Dalam surat bagian pertama, Dewi secara terang-terangan sudah membuka tentang praktik politik licik yang dijalankan Soeharto. Dewi juga menyoal pembunuhan massal bagi rakyat Indonesia yang terlibat, diduga, atau terindikasi anggota atau simpatisan PKI. Soeharto ada di balik peristiwa tersebut, dan Sarwo Edhie Wibowo, mertua Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai Komandan RPKAD (sekarang Kopassus) adalah penanggungjawab eksekusi atas sebagian bangsanya sendiri.
Pada penggalan kedua surat Dewi berikut ini, Dewi masih menyoal “kejahatan” Soeharto yang bertanggung jawab atas pembunuhan ratusan ribu, bahkan ada versi yang menyebutkan jutaan rakyat Indonesia, dengan dalih “menumpas PKI”. Berikut kutipannya:
Mengapa harus terjadi pertumpahan darah besar-besaran terhadap orang-orang yang tak bersalah? Dan mengapa masyarakat dunia membisu seribu bahasa? Bila satu orang saja meninggal di tembok Berlin, seluruh dunia gegap gempita. Teapi bila 800.000 orang Asia dalam masa damai dibunuh secara terencana, adem ayem saja di Barat.
Tentu, di antara yang terbunuh itu pasti ada yang komunis. Tetapi apa yang terjadi dengan kebebasan serta hak asasi manusia, bnila mereka bekerja dengan mempergunakan cara-cara tertentu terhadap suatu gerakan di bawah tanah, yang tidak berkenan di hati pemerintah. Akan lebih bisa diterima bila cara-cara tertentu itu diambil, setelah PKI dilarang secara undang-undang dasar. Tetapi justru karena kebebasan manusia harus dihormati ditinjau dari sudut kemanusiaan, tidaklah dapat dibenarkan mengadakan pembantaian di antara pemberontak. Lepas dari persoalan ideology, yang terjadi itu merupakan kejahatan nasional.
Tuan Soeharto, ke mana pun Anda berpaling untuk mengesahkan kejahatan ini, suatu kejahatan di mana orang yang tidak berdaya dan yang tak terlindung dibunuh dan sebagian lain seolah-olah dibebaskan, terus terang, saya tidak menyetujui apa yang telah terjadi. Bukanlah suatu fakta bahwa pemerintah baru di bawah bendera Orde Baru mempergunakan slogan “menumpas PKI?” Apakah Anda begitu ketakutan bahwa kekuasaan Sukarno akan kembali dan bahwa pengikut-pengikutnya akan muncul kembali, karena Anda tahu benar bahwa lebih dari separo orang Indonesia setia padanya? Hal ini tentu belum Anda lupakan, bukan?
Barangkali Anda telah berpendapat bahwa 30 September telah merupakan masa lalu. Menurut saya tidaklah demikian halnya karena sangat banyak pertanyaan yang belum jelas dan disembunyikan. Saya bersyukur bahwa saya mengalami kejadian-kejadian itu dari dekat dan mengambil hikmah darinya, bahwa kejadian-kejadian sebenarnya dalam sejarah selalu diinterpretasikan ulang oleh mereka yang sedang berkuasa, agar dapat memanfaatkannya untuk tujuan-tujuan politik mereka. Saya juga menyadari pengaruh yang amat besar dari media publisitas. Betapa mudahnya bagi pemimpin-pemimpin politik tergiur menerima propaganda yang akan menunjang tujuan-tujuan merek.
Marrilah kita berhenti pada peristiwa 30 September, atau menurut fakta, pada dini hari 1 Oktober 1965. Inti dari insiden ini adalah kesimpulan, diperkuat oleh Dewan Revolusioner yang dipimpin oleh salah seorang anggota pengawal pribadi Sukarno, Letkol Untung.
“Sekelompok tertentu dari para jenderal berencana untuk menggulingkan pemerintah dan membunuh Presiden Sukarno. Mereka telah membentuk Dewan Jenderal yang dibentuk dengan tujuan membentuk kekuasaan militer. Lagipula coup itu akan dilaksanakan pada hari Angkatan Bersenjata 5 Oktober”. Untuk mencegahnya, enam jenderal dibunuh, satu di antaranya menteri pertahanan, yakni Jenderal Yani, demikian Dewan Revolusi.”
Anda telah membuat umat manusia percaya, bahwa komplotan yang melakukan peristiwa 30 September adalah anggota PKI. Buknakah pembunuh-pembunuh sebenarnya dari keenam jenderal itu adalah perwira-perwira Angkatan Bersenjata, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan polisi nasional?
Saya meragukan apakah pembunuh-pembunuhnya khusus orang-orang komunis. Dan siapa sebenarnya orang yang mengorbankan perasaan dendam rakyat Indonesia dan menyulut api dengan menyatakan, “Itu adalah persekongkolan komunis!” Dan itu malah terjadi sebelum ditemukan suatu bukti mengenai persekongkolan komunis.
Menteri Pertahanan, Jenderal Nasution, yang sebenarnya juga harus dibunuh oleh “Dewan Jenderal”, mengucapkan pidato yang mengharukan saat keenam jenderal dimakamkan pada Hari Angkatan Bersenjata, 5 Oktober 1965. Dikatakannya, “Sampai hari ini Hari Angkatan Bersenjata selalu merupakan hari yang penuh rahmat, yang menyinarkan kemenangan. Tetapi hari ini dinodai oleh pengkhianatan dan penyiksaan….. Walaupun difitnah oleh para pengkhianat, di dalam hati kami percaya bahwa Anda sekalian termasuk pahlawan dan bahwa akhirnya kebenaran akan menang. Kami difitnah, tetapi kami tidak akan melakukannya terhadap musuh-musuh kami”.
Di dalam pidato Nasution, tidak ditemukan petunjuk sekecil apa pun, bahwa pembunuhan terhadap keenam jenderal telah dilakukan oleh para komunis. Sebaliknya, segala sesuatu yang diucapkannya menunjukkan bahwa peristiwa itu terjadi karena adanya bersengketaan di dalam kekuatan-kekuatan Angkatan Bersenjata sendiri. (Roso Daras – Bersambung)