Fatmawati di “Melawan Lupa”

fatmawati melawan lupa

Hari ini, Selasa 12 November 2013, pukul 23.05 malam, Metro TV menayangkan program “Melawan Lupa”. Kali ini, topik yang diangkat tentang Ibu Negara yang pertama, Fatmawati. Adalah Aji Baskoro, reporter Metro TV yang menghubungi serta meminta kesediaan saya menjadi salah satu (dari empat) narasumber program tersebut. Saya spontan menjawab, “Kenapa tidak Inggit Garnasih?” Aji menjawab, “Eposide Inggit sudah pernah, sekarang kita akan mengangkat Fatmawati.”

Saat saya memposting tulisan ini, sama sekali belum tahu, bagian-bagian mana dari wawancara saya yang ditayangkan, dan bagian-bagian mana yang tidak ditayangkan alias kena edit. Sebelum wawancara dilakukan pun, saya sudah menyampaikan ke Metro TV untuk diperkenankan memotret sosok Fatmawati secara jujur. Jujur dari pengamatan saya tentunya.

Sekalipun begitu, saya memiliki gunting sensor sendiri atas apa-apa yang harus dan patut dikemukakan, dan bagian-bagian mana yang tidak baik untuk konsumsi publik. Sebab, seperti halnya Bung Karno, maka sejatinya istri-istri Sukarno pun memiliki banyak dimensi sebagai seorang manusia. Termasuk sudut kelebihan dan kekurangan. Jika terhadap Bung Karno, siapa saja bisa menyoal sisi-sisi yang dipandang negatif, mengapa tidak kepada istri-istrinya?

Beberapa contoh saya kemukakan di sini…. Ihwal Fatmawati yang meninggalkan Istana (baca: meninggalkan suami). Ihwal, sikapnya yang keras kepala untuk tidak mau menengok Bung Karno saat tergolek sekarat di Wisma Yaso. Bahkan, sikapnya yang menolak melayat, menengok jenazah Bung Karno saat wafat 21 Juni 1970. Tentu saja Famawati punya alasan tersendiri, mengapa dia bersikap demikian. Landasan sikapnya, barangkali hanya dia danĀ  Tuhan yang tahu.

Saya, dan mungkin Anda, hanya bisa menebak-nebak tentang mengapa Fatmawati berbuat demikian. Salah satu kemungkinan, kemungkinan terbesar (sekaligus terbenar) adalah karena kecemburuan dan penolakannya, ketika Bung Karno meminta izin menikahi Hartini (bahkan kemudian Ratna Sari Dewi, dan seterusnya….).

Jika itu yang terjadi, memang berbeda dengan Inggit, yang tegas tidak mau dimadu, dan minta dicerai dulu, sebelum Bung Karno menikahi Fatmawati. Nah, sikap itu tidak pernah ditunjukkan Fatmawati kepada Bung Karno. Kesimpulannya, Fatmawati meninggalkan Bung Karno dalam status masih sebagai istri.

Bayangkan, baru satu contoh saja yang kita angkat, sudah begitu banyak dan panjang interpretasi yang bisa disuguhkan. Jika Anda seorang wanita anti-poligami, tentu punya pendapat sendiri. Jika Anda seorang pengkaji hukum-hukum Islam, tentu punya pendapat tersendiri tentang sikap Fatmawati kada Sukarno, suaminya. Jika Anda melihat dari disiplin yang lain lagi, sangat mungkin melahirkan pendapat yang juga berbeda.

Apa yang hendak saya simpulkan? Bahwa sebagai generasi penerus, kita harus mencoba melihat para tokoh pendahulu dengan lebih arif dan bijak. Terakhir, mengingat jasa-jasanya kepada nusa dan bangsa, terimalah para pahlawan itu dengan segala kelebihan dan kekurangannya. (roso daras)

Jumpa Fatma di Pernikahan Rachma

Sukarno menikahi Hartini pada tanggal 7 Juli 1954. Sejak itu, gelombang protes bergulung-gulung. Bung Karno dikritik, Hartini dihujat. Situasi makin keruh ketika tak lama kemudian, Fatmawati sang First Lady, meninggalkan Bung Karno dan Istana Negara-nya, memilih tinggal di bilangan Jl. Sriwijaya, Kebayoran Baru.

Praktis sejak itu, Fatma tak lagi berjumpa Sukarno. Berbagai upaya yang dilakukan putra-putrinya, bahkan ajudannya, untuk mengembalikan Fatma ke Istana, gagal total. Sakit hatinya kepada Hartini, sempat menjalar ke sanubari Guntur, Mega, Rachma, Sukma, dan Guruh.

Begitulah hingga matahari kekuasaan Bung Karno mulai condong ke barat. Bahkan ketika Bung Karno dilengserkan, kemudian sakit-sakitan dan ditelantarkan, jurang antara Bung Karno dan Fatma masih begitu lebar menganga. Terlebih, Bung Karno berada di Bogor, di bawah perawatan dan pelayanan setia Hartini.

Manakala penyakitnya makin parah, tibalah saat Bung Karno dipindah ke Wisma Yaso, melalui serangkaian permohonan kepada Soeharto. Di sini, Hartini pula yang setia mendampingi. Satu-satunya putra Bung Karno dari Fatma yang rajin mengunjungi bapaknya adalah Rachma.

Dari seringnya Rachma bertemu Hartini, pelan-pelan, rasa benci itu terusir. Keduanya bahkan menjadi sangat akrab untuk satu tujuan, menyenangkan bapaknya yang makin hari makin parah kondisinya. Sampai di sini, Fatma belum juga tergerak hati untuk menengok. Bujukan putra-putrinya selalu ditolak, “Ibu tidak mau. Di sana ada Hartini!”

Padahal, kepada Hartini, kepada Guntur, Rachma, Mega, Sukma, dan Guruh, Bung Karno berkali-kali mengemukakan rasa inginnya berjumpa Fatma. Ia merindu Fatma. Mungkin saja demi masa lalu, demi putra-putri, atau demi sebuah hajat sebelum ajal menjemput. Tak bersambut.

Bung Karno boleh berkehendak, Fatma boleh menolak, tapi Tuhan adalah Sang Mutlak. Takdir pun digoreskan, bahwa keduanya dipertemukan kembali di tahun 1969, dalam momentum pernikahan Rachmawati dengan dokter Martomo Pariatman Marzuki yang akrab disapa mas Tommy.

Bung Karno diizinkan oleh pemerintahan Soeharto menghadiri pernikahan Rachma. Ia hadir dikawal sepasukan tentara dengan sangat ketat. Entah bahaya apa yang bisa ditimbulkan dari seorang mantan presiden. Yang pasti, karena ginjal dan komplikasi penyakit yang lain, Sukarno muncul dengan wajah bengkak, tubuh yang lemah sehingga harus dipapah. Jauh dari profil Bung Karno yang gagah perkasa, yang berapi-api kalau berbicara, yang parlente jika berbusana….

Demi melihat Bung Karno tiba, Fatma berperang rasa. Antara luapan rindu dan nelangsa. Antara murka dan cinta. Biar saja rasa itu berpusing-pusing dengan problemanya… Fatma segera menghambur menjemput Sukarno, memeluk, mencium dan memapahnya. Untuk itu, ia harus menerobos pengawalan yang super ketat.

Demi melihat pemandangan itu, Guntur dan adik-adiknya, serta Bung Hatta dan para tetamu lainnya, tak kuasa membendung air mata. Ada sebongkah haru demi mengingat, keduanya dipertemukan setelah berpisah 15 tahun lamanya.

Nah, bayangkanlah… suasana pernikahan, berjumpa Fatma, dan berbaur dengan rakyat… betapa bahagia hati Sukarno. Apa lacur, “bahagia” adalah sesuatu yang diharamkan oleh rezim Soeharto kepada Sukarno. Tak pelak, belum tuntas suasana bahagia dilapis haru-biru itu berlangsung, sejumlah pasukan pengawal sudah kembali menerobos masuk, dan menyingkirkan Fatma dari sisi Sukarno. Pengawal itu kembali mengucipkan Sukarno dari Hatta. Pawa pengawal itu segera mengucilkan Sukarno dari para tamu.

Semua perlawanan, apa pun dalihnya… dalih kesopanan, dalih kasihan, dalih kemanusiaan… tidak berlaku. Kembali, Fatma, putra-putri dan para tamu menangis… bukan bahagia yang melandasi lelehan air mata mereka, melainkan sembilu yang menyayat hati… rasa iba di dasar hati terdalam… demi melihat kasar dan hinanya perlakuan rezim Soeharto kepada Sukarno. (roso daras)

 

Published in: on 31 Oktober 2010 at 08:22  Comments (11)  
Tags: , , ,

Bung Karno, Perpaduan Roosevelt dan Clark Gable

Suatu pagi di tahun 60-an… sebuah mobil kedutaan meluncur menuju kota hujan Bogor. Di dalamnya, berisi Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Howard Jones dan istrinya, Marylou. Howard Jones adalah satu di antara sedikit orang Amerika Serikat pada zamannya, yang mengerti dan memahami Sukarno. Kebetulan pula, ia adalah Ketua Koprs Diplomatik di Indonesia.

Hubungannya dengan Bung Karno cukup dekat. Kunjungan Howard dan istrinya ke Bogor, disusul acara makan-makan bersama di paviliun kecil samping Istana, adalah salah satu bukti kedekatan mereka. Bung Karno mengatakan, antara dirinya dan Howard, sering terlibat perdebatan-perdebatan sengit dan pahit. Meski begitu, di antara keduanya justru tumbuh benih persahabatan, sehingga Bung Karno menyebut Howard sebagai “kawan tercinta”.

Howard sendiri menilai pribadi Bung Karno dengan ungkapan, “Suatu perpaduan antara Franklin Delano Roosevelt dan Clark Gable.” Tentu itu suatu komplimen luar biasa. Roosevelt adalah salah satu presiden paling berpengaruh di Amerika Serikat. Sedangkan Clark Gable adalah aktor tampan Hollywood yang juga digilai para wanita. Tentu saja Bung Karno sangat senang dengan persandingan itu.

Selagi di meja makan, Bung Karno berdampingan dengan Marylou, dan Howard Jones didampingi Hartini, meluncurlah ide Howard, “Tuan Presiden, saya kira sudah waktunya untuk melihat kembali jalan-jalan sejarah. Menurut pendapat saya sudah tepat waktunya bagi Tuan untuk menuliskan sejarah hidup.”

Bagi Bung Karno, sejatinya ide itu bukan yang pertama ia dengar. Dan seperti ketika ia mendengar ide serupa sebelum-sebelumnya, maka ia pun tidak punya jawaban lain, kecuali, “Tidak. Insya Allah, jika Tuhan mengizinkan saatnya masih 10 atau 20 tahun lagi.” Meski begitu, intinya adalah, Bung Karno merasa, tidak ada yang bisa menceritakan diri pribadinya, karena itulah ia selalu menolak. Sebab, menurut Bung Karno, baik-buruk catatan sejarah manusia hanya dapat dipertimbangkan setelah yang bersangkutan mati.

Howard tidak menyerah. Ia menyebut, pengecualian bagi Bung Karno. Seorang presiden yang ketika itu sudah berkuasa selama 20 tahun, dan paling banyak diperdebatkan dan dikritik di zamannya. Terlalu banyak rahasia tersimpan pada diri Sukarno, sehingga dunia perlu mengetahui sosok Bung Karno.

Sosok sebagai presiden, kepala negara, dan orator ulung… sekaligus pecinta sejati. Pemimpin yang kharismatik, sekaligus flamboyan. Sampai tahap ini, Bung Karno masih belum bersedia. Tetapi, kisah ini memang belum berakhir di sini. Howard Jones terus dan terus meyakinkan Bung Karno dalam satu format dialog yang begitu akrab namun berkelas. (roso daras)

Published in: on 24 September 2010 at 06:37  Comments (2)  
Tags: , , ,

Hariyatie dan Inggit

Usia Hariyatie masih 23 tahun saat dinikahi Bung Karno yang sudah berusia 63 tahun. Sekalipun begitu, Bung Karno menghargai benar sikap dewasa Hariyatie. Termasuk kemampuan Hariyatie dalam membawakan diri di depan lingkungan Istana, bahkan dalam situasi-situasi sulit, terkait dengan posisi Bung Karno sebagai Presiden dengan istri lebih dari satu.

Dalam “kisah tersembunyi” Hariyatie Soekarno, ia mengisahkan sejumlah peristiwa yang ia sebut sebagai gesekan antarpara istri Bung Karno. Belum lagi resmi menjadi istri, ia pernah bergesekan dengan Hartini. Bahkan setelah bercerai dari Bung Karno, ia pernah pula bergesekan dengan Ratna Sari Dewi.

Namun, terhadap Inggit Garnasih, ia tidak pernah mengalami gesekan berarti. Sebaliknya, Hariyatie tergolong istri Bung Karno yang relatif paling rajin dan rutin mengunjungi Inggit di Jalan Ciateul, Bandung (sekarang Jalan Inggit Garnasih). Dalam bukunya, ia hampir setiap bulan atau sebulan sekali, menyempatkan diri mengunjungi Inggit dengan iring-iringan mobil dari Jakarta.

Salah satu alasan yang mendasari langkahnya menuju Bandung bertemu Inggit setiap bulan adalah karena ia begitu hormat, begitu respek terhadap Inggit. Bagi Hariyatie, Inggit adalah sosok wanita yang pantas dituakan. Inggit di mata Hariyatie adalah sosok perempuan pendamping Bung Karno yang setia. Inggit yang mengantar Bung Karno menjadi orang nomor satu di Indonesia.

Pemahaman Hariyatie tumbuh dari pemahamannya sendiri, setelah mendengar Bung Karno menceritakan panjang lebar tentang peran Inggit pada masa-masa awal revolusi hingga pra kemerdekaan. Bahkan Bung Karno kepada Hariyatie pernah berujar, sangat sulit mencari sosok istri yang lebih berbakti daripada Inggit. Sekitar dua puluh tahun hidup bersama Inggit, Bung Karno merasakan benar bakti Inggit kepadanya.

Sekalipun Ibu Inggit bukan tergolong perempuan berpendidikan tinggi, tetapi Bung Karno mengakui dedikasi dan pengabdian Inggit selama menjadi pendampingnya. Itu pula yang membuat Hariyatie begitu mengagumi Inggit. Kedatangannya sebulan sekali ke Bandung, menemui Inggit, tentu juga dalam rangka belajar bagaimana mengabdi yang baik kepada suami. Kepada Bung Karno. (roso daras)

Published in: on 18 Mei 2010 at 02:34  Comments (2)  
Tags: , , , ,

Takut Dibenci Anak

Anda tahu apa yang paling ditakutkan Bung Karno dalam hidupnya? Bukan jeruji besi. Bukan intimidasi Belanda. Bukan pembuangan. Bukan pula percobaan pembunuhan terhadap dirinya. Hanya satu ketakutan Bung Karno, takut dibenci anak. Hingga ajal menjemput, ketakutan itu memang tidak pernah terjadi. Ia begitu disayang putra-putrinya.

Ketakutan dibenci anak, menghinggapi relung sanubari Bung Karno, saat anak-anaknya (terutama dari Fatmawati) beranjak remaja menjelang dewasa. Saat nalar dan naluri berkembang, mereka mulai memiliki kemampuan untuk berpendapat. Saat benak dan otaknya berkembang, mereka mulai berani mengemukakan pendapat.

Ada banyak kejadian, putra-putri Bung Karno menampakkan ketidaksukaannya di saat Bung Karno menghabiskan hari Jumat hingga Senin di Istana Bogor, bersama Ibu Hartini dan dua putranya (Taufan dan Bayu). Sikap-sikap berontak itu disampaikan dengan cara yang berbeda, antara Guntur, Mega, Rachma, Sukma, dan Guruh.

Bung Karno bukannya tidak tahu. Dia paham betul. Sekalipun begitu, Bung Karno menyikapi dengan sangat hati-hati. Tidak pernah sekalipun Bung Karno marah atas sikap putra-putrinya yang mulai kritis. Bung Karno tidak pernah mengambil sikap keras apa pun manakala mereka mulai berunjuk rasa.

Terhadap putra-putrinya yang “berontak”, Bung Karno menyikapi dengan lembut, akrab, dan memendam emosi. Bahkan, tanpa sepengetahuan putra-putrinya, Bung Karno sering memanggil para pengasuh mereka. Nah, kepada para pengasuh itulah Bung Karno “curhat”. Penutup curhat tentang kelakuan putra-putrinya adalah sebuah pesan bernada titipan, “Tolong jaga dan beri pengertian anak-anak. Jangan sampai mereka membenci saya.”

Bagi Bung Karno, anak adalah hal utama. Sering terjadi kisah menarik, manakala untuk mengistimewakan anak, terpaksa istri muda harus mengalah. Satu contoh adalah pada saat Bung Karno menggelar wayang kulit di Istana. Protokol sudah mengatur tempat duduk sedemikian rupa. Ketika itu, Bung Karno baru saja memperistri Harjatie, mantan pegawai Setneg yang pandai menari.

Nah, Harjatie sempat tersinggung dan marah kepada Bung Karno, karena disuruh duduk di bangku deretan kedua. Sementara ada satu kursi kosong di sebelah kiri Bung Karno di deret terdepan. Kursi itu dibiarkan kosong sampai akhirnya datang Megawati dan langsung duduk di kursi kosong di samping kiri bapaknya. Ya, Bung Karno lebih mengutamakan putrinya daripada istri mudanya. Karena apa? Ia tidak takut dibenci istri muda, tetapi sangat takut dibenci anak. (roso daras)

Published in: on 23 Maret 2010 at 09:09  Comments (3)  
Tags: , , , , ,

“Cinta Lodeh” Bung Karno dan Hartini

Sri HartiniHartini, adalah seorang janda beranak lima, ketika “ditemukan” Bung Karno di Salatiga, tahun 1952. Kisah asmara Bung Karno dan Hartini, patut diangkat, demi memperingati hari pernikahan mereka 55 tahun yang lalu, tepatnya 7 Juli 1954 di Bogor.

Sungguh kisah yang unik dan dramatik. Hari itu, Bung Karno dijadwalkan melakukan kunjungan ke Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam kunjungan tersebut, rombongan Presiden dijadwalkan singgah di Salatiga. Demi mendengar Bung Karno akan singgah, sejak pagi rakyat kota Salatiga dan sekitarnya berbondong-bondong menjejali Lapangan Tamansari. Di lapangan itulah Bung Karno akan menyapa rakyat Salatiga dalam pidato yang selalu ditunggu-tunggu rakyat dengan antusias.

Ibarat cerita layar perak, setting berganti ke suasana kesibukan luar biasa di kediaman Walikota Salatiga. Ya, karena di kediaman Walikota itulah Bung Karno akan rehat sejenak sekaligus makan siang. Sepasukan ibu-ibu sibuk menyiapkan ini dan itu, mulai dari menyiapkan meja jamuan makan sampai ke urusan masak-memasak di dapur.

Di antara kaum perempuan yang sedang sibuk di dapur, tampak sosok perempuan berwajah lembut, berkulit bersih kuning langsat, perawakan semampai, rambut hitam sepinggang, dan… senyum manis tersungging di bibir yang merekah indah. Dialah Siti Suhartini, yang tinggal sekitar 100 meter dari rumah Walikota Salatiga, dan kebetulan pula, pagi tadi ia “dijawil” Walikota untuk ikut membantu di dapur, menyambut kedatangan Presiden Sukarno. Wanita yang di kemudian hari dikenal sebagai Hartini itu, memasak sayur lodeh untuk melengkapi masakan-masakan yang lain. Ia sendiri merasa “pe-de” dengan masakah sayur lodehnya.

Sejenak, kita pindah setting ke Lapangan Tamansari. Bung Karno sudah tiba, dan rakyat mengelu-elukan dengan semarak. Sejurus kemudian, lautan manusia diam seketika diam, suasana hening, tersirep oleh suasana magis, menanti Bung Karno mengucap kata. Rakyat siap memekik “Merdeka!!!” sekuat-kuatnya jika nanti Bung Karno menguluk salam. Ternyata, Bung Karno membuka pidato dengan lantunan tembang “Suwe Ora Jamu”….

Suwe ora jamu

Jamu pisan jamu kapulogo

Suwe ora ketemu

Ketemu pisan nang Solotigo…

Kontan saja, rakyat bergemuruh, ada yang bertepuk tangan, ada yang ikut menyanyi, ada yang memekik Merdeka!!! Merdeka!!! Merdeka!!! Jelaslah… hati rakyat benar-benar terjerat oleh daya pikat Bung Karno. Begitu yang tampak pada suasana selanjutnya, ketika Bung Karno berpidato dengan berapi-api, dan rakyat khidmat menyimak kata demi kata, menikmat alunan tinggi dan rendah suara Singa Podium.

Singkat kalimat, usai berpidato Bung Karno diiringkan pejabat daerah, ajudan dan pengawal, menuju kediaman Walikota Salatiga. Sesampai di sana, hidangan telah lengkap tersaji. Aroma masakan olahan dapur dari para juru masak pilihan, menyambar-nyambar hidung siapa saja di dekatnya. Sang perut pun mengirim sinyal “lapar” kepada tuannya. Jadilah Bung Karno dan yang lain, segera menikmati hidangan makan siang.

Bung Karno? Dia langsung menyambar sayur lodeh di depannya. Ya… sayur lodeh masakan Hartini di dapur tadi. Lahap. Lahap sekali, karena sayur lodeh memang merupakan menu kesukaan Bung Karno. Begitu enaknya sayur lodeh di rumah Walikota Salatiga, sampai-sampai seusai jamuan, Bung Karno menyempatkan diri bertanya, “Siapa yang masak sayur lodeh yang enak ini. Saya ingin mengucap terima kasih kepadanya.”

Anda bayangkan sendirilah suasana ketika itu. Di mana ada Bung Karno, di situ ada antusiasme siapa pun untuk mendekat, melihat, bahkan kalau boleh mendekap, bahkan mencium kakinya jika diizinkan. Artinya, ketika Bung Karno menanyakan si pemasak lodeh, para perempuan yang bertugas di dapur menjadi gaduh. Maka, Sri Hartini pun didorong-dorong oleh teman-temannya untuk maju… maju… menunjukkan diri, menemui Presiden, dan menerima ucapan terima kasihnya.

Dalam buku Srihana-Srihani Biografi Hartini Sukarno, terpapar pengakuan Hartini ihwal momen yang kemudian mengubah jalan hidupnya, di rumah Walikota Salatiga. Ia mengaku, gugup dan senang ketika maju dan mengulurkan tangan kepada Bung Karno. Hartini ingat betul, Bung Karno menjabat tangan Hartini begitu hangat dan… lama! Bung Karno benar-benar terkesiap oleh kecantikan Hartini dengan segala kelebihannya sebagai sesosok perempuan. Sambil tetap memegang tangan Hartini, Bung Karno bertanya basi, “Rumahnya di mana? Anaknya berapa? Suami?”

Demi waktu, hari itu Sukarno jatuh cinta kepada Hartini pada pandangan pertama. Itu pula yang dikatakan Sukarno di kemudian hari dalam surat-surat cintanya kepada Hartini. (roso daras)

Published in: on 5 Juli 2009 at 13:15  Comments (11)  
Tags: , ,

Ngalap Berkah di Pusara Bung Karno

prosesi pemakaman BKRakyat Indonesia dari penjuru Tanah Air, berjubel, tidak saja di sekitar Wisma Yaso tempat jenazah Bung Karno disemayamkan, tetapi juga di Blitar, Jawa Timur, tempat jazad Bung Karno dikebumikan. Seperti pengalaman pribadi mantan ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko. Ia merasa bagai tersambar petis demi mendengar kematian tokoh bangsa yang delapan tahun ia layani. Bambang yang ketika Bung Karno wafat sudah menjabat sebagai Asisten Kepala Personil Urusan Militer Mabes TNI-AL itu, bergegas menuju Wisma Yaso.

Wisma Yaso yang sejak siang sudah dijejali kerumunan rakyat yang hendak melayat, tidak juga surut hingga malam hari. Bambang pun masuk dalam antrian pelayat, yang berjalan menuju ruang tengah Wisma Yaso setapak demi setapak. Suasana ketika itu dilukiskan sebagai sangat mengharukan. Tidak terdengar percakapan, kecuali isak tangis, dan bisik-bisik pelayat. Di sudut ruang, masih tampak kerabat dan pelayat yang tak kuasa menahan jeritan hati yang mendesak di rongga dada, hingga tampak tersedu-sedu.

Tiba di dekat peti jenazah, Bambang melantunkan doa, “Ya Tuhan, Engkau telah berkenan memanggil kembali putraMu, Bung Karno. Terimalah kiranya arwah beliau di sisiMu. Sudilah Engkau mengampuni segala dosa-dosanya dan berkenanlah Engkau menerima segala tekad dan perbuatannya yang baik. Engkau Mahatahu ya Tuhan, dan Engkaulah Mahakuasa, aku mohon kabulkanlah doaku ini. Amin”

Segera setelah usai berdoa, Bambang menuju kamar lain, tempat keluarga BK berkumpul. Di sana tampak Hartini, Dewi, Guntur, Mega, Rachma, Sukma, Guruh, Bayu, dan Taufan. Mereka pun saling berangkulan. Sejurus kemudian, Sekmil Presiden, Tjokropranolo mendekati Bambang dan berkata, “Mas Bambang, kami mohon sedapatnya bantulah kami dalam menjaga dan melayani keluarga BK yang saat ini amat sedih dan emosional.” Bambang segera menukas, “Baik, tapi toong sampaikan hal ini kepada KSAL.”

Begitulah. Bambang sejak itu tak pernah jauh dari keluarga Bung Karno. Baginya, inilah bhakti terakhir yang dapat ia persembahkan bagi Bung Karno. Bambang juga berada di mobil bersama keluarga Bung Karno dalam perjalanan dari Wisma Yaso ke Halim, dari Halim terbang ke Malang, dan dari Malang jalan darat dua jam ke Blitar. Di situ, ia melihat rakyat berjejal di pinggir jalan, menangis menjerit-jerit, atau diam terpaku dengan air mata bercucuran.

Bambang yang duduk dekat Rachma tak kuasa menahan haru demi melihat begitu besar kecintaan rakyat kepada Bung Karno. Ia pun berkata pelan kepada Rachma, “Lihatlah, Rachma, rakyat masih mencintai Bung Karno. Mereka juga merasa kehilangan. Jasa bapak bagi nusa dan bangsa ini tidak akan terlupakan selamanya.” Rachma mengangguk.

Pemandangan yang sama tampak di Blitar hingga ke areal pemakaman. Ratusan ribu rakyat sudah menunggu. Bahkan militer harus ekstra ketat menjaga lautan manusia yang ingin merangsek mendekat, melihat, menyentuh peti jenazah Bung Karno.

Sementara itu, upacara pemakaman dengan cepat dilaksanakan. Panglima TNI Jenderal M. Panggabean menjadi inspektur upacara mewakili Pemerintah Republik Indonesia. Prosesi pemakaman berlanjut. Peti jenazah pelan-pelan diturunkan ke liang kubur. Tak lama kemudian, liang kubur mulai ditutup timbunan tanah… saat itulah meledak tangis putra-putri Bung Karno, yang kemudian sisusul ledakan tangis pelayat yang lain di sekitar makam. Bambang Widjanarko merasa hancur hatinya demi melihat penderitaan anak-anak Bung Karno ditinggal pergi bapaknya untuk selama-lamanya. Tanpa terasa, air mata Bambang mengalir lagi di pipi.

Akhirnya, selesailah upacara pemakaman Bung Karno yang berlangsung sederhana tetapi khidmat. Acara pun ditutup tanpa menunggu selesainya peletakkan karangan bunga. Meski rombongan resmi sudah meninggalkan makam, tetapi ribuan manusia tak beranjak. Bahkan aliran peziarah dari berbagai penjuru negeri, terus mengalir hingga malam.Ā  Mereka maju berkelompok-kelompok, meletakkan karangan bunga atau menaburkan bunga lepas di tangannya, kemudian berjongkok, atau duduk memanjatkan doa, menangis di dekat pusara Bung Karno.

Makam Bung Karno

Malam makin gelap, tetapi sama sekali tak menyurutkan lautan manusia mengalir menuju makam Bung Karno. Makin malam, makin gelap, tampak makin khusuk mereka bedoa. Ratusan orang meletakkan karangan bunga, ratusan orang menabur bunga lepas, tetapi puluhan ribu pelayat pergi membawa segenggam bunga. Alhasil, karangan bunga dan taburan bunga yang menggunung si sore hari, telah habis diambil peziarah lain selagi matahari belum lagi merekah di ufuk timur. Habis bunga, peziarah berikutnya menjumput segenggam tanah di pusara Bung Karno, dan dimasukkan saku celana. Tak ayal, tanah menggunduk di atas jazad Bung Karno pun menjadi rata. Inilah dalam ritual Jawa yang disebut “ngalap berkah”.

Seorang pelayat, dan ia adalah rakyat biasa, berkata, “Bung Karno adalah seorang pemimpin besar, Pak. Kami rakyat, sangat mencintainya. Sebagai kenangan saya bawa pulang sedikit bunga ini.”

Begitulah, karangan bunga, taburan bunga, bahkan gundukan tanah pun dijumput para peziarah. Yang tampak keesokan harinya, 23 Juni 1970 adalah pusara berhias tanah merah. Merah menyalakan semangat tiada padam. Biarpun jazad terkubur dalam tanah, semangat tak akan lekang dimakan waktu. Biar jazad hancur menyatu dengan tanah, tapi kobaran semangat perjuangan tetap menyala. Sukarno hanya mati jazad, namun ruh dan jiwanya tetap menyatu dengan rakyat. Hidup dan terus mewarnai semangat juang rakyat.

Manusia Sukarno telah tiada. Putra Sang Fajar yang lahir tatkala surya mulai bersinar, telah kembali dalam pelukan bumi Nusantara yang sangat ia cintai. Ia masuk pelukan bumi ketika matahari condong ke barat, menuju peraduan malam. Begitulah matahari bersinar dan tenggelam setiap hari. Begitulah manusia lahir dan mati. Namun bagi bangsa Indonesia, nama Bung Karno akan tetap dikenang, diingat karena perjuangannya, pengabdiannya, dan pengorbanannya yang dengan sepenuh hati telah ia baktikan.

Terima kasih, ya Tuhan, Engkau telah memberi kami seorang manusia Sukarno yang telah lahir dalam permulaan abad ke-20, dan membebaskan bangsa ini dari penjajah. (roso daras)

Kaum Perempuan Berjubel

massa di makam BK

Ekspresi Duka Inggit, Fatma, Hartini, dan Dewi

inggitMasih seputar suasana kelabu di hari-hari wafatnya Sukarno, Sang Proklamator. Ini tentang bagaimana para istri dan mantan istri presiden yang gallant itu bereaksi, bersikap, dan bertutur ihwal kepergian lelaki yang begitu dipuja. Ternyata, sekalipun memiliki perasaan yang sama dalam hal cinta, tetapi berbeda-beda ekspresi mereka menerima kematian mantan suami atau suami mereka.

Inggit Garnasih, istri kedua Sukarno yang dinikahi tahun 1923, adalah wanita yang dengan setia mengikuti dan mendukung perjuangan Sukarno sejak usia 21 tahun. Ia bahkan turut serta dalam setiap pengasingan Bung Karno, mulai dari Ende sampai Bengkulu. Ia lahir tahun 1888, lebih tua 12 tahun dari Bung Karno. Itu artinya, saat “nKus” panggilan kesayangan Inggit kepada Bung Karno, wafat, usia Inggit 82 tahun.

Nah, di usia yang sepuh, dan dalam kondisi sakit… ia menerima berita duka pada hari Minggu, 21 Juni 1970.Ā  Ia tergopoh-gopoh berangkat dari Bandung menuju Jakarta, ditemani putri angkatnya, Ratna Juami. Dalam batin, ia harus memberi penghormatan kepada mantan suami yang telah ia antar ke pintu gerbang kemerdekaan.

Setiba di Wisma Yaso, di tengah lautan massa yang berjubel, berbaris, antre hendak memberi penghormatan terakhir, Inggit –tentu saja– mendapat keistimewaan untuk segera diantar mendekat ke peti jenazah. Di dekat tubuh tak bernyawa di hadapannya, Inggit berucap, “Ngkus, geuning Ngkus tehmiheulan, ku Inggit di doakeun…” (Ngkus, kiranya Ngkus mendahului, Inggit doakan….). Sampai di situ, suaranya terputus, kerongkongan terasa tersumbat. Badannya yang sudah renta dan lemah, terhuyung diguncang perasaan sedih. Sontak, Ibu Wardoyo, kakak kandung Bung Karno (nama aslinya Sukarmini) memapah tubuh tua Inggit.

BUNG KARNO - FatmawatiLain lagi Fatmawati, istri ketiga Bung Karno yang pergi meninggalkan Istana setelah Bung Karno menikahi Hartini. Ia adalah sosok perempuan yang teguh pendirian. Ia sudah bertekad tidak akan datang ke Wisma Yaso. Karenanya, begitu mengetahui ayah dari lima putra-putrinya telah meninggal, ia segera memohon kepada Presiden Soeharto agar jenazah suaminya disemayamkan di rumahnya di Jl. Sriwijaya, Kebayoran Baru, meski sebentar. Sayang, Soeharto menolak permintaan Fatmawati.

Hati Fatma benar-benar galau. Antara jerit hati ingin melihat wajah suami untuk terakhir kali, dengan keteguhan prinsip. Bahkan, putra-putrinya pun tidak ada yang bisa mempengaruhi keputusan Fatma untuk tetap tinggal di rumah. Meski, atas kesepakatan semua pihak, peti jenazah tidak ditutup hingga batas akhir jam 24.00, dengan harapan, Fatma datang pada detik-detik terakhir. Apa hendak dikata, Fatma tak juga tampak muka.

Pengganti kehadiran Fatma, adalah sebuah karangan bunga dariĀ  si empunya nama. Dengan kalimat pendek dan puitis, Fatma menuliskan pesan, “Tjintamu yang menjiwai hati rakyat, tjinta Fat”… Sungguh mendebarkan kalimat itu, bagi siapa pun yang membacanya.

hartini sukarnoBagaimana pula dengan Hartini? Ah… melihat Hartini, hanya duka dan duka sepanjang hari. Wajah cantik keibuan, mengguratkan kelembutan. Sinar matanya penuh kasih sayang… Ia tak henti menangis. Hartini, salah satu istri yang begitu dicintai Sukarno, sehingga dalam testamennya, Sukarno menghendaki agar jika mati, Hartini dimakamkan di dekat makamnya. Ia ingin selalu dekat Hartini, wanita lembut keibuan yang dinikahinya Januari 1952.

Kebetulan, Hartini pula yang paling intens merawat dan menemani Bung Karno hingga akhir hayatnya. Sampai-sampai, Rachmawati, salah satu putri Bung Karno yang kebetulan juga paling intens menemani bapaknya di hari-hari akhir kehidupannya, memuji Hartini sebagai istri yang sangat setia dan baik hati. Rachma yang semula berperasaan tidak menyukai Hartini –dan ini wajar saja– menjadi dekat dan akrab dengan Hartini.

Semula, Rachma hanya berpura-pura baik dengan Hartini di depan bapaknya. Sebab, Rachma tahu betul, bapaknya begitu senang jika ada Hartini di dekatnya. Bapaknya begitu mencintai Hartini. Dan… dengan kesabaran, ketelatenan, dan perhatian tulus Hartini kepada Bung Karno di hari-hari akhir hidupnya, sontak membuka mata hati Rachma tentang sosok Hartini. Sejak itulah tumbuh keakraban dan kecintaan Rachma kepada Ibu Hartini.

dewiLain Inggit, beda Fatma, dan tak sama pula sikap Hartini… adalah ekspresi imported wife, si jelita Ratna Sari Dewi, wanita Jepang benama asli Naoko Nemoto. Wanita kelahiran tahun 1940 yang dinikahi Bung Karno 3 Maret 1962 itu memang dikenal lugas. Ia datang ke Jakarta bersama Kartika Sari (4 th) pada tanggal 20 Juni 1970 pukul 20.20 malam. Mengetahui suaminya lunglai tak berdaya, dirawat dalam penjagaan ketat tak manusiawi.

Hati Dewi teriris, terlebih bila mengingat anaknya sama sekali belum pernah berjumpa dengan ayahnya. Dalam catatan, Dewi pernah berkunjung ke Wisma Yaso saat hamil, tapi tentara melarangnya masuk.Ā  Dewi marah, karena kesulitan yang dialaminya. Ia, sebagai istri sah Sukarno, tidak bisa leluasa menengok apalagi menemani hari-hari Sukarno yang sedang bergulat dengan maut.

Latar belakang budaya yang berbeda, membuat Dewi kelihatan sangat vokal pada zamannya.Ā  Ia pernah marah besar kepada Soeharto dengan melontarkan ucapan pedas melalui surat terbuka tanggal 16 April 1970. Begini sebagian isi surat itu:

“Tuan Soeharto, Bung Karno itu saya tahu benar-benar sangat mencintai Indonesi dan rakyatnya. Sebagai bukti bahwa meskipun ada lawannya yang berkali-kali menteror beliau, beliau pun masih mau meberikan pengampunan kalau yang bersangkutan itu mau mengakui kesalahannya. Dibanding dengan Bung Karno, maka ternyata di balik senyuman Tuan itu, Tuan mempunyai hati yang kejam. Tuan telah membiarkan rakyat, yaitu orang-orang PKI dibantai. Kalau saya boleh bertanya, ‘Apakah Tuan tidak mampu dan tidak mungkin mencegahnya dan melindungi mereka agar tidak terjadi pertumpahan darah?”

Bukan hanya itu. Penampilan Dewi yang masih tampak begitu cantik di suasana duka, seperti menjadi icon. Terlebih dengan keterbukaan sikapnya. Seperti saat dengan penuh emosi ia melabrak Harjatie, istri Bung Karno yang telah diceraikan itu, sebagai seorang istri yang menyia-nyiakan Bung Karno, menuduh Harjatie meninggalkan Sukarno di masa-masa sulit. Harjatie pun menangis, dan bergerak meninggalkan tempat itu.

Begitulah, empat dari (setidaknya) delapan wanita yang pernah diperistri Bung Karno. Sama dalam mencinta, beda dalam mengekspresikan duka. (roso daras)

Published in: on 21 Juni 2009 at 18:01  Comments (13)  
Tags: , , , ,