Ada begitu banyak sisi lain seorang Proklamator Bung Karno. Salah satunya adalah sisi ke-usil-an dia, baik ketika masih anak-anak, remaja, dewasa, bahkan hingga hari-hari akhirnya. Siapa saja bisa kena sasaran keusilan Bung Karno. Tak terkecuali Bung Hatta.
Tan Malaka, Bung Hatta, dan Hamka
Alhamdulillah…. Terima kasih Tuhan, yang telah memperkenankan saya menjejakkan kaki di bumi kelahiran para bapak Bangsa di Sumatera Barat. Sejumlah tokoh kemerdekaan dari ranah Minang tak cukup dihitung dengan jari. Sejumlah nama yang banyak dikenal adalah Agus Salim, Tan Malaka, Bung Hatta, Sjahrir, Buya Hamka, dan masih banyak lagi lainnya.
Rumah Tan Malaka adalah yang pertama saya tuju. Alasannya sederhana, di antara Hatta, Tan Malaka, dan Hamka, maka rumah Tan Malaka-lah yang terjauh. Hitungan terjauh diukur baik dari Padang, ataupun Bukittinggi. Lokasi persisnya di Desa Pandan Gadang, Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten Lima Puluh Kota. Akan tetapi, masyarakat setempat lebih akrab menyebut kawasan itu Suliki.
Berada di rumah Tan Malaka hingga larut, sebelum memutuskan kembali ke Bukittinggi. Keesokan paginya, berbekal peta kota Bukittinggi, saya berjalan kaki menuju situs rumah kelahiran Bung Hatta. Letaknya persis di pinggir jalan raya. Persisnya di Jalan Soekarno-Hatta No. 37, Bukittinggi, Sumbar. Tidak jauh dari rumah itu, terdapat pasar kota. Saya spontan bergumam, “Kalau Tan Malaka wong ndeso, maka Hatta anak kota….”
Sebuah rumah gadang yang sangat-sangat indah…. Di sinilah Buya Hamka dilahirkan. Bangunan yang sudah menjadi aset bersejarah itu, masih terawat rapi. Berisi benda-benda peninggalan keluarga Hamka. Yang lebih istimewa adalah lokasi rumahnya yang terletak di bibir danau Maninjau. Jika mengunjungi kediaman Hamka dari Bukittinggi, maka kita akan melalui jalan Kelok-44 yang fantastis.
Sekian pengantar tentang ketiga orang besar yang selama hidupnya juga mengalami persinggungan dengan Bung Karno. Insya Allah, pada postingan berikut, kita bisa melihat dari dekat ketiga situs tersebut. Bagaimana dengan Agus Salim dan Sjahrir? Sayang, kedua pendiri bangsa itu “hanya” memiliki kampung kelahiran, tetapi tidak memiliki rumah petilasan. (roso daras)

Karawang-Bekasi, dari Puisi Menjadi Koran
Ini adalah tentang semangat melanjutkan perjuangan para pejuang. Perwujudannya dalam bentuk menerbitkan sebuah suratkabar nasional dengan nama “Karawang Bekasi”. Nama dua kota di timur Jakarta, yang tidak sekadar bermakna dua daerah kabupaten. Karawang – Bekasi, juga bermakna ribuan mayat berkalang tanah, dalam pertempuran mempertahankan kemerdekaan. Simak puisi Chairil Anwar berikut ini:
Karawang-Bekasi
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
Chairil Anwar (1948)
Puisi di atas, menggambarkan pembantaian rakyat Karawang – Bekasi oleh tentara KNIL, tentara penjajah Belanda yang berniat merangsek kembali ke Tanah Air. Membonceng tentara NICA (tahun 1946), mereka hendak melanggengkan kekuasaan kolonial Hindia Belanda, dan membunuh embrio NKRI yang baru saja diproklamasikan oleh Bung Karno – Hatta, atas nama Bangsa Indonesia.
Adalah sekelompok laskar pejuang pimpinan Lukas, yang pada malam hari menyusup ibukota dan melakukan serangan sporadis terhadap sentral-sentral tentara Belanda. Setelah berhasil menyerang, mencuri senjata, mereka melarikan diri ke arah timur, antara Karawang – Bekasi. Begitu dilakukan berkali-kali, hingga tentara KNIL murka dan melakukan sweeping ke daerah Karawang – Bekasi.
Para laskar pejuang yang dicari tidak ketemu, maka rakyat antara Karawang – Bekasi digelandang ke area terbuka kemudian diberondong senapan. Dibunuh dengan bengisnya. Yang mati tidak hanya para pemuda, tetapi juga orang tua, wanita, bahkan anak-anak tak berdosa. Peristiwa itu terjadi tahun 1947, dan kini diabadikan dalam monumen Rawagede, Karawang.
Chairil Anwar, penyair yang menyaksikan langsung ribuan mayat terkapar di sepanjang Karawang – Bekasi, lantas mengekspresikannya dalam puisi yang sangat legendaris tersebut. Puisi yang sangat menyentuh, terlebih jika kita mengenangkan peristiwa tragedi pembantaian itu. Mereka mati, tanpa pernah lagi bisa melawan. Mereka mati tanpa pernah tahu, apakah kemerdekaan akan langgeng. Mereka tidak tahu, apakah dirinya akan tinggal menjadi tulang-belulang diliputi debu, atau sebuah pengorbanan yang sepadan untuk kemerdekaan. “Kenang-kenanglah kami”, rintih para jenazah yang disuarakan Chairil Anwar.
Spirit perjuangan, spirit pengorbanan untuk kemerdekaan, telah merasuki sejumlah jurnalis, senior dan muda, untuk menghimpunkan diri dalam kerja tim menerbitkan sebuah suratkabar nasional dengan mengabadikan nama “Karawang – Bekasi”. Pemimpin Umum suratkabar itu adalah seorang nasionalis, Sukarnois asal suku Sabu, NTT, Peter A. Rohi. Sedangkan Roso Daras (ehm…) menjabat Pemimpin Redaksi. Suratkabar ini telah diluncurkan di Karawang, Kamis, 14 November 2013. Mohon doa restu. (roso daras)

Lembutnya Bung Hatta, Kerasnya Bung Karno
Ketika Bung Karno meringkuk di Sukamiskin, ia mendengar partai yang didirikannya, PNI (Partai Nasional Indonesia) dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang. Demi melukiskan kesedihan hatinya mendengar “anak” yang dilahirkan dan dibesarkannya berantakan, Bung Karno dalam penuturan kepada Cindy Adams mengakui, itulah kali pertama ia menangis sejadi-jadinya.
Alhasil, ketika pada tanggal 31 Desember 1931 Bung Karno dinyatakan bebas menghirup udara lepas, hal pertama yang ia lakukan adalah mengkonsolidasikan para pengikutnya. Saat itu, partainya telah pecah. Hatta dan Sutan Sjahrir mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia, yang singkatannya PNI juga. Sedangkan pengikut Bung Karno yang lain mendirikan Partai Indonesia yang disingkat Partindo.
Para pengurus Partindo menarik-narik Bung Karno masuk Partindo, tetapi Bung Karno menolak sebelum berbicara dengan Hatta. Syahdan, kedua tokoh pergerakan yang di kemudian hari kita kenal sebagai dwitunggal itu pun bertemu. Dalam pertemuan itulah terjadi perdebatan sengit, menyoal cara-cara berjuang mencapai kemerdekaan. Hatta menghendaki pendidikan kader, dan menilai cara-cara yang dilakukan Bung Karno membuat partai tidak bisa stabil. Bung Karno ngotot dengan pendapatnya, bahwa untuk merdeka, rakyat harus disatukan melalui pergerakan.
Saat itulah meluncur statemen Bung Karno tentang pergerakan, yang kemudian mengilhami kuam-kaum pergerakan selanjutnya, bahkan hingga hari ini. Katanya, “Politik adalah machtsoorming dan machtsannwending, pembentukan kekuasan dan pemakaian kekuatan. Dengan tenaga yang terhimpun kita dapat mendesak musuh ke pojok dan kalau perlu menyerangnya.”
Bung Karno menuding, cara-cara pendidikan kader, cara-cara revolusi yang dilandaskan pada teori buku, adalah sebuah landasan revolusioner yang khayal. Bahkan dalam perdebatan sengit tadi Bung Karno sempat mengecam pendirian Bung Hatta dengan mengatakan, “Mendidik rakyat supaya cerdas akan memerlukan waktu bertahun-tahun Bung Hatta… Jalan yang Bung tempuh baru akan tercapai kalau hari sudah kiamat!”
Singkat kata, kedua tokoh pergerakan tadi tidak mencapai kata sepakat dalam hal merumuskan cara perjuangan menuju cita-cita yang sesungguhnya sama: Indonesia merdeka. Bung Hatta lebih soft, sedangkan Bung Karno memilih cara keras. Akhirnya benar, keduanya menempuh jalan masing-masing, dan Bung Karno masuk Partindo pada tanggal 28 Juli 1932. Tak lama kemudian, ia sudah menjadi pemimpin partai itu, dan pergerakan hidup kembali.
Begitulah sosok dwitunggal yang memang berbeda, tetapi sejatinya saling melengkapi. Karena kemudian sejarah mencatat, bahwa Hatta dan Sjahrir-lah yang dapat merangkul kalangan intelektual. Sementara, Bung Karno mengakar di hati rakyat Marhaen yang paling dalam.
Suatu ketika, untuk menggambarkan dua kepribadian dwitunggal itu, Bung Karno pernah menceritakan peristiwa tahun 20-an. Pada suatu waktu, Bung Karno dan Bung Hatta melakukan perjalanan ke suatu tempat, dan satu-satunya penumpang yang lain adalah seorang gadis yang cantik. Di suatu tempat yang sepi dan terasing, ban pecah.
Bung Karno dan pengemudi mencari pertolongan, sementara Hatta dibiarkan di dalam mobil bersama gadis cantik tadi. Apa yang terjadi? Dua jam kemudian ketika pertolongan itu datang, si gadis cantik tampak tengah tertidur di sudut mobil, sedangkan Hatta mendengkur di sudut yang lain. (roso daras)
