“Bintang Lenin” buat Bung Karno

4 Type Bintang Lenin

Ini adalah tulisan terakir dari serial tulisan tentang kunjungan Bung Karno ke Uni Soviet, pada tanggal 28 Agustus – 12 September 1956. Setelah berkeliling negara besar (sebelum terpecah-belah 8 Desember 1991), Bung Karno dan rombongan tiba kembali di Kremlin. Di ibukota negara Soviet ini pula kunjungan ditutup dengan perundingan bilateral yang berlangsung dalam suasana penuh kehangatan.

Perundingan meliputi isu-isu internasional, dan secara spesifik membahas kerjasama kedua negara. Sebelum meninggalkan Uni Soviet, tuan rumah menggelar rapat raksasa di stadion utama W.I. Lenin, yang merupakan demonstrasi persahabatan Soviet-Indonesia. Malamnya, 11 September 1956, Ketua Presidium Soviet Tertinggi UR2SS K.E. Worosjilov mengadakan resepsi agung di Istana Besar Kremlin.

Dalam pidatonya, K.E. Worosjilov antara lain mengatakan, “Dengan menyambut tamu-tamu Indonesia secara meriah dan ramah tamah, rakyat negeri kami memperlihatkan rasa persahabatannya yang setulus-ikhlasnya terhadap rakyat Indonesia serta pengharapan sukses bagi rakyat Indonesia dalam perjuangannya mencapai kemerdekaan nasional yang penuh, dan membangun suatu masyarakat yang adil dan sejahtera.”

Dalam bagian lain sambutannya, Worosjilov menambahkan, “Tamu-tamu yang tercinta, perkenankanlah saya menyatakan keyakinan bahwa kunjungan saudara-saudara ke negeri kami ini pasti akan besar gunanya untuk memperkembangkan pesahabatan dan kerjasama antara Uni Soviet dan Indonesia di segala lapangan. Kami, para pemimpin Soviet, merasa gembira berkenalan dengan saudara Presiden dan tokoh-tokoh Indonesia yang mengantar beliau dengan mengadakan suatu kontak persahabatan yang baik. Kami berkeyakinan bahwa kontak itu pasti akan besar faedahnya bagi kedua negeri kita dan akan mempunyai arti penting untuk memperjuangkan perdamaian dunia.”

worosjilov dan bung karno

K.E. Worosjilov menambahkan, bahwa mengingat jasa-jasa tamu yang terhormat itu dalam memperjuangkan perdamaian dunia serta pekerjaan yang besar guna persahabatan antar-bangsa-bangsa umumnya dan antara bangsa-bangsa Uni Soviet dan bangsa Indonesia khususnya, pihaknya menaruh homat setinggi-tingginya. Di akhir sambutannya, Worosjilov mengadiahi Bung Karno bintang Uni Soviet yang tertinggi, “Bintang Lenin”.

Usai menerima bintang penghargaan tertinggi itu, Presiden Sukarno menyatakan: “Resepsi ini adalah kejadian besar bagi saya. Malam ini selalu akan saya kenangkan. Ini bukan saja malam perpisahan yang diberikan oleh PJM Worosjilov. Malam ini tidak bisa saya lupakan karena pada malam inilah saya diberi suatu hadiah yaitu Bintang Lenin, hadiah tertinggi di Uni Soviet. Waktu memberikan hadiah itu kepada saya, Presiden Worosjilov mengharapkan makin eratnya persahabatan antara rakyat Soviet dan rakyat Indonesia. Saya juga ingin supaya persahabatan ini lebih erat lagi.”

Selanjutnya, Bung Karno menambahkan, “Besok saya meninggalkan Uni Soviet dengan membawa kepercayaan bahwa persahabatan antara rakyat Indonesia dan rakyat Uni Soviet pasti akan berkembang, bahwa persahabatan itu tidak dapat dilenyapkan oleh siapa pun juga.” (roso daras)

Bung Karno, Profesor Universitas Moskow

BK Mampir di Turkmenistan

Perjalanan panjang di negara raksasa itu, menapaki hari-hari terakhirnya. Pada tanggal 9 September 1956 malam utusan-utusan Indonesia kembali ke Ibukota Moskow. Jarak yang mereka lewati selama kunjungan tidak kurang dari 11.000 km. Tamu-tamu Indonesia itu berjumpa dengan banyak orang Soviet dari bermacam-macam bangsa: Rusia, Uzbek, Turkmen, Tartar, Kazakh, Azerbaidjan, Georgia, Abhkazia.

Semua bangsa-bangsa itu menerima Bung Karno dan rombongan, sebagai saudaranya sendiri. Dalam banyak kesempatan Bung Karno selalu menyatakan bahwa selama kunjungan ke Uni Soviet mendapat suatu keyakinan bahwa rakyat Soviet sungguh-sungguh cinta damai dan ingin bersahabat dengan bangsa-bangsa lain, termasuk Indonesia.

Presiden Sukarno bahkan mengatakan, tali persahabatan antara Indonesia dan Uni Soviet itu berasal dari zaman perjuangan bersenjata. Kedua bangsa seperti merasakan sebuah spirit yang sama. Rakyat kedua negara sama-sama berjuang untuk kemerdekaannya. Tak lupa, Bung Karno beberapa kali menyampaikan rasa terima kasihnya, atas sikap Uni Soviet yang selalu menyokong Indonesia dalam perjuangannya itu. Termasuk ketika menerima Indonesia menjadi anggota PBB.

Syahdan, di Moskow Presiden sukarno tinggal selama beberapa hari lagi.

Rombongan Indonesia mengunjungi Stasiun Pembangkit Tenaga Listrik, atom, dan lapangan terbang Kubinka dekat Moskow. Di sana, mereka melihat angkatan udara dan penerbangan pesawat-pesawat jet.

Sementara di gedung pencakar langit Universitas Moskow di Bukit Lenin, Presiden Sukarno bertemu dengan ahli-ahli ilmu, para guru dan para pelajar di universitas itu. Dalam sebuah upacara di Ruangan Besar yang dihadiri oleh dua ribu orang, Presiden Sukarno menerima diploma honoris causa dan diploma yang menetapkan beliau menjadi profesor kehormatan Universitas Moskow. (roso daras)

BK Profesor Univ Moskow

Kenangan Berdarah di Bukit Mamayev

Bung Karno diterima Bulganin

Masih dalam lawatan yang panjang ke Uni Soviet, Presiden Sukarno pada tanggal 8 September 1956 bertamu ke rumah Ketua Dewan Menteri Uni Soviet N.A. Bolganin yang sedang bercuti di Sotji bersama keluarganya. Mereka pun terlibat ramah tamah yang penuh kehangatan laksana dua sahabat karib.

Sebagai penutup perjalanan berkeliling Uni Soviet, Presiden Sukarno mengunjungi Stalingrad. Di situ menteri Luar Negeri Indonesia, Ruslan Abdulgani yang sebelumnya mengunjungi Moskow dan Leningrad menggabungkan diri dengan rombongan Presiden.

Sewaktu rombongan melewati jalan-jalan dan lapangan-lapangan Stalingrad tampaklah betapa besar hasil pembangunan kota pahlawan itu sehabis peperangan hebat tahun 1942. Di bukit Mamayev yaitu tempat pertempuran yang amat sengit melawan tentara Hitler pada waktu pertahanan Stalingrad mereka menghormati mendiang pahlawan-pahlawan benteng besar di Wolga itu dengan upacara menghentingkan cipta. Di atas salah satu pekuburan saudara tamu agung dari Indonesia meletakkan karangan bunga dengan tulisan: “Dari Presiden Indonesia Sukarno”.

Jika kita berkunjung ke sana hari ini, lokasi yang terletak di selatan Rusia itu telah menjadi kota bersejarah dengan patung perempuan raksasa yang sedang menghunus pedang ke atas. Kota yang ketika Bung Karno berkunjung masih bernama Stalingrad, kini bernama Volgograd.

Pertempuran hebat yang pecah di Stalingrad terjadi 13 September 1942. Guna membendung serbuan tentara Jerman, maka bala tentara Soviet membangun benteng pertahanan di bukit ini. Mereka memasang kawat berduri, menebar ranjau, dan membangun parit-parit. Sejarah telah menuliskan, tentara Hitler berhasil menerobos benteng itu dan menewaskan banyak korban jiwa.

Ketika perang berakhir, tanah di atas bukit ini menjadi bergejolak oleh tembakan meriam. Sekira 500-1.250 serpihan logam ditemukan per meter persegi di bukit ini. Bahkan, hingga kini fragmen tulang dan logam masih terkubur di seluruh bukit. Dua puluh empat tahun setelah pertempuran, pada Oktober 1967, dibangunlah monument yang tampak sekarang.

Bung Karno sendiri merasakan kenangan heroik di Mamayev. Kesan itu begitu mendalam, bahkan terbawa hingga saat rombongan Bung Karno berlayar di sepanjang Kanal Wolga-Don dengan kapal “Alexander Polezhaev”. Di sepanjang tepian kanal dan di dekat pintu air, tampak berpuluh-puluh ribu orang menyambut Presiden dengan gembira.

Sementara itu, wakil-wakil kotapraja menganugerahkan kepada Presiden sebuah peti indah berisi tanah yang diambil dari Bukit Mamayev. Dengan menerima tanda peringatan itu Presiden Sukarno menyatakan bahwa rakyat Indonesia yang juga telah menumpahkan darahnya untuk kemerdekaan negerinya menjunjung tinggi peranan Stalingrad sebagai bentuk perjuangan untuk kemerdekaan. Nilai yang dipetik, bukan saja kemerdekaan rakyat Rusia tetapi juga untuk kemerdekaan negeri-negeri lain. (roso daras)

Monumen Mamayev

Merah Putih di Kapal Mikhail Kutuzov

BK di  Samarkand

Kunjungan Bung Karno di Uzbekistan, makin berarti dengan kesempatan melihat dari dekat Samarkand, salah satu kota kuno di Uzbek. Di Samarkand, Bung Karno dan rombongan dari Indonesia, menyaksikan dari dekat bangunan-bangunan kuno semacam candi yang sangat indah dan sarat kisah sejarah.

Masih menggunakan jalan darat, rombongan Bung Karno singgah di Asjhabad yaitu ibu kota Republik Turkmenia. Dari Turkmenia, perjalanan Bung Karno melanjutkan kunjungannya di Negeri Beruang Merah itu menyeberangi Laut Kaspia menuju semenanjung Apsjeron di mana Baku yaitu ibu kota Azerbaijan Soviet terletak.

Sewaktu perjalanannya ke kota Baku, Presiden Sukarno melihat tempat-tempat pengeboran minyak tanah. Pemerintahan setempat memperkenalkan diri dengan cara-cara baru bagaimana mereka memproduksi minyak tanah yang digunakan di Azerbaijan. Di paerik penyaringan minyak tanah Baku tamu agung disambung oleh kaum buruh dan ahli dari pabrik itu. Mereka minta Presiden Sukarno menyampaikan pengharapan mereka yang sebaik-baiknya kepada rakyat Indonesia.

Dalam pidato jawabannya Presiden Sukarno mengatakan bahwa di Indonesia juga ada banyak buruh minyak tanah. Mereka bekerja di Sumatera Tengah, Sumatera Selatan, dan Sumatera Utara. Juga di Jawa Timur, di Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur. Tak lupa Bung Karno pun berjanji menyampaikan salam persaudaraan dari kaum buruh minyak tanah Baku kepada mereka.

Sesudah Azerbaijan rombongan Presiden Sukarno mengunjungi Sukhumi, ibu kota Republik Otonom Abkhazia (suatu bagian daripada Georgia Soviet). Di pelabuhan Sukhumi mereka naik kapal penjelajah “Mikhail Kutuzov”. Bersamaan dengan itu bendera standar Presiden RI dikibarkan di atasnya. Kapal penjelajah itu dengan diiringi oleh dua kapal pelempar ranjau eskador berjajar di sepanjang pantai Laut Hitam Kaukasus menu Sotji yaitu suatu kota pesanggrahan.

Pada waktu itu di Sotji seperti juga di daerah-daerah lain di bagian Selatan dari UR2SS yang dikunjungi oleh tamu-tamu maka hawanya kebetulan sangat baik. Tanam-tanaman serta alam dari daerah subtropis Soviet itu memperkenangkan tamu-tamu tentang tanah air mereka – Indonesia. Para tamu mengunjungi beberapa sanatorium tempat beristirahat buruh batubara dan buruh perusahaan pembikinan kapal.

Dalam pidatonya di muka rapat raksas yang diadakan khusus untuk menyambut tamu-tamu Indonesia Presiden Sukarno mengatakan:

“Kalau bendera-bendera semua negeri yang progresif akan berkibaran bersama, dan semua negeri itu akan bekerjasama, pasti imperialisme dan kolonialisme itu jatuh dan semua bangsa di dunia dapat kemungkinan untuk penghidupan yang sejahtera dan bahagia.” (roso daras)

Swerdlovsk, di Antara Besi Baja dan Anak-anak yang Bahagia

Swerdlovsk2

Laporan berikutnya, mengabarkan Bung Karno sudah tiba di Kota Swerdlovsk. Salah satu pusat industry paling besar di Uni Soviet. Bung Karno dan rombongan mengunjungi pabrik Uralmasj Sergo Ordjonikidze di mana dibikin mesin-mesin berat.

Pabrik raksasa itu membikin peralatan bagi industri logam dan pertambangan untuk seluruh negeri Soviet dan juga untuk diekspor. Pabrik itu adalah lambang berkembangnya industri ural, atau salah satu basis industri biji besi di negara itu. Apalagi kalau diingat bahwa sejarahnya, kurang lebih seperempat abad yang lalu, hanya hutan dan rawa saja yang terdapat di situ.

Di Pabrik Uralmasj terdapat mesin-mesin besar, serta dapur yang melelehkan baja yang menyala-nyala. Bising palu uap yang mengetok-ngetok memberikan kesan yang tidak bisa dilupakan. Tamu-tamu berhenti melihat mesin penekan (press) yang besar yang kekuatan tekanannya sampai 10.000 ton. Mesin itu mengolah potongan logam yang 160 ton beratnya. Presiden Sukarno bercakap-cakap dengan seorang buruh yang terkemuka di pabrik itu, bernama Yakov Lipin.

Uralmasj Sergo Ordjonikidze“Kalau perlu buat Indonesia,” demikian Yakov Lipin, “sudilah kiranya kirim buruh Indonesia ke pabrik kami ini. Kami sedia menyampaikan kami punya pengalaman kepada mereka”. Bung Karno tersenyum dan membalas tawaran baik Lipin, “Baik, kalau mungkin nanti kami kirim.”

Rombongan Presiden diantar antara lain oleh seorang tukang palu yang terkenal Timofei Oleinik yang memberi penjelasan-penjelasan. Di salah satu tempat dia mengatakan, “Di bagian pabrik yang kami lewat ini dibikin peralatan bagi mesin walz yang dipesan oleh India”.

Setelah cukup meninjau pabrik peleburan besi terbesar itu, Bung Karno dan rombongan pun berpamitan. Tak disangka, baru saja tamu-tamu meninggalkan lokasi pabrik “Uralmasj” tampak beribu-ribu penduduk dari kampung buruh “Uralmasj” berkumpul di Lapangan “Plan Lima Tahunan Pertama”, yang letaknya di muka pabrik “Uralmasj”. Mereka pun mendaulat Bung Karno untuk berpidato.

SwerdlovskDalam pidatonya di rapat raksasa itu Presiden Sukarno mengatakan antara lain: “Di dalam Uralmasj ini saya melihat mesin-mesin, melihat alat-alat, melihat segala macam mesin-mesin yang diperlukan untuk industri. Mesin-mesin seperti itu pernah dipergunakan oleh bangsa lain untuk menindas rakyat kita, menghisap kita. Itu terjadi karena stelsel, sistemnya masyarakat di negeri yang menjajah kami itu adalah salah. Tetapi mesin-mesin yang ada di ‘Uralmasj’ bukan untuk menghisap manusia, bukan untuk menindas bangsa-bangsa lain. Mesin-mesin itu diperuntukkan buat membawa kesejahteraan dan kemakmuran untuk segala bangsa di Uni Soviet dan bahkan untuk menyumbang kepada kemakmuran dan kesejahteraan bangsa-bangsa lain.”

Di Swerdlovsk tamu-tamu melihat museum geologi di mana distelongkan beribu-ribu macam batu yang terdapat di dalam bumi Ural yang kaya itu. Secara meriah utusan-utusan Indonesia disambut oleh pelajar-pelajar sekolah di Istana Pionir Swerdlovsk. Sesudah melihat kamar-kamar yang terang dan besar di mana terdapat segala apa saja untuk mengembangkan bakat angkatan muda Soviet, maka Presiden Sukarno mengatakan, “Anak-anak berbahagia di sini”.

Dalam buku kesan, Presiden Sukarno menulis bahwa beliau ingin membangun istana-istana seperti di Swerdlovsk itu bagi anak-anak di Indonesia. Kesan itu ditandatangani Bung Karno. Tak lupa, murid-murid sekolah Soviet minta sampaikan salamnya yang hangat kepada anak-anak di Indonesia. (roso daras)