang sangat menarik sebagai bahan kajian ilmiah kita bersama,” katanya.

Dan benar, simposium hari itu, selain diisi pidato utama Puti Guntur Soekarno yang berjudul “Pancasila Menuju Tata Dunia Baru”, juga diisi dua pembicara Indonesia. Mereka adalah Pemimpin Redaksi Majalah Historia, Bonnie Triyana dan Prof  Dadan Umar Daihani dari Universitas Trisakti, Jakarta. Dari Jepang hadir dua pembicara: Kaoru Kochi, dosen Universitas Tokyo dan Prof Masakatsu Tozu, profesor kehormatan Universitas Kokushikan.

Bonnie Triyana sebagai pemateri pertama, membawakan makalah “Mencari Sukarno Sejati”. Ia menyorot sosok Sukarno dari catatan buku sejarah Indonesia, sejak Orde Baru hingga saat ini. Bonnie banyak mengupas praktek desukarnoisasi yang dilakukan rezim pengganti Sukarno. Sementara itu, Prof Dadan membawakan makalah “Bung Karno: Dunia Pendidikan dan Peradaban Bangsa”. Alumni ITB ini banyak menyorot pentingnya pendidikan bagi pembentukan karakter bangsa. Presentasi Dadan banyak menampilkan foto-foto dan kutipan-kutipan kalimat Bung Karno yang monumental, dan mampu membuat suasana simposium menjadi hangat.

prof-kochi-dan-prof-tozu

Dua pembicara Jepang, memotret Bung Karno dari sudut pandang berbeda. Prof Masakatsu Tozu misalnya, mengangkat topik “Politik Nasionalisme Soekarno dan Batik: Penciptaan Budaya Nasional di Indonesia”. Profesor yang pernah mendalami batik di Indonesia ini, mengaku sebagai pemilik koleksi batik paling lengkap di dunia. Ia mengagumi Bung Karno, yang berhasil menjadikan batik yang identik dengan “milik” sebagian masyarakat Jawa, menjadi identitas nasional. Ia menganggap itu satu-satunya di dunia.

Sedangkan, dosen Universitas Tokyo, Kaoru Kochi membawakan makalah “Hubungan Indonesia-Jepang dan Kajian Mengenai Soekarno di Jepang”. Ia menyandingkan perjalanan sejarah panjang antara Indonesia dan Jepang, sejak era pra kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan. Satu hal yang ditegaskan Kochi adalah, perhatian akademisi Jepang terhadap Indonesia makin meningkat, setelah Bung Karno sukses menggelar Konferensi Asia Afrika, 1955. Dan itu terus berlangsung hingga saat ini.(roso daras)

Guntur Bicara Bung Karno di Tokyo

img-20161103-wa0048Kapan terakhir kali Anda mendengar Guntur Soekarnoputra berbicara tentang bapaknya? Dalam forum resmi, tidak pernah. Dus, bisa jadi, inilah kali pertama, Guntur bicara tentang bapaknya di forum resmi. Forum simposium mengenai Sukarno, yang digelar Universitas Kokushikan, Tokyo, 3 November 2016.

Hari itu, Pusat Studi Asia-Jepang, Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Kokushikan mengelar simposium dengan pidato utama oleh putri tunggalnya, Puti Guntur Soekarno. Selain mendengarkan pidato Puti, simposium juga menghadirkan empat pembicara: Dua dari Indonesia dan dua dari Jepang.

Dari Indonesia, tampil Bonnie Triyana (Majalah Historia) dengan topik “Mencari Sukarno Sejati”, dan Prof Dr Dadan Umar Daihani (Universitas Trisakti Jakarta) dengan topik “Bung Karno: Dunia Pendidikan dan Peradaban Bangsa”. Sedangkan dari Jepang, tampil Prof Masakatsu Tozu (profesor emeritus Universitas Kokushikan) dengan makalah “Politik Nasionalisme Soekarno dan Batik: Penciptaan Budaya Nasional di Indonesia”, serta Kaoru Kochi (Dosen Universitas Tokyo) yang mengangkat topik “Hubungan Indonesia – Jepang dan Kajian Mengenai Soekarno di Jepang”.

Kurang dari dua jam, empat pembicara pun selesai menyampaikan presentasinya. Hingga tanya-jawab berlangsung, tampak Guntur, tetap tekun mengikuti. Dalam usia yang 72 tahun, bisa dibilang, Guntur sangat antusias dengan simposium hari itu.

Di pengujung acara tanya-jawab, tiba-tiba ia mengangkat tangan tinggi-tinggi. Spontan hadirin terhenyak. Tak kurang dari moderator, Tokubumi Shibata yang tak lain adalah Direktur Pusat Studi Asia-Jepang, Universitas Kokushikan, sekaligus cucu dari pendiri universitas tersebut, Tokujiro Shibata.

Bergegas petugas mengantarkan mic ke hadapan Guntur. Sempat agak susah-payah bangun dari sofa yang didudukinya di deret paling depan. Begitu berdiri, ia langsung melancarkan tanggapan atas keempat pembicara.

Yang pertama ditanggapi adalah Bonnie Triyana. Bonnie yang antara lain mengupas usaha desukarnoisasi oleh presiden Soeharto, menyinggung tentang penempatan sosok Sukarno dalam era Orde Baru yang ditenggelamkan. Dimulai dari tudingan, baik langsung maupun tak langsung, oleh Orde Baru kepada Bung Karno sebagai tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Guntur menanggapi khusus pada penggalan “tudingan bapaknya terlibat G-30-S”. “Itu sama sekali salah. Saya tegaskan sekali lagi, tudingan itu tidak betul!” ujar Guntur lantang. Putra sulung Bung Karno itu lantas mengoreksi istilah G-30-S dengan Gestok (Gerakan Satu Oktober). Sebuah gerakan yang terjadi karena adanya oknum-oknum baik di tubuh PKI maupun di tubuh Angkatan Darat, serta adanya intervensi asing.

Gerakan mahasiswa yang dimotori Angkatan Darat, adalah satu gerakan masif, terstruktur dan berbiaya besar. Amerika Serikat berada di belakang gerakan penjatuhan Bung Karno. “Jadi ini sekaligus menegaskan dan melusurkan sejarah. Bagaimana mungkin Bung Karno yang saat itu masih berkuasa, dituding melakukan aksi makar yang itu artinya menggulingkan dirinya sendiri?” ujar Guntur yang berbicara sambil berdiri.

guntur-soekarnoputra

Tanggapan kedua diberikan kepada pembicara kedua, Prof Dr Dadan Umar Daihani. Guntur mengawali dengan intermezo kepada Dadan yang sama-sama lulusan ITB. Kampus yang kebetulan sama dengan kampus Bung Karno menyelesaikan pendidikan insinyurnya. “Kita sama-sama ITB kan? Berarti semboyan kita sama, In Harmonia Progressio….” Prof Dadan tertawa dan mengangguk-angguk.

Selanjutnya Guntur masuk ke materi presentasi Dadan, yang menyoroti pentingnya aspek pendidikan. Mas Tok, begitu ia akrab disapa, mengatakan, bahwa benar pendidikan itu penting. Tetapi ada yang lebih penting dari sekadar pendidikan, yaitu pendidikan karakter bangsa, nation and character building. Bung Karno melakukan itu kepada bangsa Indonesia. Sehingga meski dalam usia muda dan baru merdeka, bangsa Indonesia bisa segera bangkit dari bangsa inlander menjadi bangsa yang memiliki kepercayaan diri tinggi.

Nah, dalam politik, yang tidak kalah penting adalah pembangunan jaringan dan kekuatan. Bung Karno sering mengistilahkan dalam gerakan politiknya dengan istilah machtsvorming, atau pembentukan kuasa atau kekuatan. Dalam konteks politik dunia, Bung Karno lantas melakukannya dengan menghimpun negara-negara Asia-Afrika menjadi sebuah kekuatan untuk mencapai tujuan bersama. Ketika itu, tahun 1955, bangsa-bangsa Asia dan Afrika ditambah Amerika Latin, berhimpun dan menjadi sebuah kekuatan baru di antara hegemoni Barat dan Timur.

Selain itu, Guntur juga menyinggung soal hakikat kemerdekaan. Hakikat inti dari kemerdekaan sebuah bangsa adalah Trisakti, yang lagi-lagi merupakan ajaran Bung Karno. Berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkebudayaan yang berkepribadian. Mari kita lihat, apakah Indonesia sudah merdeka? Kalau pengertiannya berhasil menjadi negara dan lepas dari penjajahan, mungkin jawabnya sudah. Tetapi apakah sudah berhasil menjalankan Trisakti? “Belum,” kata Guntur menjawab pertanyaannya sendiri.

Karena itu, Trisakti harus terus diperjuangkan. Bukan hanya oleh bangsa Indonesia, tetapi oleh seluruh bangsa di dunia. Sebab, esensi merdeka ya Trisakti itu, kata Guntur.

guntur-s

Cukup lama Guntur berbicara. Menyadari waktu yang telah ia pakai, Guntur segera bertanya kepada audiens. “Apakah bosan mendengarkan saya bicara? Yang bosan tunjuk tangan,” katanya. Audiens yang mengerti bahasa Indonesia spontan mengatakan, “Tidak!” Tetapi bagi yang tidak paham bahasa Indonesia diam… dan baru menjawab “Tidak” setelah penerjemah mengartikan kata-kata Guntur.

Maka, Guntur pun melanjutkan tanggapannya. Kali ini ia menyorot Prof Tozu. “Bicara kesana kesini, ujung-ujungnya ke batik juga,” kata Guntur disambut tawa hadirin. “Tapi, dia memang begitu. Sejak kenal saya, kalau ke Jakarta, saya ajak makan, saya ajak ngobrol. Tapi obrolannya ya berakhir ke masalah batik. Karena itu, sudahlah, saya tidak akan banyak komentar kepada profesor ahli batik yang satu ini,” kata Guntur, lagi-lagi disambut tawa hadirin.

Terhadap pembicara terakhir, Kochi, Guntur mengutip kalimat, “Bung Karno benci kepada Amerika Serikat”. Untuk kalimat itu, Guntur menanggapi, “Bung Karno tidak benci kepada Amerika Serikat. Bung Karno hormat, cinta, dan bersahabat dengan rakyat Amerika Serikat. Yang Bung Karno benci adalah pemerintahannya. Ini pun ada kisahnya.”

Guntur mengisahkan pada satu masa, di mana Indonesia membutuhkan bantuan. Bantuan yang tidak lain adalah utang luar negeri. Pada saat itu, Amerika Serikat bersedia mengulurkan bantuan (baca: utang), tetapi dengan syarat-syarat politik. “Nah, dalam rangka teguh pada pendirian Trisakti itulah, Bung Karno menolak mentah-mentah bantuan yang bersyarat. Keluarlah kata-kata Bung Karno yang terkenal, go to hell with yor aid,” Guntur mengucapkan kalimat terakhir dengan nada bergetar. Hadirin pun bertepuk tangan.

Yang terakhir ditegaskan Guntur adalah mengenai ideologi Bung Karno. “Ideologi Bung Karno bukan Pancasila, bukan Islam. Ideologi Bung Karno adalah marhaenisme,” tegas Guntur. Bung Karno beranggapan, pisau analisa tajam dalam ideologi yang digunakannya ada tiga. Pertama, historis-materialistis; kedua, geopolitik; dan ketiga tentang psikologi massa. “Adonan, atau jladren dari ketiga pisau analisa itulah yang digunakan Bung Karno dalam kebijakan politik, sosial, dan budaya,” tandasnya.

Karena itulah, Bung Karno pernah mengatakan, “Di dalam cita-cita politikku, aku adalah seorang nasionalis. Di dalam cita-cita sosialku, aku adalah seorang sosialis. Dan di dalam cita-cita sukmaku, aku sama sekali theis. Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa,” tegas Guntur sekaligus mengakhiri tanggapannya yang panjang.

Usai berbicara, panitia memberi kejutan pemberian karangan bunga kepada Guntur, yang hari itu 3 November, berulang tahun ke-72. Penyerahan bunga diserahkan oleh salah seorang mahasiswa Universitas Kokushikan, program studi Indonesia, diiringi nyanyian lagi “Happy Birthday”. (roso daras)

Jpeg

Puti Guntur, Visiting Professor Universitas Kokushikan

Jpeg

Puti Guntur Soekarno menerima gelar Visiting Professor dari Rektor Universitas Kokushikan, Prof Keiichi Sato.

Puti Guntur Soekarno menjadi satu-satunya politisi Indonesia yang dianugerai gelar visiting professor pada jurusan Ilmu Politik, Pascasarjana Universitas Kokushikan, Tokyo – Jepang. Anugerah gelar itu diberikan Rektor Universitas Kokushikan, Prof. Keiichi Sato, PhD kepada Puti, Kamis, 3 November 2016, di kampus Setagawa, Tokyo. Puti dinilai memiliki kompetensi atas gelar tersebut.

Bertepatan penganugeranan gelar tersebut, hari itu Pusat Kajian Asia-Jepang, Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Kokushikan menggelar simposium internasional mengenai Sukarno. Dalam simposium bertema “Merefleksikan Pemikiran Soekarno dari Masa Kini Abad ke-21” itu, Puti Guntur tampil sebagai keynote speaker. Puti membawakan pidato berjudul “Pancasila Menuju Tata Dunia Baru”.

Bukan kali pertama Puti Guntur berpidato di kampus yang didirikan oleh Tokujira Shibata pada tahun 1917. Tahun lalu, Juli 2015, Puti juga berpidato di kampus yang sama, bertepatan dengan peresmian Soekarno Research Center. Saat itu, Puti membawakan pidato berjudul “Pancasila Bintang Penuntun”.

“Bagi saya, gelar ini adalah kehormatan, sekaligus kewajiban. Sebagai visiting professor, tentu saya akan mengagendakan jadwal mengajar di universitas yang memiliki hubungan historis panjang dengan Indonesia ini,” ujar Puti Guntur, usai menerima gelar tersebut.

Dikaitkan dengan termin “profesor” yang lazim dipakai di Indonesia, Puti buru-buru menegaskan, bahwa di dunia pendidikan internasional, mengenal aneka jenis gelar profesor. Di Amerika Serikat misalnya, ada sebutan assistant professor, associate professor, full professor, visiting professor (profesor tamu), professor emeritus, adjunct professor, honorary professor, serta research professor. Sedangkan di Eropa, sepeti Jerman, misalnya, ada Professor W3, professor extraordinarius, fachhochsculprofessor, profesor emeritus dan junior professor.

Sebaliknya, di Indonesia hanya memiliki satu jenis profesor, yang disebut guru besar. Sebutan atau gelar profesor mengacu pada UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan dan PP 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi pasal 105 yang jelas menerangkan bahwa profesor bukan gelar akademik, melainkan jabatan fungsional untuk seorang dosen yang telah memiliki kualifikasi tertentu, yang berkaitan dengan kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas akademik (tridharma PT).

Jpeg

Puti Guntur yang anggota Komisi X DPR RI, dan antara lain membidangi masalah pendidikan menjelaskan, gelar visiting professor yang ia terima, tidak bisa dipahami dengan tata-aturan dunia pendidikan tinggi di Indonesia. “Gelar visiting professor biasa juga disebut guest professor. Ya memang begitu terminnya (di Jepang). Di Indonesia barangkali mirip dosen tamu,” kata lulusan FISIP UI itu.

Politisi PDIP kelahiran 26 Juni 1971 itu memang telah menjalin komunikasi cukup intens dengan Universitas Kokushikan. Dia bahkan sudah bertemu dengan Kepala Program Pascasarjana Jurusan Ilmu Politik Universitas Kokushikan, Prof. Masami Hirashi, Oktober 2015. Dalam kesempatan itulah, Prof Hirashi meminta kesediaan Puti Guntur menjadi visiting professor di jurusan Ilmu Politik, Pascasarjana Kokushikan.

Hari itu, penyerahan sertifikat gelar visiting professor diserahkan oleh Rektor Universitas Kokushikan, Prof. Keiichi Sato, PhD. “Saya mengucapkan terima kasih atas kesediaan Puti Guntur Soekarno menerima gelar ini, di tengah kesibukan beliau sebagai anggota parlemen. Harapan kami, langkah kecil ini bisa membawa dampak besar bagi hubungan yang lebih konstruktif antara Jepang dan Indonesia di masa mendatang,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, Puti Guntur menyerahkan kenang-kenangan foto berbingkai yang menampilkan tiga sosok penting dalam melandasi hubungan Indonesia – Jepang. Foto itu adalah rekaman peristiwa kunjungan Bung Karno ke Jepang tahun 1958, yang tidak lama kemudian disusul normalisasi hubungan kedua negara. Dalam kesempatan itu, Bung Karno diterima Kaisar Hirohito didampingi putra mahkota Pangeran Akihito. (roso daras)

Pancasila Bangkit, Matahari Terbit

puti-di-kokushikan

Apa yang harus saya katakan mengenai seorang Puti Guntur Soekarno? Maaf, ini bukan soal kecantikannya. Bukan pula soal sikapnya yang egaliter. Juga, bukan karena ia cucu Bung Karno.

Bangga. Membanggakan. Patut dibanggakan.

Betapa tidak. Di tengah politik dalam negeri yang makin tak berbentuk, di tengah makin lunturnya semangat toleransi, jarang kita temukan sosok politisi yang tampil sebagai negarawan. Di tengah arah kebijakan ekonomi yang semakin kapitalistis, bisa dihitung dengan jari tokoh bangsa yang bicara sosialisme Indonesia. Bahkan, di tengah merajalelanya budaya asing, hanya segelintir orang saja yang masih concern dengan budaya yang berkepribadian Indonesia.

Dus, saya bangga, jagat politik Indonesia memiliki Puti Guntur. Politisi PDIP yang sejauh ini memiliki integritas tinggi. Dia juga membanggakan, karena setidaknya dua tahun berturut-turut diundang Universitas Kokushikan, Tokyo, Jepang sebagai pembicara utama simposium internasional. Dia patut pula dibanggakan, karena yang ia bawa adalah ideologi negara Indonesia: Pancasila, yang digali oleh sang kakek, Bung Karno.

Kurang lebih, itu yang terlintas ketika hari Kamis, 3 November 2016 lalu, saya menyaksikan Puti Guntur melangkah anggun menuju podium, diiringi tepuk tangan peserta Simposium Internasional Mengenai Soekarno di kampus Universitas Kokushikan, Setagaya, Tokyo. Mereka adalah mahasiswa, peserta program master dan civitas akademika yang tertarik menyimak “Refleksi Pemikiran Soekarno dari Masa Kini Abad ke-21”, tema simposium yang digelar Pusat Studi Asia – Jepang, Program Pasca Sarjana, Universitas Kokushikan.

Gemuruh tepuk tangan senyap, ketika Puti uluk salam. Selama berpidato, Puti tampil seperti Bung Karno. Paduan tone dan timbre suara Puti yang berat, melahirkan texture yang segera saja menguasai aula berkapasitas tak kurang dari 400 orang itu. Dibalut kebaya light-purple dan kain motif tenun kecoklatan, Puti membawakan pidato berjudul “Pancasila Menuju Tata Dunia Baru”.

“Saya awali pidato saya dengan mengutip kata-kata Sukarno, Presiden Republik Indonesia yang pertama, ‘Kami nasionalis, kami cinta kepada bangsa kami dan kepada semua bangsa’,” Puti membuka pidato di Negeri Matahari Terbit.

Lebih lanjut, Puti membawa audiens kepada kesadaran, tentang pentingnya persaudaraan bangsa-bangsa. Dikatakan, bahwa dalam lintasan peradaban, sebagai manusia kita tinggal di dunia yang sama yaitu bumi manusia. Meskipun kita berbangsa-bangsa namun kita semua perlu menjalin persaudaraan.

pgs-di-jepangSeperti halnya Bung Karno, maka Puti pun menyitir kata-kata Mahatma Gandhi, “Nasionalismeku adalah kemanusiaan dan kemanusiaanku adalah persaudaraan. Kebangsaan Indonesia sebagaimana kata Bung Karno tumbuh subur dalam  taman-sarinya kemanusiaan. Itulah arah tujuan dan makna dari sebagian nilai dasar dari Pancasila yang berkaitan dengan ide berkebangsaan dan cita-cita kemanusiaan di dalam dunia yang sama,” ujarnya, masih dalam suara lantang dengan diksi yang sangat baik.

Bung Karno dalam pidato di PBB tahun 1960 membawakan judul “To Build the World a New”. Puti menggaungkannya kembali di Tokyo. Diungkapkan, bahwa tata dunia baru membutuhkan transformasi pengelolaan negara bangsa dan pola baru hubungan antar negara dan bangsa yang dilakukan secara utuh, secara once for all bukan parsial. Bangunan tata dunia baru tersebut membutuhkan transformasi politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hukum yang konstruktif demi terwujudnya kemanusiaan dan keadilan sosial bagi setiap warga di tiap negara dan semua penduduk dunia.

Puti menambahkan, bahwa kata kunci utama adalah: keberhasilan mengembalikan kedaulatan rakyat. Bagaimana mengembalikan kedaulatan di tangan rakyat dan prinsip negara kedaulatan. Di tiap negara akan menghasilkan pemerintahan yang mendahulukan keharmonisan dan kemakmuran warganya, sehingga terwujud pula dalam komunitas global warga dunia.

Pada puncak pidatonya, Puti yang tampil cantik dengan untaian kalung mutiara itu menegaskan, bahwa saat ini dunia tengah menghadapi arus deras kapitalisme global vis a vis kesenjangan global di hampir semua negara. Sebuah kondisi yang disebabkan eksploitasi berlebih atas sumberdaya alam dan manusia. Dunia dalam  ancaman  krisis hebat akibat ketimpangan dan kesenjangan.

Di samping itu, tatanan negara-bangsa dibengkokkan oleh kekuatan fundamentalisme pasar yang meminggirkan peran negara. Kehidupan sosial masyarakat dunia yang inklusif diancam kebangkitan fundamentalisme agama, yang memunculkan radikalisme dan terorisme. Saya meyakini, semua masalah  itu akibat prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan umum yang telah banyak dilupakan.

Pada konteks ini, Pancasila haruslah dimengerti sebagai ideologi yang memiliki semangat menentang kesenjangan dan ketimpangan di dunia yang diakibatkan eksploitasi berlebihan yang dijalankan oleh kapitalisme global. Pancasila mengandung keinginan menjamin, menghormati, dan memenuhi hak kemerdekaan negara bangsa, kesejahteraan  umum, keadilan sosial, kehidupan yang beradab, serta perdamaian dunia yang abadi. Pancasila menawarkan solusi “jalan ketiga” (the third way) menuju tata dunia baru.

Puti pun menutup pidato dengan memekikkan kata “Merdeka!”, yang disambut spontan oleh audiens, disusul tepuk tangan gemuruh. (roso daras)

img-20161103-wa0081

Bersama Puti Guntur Soekarno usai menyampaikan pidato umum di Universias Kokushikan, Tokyo.

Published in: on 7 November 2016 at 04:28  Comments (1)  
Tags: , , ,

Patung Sudirman di Sudut Tokyo

puti-dan-patung-sudirman

Kiri: Puti Guntur Soekarno meletakkan karangan bunga di patung Sudirman. Kanan, Puti diapit Wakil Menteri Pertahanan Jepang (kanan) dan tokoh politik LDP Jepang.

 

Patung Jenderal Sudirman, menjadi satu-satunya tokoh atau pahlawan negara asing yang dipajang di Jepang. Awal November lalu, Puti Guntur Soekarno berkenan meletakkan karangan bunga di depan patung setinggi empat meter, dan terbuat dari bahan perunggu itu.

Sebelum seremoni penghormatan dan peletakan karangan bunga, Puti dan rombongan diterima Wakil Menteri Pertahanan Jepang, Takayuki Kobayashi di kantornya, di kawasan Shinjuku – Tokyo. Wamen Kobayashi mengawali ramah-tamah dengan menanyakan, “apakah kedinginan?”, lalu dengan ramah menawarkan Puti Guntur dan tamu yang lain menyeruput green-tea yang menghangatkan.

Dalam kesempatan itu, pejabat kelahiran 29 November 1974 itu menceritakan awal-mula berdirinya patung Sudirman di halaman belakang Kantor Kemhan Jepang. Kobayashi mengatakan, patung itu adalah pemberian Menteri Pertahanan Indonesia, Purnomo Yusgiantoro empat tahun lalu (2012). “Kementerian Pertahanan Jepang menyetujui peletakkan patung Jenderal Sudirman, mengingat banyak nilai-nilai positif yang patut menjadi teladan,” ujarnya.

Puti Guntur melalui penerjemah mengatakan sependapat dengan Kobayashi. Sudirman pantas mendapatkan posisi di Jepang, mengingat selain sebagai pahlawan bagi bangsa Indonesia, “jenderal besar” itu juga menjadi lambang bagi tradisi etos kerja tinggi, disiplin, dan loyalitas. Sikap itu antara lain didapat Sudirman saat berhenti menjadi guru, dan bergabung dalam PETA (Pembela Tanah Air), gemblengan tentara Jepang tahun 1943.

Kobayashi mengangguk-angguk demi mendengar Puti Guntur menyebut PETA. Seolah ia mengingat masa-masa kekuasaan Jepang di Indonesia. Pejabat lulusan John F Kennedy School of Government, Harvard University itu lantas mengemukakan harapannya, agar melalui peletakkan patung tersebut, dapat meningkatkan kerjasama yang lebih erat antara Indonesia dan Jepang.

Sedikit menyinggung tentang bidang tugasnya, Kobayashi yang juga politisi partai berkuasa, LDP (Liberal Democratic Party/Partai Demokratik Liberal) itu menyinggung soal pentingnya membina suasana damai antar-negara. “Indonesia dan Jepang sama-sama negara demokratis. Kita tentu sepakat, bahwa demokrasi senantiasa memperjuangkan kedamaian. Karena itu, kami sangat prihatin dengan permasalahan di Laut China Selatan,” ujar Kobayashi.

Puti Guntur, yang juga Anggota DPR RI Komisi X dan membidangi antara lain soal Pemuda, Olahraga, dan Pendidikan itu, mencoba tidak memasuki wilayah politik luar negeri lebih jauh. Puti hanya menegaskan, bahwa sebagai warga negara Indonesia, ia berharap persoalan Laut China Selatan bisa diselesaikan secara damai.

img-20161106-wa0023Paham tamunya tidak mau terseret dalam isu panas di Laut China Selatan, maka Kobayashi segera memecah suasana melemparkan statemen, “Bagi saya, Indonesia bukan negara asing. Usia lima tahun, saya pernah tinggal di Jakarta mengikuti ayah yang bekerja di sana. Kemudian setelah menjadi pejabat, saya juga mengunjungi Indonesia. Indonesia sungguh negara yang baik. Dalam konteks Hankam, Indonesia adalah negara yang sangat penting bagi Jepang,” papar Kobayashi yang pernah menjabat Menteri Keuangan itu.

Usai ramah-tamah, Kobayashi diserta sejumlah staf kementerian dan partai, mengantar para tamu dari Indonesia menuju lokasi Patung Jenderal Sudirman. Sesampai di sana, protokol mengatur posisi berdiri berbaris menghadap patung, lalu memberi penghormatan. Sebuah karangan bunga sudah disiapkan, dan Puti Guntur meletakkan karangan bunga itu di bawah patung Jenderal Sudirman. Usai serangkaian kegiatan, Puti dan Kobayashi masih terlibat obrolan santai sambil berjalan ke area parkir.(roso daras)

foto-di-depan-patung-sudirman

Dari kiri: Syandri, Syahan (putra-putri Puti), anggota parlemen dari Partai LDP Jepang, Joy Kameron (suami Puti), Puti Guntur Soekarno, Wamenhan Jepang Takayuki Kobayashi, Profesor Masakatsu Tozu (profesor emeritus Universitas Kokushikan), dan Roso Daras.