Sekian lama bangsa ini mendeklarasikan kemerdekaan, tetapi masih saja muncul suara-suara miring ihwal hakikat kemerdekaan. Ada yang menganggap, bangsa ini sejatinya belum merdeka, bangsa ini sesungguhnya masih terjajah, bangsa ini sebenar-benarnya adalah sebuah bangsa yang masih dieksploitasi oleh bangsa asing. Mereka menyebutnya dengan istilah neo-kolonialisme, neo-imperialisme. Kolonisasi bentuk baru. Ada yang menamakan kolonisasi ekonomi, penjajahan ekonomi, yang ujungnya sama, rakyat tetap saja melarat.
Menyebut kata “penjajahan” dalam iklim demokrasi, dalam suasana kehidupan seperti saat ini, ada kalanya acap dinilai sumir. Malah mungkin ada yang menuding aneh. Mereka ini adalah sebagian dari anak bangsa yang merasa hidupnya “baik-baik saja”. Bagi kebanyakan para pemangku jabatan, baik di eksekutif maupun legislatif, atau para pelaku usaha yang ketiganya berangkulan mesra… serta bersahabat baik dengan oknum aparat penegak hukum, maka Indonesia sudah sampai ke pada tahap “masyarakat yang adil dan makmur”.
“Masyarakat yang adil dan makmur” adalah tujuan, cita-cita kemerdekaan kita. Masyarakat yang dimaksud, bukan semata masyarakat yang berstatus pejabat, anggota dewan, pengusaha, aparat penegak hukum, dan kaum borjuis lain. Masyarakat Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, adalah masyarakat dengan aneka suku, bahasa, dan budaya… dengan tingkat ekonomi yang ada kalanya bak bumi-langit. Ada jurang yang begitu menganga di tengah masyarakat kita.
Jika itu kita sepakati, barangkali lebih mudah untuk bersama-sama meng-amin-i bahwa negara kita memang belum berhasil mewujudkan amanat proklamasi, tujuan kemerdekaan, “terciptanya masyarakat yang adil dan makmur”.
Maka, saya sekadar mengajak sidang pembaca untuk flash-back ke bulan Oktober tahun 1928, saat Bung Karno getol-getolnya mendidik kader, menggalang persatuan di antara elemen perjuangan, demi tujuan Indonesia merdeka. Sebelumnya, yakni pada Desember 1927, Bung Karno berhasil menyatukan 7 (tujuh) organisasi menjadi satu dalam bendera PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia).
Adapun ketujuh organisasi yang berhasil dilebur Bung Karno adalah PNI, Partai Sarekat Islam, Boedi Oetomo, Pasundan, Sarekat Sumatra, Kaum Betawi, dan Indonesische Studieclub). Nah, dengan bendera PPPKI itulah Bung Karno berorasi di mana-mana. Ia menggugah kesadaran relung jiwa bangsanya, ihwal hakikat penjajahan.
Di antara banyak pidato Bung Karno, yang sangat fenomenal karena penuh retorika, antara lain seperti berikut ini: “Matahari tidak terbit karena ayam berkokok, tetapi ayam jantan berkokok karena matahari terbit.” Kalimat itu adalah sengatan kepada segenap nurani, bahwa rakyat harus bangkit menyongsong peradaban baru. Rakyat harus berjuang untuk kemerdekaan. Rakyat harus bersatu untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah laknat.
Berikutnya, Bung Karno berorasi, “Penjajahan ialah upaya mengolah tanah, mengolah harta-harta di dalam tanah, mengolah tanam-tanaman, mengolah hewan-hewan dan terutama mengolah penduduk untuk keuntungan ekonomi dari bangsa yang menjajah“.
Baik kita renungkan kalimat Bung Karno di atas. Bukankah dengan amandemen UUD 1945 yang digarap (dengan dukungan asing) sejak tahun 1999, 2000, 2001, hingga 2002 sejatinya kita telah dijerumuskan kembali sebagai bangsa budak? Banyak produk hukum berupa Undang Undang disahkan. Pasal 33 yang paling banyak dirombak adalah tentang ekonomi. Hasilnya, kini asing diizinkan menguasai mayoritas ladang usaha di Tanah Air dengan payung Undang Undang.
Mereka pun menguasai aset yang ada dalam tanah dan bumi kita, aset yang ada dalam laut, udara, hingga aset manusia, mulai dikeruk untuk keuntungan ekonomi bangsa lain atas nama penanaman modal asing di Indonesia.
Kalau kita tidak hendak berpolemik tentang “merdeka” dan “masih terjajah”, setidaknya kisa bisa menyepakati, bahwa dengan kondisi seperti ini, maka harapan tercapainya “masyarakat yang adil dan makmur” masih jauh panggang dari api. (roso daras)