Gedung DPR sebagai Mercu Suar?

Kontroversi pembangunan gedung DPR RI di Senayan masih terus bergulir. Rencana pembangunan gedung wah itu, konon dianggarkan bakal menelan dana tak kurang dari Rp 1 triliun lebih sedikit. Tak urung, topik itu diangkat pula oleh produser acara Mata Najwa, Metro TV, Julius Sumant dalam bahasan tentang Politik Mercu Suar.

Alkisah… saya ketiban sampur untuk ikut berbicara tentang topik tersebut, dari kacamata persandingan politik mercu suar zaman Bung Karno, hingga era reformasi sekarang. Itu terjadi Kamis minggu lalu, ketika sang produser, Julius menghubungi dan berbicara tentang topik tersebut. Dari bincang-bicang singkat itu kemudian dia meminta saya Senin (18/4) datang ke studio Metro TV untuk rekaman talk show Mata Najwa.

Tentu saja saja antusias. Bukan saja karena bakal ketemu si Najwa yang cantik, lebih dari itu, karena topik itu memang sangat menarik. Terlebih ketika nama Bung Karno dibawa-bawa. Ada dorongan yang begitu kuat untuk menyampaikan kepada khalayak, bahwa sangat tidak sebanding, membandingkan proyek mercu suar gedung DPR RI saat ini dengan proyek-proyek monumental Bung Karno pada zamannya.

Gedung parlemen yang ada sekarang, dulu dibangun untuk menyongsong perhelatan Conefo (Conference of the New Emerging Forces), kekuatan negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin dan negara-negara kapitalis yang sealiran, untuk menandingi hegemoni PBB. Terlebih bahwa PBB sebagai wadah bangsa-bangsa, selalu dan melulu dikuasai dua negara adi daya (ketika itu) Amerika Serikat dan Uni Soviet. Bung Karno memandang perlu ada wadah alternatif.

Proyek Conefo sama sekali bukan mercu suar dalam pengertian negatif. Dia benar-benar proyek yang dilandaskan pada filosofi tinggi tentang hakikat non-blok yang dicanangkan Bung Karno sejak awal. Indonesia tidak mau menghamba ke Barat, tidak juga menyembah ke Timur. Indonesia adalah negara besar, dengan penduduk yang besar, dan presiden yang besar, yang bisa menyatukan kekuatan negara-negara yang baru merdeka untuk bersatu menjadi satu kekuatan yang harus diperhitungkan.

Sedangkan yang sekarang? Ini proyek bodoh. Pertama, prosesnya tidak transparan. Timing-nya sangat tidak tepat, sehingga mencederai rasa keadilan rakyat banyak. Yang terakhir, tidak ada alasan yang kemudian bisa dijadikan tameng oleh pemerintah atau penggagas untuk menangkal suara-suara yang kontra.

Karena sesungguhnya banyak momen yang bisa dijadikan pemerintah untuk mebangun dignity, membangun kepercayaan rakyat, membangun kebanggaan rakyat berbangsa dan bernegara. Saya hanya menyebut satu contoh. Bahwa mungkin ceritanya akan beda, kalau saja proyek ini didesain sebagai gedung yang melambangkan perlawanan rakyat melawan korupsi. Caranya? Tindak tegas para koruptor, sita harta koruptor, termasuk pengemplang pajak. Jika itu serius dilakukan, mencari dana Rp 1 triliun lebih sedikit ibarat suwe mijet wohing ranti... yang artinya gampang sekali!

Dana hasil rampasan harta koruptor dan pengemplang pajak itulah yang kemudian dijadikan anggaran membangun gedung parlemen yang megah. Jika perlu desainnya bukan seperti huruf  “n” yang bisa diplesetkan jadi “nothing”… tapi bisa dibuat huruf “m” yang artinya “menang” atau huruf “v” yang diartikan victory, sebagai lambang kemenangan rakyat melawan koruptor.

Persoalannya memang, ide itu jauh dari otak mereka yang umumnya masih berjiwa koruptor. Karena, mereka (yang terlibat korupsi) tentu tidak mau kehilangan hartanya, bukan?

Baiklah, saya sambung di posting berikutnya. (roso daras)

Published in: on 19 April 2011 at 04:22  Comments (4)  
Tags: , , , , , ,

Bung Karno “Hobi” Berteriak

Berulang-kali dokter pribadinya memberi nasihat kepada Bung Karno. Ini terkait dengan sakit ginjalnya, yakin makin para di akhir tahun 60-an. “Kalau Bapak bisa tenang sedikit, dan tidak berteriak-teriak, niscaya Bapak tidak akan mendapat ulcers.” Yang dimaksud dokter adalah peradangan pada lambung akibat sakit ginjalnya itu. Baru saja dokter berhenti memberikan nasihatnya, Bung Karno meradang dan berteriak, “Bagaimana aku bisa tenang kalau setiap lima menit menerima kabar buruk?”

Berteriak adalah “hobi” Sukarno.  Ia berteriak untuk memberi semangat rakyatnya. Ia berteriak juga untuk mengganyang musuh-musuh negara. Jika konteksnya adalah membakar semangat rakyat, maka Bung Karno adalah seorang orator ulung. Bahkan paling unggul pada zamannya. Sebaliknya, jika ia berteriak karena terinjak dan teraniaya harga dirinya sebagai presiden dan kepala negara, maka Sukarno adalah presiden paling berani yang pernah hidup di atas bumi ini.

“Inggris kita linggis! Amerika kita setrika!”, atau “Go to hell with your aid” yang ditujukan kepada Amerika.

“Malaysia kita ganyang. Hajar cecunguk Malayan itu! Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu”, yang ini saat Indonesia berkonfrontasi dengan di negara boneka bernama Malaysia.

Bukan hanya itu. Organisasi dunia yang bernama Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pun pernah dilawan. Tanggal 20 Januari 1965, Bung Karno menarik Indonesia dari keanggotaan PBB. Ini karena ketidak-becusan PBB dalam menangani persoalan anggota-anggotanya, termasuk dalam kaitan konflik Indonesia – Malaysia. Ada enam alasan yang tak bisa dibantah siapa pun, termasuk Sekjen PBB sendiri, yang menjadi dasar Indonesia menarik diri dari keanggotaan PBB.

Pertama, soal kedudukan PBB di Amerika Serikat. Bung Karno mengkritik, dalam suasana perang dingin Amerika Serikat dan Uni Sovyet lengkap dengan perang urat syaraf yang terjadi, maka tidak sepatutnya markas PBB justru berada di salah satu negara pelaku perang dingin tersebut. Bung Karno mengusulkan agar PBB bermarkas di Jenewa, atau di Asia, Afrika, atau daerah netral lain di luar blok Amerika dan Sovyet.

Kedua, PBB yang lahir pasca perang dunia kedua, dimaksudkan untuk bisa menyelesaikan pertikaian antarnegara secara cepat dan menentukan. Akan tetapi yang terjadi justru PBB selalu tegang dan lamban dalam menyikapi konflik antar negara. Indonesia mengalami dua kali, yakni saat pembebasan Irian Barat, dan Malaysia. Dalam kedua perkara itu, PBB tidak membawa penyelesaian, kecuali hanya menjadi medan perdebatan. Selain itu, pasca perang dunia II, banyak negara baru, yang baru saja terbebas dari penderitaan penjajahan, tetapi faktanya dalam piagam-piagam yang dilahirkan maupun dalam preambule-nya, tidak pernah menyebut perkataan kolonialisme. Singkatnya, PBB tidak menempatkan negara-negara yang baru merdeka secara proporsional.

Ketiga, Organisasi dan keanggotaan Dewan Keamanan mencerminkan peta ekonomi, militer dan kekuatan tahun 1945, tidak mencerminkan bangkitnya negara-negara sosialis serta munculnya perkembangan cepat kemerdekaan negara-negara di Asia dan Afrika. Mereka tidak diakomodir karena hak veto hanya milik Amerika, Inggris, Rusia, Perancis, dan Taiwan. Kondisi yang tidak aktual lagi, tetapi tidak ada satu orang pun yang berusaha bergerak mengubahnya.

Keempat, soal sekretariat yang selalu dipegang kepala staf berkebangsaan Amerika. Tidak heran jika hasil kebijakannya banyak mengakomodasi kepentingan Barat, setidaknya menggunakan sistem Barat. Bung Karno tidak dapat menunjung tinggi sistem itu dengan dasar, “Imperialisme dan kolonialisme adalah anak kandung dari sistem Negara Barat. Seperti halnya mayoritas anggota PBB, aku benci imperialisme dan aku jijik pada kolonialisme.”

Kelima, Bung Karno menganggap PBB keblinger dengan menolak perwakilan Cina, sementara di Dewan Keamanan duduk Taiwan yang tidak diakui oleh Indonesia. Di mata Bung Karno, “Dengan mengesampingkan bangsa yang besar, bangsa yang agung dan kuat dalam arti jumlah penduduk, kebudayaan, kemampuan, peninggalan kebudayaan kuno, suatu bangsa yang penuh kekuatan dan daya-ekonomi, dengan mengesampingkan bangsa itu, maka PBB sangat melemahkan kekuatan dan kemampuannya untuk berunding justru karena ia menolak keanggotaan bangsa yang terbesar di dunia.”

Keenam, tidak adanya pembagian yang adil di antara personal PBB dalam lembaga-lembaganya. Bekas ketua UNICEF adalah seorang Amerika. Ketua Dana Khusus adalah Amerika. Badan Bantuan Teknik PBB diketuai orang Inggris. Bahkan dalam persengketaan Asia seperti halnya pembentukan Malaysia, maka plebisit yang gagal yang diselenggarakan PBB, diketuai orang Amerika bernama Michelmore.

Bagi sebagian kepala negara, sikap keluar dari PBB dianggap sikap nekad. Bung Karno tidak hanya kelua dari PBB. Lebih dari itu, ia membentuk Konferensi Kekuatan Baru (Conference of New Emerging Forces/ Conefo) sebagai alternatif persatuan bangsa-bangsa selain PBB. Konferensi ini sedianya digelar akhir tahun 1966. Langkah tegas dan berani Sukarno langsung mendapat dukungan banyak negara, khususnya di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Bahkan sebagian Eropa juga mendukung.

Sebagai tandingan Olimpiade, Bung Karno bahkan menyelenggarakan Ganefo (Games of the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10 – 22 November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.

Bung Karno dengan Conefo dan Ganefo, sudah menunjukkan kepada dunia, bahwa organisasi bangsa-bangsa tidak mesti harus satu, dan hanya PBB. Bung Karno sudah mengeluarkan terobosan itu. Sayang, konspirasi internasional (Barat) yang didukung segelintir pengkhianat dalam negeri (seperti Angkatan ’66, sejumlah perwira TNI-AD, serta segelintir cendekiawan pro Barat, dan beberapa orang keblinger), berhasil merekayasa tumbangnya Bung Karno. Wallahu a’lam. (roso daras)

Published in: on 19 September 2010 at 03:41  Comments (11)  
Tags: , , , ,

Mengapa Ada Poros Jakarta – Peking?

Chou En Lay dan Bung Karno

Bung Karno dan komunis. Ini adalah topik klasik. Terlebih, penggulingan Bung Karno melalui Tap MPR XXX/1967 diartikan sebagai keterlibatan Bung Karno, langsung atau tidak langsung terhadap tragedi G-30-S.  Singkat kata, hingga akhir hayatnya, ada upaya nyata untuk melekatkan stigma komunis kepada Sang Proklamator. Semua upaya tadi, bahkan menabrak logika ketatanegaraan, menafikan fakta-fakta yang ada.

Nah, salah satu hal yang sering dikaitkan sebagai “bukti” Sukarno –setidaknya– pro komunis adalah penciptaan istilah Poros Jakarta – Peking. Tanpa mengkaji latar belakangnya, tanpa menelisik asal-usul, tanpa menganalisa pertimbangan ke depan, spontan saja poros Jakarta – Peking diterjemahkan sebagai upaya menggelindingkan bangsa ini lebih pro terhadap komunis.

Belum lagi pertemuan yang intensif antara Bung Karno dan Perdana Menteri RRC, Chou Enlai. Pertemuan di Beijing (dulu bernama Peking), Jakarta, Bali, di Beograd dan di dalam kesempatan lain di luar negeri, lebih-lebih memperlihatkan betapa “mesra” hubungan Bung Karno dan Chou Enlai. Bahkan ada yang membaca sebagai “hubungan spesial” Indonesia- Cina.

Apa gerangan yang mengakibatkan Bung Karno begitu dekat dengan Presiden Mao Zedong dan/atau PM Chou Enlai? Kedekatan ini khususnya sejak tahun 1960-an. Sebeb, periode sebelum dekat dengan Cina, dunia pun mengetahui kalau Bung Karno dekat dengan Kruschev, atau bisa dibaca sebagai Indonesia dekat dengan Uni Soviet.

Jika kita telisik sejarah, kedekatan Bung Karno dengan Mao maupun Chou tak lain karena “proyek” NEFO (New Emergong Forces). Cina sangat mendukung Indonesia (baca=Bung Karno) memimpin gerakan NEFO. Bahkan waktu itu, Bung Karno sudah merancang konferensi NEFO (CONEFO) di Jakarta. Jika ini terwujud, lebih separuh belahan bumi, akan berhimpun.

Tak bisa dipungkiri, gerakan itu sangat tidak disukai Amerika Serikat (dan sekutunya), bahkan juga tidak disukai oleh Uni Soviet. Amerika dan sekutu kapitalisnya sangat keberatan negara-negara baru ini lepas dari cengkeraman mereka. Sebaliknya, Uni Soviet yang menempatkan diri sebagai pusat komunisme internasional (komintern) sangat tidak senang posisi itu kemudian seperti diambil-alih oleh Cina.

Inilah yang nanti berujung pada konspirasi internasional sehingga meletus G-30-S. Inilah sebuah potret dan tinjauan dari kacamata internasional terhadap upaya pendongkelan Sukarno dan proyek CONEFO-nya. (roso daras)

Published in: on 31 Oktober 2009 at 13:27  Comments (10)  
Tags: , ,

Jembatan Semanggi, Simbol Persatuan

SEMANGGI

Stigma buruk terhadap kebijakan pejabat, tidak hanya di era sekarang, tapi sudah ada sejak zaman dulu. Bung Karno tak luput dari cercaan sebagian masyarakat yang tidak setuju dengan beberapa gagasan pembangunan sarana fisik. Pembangunan Tugu Monas, Hotel Indonesia, Sarinah, Semanggi, Stadion Senayan, Gedung Conefo (sekarang gedung DPR-MPR RI), dll, dianggap sebagai poyek mercu suar. Proyek yang menghambur-hamburkan uang negara.

Bukan Bung Karno kalau tidak berani menerjang badai. Ia –sebagai pemimpin– tak takut menabrak risiko. Sebagai Presiden, ia buka dada untuk semua suara protes. Tentu saja, semua kebijakan dan keputusan Bung Karno, saat ini kita cerna sebagai sebuah sejarah. Satu sejarah yang berikut adalah ihwal Jembatan Semanggi.

Pembangunan jembatan Semanggi merupakan satu paket dengan pembangunan fasilitas lain menyambut perhelatan Asian Games tahun 1962. Beberapa banguna lain yang dibangun serentak antara lain Gelora Senayan (sekarang bernama Gelora Bung Karno), Hotel Indonesia, dan lain sebagainya. Jembatan itu sendiri dimulai pembangunannya tahun 1961.

Ketika Presiden Sukarno telah mantap dengan idenya untuk membangun sebuah stadion olahraga megah di kawasan Senayan, Ir Sutami, yang ketika itu menjabat Menteri Pekerjaan Umum (PU), dalam sebuah rapat kabinet mengusulkan membangun jembatan guna mengatasi kemungkinan munculanya persoalan kemacetan lalu lintas.
Semanggi dipilih sebagai nama jembatan tersebut.

marsilea_mutica SEMANGGISemanggi sesungguhnya nama lokal (Jawa) tumbuhan marsilea mutica yang bisa dijadikan lalapan. Setiap tangkai daun semanggi terdiri atas empat helai daun berbentuk lonjong yang panjangnya mencapai dua cm dan lebar 1 cm.

Dalam satu kesempatan, Bung Karno sendiri pernah mengemukakan filosofi daun semanggi. Filosofi yang dimaksud adalah simbol persatuan, dalam bahasa Jawa ia menyebut “suh” atau pengikat sapu lidi. Tanpa “suh” sebatang lidi akan mudah patah. Sebaliknya, gabungan lidi-lidi yang diikat dengan “suh” menjadi kokoh dan bermanfaat menjadi alat pembersih.

Bung Karno sendiri, sejak perjuangan hingga menjadi pemimpin negeri, kepeduliannya sangat tinggi terhadap persatuan bangsa. Baginya, persatuan bangsa adalah sebuah harga mati.

Begitulah Bung Karno memfilosofikan jembatan semanggi yang berkonsep perempatan tanpa traffic light. Kini, Jembatan Semanggi telah menjadi sejarah, sekaligus saksi sejarah bagi banyak peristiwa penting negeri ini. (roso daras)

Published in: on 1 Juli 2009 at 08:44  Comments (9)  
Tags: , , , , ,