Hadiah dari Bung Suwarno

dokumen suwarno

Sekalipun barangkali belum bisa dibilang lengkap, tetapi saya senang, setidaknya koleksi referensi tentang Bung Karno (dan sejarah bangsa) bertambah. Ini berkah hadiah. Hadiah yang diberikan seorang nasionalis bernama Suwarno. Siapa Suwarno? Dia adalah aktivis GMNI yang kemudian masuk partai (PDI Perjuangan), dan berhasil duduk di kursi dewan yang terhormat. Sayang, karier politiknya tidak lama, keburu tersandung kasus yang mengakibatkan dia tergusur dari Senayan.

Saya menyebutnya sebagai romantika hidup. Semua manusia, tanpa kecuali, memiliki sisi positif dan negatif. Saya pribadi cenderung menyukai pendekatan dari aspek positif. Terlebih dalam hal ideologi, saya yakini, beliau satu garis. Atau, malah sebaliknya, saya yang berada di garis yang sudah lebih dahulu dia lalui.

Pertemuan dan perkenalan pertama dengan Bung Suwarno kurang lebih setahun lalu. Dia bersama Moch. Achadi, sesepuh dan mentor saya (di bidang Sukarnoisme), rawuh ke kantor saya di bilangan Condet, Jakarta Timur. Biasalah, bicara ngalor-ngidul. Suasananya sama seperti kalau saya bertemu dengan teman-teman segaris lainnya. Penuh semangat dan berapi-api. Sekalipun dalam banyak situasi, saya berusaha untuk menekan nafsu buka mulut saya. Sebaliknya, dengan kesadaran yang dalam, saya perintahkan indra pendengar saya untuk menangkap baik-baik semua perkataan senior.

Nah, kira-kira pertengahan Januari 2014, pak Achadi menghubungi saya. Ada dua berita yang dia sampaikan sekaligus. Pertama, berita tentang kakinya yang terkilir akibat terjatuh di kamar mandi (semoga lekas sembuh, pak….). Kedua, menyuruh saya menghubungi Bung Suwarno yang punya catatan khusus tentang film Soekarno besutan sutradara Hanung Bramantyo.

Atas dawuh pak Achadi, saya pun menghubungi Bung Suwarno. Singkat kata, dia menghendaki pertemuan. Pertemuan baru terjadi kurang lebih satu minggu sejak berbicara lewat telepon. Kali ini, saya yang menyambangi beliau di kantornya, di bilangan Bintaro, Jakarta Selatan (ehh… Jaksel apa Tangsel yaaa….).

Di luar dugaan, beliau sudah menyiapkan banyak “hadiah” buat saya. Di luar ucap terima kasih kepada Bung Suwarno, tak henti-henti saya mengucap syukur alhamdulillah mendapatkan hadiah berupa buku dan sejumlah catatan/kliping penting. Satu per satu hadiah itu ia jelaskan secara singkat. Cukup mudah saya tangkap. Ditambah semangat untuk segera membaca semua hadiah dari Bung Suwarno agar lebih jelas kiranya.

Satu buku yang  luar biasa bagusnya, adalah “Lahirnya Undang Undang Dasar 1945” (edisi revisi) tulisan RM A.B. Kusuma (peneliti senior di Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI), terbitan Badan Penerbit FH UI, 2009. Buku ini memuat salinan dokumen otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha-Oesaha Persiapan Kemerdekaan yang disusun dan dibubuhi ulasan dan catatan oleh AB Kusuma.

Buku itu menyajikan dokumen yang “hilang”. Dokumen yang dimaksud adalah dokumen otentik BPUPK – PPKI. Ada dua orang pemegang dokumen itu. Mereka adalah kakak-beradik Pringgodigdo (Abdul Gaffar Pringgodigdo dan Abdul Karim Pringgodigdo). Nah, dokumen miliki AK Pringgodigdo inilah yang disimpan oleh negara dan dibawa serta ke Yogyakarta, Januari 1946 ketika ibukota pemerintahan pindah ke sana.

Ketika Belanda (Sekutu) masuk dan menangkap Bung Karno, mereka berhasil merampas dokumen itu, dan membawanya ke Belanda. Sejak itu, dokumen resmi tadi bisa dibilang raib.

Nah, dokumen satunya, dipegang AG Pringgodigdo yang kemudian disimpan sebagai dokumen pribadi.  Dokumen ini kemudian dipinjam oleh Moh. Yamin, yang celakanya, tidak pernah dikembalikan. Hingga kemudian dokumen itu pun dinyatakan hilang.

Periode berikutnya, tafsir Yamin-lah yang muncul ke permukaan. Yamin menyusun kembali dokumen itu dengan penambahan di sana-sini. Sehingga sempat dijadikan rujukan Orde Baru. Di situlah sejarah mulai bopeng-bopeng. Ada yang menyebut Yamin sebagai penggali Pancasila, dan sebagainya. Singkat kata, dokumen “modifikasi” Yamin-lah yang dipakai Orde Baru, dan dikukuhkan oleh Noegroho Notosusanto, mantan Mendikbud, mantan Kepala Pusjarah ABRI yang sangat getol membelokkan sejarah Sukarno.

Seperti berulang kali saya tulis, bahwa sejarah kebenaran senantiasa akan mengalir menemukan jalannya sendiri. Adalah AB Kusuma, seorang peneliti senior, anak bangsa yang getol dengan dokumen sejarah. Ia melacaknya hingga ke negeri Belanda. Bersyukur, dokumen BPUPK-PPKI masih utuh terismpan di Belanda. Yang mengagetkan adalah, catatan bahwa pemerintah Belanda secara resmi sudah mengembalikan dokumen itu ke pemerintah Indonesia pada tahun 1989.

Hmmm… sebegitu tidak inginnya Sukarno bangkit karena jasa besarnya memerdekakan bangsa, meletakkan landasan ideologi dan konstitusi, sampai-sampai pemerintah Orde Baru melalui Arsip Nasional tidak pernah mempublikasikannya ke masyarakat.

Bagaimana nasib dokumen yang disimpan AG Pringgodigdo, kemudian dipinjam Yamin dan tidak pernah dikembalikan? Sejarah pun menguak kebenarannya. Oleh Yamin, dokumen itu disimpan dalam satu kotak berisi aneka publikasi dan dokumen penting koleksi Moh. Yamin. Ketika Yamin wafat, dokumen itu dikuasai salah seorang putranya, Rahadian Yamin (tokoh model Indonesia) yang menikah dengan putri Mangkunegaran, Gusti Raden Ayu Retno Satuti.

Retno Satuti-lah yang peduli dengan brangkas suaminya dan membongkarnya. Di antara tumpukan dokumen, salah satunya adalah dokumen BPUK-PPKI milik AG Pringgodigdo yang dipinjam ayah mertuanya dan belum pernah dikembalikan itu.  Menyadari sebagai dokumen penting, Retno Satuti pun menyerahkannya kepada Arsip Nasional pada tahun 1990.

Ahhh… panjang juga ya bercerita satu buku saja. Ini baru cerita sejarah dokumen BPUPK-PPKI saja. Sama sekali belum menyinggung isinya. Dan saya belum uraikan juga hadiah-hadiah lain dari Bung Suwarno. Lain kali saja yaaa… Merdeka!!! (roso daras)

 

Kesaksian Achadi (Bagian 1)

achadiSebagai mantan Menteri di era Bung Karno, sebagai seorang Sukarnois, kesaksian Moch. Achadi tentu saja layak dicermati. Setidaknya, layak dicatat dalam memori kita sebagai anak bansga. Baru-baru ini, atas prakarsa sejumlah pihak yang hendak menggugat Tap MPRS No. 33 tahun 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Negara dari Presiden Sukarno.

Secara langsung atau tak langsung, ketetapan itu menuding Presiden Sukarno mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan G30S/PKI dan melindungi tokoh-tokoh G30S/PKI. Ketetapan itu menjadi sikap MPRS  untuk enjatuhkan Sukarno dari kekuasaan dengan dugaan pengkhianatan. Bahasa lain, Tap itulah yang memuluskan Soeharto menduduki tahta kepresidenan.

Achadi termasuk yang mengetahui sejarah pemutarbalikan fakta. Achadi lantas menuangkan butir-butir kesaksian tersebut. Satu copy diserahkan kepada Yayasan Bung Karno, dan satu copy lagi diserahkan kepada saya saat bertemu di Yayasan Bung Karno, Menteng, pertengahan April 2013. “Tolong ditulis di blognya dik Roso yaaa… agar generasi penerus setidaknya mencatat sudut pandang saya,” ujar Achadi.

Jika kemudian kesaksian Achadi menjadi materi yang tengah Anda simak, bukan semata karena saya sudah meng-iya-kan permintaan Achadi. Lebih dari itu, segala sesuatu yang berkaitan dengan pelurusan sejarah Sang Proklamator, sudah selayaknya menjadi concern bersama. Menjadi concern bangsa.

Dalam kesaksian sepanjang delapan lembar HVS itu, tentu terlalu panjang jika saya jadikan satu postingan. Karenanya, saya memecah menjadi beberapa bagian. Ini adalah bagian pertama. Dalam kesaksian tersebut, Achadi memulainya dengan memerinci peristiwa-peristiwa yang erat terkait dengan kejadian G30S/PKI.

Pertama, dengan dalih menggagalkan kup dewan jenderal, terjadi penculikan jenderal-jenderal oleh pelaku G30S tanggal 1 Oktober 1965 dinihari. Gerakan 30S dipimpin oleh Letkol Untung dari Cakrabirawa, Kolonel Latief dari Kodam Jaya, Jenderal Suparjo dari Siliwangi (Komandan Tempur Dwikora wilayah Kalimantan Barat).

Hari itu juga, Jenderal Suparjo berusaha menghadap Presiden Sukarno untuk mendapat dukungan (atas gerakan menggagalkan kup dewan jenderal). Jam 09.00 pagi, ia sudah berada di Istana, tetapi gagal berjumpa Bung Karno. Nah, sekitar pukul 13.00, organisasi yang menamakan G30S itu mengeluarkan pengumuman melalui RRI bahwa G30S membentuk Dewan Revolusi dengan ketua Letkol Untung dan kawan-kawan sebagai kekuasaan tertinggi dan mendemisionerkan kabinet. Hal ini, menurut Achadi, jelaslah merupakan perbuatan kup atau kudeta. Sebab, UUD 1945 jelas menyebutkan, yang berhak mengubah/mengganti kabinet adalah Presiden.

Kesaksian butir kedua dari Achadi menjelaskan ihwal Sidang Kabinet Dwikora tanggal 6 Oktober 1965 di Istana Bogor. Moch. Achadi sebagai Menteri Transmigrasi dan Koperasi hadir dalam rapat sidang tersebut. Pernyataan tegas Presiden Sukarno dalam Sidang Kabinet itu antara lain, “G30S itu salah, dan yang dituju adalah saya. Dan dengan terjadinya G30S maka revolusi Indonesia mundur 20 tahun!”

Bulan Oktober itu pula, dibentuk Tim Khusus untuk membantu Presiden Sukarno menghadapi epilog peristiwa G30S. Susunan Tim Khusus itu adalah Ketua Chairul Saleh, Ketua MPRS, Ketua Periodik Front Nasional, Wakil Perdana Menteri III. Sedangkan Wakil Ketua terdiri atas Jenderal Soeharto, KSAD, Kepala Staf KOTI. Anggota-anggotanya adalah Jenderal Achmadi (Menteri Penerangan), Ketua GIII KOTI, Jenderal Sutardjo, Jaksa Agung, Sudibyo, Menteri Sekjen Front Nasional, Drs. Moch. Achadi yang juta Rektor Universitas Bung Karno.

Point berikutnya yang dipaparkan Achadi adalah peristiwa Sidang Kabinet Dwikora tanggal 17 Januari 1966 di Istana Bogor, di mana Achadi pun hadir. Sebelum sidang, ada pertemuan antara Presiden Sukarno dengan pimpinan organisasi-organisasi KAMI-KAPI yang waktu itu aktif berdemonstrasi dengan semboyan Tritura (Bubarkan PKI, Bubarkan Kabinet, turunkan harga).

Dalam sidang yang juga dihadiri pimpinan KAMI – KAPI tersebut, Presiden Sukarno tegas-tegas menyatakan, bahwa ada petunjuk dan gejala-gejala yang merupakan gerakan untuk mendongkel kepemimpinan Presiden Sukarno. Menghadapi hal tersebut, Bung Karno memerintahkan, siapa yang setuju dengan kepemimpinannya, agar menyusun barisan.

Berdasar pidato Presiden Sukarno tersebut (tentang pembentukan barisan Sukarno), maka gerakan-gerakan pendukung Bung Karno muncul di mana-mana dengan nama Barisan Sukarno. Sementara itu, Tim Khusus yang disebut di atas, mengadakan sidang dan memutuskan Tim Khusus sebagai pimpinan Barisan Sukarno. SK Presiden untuk ini telah siap ditandatangani Presiden Sukarno.

Hingga di sini, tampak Bung Karno masih sangat berpengaruh. Hingga kemudian peristiwa berlanjut ke Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan pada tanggal 11 Maret 1966 di Istana Negara Jakarta, di mana Soeharto tidak hadir dengan alasan sakit.

Sidang Kabinet dipimpin langsung Presiden Sukarno. Ketika Bung Karno tengah berpidato sekitar 10 menit, diinterupsi Jenderal Sabur, Komandan Cakrabirawa (pengawal presiden). Dia melaporkan bahwa Istana telah dikepung oleh pasukan tanpa tanda pengenal. Keadaan tidak aman dan seyogianya Presiden meninggalkan Istana menuju Bogor dengan naik helikopter.

Walhasil, sebelum sidan tuntas, Presiden Sukarno diikuti Waperdam I Dr Subandrio dan Waperdam III Chairul Saleh meninggalkan Istana Jakarta menuju Bogor. Sidang Kabinet dilanjutkan dengan dipimpin Waperdam II Dr. Leimena. Usai sidang, diadakan makan siang bersama. Saat itu diumumkan, para menteri diimbau tidak meninggalkan Istana hingga suasana benar-benar aman.

Achadi bersama Menteri Pertahanan Jenderal Sarbini dan Menteri Penerangan Jenderal Achmadi makan satu meja. Kemudian datang Jenderal Amirmachmud sebagai Panglima Kodam Jaya bergabung di meja makan itu. Amirmachmud menyatakan dengan tegas bahwa Jenderal Sabur tidak benar telah melaporkan kepada presiden bahwa Istana tidak aman. Apalagi, Sabur tidak menanyakan kepada Amirmachmud terlebih dahulu. “Saya sebagai Panglima Kodam yang berhak menyatakan keamanan di Jakarta, termasuk di sekitar Istana.

Amirmachmud juga menyatakan selain dirinya, ada Jenderal Soeharto sebagai KSAD maupun Kepala Staf KOTI, karena di Jakarta terdapat banyak pasukan yang bergerak di luar komandi Kodam Jaya. Saat itu, Amirmachmud juga menyatakan sore ini akan menyusul Bung Karno ke Bogor untuk menyatakan hal itu. “Kami semua, di meja makan itu, sepakat dengan pernyataan Amirmachmud. Kebetulan ada Jenderal Sarbini selaku Menteri Pertahanan,” ujar Achadi. (roso daras)

Published in: on 29 April 2013 at 11:34  Comments (8)  
Tags: , , , , , , ,

Sukarnois “Bandel” itu Meluncurkan Buku

Bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober lalu, H. Amin Arjoso, SH meluncurkan bukunya. Tokoh Sukarnois ini menuangkan perjalanan perjuangan menegakkan kembali UUD 1945, setelah diobok-obok melalui proses empat kali amandemen ngawur. Amin Arjoso sendiri menyebut konstitusi kita saat ini dengan nama UUD 2002.

Dalihnya, terdapat perbedaan mencolok. Bukan saja dalam hal membengkaknya jumlah pasal, tetapi juga perubahan pada dihilangkannya penjelasan, dan tentu saja masuknya pasal-pasal yang secara politik dan ekonomi menjadikan konstitusi kita begitu liberal. Dampak amandemen masih tersisa sampai sekarang. Kita menjadi terjajah secara ekonomi, tidak lagi berdaulat di bidang politik, bahkan di bidang kebudayaan pun kita seperti kehilangan arah.

Bersama M. Achadi, Eddi Elison, Azis Arjoso dan Giat Wahyudi, saya merasa terhormat terlibat dalam penyusunan buku “Pemikiran dan Perjuangan Amin Arjoso Menegakkan Kembali UUD ’45”. Proses penyusunan bukunya sendiri relatif tidak terlalu sulit, karena semua pemikiran dan perjuangan Amin Arjoso terdokumentasi dengan baik.

Buku ini adalah buku terlengkap yang memuat latar belakang (konspirasi) amandemen UUD 1945, praktik-praktik kotor di seputar amandemen, hingga dampak yang ditimbulkan akibat amandemen. Selain itu, buku ini juga memuat testimoni rekan-rekan seperjuangan Amin Arjoso. Dari komentar rekan-rekannyalah keluar istilah “bandel”… “keras kepala”…  serta banyak apresiasi, sanjungan, dan pujian atas kegigihannya memperjuangkan kembalinya UUD 1945 yang asli.

Sedikit riwayat Amin Arjoso juga tergambar di buku ini. Sekalipun tidak mendetail, kita jadi tahu bagaimana sebagai anggota GMNI dan Sukarnois tulen, ia terpaksa harus mendekam di sel tahanan Orde Baru bersama Sukarnois-Sukarnois lain.  Sebagai advokat, buku ini juga mengisahkan, bagaimana sebagai eks Tapol ia berusaha eksis di rezim Orde Baru. Sebagai manusia, buku ini juga membeberkan kesukaannya makan makanan enak, sekalipun untuk itu harus ia tebus dengan serangan stroke.

Sebagai sebuah buku, sebagai salah satu penyusun, saya sendiri merasa belum puas. Proses produksi yang terkesan tergesa-gesa mengakibatan finishing-nya kurang sempurna. Masih juga dijumpai typo error di sejumlah halaman. Sekalipun begitu, buku ini bakal menjadi catatan maha penting bagi perjalanan sejarah kebangsaan kita. Inilah satu-satunya buku yang mendokumentasikan secara lengkap proses amandemen keblinger atas UUD 1945 kita. (roso daras)

Published in: on 30 Oktober 2010 at 03:40  Comments (1)  
Tags: , ,

Dewi Ngambek, Bung Karno Lolos dari Pembunuhan

Dewi dan SukarnoGerakan 30 September atau G-30-S, atau ada yang lebih suka menyebut Gerakan 1 Oktober atau Gestok, pada hakikatnya sama, yakni sebuah tragedi berdarah yang merenggut tujuh perwira TNI-AD. Catatan sejarah mengenai peristiwa kelabu itu, ditandai dengan episode sebuah aksi terkutuk yang diprakarsai Partai Komunis Indonesia (PKI). Karenanya, istilah G-30-S selalu diikuti dengan garis miring PKI.

Berbagai publikasi mengenai perisitwa tersebut sudah banyak beredar. Bahkan, berbagai diskusi, seminar, sarasehan acap digelar. Khususnya menjelang akhir September. Serpihan sejarah bermunculan, mulai dari keterlibatan CIA hingga keterlibatan –langsung atau tidak langsung– mantan penguasa Orba, Soeharto. Dalam pada itu, beredar pula publikasi yang mencoba mengukuhkan stigma bahwa Sukarno juga telibat, langsung atau tidak langsung dalam peristiwa tersebut.

Yang pasti, pasca G-30-S, pasca Gestok, yang secara kasat mata membenturkan Dewan Revolusi dan Dewan Jenderal, berakibat pada upaya sistematis menjatuhkan kredibilitas Sukarno sebagai Presiden. Adapun tujuh perwira yang menjadi korban kebrutalan oknum pasukan Resimen Cakrabirawa itu, adalah Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI Soeprapto, Mayjen TNI Harjono MT, Brigjen TNI Sutojo Siswomihardjo, Mayjen TNI  S. Parman, Brigjen TNI D.I.Panjaitan dan Lettu Pierre Tendean.

Nah, tahukah Anda, bahwa di balik itu semua, sejatinya Dewan Revolusi juga mengancam nyawa Presiden Sukarno? Kesaksian ini diungkapkan Moch. Achadi, mantan Menteri Transmigrasi dan Koperasi (Mentranskop) Kabinet Dwikora. Mengurai kesaksiannya ihwal peristiwa genting itu, sungguh laksana membayangkan sebuah lakon drama yang mencekam.

Kisah bermula dari Rapat Teknik, 30 September 1965 malam di Istora Senayan, Jakarta. Sesuai jadwal, usai memberi pidato, Bung Karno kembali ke Istana, karena esok paginya, 1 Oktober 1965, ia harus menerima sejumlah tamu untuk urusan negara.  Memang, dalam skenario gerakan, malam itu semua “objek” diatur sedemikian rupa supaya pada malam 1 Oktober 1965 ada di rumah masing-masing.

Ratna Sari Dewi SukarnoItulah mengapa, penculikan para jenderal berlangsung mulus, karena pada malam itu memang semua ada di rumah masing-masing. Bagaimana dengan Bung Karno? Inilah yang terkait erat dengan judul di atas… ya… terkait dengan ngambeknya Ratna Sari Dewi, istri Bung Karno nan jelita yang berdarah Jepang itu.

Syahdan, tanggal 29 September 1965 malam adalah giliran Bung Karno mengunjunginya di kediaman Wisma Yaso, sekarang Museum Satria Mandala di Jl. Gatot Subroto. Namun karena kesibukan yang luar biasa, Bung Karno lupa tidak mengunjungi Dewi. Maka, Dewi pun ngambek dibuatnya. Nah, esok malamnya, 30 September 1965, Dewi mengajak Ny. Sjarief Thayeb, istri Menteri Perguruan Tinggi, bersenang-senang di klub malam Hotel Indonesia.

Peristiwa itu diketahui oleh Letkol (Tit) Suparto. Dia adalah sopir, sekaligus orang dekat Bung Karno, khususnya pada hari itu. Dalam perjalanan dari Istora Senayan menuju Istana, melalui obrolan ringan, Suparto melapor ke Bung Karno. “Bu Dewi ngambek lho pak….” Awalnya hanya pernyataan pancingan. Namun ketika Bung Karno merespons antusas, barulah Suparto melanjutkan, “Bapak kan kemarin harusnya mengunjungi Bu Dewi, tetapi Bapak tidak ke sana.”

Atas laporan Suparto, Bung Karno makin antusias menyelidik dan mencari tahu cerita selanjutnya. “Yaaa… sekarang Bu Dewi sedang di kelab malam di Hotel Indonesia bersama Ibu Sjarief Thayeb.” Spontan Bung Karno mengeluarkan perintah dadakan, dan hanya Suparto yang tahu perintah itu. Intinya, “Lekas kembali ke Istana. Tukar mobil dan tukar pakaian, langsung keluar lagi ke Hotel Indonesia, jemput Bu Dewi.”

Itulah peristiwa 30 September 1965 malam. Sekembali ke Istana, Bung Karno bertukar pakaian, lalu keluar lagi bersama Suparto menjemput Dewi di Hotel Indonesia. Sesampai di pelataran parkir, Bung Karno menyuruh Suparto masuk, menjumpai Dewi dan memberi tahu ihwal kedatangannya menjemput.

Demi mendapati kedatangan Suparto dan informasi yang disampaikan, Dewi pun bergegas keluar kelab malam dan menemui Bung Karno yang sudah menunggu di dalam mobil. Cerita berlanjut ke Suparto membawa pasangan Bung Karno – Dewi ke Wisma Yaso. Di sanalah Bung Karno menghabiskan malam berdua istrinya yang jelita.

Kisah berlanjut pagi hari, ketika Brigjen Supardjo datang ke Istana hendak menjumpai Bung Karno. Sebagai pentolan Cenko (Central Komando) PKI, Supardjo mendapat tugas untuk meminta persetujuan Bung Karno atas gerakan Dewan Revolusi yang menghabisi apa yang disebut Dewan Jenderal. Perintah Cenko PKI kepada Supardjo adalah, kalau Bung Karno menolak menandatangani persetujuan pembantaian Dewan Jenderal, maka Supardjo harus membunuh Bung Karno pagi itu juga. Seketika.

Apa yang terjadi? Bung Karno tidak ada di Istana. Ajudan dan pengawal yang ada di Istana pun tidak tahu di mana Bung Karno berada. Bisa dimengerti, karena yang mengetahui peristiwa malam itu hanya Bung Karno dan Suparto, sopir dan orang dekat yang mendampingi Bung Karno 30 September 1965.

Sementara itu, pada episode yang lain, Bung Karno bersama Suparto meninggalkan Wisma Yaso pagi hari hendak kembali ke Istana. Apa yang terjadi? Di luar Istana tampak keadaan yang mencurigakan, banyak pasukan tak dikenal. Pengawal spontan membelokkan arah mobil Bung Karno ke Slipi, ke kediaman istri yang lain, Harjatie. Dari Slipi itulah pengawal dan ajudan berkoordinasi mengenai situasi genting yang sedang terjadi.

Satu hal yang bisa dipetik dari peristiwa 30 September 1965 malam, adalah, kalau saja Dewi tidak ngambek…. Kalau saja Suparto tidak melaporkan kepada Bung Karno ihwal ngambeknya Dewi…. Kalau saja Bung Karno tidak berinisiatif menjemput Dewi di Hotel Indonesia dan pulang ke Wisma Yaso…. Bung Karno pasti sudah ditembak mati Supardjo. Mengapa? Semua kalkulasi tidak akan menyimpulkan Bung Karno tunduk pada Supardjo dan menandatangani persetujuan gerakan Dewan Revolusi. Dan ketika Bung Karno menolak tanda tangan, sudah jelas apa yang terjadi, Supardjo harus menembak mati Bung Karno saat itu juga.

achadi2Bagaimana rangkaian kisah di atas tersusun? Adalah Moch. Achadi, yang secara kebetulan adalah paman dari Sutarto, sopir Bung Karno pada 30 September 1965, sehingga ia mengetahui dari Sutarto langsung peristiwa tadi. Kemudian, secara kebetulan pula, ketika Achadi ditahan penguasa Orde Baru, ia berdekatan dengan sel Brigjen Supardjo yang bertugas mengeksekusi Bung Karno seandainya tidak memberi restu kepada Dewan Revolusi. Begitulah sejarah terbentuk. Begitulah kebenaran mengalir menemukan jalannya sendiri.  (roso daras)