Sekalipun barangkali belum bisa dibilang lengkap, tetapi saya senang, setidaknya koleksi referensi tentang Bung Karno (dan sejarah bangsa) bertambah. Ini berkah hadiah. Hadiah yang diberikan seorang nasionalis bernama Suwarno. Siapa Suwarno? Dia adalah aktivis GMNI yang kemudian masuk partai (PDI Perjuangan), dan berhasil duduk di kursi dewan yang terhormat. Sayang, karier politiknya tidak lama, keburu tersandung kasus yang mengakibatkan dia tergusur dari Senayan.
Saya menyebutnya sebagai romantika hidup. Semua manusia, tanpa kecuali, memiliki sisi positif dan negatif. Saya pribadi cenderung menyukai pendekatan dari aspek positif. Terlebih dalam hal ideologi, saya yakini, beliau satu garis. Atau, malah sebaliknya, saya yang berada di garis yang sudah lebih dahulu dia lalui.
Pertemuan dan perkenalan pertama dengan Bung Suwarno kurang lebih setahun lalu. Dia bersama Moch. Achadi, sesepuh dan mentor saya (di bidang Sukarnoisme), rawuh ke kantor saya di bilangan Condet, Jakarta Timur. Biasalah, bicara ngalor-ngidul. Suasananya sama seperti kalau saya bertemu dengan teman-teman segaris lainnya. Penuh semangat dan berapi-api. Sekalipun dalam banyak situasi, saya berusaha untuk menekan nafsu buka mulut saya. Sebaliknya, dengan kesadaran yang dalam, saya perintahkan indra pendengar saya untuk menangkap baik-baik semua perkataan senior.
Nah, kira-kira pertengahan Januari 2014, pak Achadi menghubungi saya. Ada dua berita yang dia sampaikan sekaligus. Pertama, berita tentang kakinya yang terkilir akibat terjatuh di kamar mandi (semoga lekas sembuh, pak….). Kedua, menyuruh saya menghubungi Bung Suwarno yang punya catatan khusus tentang film Soekarno besutan sutradara Hanung Bramantyo.
Atas dawuh pak Achadi, saya pun menghubungi Bung Suwarno. Singkat kata, dia menghendaki pertemuan. Pertemuan baru terjadi kurang lebih satu minggu sejak berbicara lewat telepon. Kali ini, saya yang menyambangi beliau di kantornya, di bilangan Bintaro, Jakarta Selatan (ehh… Jaksel apa Tangsel yaaa….).
Di luar dugaan, beliau sudah menyiapkan banyak “hadiah” buat saya. Di luar ucap terima kasih kepada Bung Suwarno, tak henti-henti saya mengucap syukur alhamdulillah mendapatkan hadiah berupa buku dan sejumlah catatan/kliping penting. Satu per satu hadiah itu ia jelaskan secara singkat. Cukup mudah saya tangkap. Ditambah semangat untuk segera membaca semua hadiah dari Bung Suwarno agar lebih jelas kiranya.
Satu buku yang luar biasa bagusnya, adalah “Lahirnya Undang Undang Dasar 1945” (edisi revisi) tulisan RM A.B. Kusuma (peneliti senior di Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI), terbitan Badan Penerbit FH UI, 2009. Buku ini memuat salinan dokumen otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha-Oesaha Persiapan Kemerdekaan yang disusun dan dibubuhi ulasan dan catatan oleh AB Kusuma.
Buku itu menyajikan dokumen yang “hilang”. Dokumen yang dimaksud adalah dokumen otentik BPUPK – PPKI. Ada dua orang pemegang dokumen itu. Mereka adalah kakak-beradik Pringgodigdo (Abdul Gaffar Pringgodigdo dan Abdul Karim Pringgodigdo). Nah, dokumen miliki AK Pringgodigdo inilah yang disimpan oleh negara dan dibawa serta ke Yogyakarta, Januari 1946 ketika ibukota pemerintahan pindah ke sana.
Ketika Belanda (Sekutu) masuk dan menangkap Bung Karno, mereka berhasil merampas dokumen itu, dan membawanya ke Belanda. Sejak itu, dokumen resmi tadi bisa dibilang raib.
Nah, dokumen satunya, dipegang AG Pringgodigdo yang kemudian disimpan sebagai dokumen pribadi. Dokumen ini kemudian dipinjam oleh Moh. Yamin, yang celakanya, tidak pernah dikembalikan. Hingga kemudian dokumen itu pun dinyatakan hilang.
Periode berikutnya, tafsir Yamin-lah yang muncul ke permukaan. Yamin menyusun kembali dokumen itu dengan penambahan di sana-sini. Sehingga sempat dijadikan rujukan Orde Baru. Di situlah sejarah mulai bopeng-bopeng. Ada yang menyebut Yamin sebagai penggali Pancasila, dan sebagainya. Singkat kata, dokumen “modifikasi” Yamin-lah yang dipakai Orde Baru, dan dikukuhkan oleh Noegroho Notosusanto, mantan Mendikbud, mantan Kepala Pusjarah ABRI yang sangat getol membelokkan sejarah Sukarno.
Seperti berulang kali saya tulis, bahwa sejarah kebenaran senantiasa akan mengalir menemukan jalannya sendiri. Adalah AB Kusuma, seorang peneliti senior, anak bangsa yang getol dengan dokumen sejarah. Ia melacaknya hingga ke negeri Belanda. Bersyukur, dokumen BPUPK-PPKI masih utuh terismpan di Belanda. Yang mengagetkan adalah, catatan bahwa pemerintah Belanda secara resmi sudah mengembalikan dokumen itu ke pemerintah Indonesia pada tahun 1989.
Hmmm… sebegitu tidak inginnya Sukarno bangkit karena jasa besarnya memerdekakan bangsa, meletakkan landasan ideologi dan konstitusi, sampai-sampai pemerintah Orde Baru melalui Arsip Nasional tidak pernah mempublikasikannya ke masyarakat.
Bagaimana nasib dokumen yang disimpan AG Pringgodigdo, kemudian dipinjam Yamin dan tidak pernah dikembalikan? Sejarah pun menguak kebenarannya. Oleh Yamin, dokumen itu disimpan dalam satu kotak berisi aneka publikasi dan dokumen penting koleksi Moh. Yamin. Ketika Yamin wafat, dokumen itu dikuasai salah seorang putranya, Rahadian Yamin (tokoh model Indonesia) yang menikah dengan putri Mangkunegaran, Gusti Raden Ayu Retno Satuti.
Retno Satuti-lah yang peduli dengan brangkas suaminya dan membongkarnya. Di antara tumpukan dokumen, salah satunya adalah dokumen BPUK-PPKI milik AG Pringgodigdo yang dipinjam ayah mertuanya dan belum pernah dikembalikan itu. Menyadari sebagai dokumen penting, Retno Satuti pun menyerahkannya kepada Arsip Nasional pada tahun 1990.
Ahhh… panjang juga ya bercerita satu buku saja. Ini baru cerita sejarah dokumen BPUPK-PPKI saja. Sama sekali belum menyinggung isinya. Dan saya belum uraikan juga hadiah-hadiah lain dari Bung Suwarno. Lain kali saja yaaa… Merdeka!!! (roso daras)