Pada bagian ini, Ratna Sari Dewi kepada Soeharto mulai menyoal perlakuan yang tidak manusiawi kepada Sukarno. Selain itu, dalam suratnya, Ratna Sari Dewi juga menyinggung persepsi, opini, dan pandangan dia tentang kebijakan-kebijakan Sukarno. Berikut kutipannya:
Sukarno sekarang menjalani hidup yang amat sulit. Hak-hak manusia yang paling minim pun tidak diberikan kepadanya. Satu-satunya saat ia bisa meninggalkan pengasingannya ialah untuk menghadiri upacara perkawinan anak-anaknya. Mobilnya kemudian dikawal oleh kendaraan panser dan siapa pun dicegah untuk mendekatinya. Ketika Sukarno pada upacara seperti itu, berdiri untuk mencium mempelai, yakni putrinya, dengan kasar ia ditarik kembali duduk di sofa oleh polisi militer yang mengawalnya, sementara matanya ditutup agar orang tidak bisa membuat foto.
Bila saya mengalami perlakuan seperti itu, saya sudah lama musnah. Tetapi justru, oleh karena Sukarno memiliki kekuatan rohani yang amat dalam dan kemauan yang amat kuat, siksaan semacam ini masih bisa ditanggulanginya. Saya hanya sangat khawatir: bila di depan umum saja ia telah diperlakukan seperti itu, bagaimana dia diperlakukan bila dia sendiri? Secara fisik ia bisa dihancurkan, tetapi mereka tidak akan bisa memusnahkan jiwanya. Dalam hal ini, ia tetap hidup.
Sukarno telah membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda selama 350 tahun. Dia adalah Bapak bangsa. Setelah menderita selama tiga belas tahun dalam tahanan dan penjara oleh orang Belanda, dia berhasil membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan setelah perang kemerdekaan tahun 1945 sampai 1949. Tanpa pimpinan dan bimbingan Sukarno, pada saat ini Anda tidak akan berada pada posisi Anda sekarang.
Sukarno menciptakan Undang-undang Dasar yang demokratis dan mendirikan suatu lingua franka bagi Indonesia. Orang yang mengorbankan jiwa raganya untuk bangsanya, tidak layak diperlakukan seperti itu. Dia pantas dihormati sesuai dengan jasa-jasanya.
Sukarno tidak akan pernah mengizinkan dilakukan pengkhianatan, atau direncanakannya pembunuhan sesama saudara secara besar-besaran. Saya tidak bisa bungkam dan membisu, sementara suami saya menjadi pelampiasan kekerasan. Bagi saya nilai yang tertinggi adalah: kesucian.
Saya sangat yakin bahwa tindakan yang paling rendah yang dilakukan seseorang terhadap sesamanya adalah membiarkan korbannya itu mati tersiksa. Kami ingat kepada pepatah Jepang yang bunyinya, “Mencekik seseorang dengan kain sutera”. Dan, Anda, Tuan Soeharto membiarkan Sukarno disiksa secara rohani dan jasmani.
Tidak pernah saya memperdengarkan suara saya, baik langsung maupun tidak langsung, karena saya sadar betul betapa banyak dan beratnya problema yang harus Anda tangani. Tetapi sekarang saya berbicara secara umum dan terbuka, pertama-tama demi keselamatan jiwa Sukarno. Ketika Sukarno mengalih-tugaskan jabatannya dan mengangkat Anda sebagai penggantinya 7 Maret 1967, dia melakukannya dengan tiga syarat. Salah satunya adalah agar Anda melindunginya dan keluarganya. Anda tidak menepati syarat itu dan mengingkari janji Anda.
Dalam suatu wawancara dengan pers Jepang mengenai korupsi di Indonesia, Anda antara lain mengatakan, “Mengenai pertanyaan tentang korupsi, orang mengatakan bahwa itu masih tetap terjadi. Tetapi itu adalah akibat dari sisa-sisa rezim Sukarno. Dan untuk sementara masih tetap akan berlangsung, karena hal itu sejak dulu sudah terjadi”.
Apabila kata-kata yang Anda ucapkan itu benar-benar datang dari lubuk hati Anda, maka itu merupakan suatu pembelaan. Hanya seorang pengecut dan seorang yang berjiwa rendah yang berlindung di belakang Sukarno saat menjelaskan korupsi yang terjadi sekarang. Ketika Anda melakukan itu, hilanglah sudah rasa hormat saya yang terakhir kepada Anda.
Selama ada manusia, wajar bahwa mereka yang menang otomatis berada di pihak yang benar dan mereka yang kalah bisa dituduh melakukan apa saja. Apabila Anda secara jujur benar-benar mau menyelidiki korupsi, sebagai warga negara Indonesia, saya bersedia dengan sungguh-sungguh untuk membantu Anda dalam tugas itu. Saya bersedia menghadiri pengadilan terbuka, apalagi saya bisa bertindak sebagai penuntut. Tetapi proses seperti ini harus disalurkan lewat undang-undang dan norma-norma yang berlaku dan tidak diatur secara tertutup dalam suasana ketakutan, kekerasan dan penyalahgunaan wewenang. Itu akan menjadi syarat mutlak bagiku.
Sukarno adalah pahhlawan Revolusi Indonesia. Tetapi menurut pendapatku yang sederhana, hal ini tidak perlu berarti bahwa orang ini juga akan menjadi pemimpin nasional yang baik dalam waktu damai. Saya kira, bila Sukarno melewatkan masa remaja dan masa mahasiswanya di luar negeri, dia pasti akan lebih berhasil mendapatkan perasaan dan kesadaran ekonomi dan menambahkannya pada kapasitas kepemimpinannya yang istimewa itu. Menurutku, rupanya suatu kesalahan bahwa dia menyuruh menasionalisasikan sarana produksi.
Tambahan pula, Sukarno tidak pernah merasakan mempunyai “rumah” dalam arti yang sebenarnya. Andaikata dia pernah mengalami kehidupan berkeluarga dalam arti moral dan etis yang sebenarnya, seperti yang lazimnya dianggap masyarakat, maka ia barangkali akan menjadi seorang presiden yang lebih baik dari sebuah negara yang dipimpin secara sosialis. Tetapi keadaanlah yang mengubahnya menjadi seorang figur kaisar. Dan dengan demikian dia akan menjadi korban dari kekuasaannya sendiri yang mahadahsyat itu.
Sukarno selalu saya kagumi dan hormati sebagai seorang tokoh yang besar, tetapi seperti juga Anda ketahui benar, Bapak Soeharto, saya tidak selalu setuju dengan pendapatnya. Misalnya saja pendapat saya bahwa Pancasila, ciptaan Sukarno (agama, kemanusiaan, demokrasi, nasionalisme dan keadilan sosial) adalah suatu bentuk idealisme murni. Walaupun idealism barangkali sangat diharapkan, namun belum tentu dapat dipraktekkan dalam abad ke-20 ini. Indonesia jelas belum matang untuk bentuk demokrasi Barat. Dengan alasan itulah Sukarno menganjurkan “demokrasi terpimpin”, terutama juga karena sebagian besar penduduk belum mencapai tingkat pendidikan dan tingkat sosial yang sama.
Dalam hal ini saya setuju dengan pendapatnya. Tetapi di pihak lain, Sukarno mengarahkan politiknya ke cita-cita yang lebih tinggi. Maka tak dapat dihindarkan bahwa dia kemudian mendapatkan kritik tajam, terutama mengenai pandangannya dalam memperbaiki nasib masyarakat secara keseluruhan. Sukarno seharusnya berpikir lebih realistis. Di dalam suatu kurun waktu, di mana dia bisa menjadi penguasa tunggal dia tentu bisa memaksa orang untuk menuruti cita-citanya. Tetapi sebagian besar rakyat lebih peduli untuk memperbaiki kehidupan sehari-hari daripada mengikuti idealismenya. Orang harus akan kenikmatan-kenikmatan materialistis, dan orang makin tidak tertarik untuk mendengarkan pidato-pidato, yang tidak mengisi perut. (roso daras/bersambung)