Kisah Bayi Kusno yang Sekarat dan Denmas Mendung

Kisah Bayi Kusno

Awal mula keterkaitan Dusun krapak. Desa Pojok Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri dengan Sukarno tak bias lepas dari riwayat penyakit Sang Proklamator RI tersebut. Juga, dengan sosok yang dikenal sebagai Denmas Mendung.

Riwayat penyakit masa kecil Bung Karno sempat disinggung sekilas dalam buku “Penyambung Lidah Rakyat” karya Cindy Adams. Dalam buku yang berisi hasil wawancara wartawan Amerika yang pernah bertugas di Jakarta pada 1960-an itu, Bung Karno mengatakan:“Namaku ketika lahir adalah Kusno. Aku memulai hidup ini sebagai anak yang sakit-sakitan. Aku terkena malaria, disentri, semua penyakit dan setiap penyakit. Bapak berpikir, namanya tidak cocok. Kita harus memberikan nama lain supaya tidak sakit-sakitan lagi.”

Kisah tentang penyakit dan perubahan nama kecil Bung Karno itulah yang dibeber cukup banyak dalam buku karya Dian Sukarno ini. Kusno kecil mulai sakit-sakitan setelah ayahnya, Raden Soekeni, yang menjadi guru dimutasi oleh Pemerintah Hindia Belanda dari Surabaya ke Ploso, Jombang.

Saat itu, Kusno masih berusia enam bulan. Pindah ke daerah kering dan berkapur di deretan Pegunungan Kabuh, bayi Kusno menjadi sering sakit-sakitan. Bahkan, suatu ketika sampai pada masa kritisnya dan nyaris meninggal. Inilah yang membuat orang tuanya, Raden Soekeni dan Idayu Nyoman Rai Srimben, kebingungan

Di saat itulah Soekeni mendengar keberadaan seorang berkemampuan lebih yang sering dimintai tolong warga sekitar kala kesusahan. Termasuk, kala mendapatkan penyakit. Orang-orang menyebutnya dengan nama Denmas Mendung. Tinggalnya di Kedungpring, Kabuh. Berjarak sekitar empat kilometer dari tempat tinggal Soekeni.

Dalam keadaan kritis, bayi Kusno yang belum genap setahun digendong Soekeni untuk dilarikan ke rumah Denmas Mendung. Ditemani seorang tetangga, mereka menaiki dokar menembus jalanan hutan Kapur.

Sesampaiainya di sana, Soekeni menunggu di luar. Bayi Kusno di bawa masuk kepada Denmas Mendung oleh tetangganya. Orang ‘sakti’ yang asaI usulnya misterius bagi penduduk sekitar itu bersedia menolongnya. Namun, dia mempunyai syarat. Yakni, jika Tuhan berkehendak untuk menyembuhkannya, ia ingin mengambil bayi Kusno sebagai anak angkatnya. Selain itu, nama Kusno harus diganti karena nama tersebut terlalu berat bagi sang bayi.

Soekeni tidak keberatan. Hingga, singkat cerita, lewat tangan Denmas Mendung, Tuhan menyembuhkan bayi Kusno yang kala itu sudah tidak bisa apa-apa dan nyaris meninggal. Soekeni pulang dengan hati girang bukan kepalang. Dia tak henti-hentinya bersyukur kepada Tuhan. Kabar gembira itu pula yang langsung disampaikannya kepada sang istri, Idayu Nyonian Rai, setiba di rumah. Idayu pun menyambut penuh syukur. Tapi, dia sangat penasaran dengan sosok Denmas Mendung itu. (adi nugroho/ hid/bersambung).* Diketik ulang dari Jawa Pos Radar Kediri edisi Minggu 7 Juli 2013

Waspadalah… Waspadalah…!!!

biografi BK Cindy Adams

Mengapa Bung Karno dan Bung Hatta disebut “dwi-tunggal”? Dua dalam satu? Lebih karena keduanya adalah simbol bangsa yang sama-sama anti terhadap kolonialisme, dan sama-sama berjuang untuk melepaskan diri dari penjajah. Sejarah pun kemudian mencatatkan kedua nama itu sebagai Pahlawan Proklamator. Ya, proklamator kemerdekaan Indonesia dari penguasaan penjajah.

Apakah “dwi-tunggal” harus identik dengan kesamaan dalam segala hal? Sama sekali tidak! Bung Karno dan Bung Hatta, bila mau dikiaskan dalam bahasa yang hiperbolis, barangkali ibarat siang dan malam, ibarat langit dan bumi, ibarat hitam dan putih. Antara siang dan malam, ada temaram senja mengiring sun-set yang indah. Antara langit dan bumi, ada cakrawala horison yang melambungkan imajinasi siapa saja yang menatapnya. Antara hiam dan putih, ada abu-abu sebagai sebuah misteri yang sungguh misterius.

Bung Karno dan Bung Hatta, sejatinya adalah dua pribadi yang sama-sama kuat. Dua karakter yang sama-sama menonjol. Jika kemudian mereka bersatu, tidak ada kekuatan apa pun bisa menghadang. Pertautan keduanya, terjalin sejak zaman pra kemerdekaan, hingga keduanya memuncaki pemimpin bangsa sebagai presiden dan wakil presiden, serta akhirnya “berpisah”, karena Hatta kemudian mundur dari jabatan Wapres, dan Bung Karno tak sudi menggantikan posisi Hatta dengan kader bangsa mana pun.

Sebagai dua pejuang dengan latar belakang intelektualitas berkadar tinggi, tentus saja yang namanya perdebatan dan perselisihan pendapat adalah sebuah keniscayaan bagi keduanya. Pendek kata, dalam rangka mempertahankan prinsip, keduanya sama-sama kuat. Perbedaan mereka bahkan sampai pada tahap menyepakati untuk berpisah dan memakai jalan masing-masing dalam sama-sama berjuang menuju Indonesia merdeka. Bung Hatta dengan konsep mendidik rakyat untuk melek politik terlebih dulu…. Bung Karno langsung menggalang kekuatan rakyat untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah bedebah.

Akan tetapi, di luar itu semua, keduanya sungguh dua manusia biasa. Dua manusia dengan perasaan yang begitu normal. Mereka juga bercanda dengan sangat intim. Bahkan Bung Karno sendiri yang melamarkan Rahmi untuk bersedia diperistirkan Hatta yang ketika itu, dalam usia sudah berkepala 4 tetapi belum juga menikah. Masih banyak aspek-aspek manusiawi lain yang terjalin dengan begitu kuat di antara keduanya. Bahkan, di detik-detik menjelang kematiannya, Bung Karno, dalam kondisi tak lagi berdaya… hanya bisa mengucap kata, “Hat…ta…” saat melihat sahabatnya itu datang mengunjunginya. Tangan keduanya saling menggenggam, mata mereka beradu pandang, mulut terkunci, air mata keduanya beruraian.

Nah, jalinan yang begitu kokoh antara keduanya, pernah hampir dirusak oleh tangan-tangan laknat, yang besar kemungkinan antek penguasa rezim Orde Baru. Dalam buku biografi “Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” tulisan Cindy Adams keduanya hendak dicerai-beraikan dengan menambahan alinea yang lebih dari sekadar biadab. Selain manipulatif, juga sangat provokatif. Berikut kutipannya:

“Tidak ada yang berteriak ‘Kami menghendaki Bung Hatta’. Aku tidak memerlukannya. Sama seperti aku tidak memerlukan Sjahrir yang menolak untuk memperlihatkan diri di saat pembacaan proklamasi…. Sebenarnya aku dapat melakukannya sendirian. Di dalam dua hari yang memecahkan urat syaraf itu maka peran Hatta dalam sejarah tidak ada”.

“Peranannya yang tersendiri selama perjuangan kami tidak ada. Hanya Soekarno-lah yang tetap mendorongnya ke depan. Aku memerlukan orang yang dinamakan ‘pemimpin’ ini karena satu pertimbangan. Aku memerlukannya oleh karena aku orang Jawa dan dia orang Sumatera dan di hari-hari yang demikian aku memerlukan setiap orang denganku. Demi persatuan aku memerlukan seorang dari Sumatera. Dia adalah jalan yang paling baik untuk menjamin sokongan dari rakyat pulau yang nomor dua terbesdar di Indonesia”.

Dua alinea di atas, sungguh mengesankan sosok Bung Karno yang arogan. Bung Karno yang SARA. Bahkan kalimat itu sempat menjadi referensi sejumlah tokoh bangsa kita seperti Prof Dr Ahmad Sjafii Maarif. Beruntung, seperti berulang saya sitir, bahwa sejarah senantiasa akan mengalir menemukan jalan kebenarannya sendiri.

Syahdan, tahun 2007, Syamsul Hadi sang penerjemah menemukan bahwa kedua alinea tersebut tidak ada dalam buku edisi bahasa Inggris (edisi asli yang ditulis Cindy Adams). Sejarawan Asvi Marwan Adam pun menduga dalam bukunya, bahwa ada orang yang sengaja menambahkan dua paragraf yang mengadu domba antarpemimpin Indonesia itu. Siapa durjana itu?

Syukurlah, biografi Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang diterbitkan ulang tahun 2007, kedua alinea hasil rekayasa tangan laknat itu telah dihapuskan. (roso daras)

Published in: on 19 Februari 2013 at 05:04  Comments (8)  
Tags: , , , ,

John D. Legge, Tidak Paham Sukarno

Hanya Sukarno, satu-satunya Presiden di dunia (pada zamannya) yang paling banyak disorot penulis asing. Baik penulis buku yang berlatar belakang akademisi (untuk tujuan penelitian atau penyusunan disertasi), juga oleh para jurnalis manca negara.

Di antara sekian buku yang ditulis penulis asing, yang paling menarik dan “soheh” barangkali An Autobiography as told to Cindy Adams (Indianapolis, 1965). Buku lain Cindy Adams adalah “My Friend the Dictator” (Indianapolis, 1967). Penulis dan peneliti lain yang pernah bersinggungan dengan tema Bung Karno antara lain Bernhard Dahm, George Mc.T Kahin, Lambert Giebels, John D. Legge, dan masih banyak lainnya.

Dari sekian buku yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan kini singgah di “privat library” saya, beberapa di antaranya saya baca lebih dari sekali. Salah satunya adalah karya John D. Legge yang berjudul “Sukarno, Biografi Politik”. Ada yang spesial pada buku yang bisa mendorong pembacanya, membaca lebih dari sekali.

Adakah yang spesial dari karya John D. Legge? Ada! Yakni pada ketidakmampuan Legge menafsir kebijakan politik Sukarno. Yakni pada kependekan nalar Legge dalam mencerna latar belakang sejarah dan budaya Indonesia. Yakni pada kesombongannya untuk mengkritik langkah-langkah Sukarno. Yakni pada ketidakpeduliannya tentang hakikat indepensi sebagai seorang penulis.

Karenanya, banyak sekali kabar burung yang ditimbrungkan bersama narasi yang terkesan ilmiah. Ini justru mementahkan karya tulisnya. Tidak sedikit, kalimat-kalimatnya bernada “menghakimi”. Ini sama sekali melanggar dari hakikat indepensi sebagai seorang penulis. Apalagi penulis “biografi politik” dari seorang Presiden yang punya nama begitu besar pada zamannya.

Saya hanya bisa menduga, karya tulis Legge bagian tak terpisahkan dari sebuah skenario global untuk menenggelamkan nama Sukarno dari sejarah politik dunia. Tetapi apakah Legge layak kita benci? Tentu saja tidak. Saya bahkan membaca karyanya lebih dari sekali. Bahkan jika Anda masih menjumpainya di rak toko buku, saya pun akan menyarankan untuk mengoleksinya.

Betapa pun, ini adalah satu dari sekian buku tentang Sukarno. Lepas dari apakah buku itu masuk kategori “ilmu” atau “sampah”, tetap punya arti. Bung Karno sendiri, saya yakin, tidak akan keberatan dengan karya Legge. Mungkin saja, Bung Karno akan mendamprat Legge, tetapi sekaligus ia akan bicara untum meluruskan.

Sayang, Bung Karno tidak sempat melakukan itu. Sebab, buku itu terbit justru di saat kekuatan dunia mati-matian mengubur Bung Karno, ya jazad, ya gagasan besarnya. (roso daras)

Published in: on 15 September 2011 at 15:44  Comments (3)  
Tags: , ,

Cindy Adams, Pilihan Bung Karno

Waktu terus bergulir, sejak Dubes AS untuk Indonesia, Howard Jones mengajukan usul kepada Bung Karno untuk menuliskan biografinya. Tahunnya masih tahun 60-an. Pada pertemuan yang kesekian, Dubes Howard belum berputus-asa membujuk Bung Karno. Masih dengan alasan-alasan yang ia kemukakan dengan begitu serius dan sungguh-sungguh.

Tibalah saatnya Bung Karno menanggapinya dengan menyeringai, “Dengan satu syarat, saya mengerjakannya dengan Cindy Adams!” Howard kaget. Senang bercampur entahlah.

Rupanya, selang beberapa saat setelah pertemuan dengan Howard di Istana Bogor, Bung Karno bertemu dengan wartawan Amerika Serikat bernama Cindy Adams. Dia adalah istri dari pelawak Joey Adams, yang tengah memimpin misi kesenian Presiden Kennedy ke Asia Tenggara.

Selain cantik, Cindy adalah seorang penulis yang ceria, gemar berkelakar, dan… selalu berdandan rapi. Berbicara dengan Cindy, sangat menyenangkan Bung Karno. Dalam salah satu kesaksiannya ia mengatakan bahwa, “Orang Jawa selalu bekerja dengan insting. Seperti ketika saya mencari seorang press officer, kemudian bertemu dengan Rochmuljati, saya segera tahu, dialah yang saya cari, dan segera saya pekerjakan dia. Demikian pula dengan Cindy.”

Laksana menerima durian runtuh, Cindy menerima tugas itu dengan suka cita. Terlebih setelah tahu, bahwa sudah banyak penulis, baik dari dalam maupun luar negeri yang memohon-mohon menjadi penulis biografi Bung Karno, tetapi semua ditolak.

Sekalipun berkebangsaan Amerika Serikat, Bung Karno menilai Cindy dapat memahami dan merasakan denyut nadi bangsa Indonesia. Tulisan Cindy juga dinilai jujur dan dapat dipercaya. Pendek kata, Bung Karno begitu menyukai Cindy. Katanya, “Cindy adalah penulis yang paling menarik yang pernah kujumpai!”

Wawancara dilakukan dalam bahasa Inggris. Bung Karno mengaku, sesekali membuat kesalahan dalam tata-bahawa, dan sering pula berhenti pada satu kalimat karena ia merasakan adanya kekakuan dalam kalimat yang ia utarakan. Begitulah wawancara terus mengalir dengan lancar hingga tersusunlah buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Kepada pembaca buku biografinya, Bung Karno juga memiliki pesan tersendiri.  Begini ia bertutur, “Kuminta kepadamu, pembaca, untuk mengingat bahwa, lebih daripada bahasa kata-kata yang tertulis adalah bahasa yang keluar dari lubuk-hati. Buku ini ditulis tidak untuk mendapatkan simpati atau meminta supaya setiap orang suka kepadaku. Harapan hanyalah, agar dapat menambah pengertian yang lebih baik tentang Sukarno dan dengan itu menambah pengertian yang lebih baik terhadap Indonesia tercinta.” (roso daras)

Published in: on 18 Oktober 2010 at 10:40  Comments (14)  
Tags: , ,

Bung Karno sebagai “Tukang Insinyur”

rumah karya bung karno

Kuliah teknik sipil di THS Bandung (sekarang ITB) adalah sisi kehidupan lain seorang Sukarno muda. Tokoh pergerakan, adalah peran lain yang dimainkannya. Nah, dalam mendayung sampan perjuangan di sungai berbatu cadas, terkadang ia meliuk ke kiri, meliuk ke kanan… terkadang ia menabrak pula bebatuan keras yang membuatnya limbung.

Di lingkungan kampus, Sukarno pun sempat aktif di organisasi kemahasiswaan, semacam studie club. Akan tetapi, manakala klub mahasiswa yang sebagian besar berisi mahasiswa bule itu lebih banyak menjalankan program pesiar dan plesiran, Bung Karno pun menyempal dan mendirikan kelompok studi lain. Langkah dia, segera diikuti mahasiswa-mahasiswa pribumi, pengikut setianya.

Bertahun-tahun setelah ia mendayung kedua peran sebagai mahasiswa dan tokoh pergerakan, tentu saja Sukarno mengalami banyak kejadian. Ia ditangkap polisi Belanda untuk pertama kali tahun 1922, pun dalam status sebagai seorang mahasiswa. Ia pernah digrebek di rumahnya bersama sejumlah akivis lain, juga masih dalam status sebagai mahasiswa.

Bahkan, ketika hantaman datang bertubi-tubi, mulai dari peristiwa penangkapan, disusul ditangkapnya guru sekaligus mertua, H.O.S. Cokroaminoto, dan banyak kejadian lain, sempat memunculkan awan pekat di ujung sungai sana. Ia nyaris berhenti mendayung. Ya… nyaris berhenti kuliah. Berhenti meneruskan cita-cita pergerakan menuju Indonesia merdeka.

Akan tetapi, ingatkah Anda? Seorang anak yang lahir di saat sang fajar menyingsing, takdirnya telah ditentukan. Ingatkah pula Anda? Sang ibunda, yang mengandung dan melahirkannya, Ida Ayu Nyoman Rai, mendekap tubuh kecil Sukarno di beranda depan, saat matahari mengintip di ufuk sana, seraya menujum masa depan putranya yang gilang-gemilang. Menerawang masa depan putra tersayang yang bakal menyandang takdirnya menjadi pembebas belenggu penjajah yang melilit bangsanya.

Awan pekat pun tersibak. Cokroaminoto bebas, Sukarno kembali ke bangku kuliah. Dan… aktivitas pergerakan kembali menjadi rutinitas hidupnya. Ia melanjutkan kuliah dengan gelora semangat baru. Mungkin saja karena ia baru saja melewati satu tanggung jawab besar sebagai kepala rumah tangga, atau mungkin juga karena ia kembali ke kota Bandung, ke rumah kos dengan Inggit Garnasih di dalamnya.

Kuliah berhasil diselesaikan. Nilai kelulusan? Ah… mana terjadi mahasiswa pribumi melampaui nilai-nilai mahasiswa bule. Pribumi harus di bawah bangsa bule. Sepintar apa pun dia. Sukarno tahu betul hal itu. Ia sudah terbiasa dengan hal-hal semacam itu sejak masa sekolah ELS di Mojokerto, HBS di Surabaya.

Bung Karno sendiri tidak terlalu memedulikan masalah itu. Ia lebih peduli politik. Ia lebih peduli menyusun kekuatan pergerakan melawan penjajah. Ia lebih peduli mewujudkan Indonesia yang merdeka. Indonesia yang tidak lagi membungkuk-bungkuk di hadapan bule. Indonesia yang tidak bisa begitu saja diludahi bangsa penindas.

Hanya orang dengan kepedulian seperti itu saja, yang rela hidup miskin, sekalipun tawaran menjadi pejabat dan pegawai di pemerintahan Hindia Belanda terbuka lebar, apalagi bagi seorang sarjana teknik, “tukang insinyur” cerdas seperti Sukarno. Ia lebih suka menerbitkan koran, memungut uang langganan, uang iklan, dan mendapatkan sedikit uang untuk dana perjuangan. Dengan media ia bisa berpropaganda. Dengan uang yang dihasilkan, ia bisa mendanai hidup dan perjuangannya.

Memang, Bung Karno sempat pula mencari nafkah dengan menjual keahliannya sebagai seorang insinyur. Ia mendirikan biro teknik, biro arsitek, tetapi tidak berhasil. Ada banyak faktor, tetapi yang pasti, ia gagal. Kemudian selepas dari penjara Sukamiskin, sekira tahun 1932, ia bergabung dengan Ir. Rooseno dan kembali mendirikan biro arsitek.

Biro arsitek yang didirikannya, lagi-lagi tidak sukses. Orang-orang lebih menyukai arsitek ala Tionghoa atau Belanda. Alhasil, tidak jarang untuk bayar sewa kantor yang 20 rupiah, telepon yang 7,5 rupiah, biro ini harus menombok. Bung Karno menomboki usaha yang merugi? Bukan. Rooseno-lah yang nombok. Sebab, Rooseno berpenghasilan lebih besar lagi sebagai pengajar. Kantong Rooseno jauh lebih tebal dibanding seluruh kantong Sukarno.

Sukarno? Ah… dia pura-pura tidak tahu hal itu. Yang pasti, tiap bulan ia datang ke kantor, menemui Rooseno, dan langsung bertanya, “Berapa kau berutang kepadaku?”

Rooseno hapal betul nada itu. Sebuah sikap “memahami” yang sangat dalam. Rooseno tahu, bahwa Sukarno tahu usahanya tidak jalan, atau katakan saja jalan merayap. Di sisi lain, Rooseno tahu juga, Sukarno sangat memerlukan uang untuk menafkahi keluarga dan ongkos perjuangan. Pemahaman seperti itulah yang membuat Rooseno menjawab pertanyaan Bung Karno dengan jawaban, “Bagian Bung 15 rupiah….”

Bayangkan! “Bagian” dari mana? Sedangkan untuk menutup sewa kantor dan bayar telepon saja tidak cukup. Jadi, laiknya dua sahabat dalam tingkat kesepahaman yang tinggi, maka Sukarno pun menjawab, “Baik. Terima kasih.” Tak ada pertanyaan lagi setelah itu.

Sejatinya, dalam hal perpaduan ilmu, Rooseno dan Sukarno memang klop. Dalam menjalankan roda usaha biro arsitek tadi, Rooseno yang banyak berperan sebagai insinyur-kalkulator. Mengerjakan soal-soal detail, membuat perhitungan dan kalkulasi, serta mengerjakan ilmu pasti yang sangat sukar itu.

Sukarno sendiri, sebagai seorang arsitek seniman, bertindak sebagai pengatur bentuk-bentuk yang unik dari rancang bangun sebuah gedung atau rumah. Akan tetapi… tentu saja tidak banyak yang diatur, karena biro arsitek mereka memang sepi order. Tetapi dalam otobiografi yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno cukup membanggakan karyanya sebagai “tukang insinyur”. “Ada beberapa buah rumah yang kurencanakan sendiri, dan sekarang masih berdiri di Bandung. Rencanaku boleh jugalah. (Meski) tidak begitu ekonomis, tetapi indah….” (roso daras)

Published in: on 21 Agustus 2009 at 01:49  Comments (1)  
Tags: , , ,

Pernikahan Kartika Soekarno

Seegers-Kartika

“Mas… tulis dong tentang Karina Soekarno…,” begitu permintaan seseorang yang termasuk golongan orang-orang yang rajin berkunjung ke blog ini…. Yang terlintas di benak saya adalah serentet peristiwa terkait Kartika Sari Soekarno atau yang akrab disapa Karina. Dialah buah cinta Bung Karno dan Ratna Sari Dewi, wanita cantik asal Jepang, yang bernama asli Naoko Nemoto.

Ada sekelebat peristiwa ketika Karina kecil dituntun-tuntun di antara kerumuman pelayat jenazah Bung Karno di Wisma Yaso tahun 1971. Ada pula lintasan peristiwa manakala Karina diajak ibundanya berziarah ke makam ayahandanya di Blitar, beberapa tahun kemudian. Dan… tentu saja yang masih lekat adalah peristiwa pernikahan Karina dengan seorang bankir Belanda.

Pernikahan Karina dengan Frits Frederik Seegers berlangsung 2 Desember 2005 di hotel Continental, Amsterdam, Belanda. Frits adalah President Citibank wilayah Eropa. Saat itu, saya masih mengelola Tabloid Cita-Cita dan mendapat sumbangan materi foto-foto eksklusif dari Guruh Soekarnoputra di Yayasan Bung Karno.

Seegers-Kartika3

Megawati sebagai saksi

Dalam pernikahan itu, Megawati Soekarnoputri, kakak Karina dari ibu Fatmawati, bertindak selaku saksi. Tampak Mega tengah menandatangani dokumen pernikahan adiknya. Megawati sendiri hadir bersama putrinya, Puan Maharani, dan adik bungsunya, Guruh Soekarnoputra.

mempelai-guruh-cindy-mega

Pasca upacara pernikahan, Frits Frederik Seegers dan Karina bergambar bersama Guruh Soekarnoputra, Cindy Adams, dan Megawati Soekarnoputri.

guruh-cindy-mega-ratna sari dewi

guruh-mega-puan-kartika

Guruh - Kartika

Dalam resepsi itu, hadir sejumlah orang dekat mempelai, tak terkecuali hadirnya Cindy Adams, penulis biografi Bung Karno. Tak ayal, momentum pernikahan Karina – Seegers menjadi ajang kangen-kangenan di antara kerabat yang sehari-hari terpisah bentang jarak ribuan mil.

tari bali di resepsi

Di hotel Continental pula, pada malamnya langsung digelar resepsi. Selain gala dinner yang eksklusif, Karina juga mendatangkan para penari Bali untuk menghibur para tamu.

Usai menikah, pasangan pengantin baru langsung kembali ke London, Inggris, dan menetap di sana. Karina kembali ke rutinitasnya sebagai aktivis sosial dengan bendera Kartika Soekarno Foundation, sementara suaminya, kembali ke Citibank. (roso daras)

Bung Karno Menjadi Harun Al Rasyid

BK-rakyat

Ingat Harun Al-Rasyid, ingat dongeng 1001 malam. Khafilah yang terkenal merakyat, dan gemar menyamar untuk membaur dengan rakyatnya. Legenda Harun Al-Rasyid rupanya lekat pula di benak Bung Karno. Makanya, dalam hal-hal tertentu, Sukarno pun gemar menyamar menjadi rakyat jelata, dan keliling masuk-keluar pasar, masuk-keluar kerumunan manusia, hanya sekadar ingin dekat dengan rakyatnya.

Lain dengan Harun Al-Rasyid yang memang keturunan khafilah, keturunan raja. Sedangkan Bung Karno? Sekalipun mengalir darah biru dari Sultan Kediri, tetapi ia bukanlah berasal dari keluarga berada. Ia bahkan melukiskan kehidupan masa kecil hingga remaja sebagai sangat miskin. Makan nasi sehari sekali adalah sebuah kemewahan baginya.

Jika kemudian Bung Karno merasa begitu dekat dengan rakyat, itu karena ia merasa lahir dari rahim rakyat jelata. Sepanjang perjuangan pergerakan kemerdekaan, ia selalu dikelilingi rakyat, didukung rakyat, diikuti rakyat ke mana pun telunjuknya mengarah.

Karenanya, sekalipun ia telah menyandang predikat Presiden, kebiasaan untuk berada di tengah-tengah rakyat jelata tak pernah bisa sirna. Bahkan dalam “curhat”-nya kepada penulis biografinya, Cindy Adams, ia mengatakan, sering merasa lemas, napas seakan berhenti apabila tidak bisa keluar Istana dan bersatu dengan rakyat-jelata yang melahirkannya.

Karena itu pula, ia tak jarang keluar Istana seorang diri, ada kalanya dikawal seorang ajudan berpakaian preman. Bagaimana ia menyamar? Menurut Bung Karno, tidak terlalu sulit. Sebab, rakyat kebanyakan sangat lekat dengan penampilan Bung Karno khas dengan baju seragam dan pici hitam. Maka, ketika Bung Karno berganti pakaian, memakai sandal, pantalon, atau hanya berkemeja, lalu mengenakan kacamata berbingkai tanduk, rupa Bung Karno sudah beda sama sekali.

Dengan cara itu, Bung Karno bisa leluasa masuk-keluar pasar tanpa dikenali orang. Ia merasa kepunyaan rakyat, karenanya menjadi lebih nyaman bila berada di tengah rakyat. Perasaan Bung Karno langsung tenteram jika mendengar percakapan riuh orang-orang. Bung Karno menyimak rakyat bergunjing, rakyat bergosip, rakyat berdebat, rakyat berkelakar, rakyat bercumbu-kasih. Pada saat itulah Bung Karno merasakan sebuah kekuatan merasuk, mengaliri seluruh pembuluh darah.

Dari satu tempat ke tempat lain, sesekali bahkan Bung Karno berhenti di pinggir jalan, memesan sate ayam yang disajikan menggunakan pincuk dan pisang, dan memakannya sambil duduk di trotoar. Saat-saat seperti itulah Bung Karno merasakan kesenangan luar biasa.

Akan tetapi, ada kalanya, penyamaran ala Harun Al-Rasyid berantakan kalau Bung Karno kelupaan. Lupa untuk tidak berbicara. Lupa untuk tidak mengeluarkan suara. Seperti yang terjadi di kawasan Senen, Jakarta Pusat, di dekat lokasi pembangunan gudang stasiun. Waktu itu, spontan saja ia bertanya kepada tukang bangunan, “Dari mana diambil batubata dan bahan konstruksi yang sudah dipancangkan ini?” Maklumlah, Sukarno adalah seorang “tukang insinyur” sipil.

Apa yang terjadi setelah Bung Karno bersuara? Belum sempat tukang bangunan menjawab pertanyaan Bung Karno, terdengar seorang perempuan berteriak kencang sekali, “Itu suara Bapak… Ya… suara Bapak!!!… Hee… orang-orang, ini Bapak…. Bapak….!!!!”

Dalam sekejap ratusan, kemudian ribuan orang menyemut mengerubungi Bung Karno. Mereka berebut mendesak, menyalami, memegang…. suasana pun menjadi gaduh. Ajudan segera mengamankan Bung Karno, menyibak kerubungan massa, memasukkannya ke dalam mobil, dan menghilang. (roso daras)

Published in: on 16 Juli 2009 at 08:38  Comments (6)  
Tags: , , ,

Bung Karno, Dikutuk seperti Bandit, Dipuja Laksana Dewa

Cium kaki Bung Karno

Begitulah Sukarno. Sepertinya, tidak ada manusia di abad ke-20 yang menimbulkan begitu banyak perasaan pro dan kontra seperti dia. Kepada penulis biografinya, Cindy Adams, Bung Karno mengibaratkan dirinya dikutuk seperti bandit, dan dipuja laksana Dewa.

Dubes senior Inggris di tahun 60-an pernah berkirim surat ke alamat Downing Street 10 London (alamat Kantor Perdana Menteri). Tulisnya, “Presiden Sukarno tidak dapat dikendalikan, tidak dapat diramalkan dan tidak dapat dikuasai. Dia seperti tikus yang terdesak.”

Media massa Barat membuat laporan-laporan yang mendiskreditkan Sukarno, meski sumbernya seorang abang becak, yang entah faktual entah fiktif. Hal itu tentu menjadi kontradiktif dengan sisi yang lain, yang menggambarkan begitu ia dipuja bagaikan Dewa.

Tak jarang, seorang kakek-kakek datang ke Istana, memaksa bertemu Presidennya sebelum ajal menjemput. Ada pula kisah seorang nelayan uzur, berjalan kaki 23 hari lamanya, untuk dapat bersujud mencium kaki Sukarno. Ia menyatakan, dirinya sudah berjanji, sebelum mati akan melihat wajah presidennya dan menunjukkan kecintaan serta kesetiaan kepadanya. Termasuk foto ilustrasi di atas, seorang lelaki berjalan kaki dari kampungnya, membawa seikat talas untuk dipersembahkan kepada presidennya. Ketika berjumpa, ia pun langsung bersimpuh, bersujud dan mencium kaki Sukarno.

Tidak sedikit kisah-kisah unik lain. Seperti yang dilakukan seorang petani kelapa yang sedang bersedih karena sudah berbulan-bulan anaknya sakit keras. Suatu malam ia bermimpi, bahwa ia harus pergi menemui Bung Karno untuk meminta air bagi kesembuhan anaknya. Bung Karno sendiri memenuhi permintaan rakyat yang dicintainya. Diambilkannya air ledeng biasa dan diserahkannya kepada petani kelapa tadi.

Dalam persoalan di atas, Bung Karno sama sekali tidak bisa bersoal-jawab dengan mereka. Apalagi, Sukarno paham betul, sebagian masyarakat kita, utamanya orang Jawa, banyak yang percaya kepada ilmu kebatinan. Termasuk petani kelapa yang bersikeras meminta air kepada Bung Karno.  Seminggu kemudian, ia mendengar anak petani kelapa tadi telah sembuh.

Tidak jarang, ketika Bung Karno hadir dalam suatu acara, muncul pula cerita-cerita unik. Ia ingat ketika menghadiri suatu acara di pedalaman Jawa Tengah. Seorang perempuan desa mendatangi pelayan Bung Karno dan membisikkan, “Jangan biarkan orang mengambil piring Presiden. Berikanlah kepada saya sisanya. Saya sedang mengandung dan saya ingin anak laki-laki. Saya mengidamkan seorang anak seperti Bapak. Jadi tolonglah, biarlah saya memakan apa-apa yang telah dijamah sendiri oleh Presidenku,” ujar perempuan itu bersemangat.

Di Pulau Bali, masyarakat percaya bahwa Sukarno adalah penjelmaan Dewa Wishnu, Dewa Hujan dalam agama Hindu. Karenanya, di musim kemarau pun, ketika Sukarno datang ke Bali, senantiasa dimaknai sebagai turunnya hujan. Mereka yakin, kedatangannya membawa restu. Bahkan pernah terjadi, ketika Bung Karno terbang ke Bali dalam musim kering, tepat setelah Bung Karno tiba, hujan turun bagaikan dicurahkan dari langit. (roso daras)

Published in: on 4 Juli 2009 at 16:30  Comments (9)  
Tags: , ,