Benang Merah Pidato Bung Karno (4-Selesai)

Jas-merahBerikut bagian ke-4 dari empat bagian nukilan pidato Bung Karno. Periode ini mengutip pidato Bung Karno periode 1961 – 1966. Setelah itu Bung Karno tidak lagi tampil membahana di podium peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI setiap tanggal 17 Agustus. Pidato tahun 1966 adalah pidato kenegaraan terakhirnya.

1961: Revolusi – Sosialisme Indonesia – Pimpinan Nasional (Resopim)

“…perlunya meresapkan adilnya Amanat Penderitaan Rakyat agar meresap pula tanggung jawab terhadapnya serta mustahilnya perjuangan besar kita berhasil tanpa Tritunggal Revolusi, ideologi nasional progresif dan pimpinan nasional.

1962: Tahun Kemenangan (Takem)

“kulancarkan gagasan untuk memperhebat pekerjaan Front Nasional, untuk menumpas perongrongan revolusi dari dalam, dan bahwa revolusi kita itu mengalami satu “selfpropelling growth” – satu, yaitu maju atas dasar kemajuan, mekar atas dasar kemekaran.

1963: Genta Suara Revolusi Indonesia (Gesuri)

“Tiada revolusi kalau ia tidak menjalankan konfrontasi terus-menerus dan kalau ia tidak merupakan satu disiplin yang hidup, bahwa diperlukan puluhan ribu kader di segala lapangan. Bahwa Dekon harus dilaksanakan dan tidak boleh diselewengkan karena “Dekon adalah Manipolnya ekonomi”, bahwa abad kita ini “abad nefo” dan saya mengambil inisiatif untuk menyelenggarakan Conefo dan akhirnya tahun yang lalu.”

1964: Tahun Vivere Pericoloso (Tavip)

“Kuformulasikan 6 hukum revolusi, yaitu bahwa revolusi harus mengambil sikap repat terhadap lawan dan kawan, harus dijalankan dari atas dan dari bawah, bahwa destruksi dan konstruksi harus dijalankan sekaligus, bahwa tahap pertama harus dirampungkan dulu kemudian tahap kedua, bahwa harus setia kepada Program Revolusi sendiri yaitu Manipol, dan bahwa harus punya sokoguru, punya pimpinan yang tepat dan kader-kader yang tepat, juga kuformulasikan Trisakti “berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan”.

1965: Capailah Bintang-bintang di Langit (Tahun Berdikari)

“Lima Azimat”: Nasakom (1926), Pancasila (1945), Manipol/Usdek (1959), Trisakti Tavip (1964), dan Berdikari (1965)- sebenarnya hanyalah hasil penggalianku, yang dua pertama dari masyarakat bangsaku, dan tiga terakhir dari Revolusi Agustus. Kelima pokok instruksiku itu harus terus disebar-sebarkan, diresapkan, diamalkan, sebab dari terlaksana-tidaknya instrukti itu tergantung pula baik tidaknya Front Nasional di hari-hari yang akan datang, baik tidaknya persatuan bangsa di hari-hari yang akan datang”.

1966: Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah (Jasmerah)

Abraham Lincoln, berkata: “one cannot escape history, orang tak dapat meninggalkan sejarah”, tetapi saya tambah : “Never leave history”. inilah sejarah perjuangan, inilah sejarah historymu. Peganglah teguh sejarahmu itu, never leave your own history! Peganglah yang telah kita miliki sekarang, yang adalah AKUMULASI dari pada hasil SEMUA perjuangan kita dimasa lampau. Jikalau engkau meninggalkan sejarah, engkau akan berdiri diatas vacuum, engkau akan berdiri diatas kekosongan dan lantas engkau menjadi bingung, dan akan berupa amuk, amuk belaka. Amuk, seperti kera kejepit di dalam gelap.

Begitulah. Tahun 1967 adalah tahun kemunduran. Tahun klimaks usaha pembunuhan terhadap Sukarno oleh anak bangsanya sendiri. Indonesia Raya diruntuhkan, di atasnya berdiri bangunan kapitalis bernama Orde Baru. Sejak itu, berubahlah Indonesia, dari sebuah bangsa berdikari menjadi bangsa yang kembali “terjajah” oleh asing. Hingga hari ini. (roso daras)

Published in: on 2 Desember 2012 at 15:51  Comments (6)  
Tags: , , , , , ,

Malaysia, Negeri dengan Kutukan sebagai Pelanggar Batas Wilayah

Setiap kali hubungan RI – Malaysia memanas, laksana sekam, bara itu langsung berkobar dan membakar semangat heroisme bangsa kita untuk mengganjang negara tetangga itu. Sekalipun hati ikut terbakar emosi, tetapi blog ini berusaha menyajikan postingan yang adem-adem saja. Misalnya tentang bagaimana cara Bung Karno berdoa, atau riwayat singkat Bung Karno dalam peringatan Nuzulul Qur’an.

Apa daya, satu-dua teman terus saja mengusik dinginnya hati orang berpuasa. Mereka terus dan terus mengajak berdiskusi dengan berapi-api tentang “ulah” negeri tetangga itu. Segan rasanya meladeninya. Selain bicara dengan nada tinggi cukup menguras energi (makin membuat lapar), salah-salah bicara tinggi bisa menggelincirkan kita ke jurang amarah. Dan sejatinya, marah adalah istananya setan.

Pancingan bergunjing soal ketegangan hubungan Indonesia – Malaysia baru bisa saya redam, ketika meluncur sebuah janji, “Begini saja… coba nanti saya buka-buka catatan sejarah, siapa tahu ada informasi yang bisa memuaskan dahaga teman-teman sekalian dalam menyikapi situasi panas ini.”

Alhasil, inilah sepenggal sejarah yang berhasil saya temukan.

… saya pun mulai menuliskannya sebagai berikut:

“Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” (Jasmerah), adalah petuah Bung Karno yang everlasting. Saat mengungkap ihwal Jasmerah pada pidato 17 Agustus 1966, Bung Karno bahkan harus berulang-ulang memberi tekanan ihwal pentingnya sejarah. Sampai-sampai Bung Karno menyebut sejarah sebagai hal terpenting yang harus dipelajari segenap anak bangsa.

Tahun ’20-an Bung Karno sudah mengemukakan kapan Indonesia merdeka (dan itu tepat sekali). Ia menolak disebut sebagai manusia yang memiliki kemampuan paranormal. “Itu karena saya belajar sejarah!” sanggahnya.

Lantas apa hubungannya dengan judul posting di atas? Banyak sekali hubungannya. Salah satunya adalah kebenaran ucapan Bung Karno ihwal Jasmerah tadi. Berkat sejarah kita mengetahui bahwa Malaysia, sebagai negara bonekanya Inggris, adalah laksana sebuah negara yang ditakdirkan terlahir membawa kutukan sebagai pelanggar batas wilayah.

Fakta sejarah itu diungkap oleh Oei Tjoe Tat dalam memoarnya. Sebagai pembantu presiden yang pernah mendapat mandat khusus menjalankan “silent mission” saat kita berkonftrontasi dengan Malaysia, Oei menjadi tahu banyak ihwal Malaysia, baik sejarah pembentukannya maupun dalam aksi-aksi pelanggaran batas wilayah yang telah terpatri dalam sejarah.

Deretan panjang pelanggaran batas wilayah Indonesia oleh Inggris dan Malaysia bahkan terbukukan menjadi dokumen sejarah yang disusun oleh Kempen dalam risalah “Why Indonesia opposes Britishmade “Malaysia”, Jakarta, September 1964 halaman 76 – 100.  Catatan itu menyebutkan, tTahun 1963, tercatat 20 kali pelanggaran udara dan 21 kali melanggar batas wilayah darat.

Nah, di sini beda dulu dan sekarang. Dulu, si durjana pelanggar batas itu kontan mendapat respon yang semestinya, sehingga tercatat dua pesawat mereka berhasil ditembak jatuh di sekitar Lundi dan Apeng, Kalimantan Barat. Pasukan kita di lapangan, tahu bahwa untuk menembak pelanggar kedaulatan negara tidak harus lapor atasan dulu….

Masih berdasar dokumen Kempen, tahun 1964 Inggris dengan boneka Malaysia-nya melakukan pelanggaran batas wilayah sebanyak 56 kali, sementara pelanggaran di darat 14 kali. Dan itu berbuntut terjadinya pertempuran sporadis dan mengakibatkan jatuh korban di kedua belah pihak. Bahkan atas insiden ini, Menhan Inggris, James Remsden melansir informasi kepada pers pada 22 April 1964. Ia mengatakan, sejak Desember 1963 pasukan Inggris dan Gurkha yang tewas 99 orang, dan pasukan Malaysia 50 orang.

Itu artinya, soal melanggar batas wilayah, “Britishmade Malaysia” memang ahlinya. Dari dulu sampai sekarang, tidak berubah, benar-benar seperti sebuah kutukan. Yang membedakan adalah sikap (pemerintah) kita! (roso daras)

Pidato Terakhir Bung Karno

Buku Roso Daras

Ini tentang sebuah buku yang saya tulis tahun 2001, berjudul Aktualisasi Pidato Terakhir Bung Karno: Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah (Never Leave History!). Buku ini —believe it or not— saya tulis dalam kurun waktu kurang dari dua minggu, dan menjadi salah satu buku dari serangkaian buku Seri Pemikiran Bung Karno yang diterbitkan Grasindo (PT Gramedia Widiasarana Indonesia) dalam rangka memperingati 100 Tahun Proklamator kita.

Dalam buku ini, saya menafsirkan dan menginterpretasikan pidato Bung Karno pada peringatan 17 Agustus 1966, serta membandingkan dengan situasi aktual ketika itu. Moralnya hanya ingin menunjukkan bahwa dalam banyak hal, pemikiran dan penuturan Bung Karno bersifat everlasting… evergreen... tak lekang dimakan waktu. Banyak wejangan Bung Karno yang terbukti relevan dengan situasi dan kondisi saat ini, dan saya yakin, hingga ke masa depan. Satu hal yang membuat saya menilai Bung Karno adalah seorang futurolog yang baik.

Ihwal pidato 17 Agustus 1966 yang saya katakan sebagai pidato terakhir, dalam pengertian pidato kenegaraan yang begitu dinanti rakyat Indonesia setiap tanggal 17 Agustus. Sejarah telah mencatat, 17 Agustus 1967 dia sudah tidak lagi berkuasa, sehingga mulutnya terkunci, dan dunia tak lagi mendengar spirit progresif revolusioner dari seorang Putra Sang Fajar. Dunia tak lagi menyimak kecamannya atas hegemoni liberalisme dan kapitalisme.

Selain menafsir pidato yang sering disingkat orang dengan “Jas Merah” itu, saya juga melakukan riset kecil-kecilan terkait respons media massa pada zamannya. Beberapa kali saya masuk-keluar perpustakaan nasional, membolak-balik lembar demi lembar koran tua. Beberapa artikel dan berita, saya sertakan pada epilog buku agar pembaca maklum, bahwa tahun 1966, sejumlah media memang telah memposisikan Bung Karno pada satu sudut yang sulit. Ada semacam penggalangan opini yang begitu sistematis terkait peristiwa G-30-S/PKI, sehingga Bung Karno “dipaksa” harus menerima status sebagai pihak yang harus bertanggung jawab.

Di sini sebuah ironi tampak. Seorang Presiden yang hendak dikudeta, justru dituding “terlibat” (langsung atau tidak langsung) dengan kudeta itu sendiri. Nalar mana yang membenarkan seorang presiden mengkudeta dirinya sendiri?

Alhasil, “pesan terakhir” Bung Karno yang berjudul “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”, saya resapi sebagai sebuah seruan yang harus terus digaungkan sepanjang zaman. Bangsa yang melupakan sejarah, akan dengan mudah tercerabut dari akar sejarah itu sendiri, dan menjadi bangsa antah berantah. Indonesia, saya katakan sebagai sebuah bangsa dan negara yang sedang dalam proses melupakan sejarah.

Entah diskenariokan atau tidak, amandemen terhadap UUD 1945 oleh MPR periode 1999 – 2004 yang mengubah sistem tatanan negara, sistem politik, dan sistem demokrasi  (50 + 1 boleh mambantai yang 49), telah mengakibatkan kita bukan lagi “Indonesia yang mengagungkan musyawarah gotong royong”. Perubahan pasal 33, mengakibatkan kita terjerumus pada ekonomi pasar bebas dalam keadaan kita masih teramat rapuh. Tidaklah heran jika sumber daya alam yang begitu melimpah, tak juga mampu mengangkat derajat dan kesejahteraan bangsa. Sebab, para komprador bangsa telah “menjual” Indonesia untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. (roso daras)