Membaca Tangan Bung Karno

Tahun 1980-an, saya menghabiskan banyak waktu di sanggar Teater Alam, Jl. Sawojajar, Yogyakarta, pimpinan Azwar AN. Suatu sore, kami kedatangan seorang sastrawan, sekaligus akademisi nyentrik. Sebagai sanggar teater, kedatangan seorang sastrawan atau seniman adalah hal biasa. Tetapi yang ini sedikit berbeda. Dia adalah Ragil Suwarna Pragolapati.

Sastrawan kelahiran Pati, Jawa Tengah itu, kebetulan juga seorang ahli membaca tanda tangan, atau biasa disebut grafolog. Maka, tema diskusi lesehan sore itu adalah “membaca tanda tangan”. Satu per satu anggota sanggar maju dan menuliskan tanda tangannya, kemudian ia membacanya dengan “hampir 100 persen tepat”.

Published in: on 8 Oktober 2021 at 09:51  Tinggalkan sebuah Komentar  
Tags: ,

Bung Karno Menyamar menjadi Harun Al-Rasyid

Ingat Harun Al-Rasyid, ingat dongeng 1001 malam. Khafilah yang terkenal merakyat, dan gemar menyamar untuk membaur dengan rakyatnya. Legenda Harun Al-Rasyid rupanya lekat pula di benak Bung Karno. Makanya, dalam hal-hal tertentu, Sukarno pun gemar menyamar menjadi rakyat jelata, dan keliling masuk-keluar pasar, masuk-keluar kerumunan manusia, hanya sekadar ingin dekat dengan rakyatnya.

Ketika sedang menyamar, Bung Karno akan mengenakan baju biasa dan tanpa kopiah. Paling tidak ia bertopi. Ada satu hal yang harus selalu Bung Karno ingat, yakni ia tidak boleh bersuara. Sebab, pernah ada peristiwa, ketika ia blusukan ke Pasar Senen, demi melihat ada pekerja tengah membangun Gudang Stasiun Senen, ia spontan bertanya kepada para kuli bangunan, ihwal dari mana material-material itu didatangkan.

Belum lagi pertanyaannya mendapat jawaban, spontan ada seorang perempuan di kerumunan pasar yang berteriak, “Bapak… itu suara Bapak…. Itu Bapak…..” Dan dalam sekejap mata, manusia sudah mengerubungi Bung Karno, sekadar bersalaman atau sekadar menyentuhnya.

Sihir Pidato Bung Karno di IKADA

Suasananya sangat genting. Lapangan Ikada (sekarang dekat stasiun Gambir) dan sekitarnya sudah seperti lautan manusia. Mereka yang dari luar kota, bahkan sudah ada yang datang sejak malam dan menginap di sana. Mereka berniat menghadiri pidato Presiden Sukarno untuk pertama kalinya kepada rakyat, setelah proklamasi kemerdekaan.

Apa daya, tentara Jepang melarang. Jadilah sepasukan Jepang bersenjata laras panjang, berhadap-hadapan langsung dengan ribuan, puluhan, bahkan ratusan ribu manusia yang bergeming dan terus merangsek ke tengah lapangan, menanti kehadiran Sukarno.

Sekitar pukul 15.00 WIB, Sukarno dan kabinet pertama pun datang. Tegap ia melangkap ke atas podium, di tengah ancaman bedil tentara Jepang. Sukarno pun berpidato. Sangat singkat, tetapi pidato itu laksana sihir yang dalam waktu sekejap mampu membuat Ikada kosong dan lengang. Mereka semua pulang, atas titah presidennya.

Gaji Bung Karno Saat Jadi Buruh Kasar

Suatu waktu, mertua Bung Karno, HOS Cokroaminoto ditangkap Belanda, dengan tuduhan mendalangi aksi mogok kerja. Mendengar kabar itu, Bung Karno yang sedang kuliah di THS spontan pamit kepada pihak THS untuk pulang ke Surabaya, mengambil-alih tugas kepala rumah tangga.

Sukarno pun balik ke Surabaya. Ia bekerja sebagai klerk, buruh kasar di stasiun Surabaya. Dari penghasilannya, ia bisa menafkahi keluarga Cokro, dan menyisakan sedikit untuk dirinya.

Bung Karno Berendam di Sungai Nangaba

Salah satu kebiasaan Bung Karno selama dibuang di Ende, adalah berendam di sungai. Salah satu sungai favorit Bung Karno berendam adalah Sungai Nangaba, tak jauh dari kota Ende. Sungai itu tidak terlalu dalam, tetapi airnya sangat jernih. Bebatuan di dasar sungai, sangat indah karena beraneka warna. Anda boleh mandi di sana, jika berkesempatan mengunjungi Ende.

Inilah Makanan Kesukaan Bung Karno

Bung Karno ini sosok “tradisional”, termasuk dalam hal selera makan. Ia begitu bahagia bisa menyantap nasi pecel. Atau, sekadar makan dengan sayur lodeh dan tempe goreng.

Alasan Bung Karno Menggunakan Nama Bima

Bima atau Wrekodara, adalah tokoh penegak Pandawa Lima. Ia putra kedua Pandu Dewanata dari lima bersaudara: Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Sosok Bima melekat sejak Bung Karno kecil. Tokoh itu dilesakkan dalam lakon Mahabarata yang dikisahkan Wagiman, seorang petani nasionalis, yang pada akhirnya membetot kesadaran seorang Sukarno muda, bahwa bangsanya sedang dijajah (Belanda).

Melalui tulisan tangan dengan nama samaran Bima, Bung Karno membuat geger dunia pergerakan (kemerdekaan). Pemikiran-pemikirannya yang lugas tentang praktik kolonialisme, telah membangkitkan kesadaran bangsa tentang betapa penjajah harus dienyahkan dari bumi Indonesia.

Ihwal nama Bima, tidak seorang pun tahu. Bahkan, ayahandanya yang sering membaca Oetoesan Hindia, tempat tulisan-tulisan Bima diterbitkan, tidak pernah menyangka, bahwa tulisan yang dikaguminya adalah buah tangan putranya.

Jejak-jejak Cinta Monyet Bung Karno

Bung Karno, sosok presiden flamboyan yang dicintai banyak wanita. Fenomena itu ternyata sudah tampak sejak dia remaja. Usia 14 tahun, bahkan dia sudah memacari Rika Melhuyssen. Bahkan Bung Karno mencatat, Rika-lah wanita pertama yang diciumnya.

Cerita Mistis Tongkat dan Peci Bung Karno

Ada banyak sekali kisah menarik seputar tongkat komando dan peci yang dikenakan Bung Karno. Sebagian kisah berkisar seputar nilai magis atau bahkan mistis yang sulit dinalar. Tongkat komando dan peci adalah dua properti penting pada setiap penampilan Presiden Pertama Indonesia itu di depan publik.

Bung Karno dan Guling Favoritnya

Tradisi tidur sambil memeluk guling, ternyata menjadi ciri atau kebiasaan rakyat Indonesia. Oleh Bung Karno, topik Guling bahkan dibahas khusus dengan penulis autobiografinya, Cindy Adams. Bagaimana asal-usul lahirnya guling? Mengapa bangsa kita sangat gemar memeluk guling saat tidur? Simak video ini.