Rumah dengan Papan Nama “Ratna Sari Dewi Soekarno”

JpegCukup lama saya berdiri di depan rumah Dewi Soekarno di Shibuya – Tokyo. Saya suka model rumah ini. Sebagai seorang arsitek, kukira Bung Karno pun akan suka. Rumah-rumah di sekeliling, tampak beda.

Masyarakat Jepang, termasuk masyarakat yang sangat menjunjung tinggi akar budaya dan tradisi. Nyaris di semua bidang. Termasuk dalam hal rumah. Mereka menyukai elemen alam, termasuk bahan dan pewarnaannya. Hanya saja, rumah-rumah mewah yang ada di Shibuya, memang umumnya menampilkan kesan modern. Kalau toh ada yang khas, adalah pada konsep minimalis.

Nah, di depan saya, adalah rumah “Warga Negara Indonesia” kelahiran Jepang. Nama Naoko Nemoto diganti oleh Bung Karno menjadi Ratna Sari Dewi. Agama shinto yang dianut, ditinggal dan berpindah ke Islam. Itu terjadi awal tahun 60-an saat Bung Karno memperistrinya.

Kembali ke rumah berbatu-bata merah yang ada di depan. Apa boleh buat, saya tidak bisa lebih lama lagi menikmati dari luar. Pertama, kedatangan saya ke rumah ini, sejatinya terlambat lebih dari 30 menit dari yang dijadwalkan oleh Ms Saito, sekretaris Dewi Soekarno. Kedua, udara di luar sangat dingin untuk ukuran orang Indonesia (di awal November 2016, sore itu suhu stabil di 12 – 13 derajat Celcius).

JpegSaya menyeberangi jalan, berdiri di depan pagar besi rendah, hanya lebiih tinggi sedikit dari lutut saya. Selagi saya mencari-cari letak bel untuk saya pencet, keluarlah Ms Saito. Cukup dengan saya menyebut nama, dia sudah tahu. Saya pun dipersilakan masuk. Pintu di buka, ada tangga dalam rumah membentang ke atas. Saito meminta saya melepas sepatu, dan memberinya  sandal-dalam-rumah yang lembut.

Baru saja sepatu lepas, Saito turun tergopoh, dan menyuruhku memakainya lagi. Dalam bahasa Jepang yang kuterjemahkan secara ngawur, kurang lebih dia mengajak keluar rumah, dan masuk dari sisi rumah yang lain. Rupanya, saya masuk dari bagian rumah yang dijadikannya kantor Dewi.

Benar. Saito mengiringkanku keluar rumah, memutar ke arah kanan, hingga tiba di satu sisi rumah utama. Apakah ada teras, sehingga bisa saya simpulkan itu sisi utama rumah Dewi? Tidak. Setidaknya saya melewati garasi yang tertutup rolling door, dan di tembok dekat pintu masuk, tertera papan nama tertempel paten di tembok batu-bata merah. Papan nama “RATNA SARI DEWI SOEKARNO”.

JpegPapan nama itu, jelas “Indonesia banget”. Hanya di rumah-rumah Indonesia saja, di tembok luar tertera nama sang pemilik. Dan menariknya, Dewi tidak menuliskan namanya dalam huruf kanji.

Di sebelah papan nama, terletak tombol bel dan celah tembok. Di sebelah lagi, barulah pintu besi tempa warna hitam bermotif. Di atas, saya lihat sebuah CCTV. Dekat undakan tangga ke atas, tumbuh tanaman hias yang sejuk di mata. Sampai depan teras rumah, kembali saya melepas sepatu dan berganti sandal-dalam-rumah.

Saya diiringkan ke ruang tamu. Di situ saya menunggu Dewi muncul dari pintu. (roso daras)

Jpeg

Mencari Dewi di Shibuya

Jpeg

Kediaman Ratna Sari Dewi Soekarno, di Shibuya – Tokyo.

Kawasan Shibuya, adalah satu di antara sekian banyak kota di Tokyo Metropolitan yang paling sibuk. Salah satu keunikan di Shibuya adalah pejalan kaki yang menyemut. Di setiap perempatan jalan besar, ketika lampu hijau menyala untuk para pejalan kaki dari semua arah, maka manusia menyemut di perempatan jalan.

Sekadar senggolan bahu adalah hal biasa. Bahkan, jika tidak lincah berkelit, niscaya akan ‘terlempar’ kian-kemari karena tubrukan sesama penyeberang jalan, yang semuanya berjalan serba tergesa. Mirip bola dalam permainan ding-dong. Karenanya, menyeberang jalan di Shibuya harus lincah bermanuver menghindari tabrakan. Atau gunakan cara aman, pilih pria bertubuh besar (meski amat jarang), lalu berjalanlah di belakang orang itu hingga selamat sampai di seberang jalan….

Itu sekelumit kenangan yang hanya sekilas mengunjungi Shibuya awal November lalu. Sama sekali tidak tertarik untuk mengagumi pusat pertokoan yang menyatu dengan stasiun barah tanah Shibuya yang sangat terkenal itu. Juga tidak tertarik untuk sekadar menengok keindahan objek wisata Shibuya yang masyhur, semisal Yoyogi Park, Meiji Shrine, Takeshita Street, dan lain-lain.

Fokus kaki ini hanya menuju ke satu rumah: Rumah Ratna Sari Dewi Soekarno. Istri mendiang Bung Karno yang bernama asli, Naoko Neomoto itu. Berkat bantuan rekan Sigit Aris Prasetyo, pegawai di Kementerian Luar Negeri Pejambon Jakarta Pusat, yang kemudian menghubungkan dengan Saud di Kedutaan RI di Tokyo, saya akhirnya diberi waktu untuk jumpa Dewi Soekarno.

Kediaman Dewi Soekarno di Shibuya, relatif jauh dari keramaian Shibuya. Ia tinggal di sebuah kawasan perumahan, tanpa ada satu pun bangunan pencakar langit baik pertokoan, perkntoran, atau apartemen di sekelilingnya. Kawasan tempat tinggal Dewi adalah sejenis kawasan perumahan yang memiliki tanah. Menyapu pandang di sekitar kawasan itu saja bisa saya simpulkan, kawasan ini hanya dihuni oleh orang-orang strata atas.

Hawa sore yang stabil di kisaran 12 derajat Celcius itu, memang nyaman untuk dipakai berjalan kaki (cepat). Demi jumpa Madame de Syuga, tidak ada rasa lelah sedikit pun. Meski, kerongkongan terasa kering. Itu pun bukan soal besar… mesin penjual minuman segar, ada di pinggir-pinggir jalan. Dengan memasukkan sejumlah Yen, kemudian tekan tombol pilihan, maka sebotol minuman segar pun terjatuh.

Hati berdegup kencang, ketika seorang lelaki paruh baya, menunjuk satu rumah yang tak jauh dari posisi saya berdiri. Dia orang ketiga yang saya tanya. Setelah dua orang sebelumnya, hanya bisa menggeleng dan ngeloyor pergi. Nun tak jauh di sana, tampak sebuah rumah dengan ciri tembok batu-bata merah coating.  Itulah rumah Satna Sari Dewi Soekarno.

Dewi sudah menungguku di rumah itu. Pikirku. (roso daras)

Puti Guntur Meriahkan Machida

Jpeg

Walikota Machida, Joichi Ishizaka dan Puti Guntur Soekarno.

Tampak berjalan cepat, sejumlah orang Indonesia di ground Shinjuku Station, Tokyo – Jepang. Satu di antara mereka, tak asing lagi, Puti Guntur Soekarno. Anggota DPR RI Komisi X itu, tampak familiar dengan public transportation di Jepang. Di antara sekian banyak pilihan commuter line, hari Jumat (4/11) pagi itu, Puti menuju ke base Odakyu Line. Ia dan rombongan menuju Kota Machida guna memenuhi undangan Walikota Joichi Ishizaka.

Di jalur 5, rangkaian KRL Odakyu siap berangkat dari peron Shinjuku, mengantar Puti Guntur, berbaur dengan masyarakat Jepang pengguna commuter line lainnya. Perjalanan sekitar 30 menit, melintasi beberapa stasiun: Shumokitazawa, Umegaoka, Shin Yurugaoka, Shoinjinjamae, Tsurukawa, dan akhirnya stasiun Machida. Sebuah minibus sudah menanti di depan stasiun yang lebih mirip mal di Indonesia.

Kurang dari 15 menit, minibus pun berbelok ke city hall kantor Walikota Machida. Sungguh di luar dugaan. Ratusan pegawai dan masyarakat Machida berbaris dari lobby hingga pintu lift, mengibar-kibarkan bendera merah-putih ukuran kecil. Di satu sudut, bendera merah putih besar dipegang dua warga Machida, dan di sebelahnya, dua orang lain memegang kain bergambar Garuda Pancasila. Mereka bertepuk tangan dan membungkuk menyambut kedatangan cucu Presiden Sukarno dengan sangat meriah dan hormat, hingga ke pintu lift.

Keluar dari lif di lantai dua, tampak pemandangan serupa. Puti disambut bendera merah putih, Garuda Pancasila, dan tepuk tangan serta sikap khas membungkuk warga Jepang. Barisan penyambut di kiri-kanan itu baru berakhir di ruang pertemuan Puti dan Walikota Ishizaka. “Setengah berbisik Puti bergumam kepada Joy Kameron, suami yang mendampinginya… ‘kalau tahu begini sambutannya, saya pasti pakai kain-kebaya’.”

merah-putih-sambut-puti-di-machida

Tidak menyangka mendapat sambutan yang begitu hangat dan meriah, Puti harus mengatur napas dalam-dalam sebelum memulai pembicaraan dengan Walikota Ishizaka yang ramah. Walikota didampingi para staf menyambut Puti dengan sangat baik. Dalam pembicaraan formal, Walikota Ishizaka menyebutkan bahwa Machida merupakan salah satu kota di Tokyo Metropolitan, yang akan menjadi tuan rumah sejumlah pertandingan Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo 2020.

Kontur kota yang sedikit di atas, sangat tepat untuk dijadikan markas atlet yang bertanding di olimpiade. “Di sini juga tersedia banyak fasilitas olahraga standar internasional, juga hotel urban, bahkan distrik belanja. Lebih dari segalanya, Machida adalah salah satu kota di Tokyo Metrolitan yang relatif paling hijau,” ujar Ishizaka.

Di kota ini juga terdapat kampus cabang Universitas Kokushikan, khususnya untuk bidang-bidang keilmuan olahraga. Karenanya, banyak sekali fasilitas berlatih berbagai jenis cabang olahraga yang bisa digunakan. “Bahkan kami pun siap memberi asistensi jika diperlukan. Kami sangat mengenal baik Indonesia, dan berharap bisa menjadi rumah kedua bagi atlet-atlet Indonesia,” kata walikota.

Bukan hanya itu, Walikota Ishizaka juga menjamin, warganya akan mendukung atlet-atlet Indonesia, dan menjadi suporter yang paling bersemangat. “Dan saya pastikan, warga kota Machida pasti akan kebingungan mendukung negara mana ketika dalam salah satu cabang, atlet Indonesia harus berhadapan dengan atlet Jepang. Dan saya rasa, warga Machida akan mendukung atlet Indonesia,” ujarnya sambil tertawa.

Disebutkan pula oleh Ishizaka, bahwa Machida bisa dibilang sebagai kota yang melahirkan banyak atlet nasional Jepang. Hal itu dimungkinkan karena, selain dukungan fasilitas dan banyaknya bakat, lebih penting lagi adalah dukungan sport science. “Jika diizinkan, kami pun menyediakan dukungan fasilitas sport science untuk meningkatkan performance atlet-atlet Indonesia. Karena itu kami tidak hanya menawarkan menjadi tuan rumah bagi atlet kontingan Indonesia di Olimpiade 2020, tapi kami juga menawarkan pusat pelatihan atlet Indonesia menjelang Olimpiade,” katanya.

Dalam pada itu, Puti Guntur Soekarno menyambut dengan antusias penawaran Walikota Machida. Sebagai anggota parlemen Komisi X yang antara lain membidangi masalah olahraga, Puti berjanji akan meneruskan penawaran Kota Machida kepada Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nachrawi. “Saya harap, Bapak Menpora Indonesia berkenan mempertimbangkan penawaran Machida yang luar biasa ini,” ujar Puti.

Usai pembicaraan, Puti Guntur menyerahkan cenderamata berupa pahatan gambar Bung Karno yang diapit oleh Kaisar Hirohito dan Pangeran Akihito tahun 1958. Walikota Ishizaka dan staf kantor yang lain, sangat terkesan dengan karya pahat tersebut. “Ini dibuat oleh salah satu konstituen saya di Jawa Barat,” Puti menjelaskan. Pemberian cendera mata itu sebagai balasan atas pemberian karangan bunga yang cantik saat Puti datang.

Pertemuan resmi Puti Guntur Soekarno dan Walikota Joichi Ishizaka diakhiri dengan makan siang bersama di salah satu restoran tradisional Jepang. Hari itu, menu yang disajikan adalah tahu lembut dalam aneka olahan. Sedikitnya, delapan sajian mulai dari appetizer, main course, dan dessert yang kebanyakan menggunakan tahu. “Tahu adalah salah satu makanan khas Machida,” ujar Ishizaka seraya mengatakan, “sepertinya di Indonesia, tahu juga bukan makanan asing.”

Sebelum perpisahan, staf kantor walikota Machida menyerahkan buah tangan. Antara lain berupa pin-olimpiade, kemudian buah khas Machida yang tak lain adalah kesemek. Terakhir, kepada Joy Kameron yang pengusaha kuliner, walikota Ishizaka menyerahkan white wine khas Machida. (roso daras)

Published in: on 13 November 2016 at 12:06  Tinggalkan sebuah Komentar  
Tags: , , ,

Universitas Kokushikan Tokyo Gelar Simposium Bung Karno

20161103_094345

Pagi itu, suasana kampus Universitas Kokushikan, di Setagaya, Tokyo – Jepang, mulai pikuk, ketika rombongan Puti Guntur Soekarno tiba, Kamis (3/11). Mahasiswa dan masyarakat berkumpul di halaman kampus dalam pelaksanaan sebuah festival tradisional yang diperingati tiap tahun.

Rektor dan pejabat kampus antusias menyambut kehadiran Puti Guntur yang hari itu didampingi bapaknya, Guntur Soekarnoputra dan istri, Henny. Nama Guntur dan Puti, begitu lekat di kampus bersejarah ini. Terlebih, ini bukan kali pertama Puti hadir.

Tahun lalu, di kampus yang sama, dalam rangka peresmian “Soekarno Research Center”, Puti hadir dan membawakan pidato kebudayaan, “Pancasila Bintang Penuntun”. Kali ini, kehadiran Puti pun sejalan dengan program Pusat Studi Asia-Jepang, Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Kokushikan, yakni simposium internasional mengenai Soekarno, yang berjudul “Merefleksikan Pemikiran Soekarno dari Masa Kini Abad ke-21”.

Sebelum menuju aula di kampus lantai tiga, Puti dan rombongan diterima Rektor Prof Keiichi Sato, PhD dan Direktur Pusat Studi Asia-Jepang, Tokubumi Shibata, yang merupakan cucu pendiri Universitas Kokushikan, Tokujiro Shibata. Hadir juga Kepala Pascasarjana Jurusan Ilmu Politik, Prof Masami Hiraishi.

Usai beramah-tamah, Puti dan rombongan diiringkan berjalan kaki, menapaki kampus Kokushikan yang luas, menuju tempat acara di sebuah bangunan lima lantai. Acara simposium itu sendiri digelar di lantai tiga. Tepat pukul 09.00, simposium dibuka, diawali sambutan-sambutan dari pihak universitas.

Rektor Keiichi Sato menceritakan ihwal hubungan Kokushikan dengan Indonesia. Tersebutlah pasca Konferensi Asia Afrika 1955, Bung Karno memperkuat solidaritas bangsa-bangsa Asia-Afrika, antara lain dengan menggelar Games of New Emerging Forces (Ganefo) 1962. Jepang yang hadir pada KAA termasuk yang diundang dalam Ganefo. Akan tetapi, demi menjaga perasaan Barat, pemerintah Jepang tidak mengirimkan atlet. Akan tetapi, Universitas Kokushikan-lah yang mengirimkan atlet dan mendapatkan medali pada cabang judo. Ini adalah keputusan penting dari pendiri Universitas Kokushikan, Tokujiro Shibata yang memang dari awal fokus pada persoalan Asia.

Rektor Sato yang sudah tiga kali berkunjung ke Indonesia, tak habis-habis memuji. Indonesia yang dikatakannya “fitur ideal dunia”. Negara dengan keragaman suku, adat-istiadat, budaya, dan bahasa. Bahasa Jawa adalah paling dominan di antara suku yang lain. Akan tetapi, Presiden Sukarno tidak menjadikan bahasa Jawa sebagai bahasa nasional.

Juga tentang agama. Bangsa Indonesia 88 persen Islam, tetapi Bung Karno tidak menjadikan Islam sebagai agama negara. Negara menjamin warganya memeluk agama dan kepercayaan masing-masing. Inilah warisan berharga dari Sukarno. “Bisa dikatakan, Indonesia mempraktekkan salah satu model ideal perdamaian dunia,” ujar Rektor Sato.

bonnie-triyana-dan-prof-dadan-umar-daihani

Pada kesempatan berikut, Direktur Pusat Studi Asia-Jepang, Tokubumi Shibata juga menyebut Bung Karno sebagai tokoh besar yang meninggalkan gagasan berharga untuk kerjasama dan keharmonisan Asia dan dunia. Ketidakharmonisan dunia yang cenderung tampak jelas akhir-akhir ini, memerlukan kebijaksanaan Timur untuk menyelesaikannya. “Saya berpikir bahwa Presiden Sukarno sudah melihat dan memberikan jawabannya sejak 70 tahun lalu,” ujar Shibata yang juga Ketua Soekarno Research Center.

Sambutan ketiga diberikan Kepala Pascasarjana Jurusan Ilmu Politik, Prof Masami Hiraishi. Ia berterima kasih kepada Puti, di tengah kesibukannya sebagai Anggota DPR RI, masih berkenan menyisihkan waktu hadir dan memberi kuliah umum, sekaligus menerima penyerahan gelar sebagai profesor tamu di Jurusan Ilmu Politik, Pascasarjana Universitas Kokushikan.

Lebih lanjut Prof Hiraishi memprihatinkan, akhir-akhir ini terjadi kecenderungan kita memilih kehidupan modern dengan membuang kehidupan tradisional. Padahal, modernitas tidak selalu benar, melainkan harus dengan melihat masa lalu. Nah, simposium yang digelar hari itu, menghadirkan dua peneliti dari Indonesia dan dua peneliti dari Jepang. “Masing-masing memiliki sudut pandang berbeda, tentu menjadi sesuatu yang sangat menarik sebagai bahan kajian ilmiah kita bersama,” katanya.

Dan benar, simposium hari itu, selain diisi pidato utama Puti Guntur Soekarno yang berjudul “Pancasila Menuju Tata Dunia Baru”, juga diisi dua pembicara Indonesia. Mereka adalah Pemimpin Redaksi Majalah Historia, Bonnie Triyana dan Prof  Dadan Umar Daihani dari Universitas Trisakti, Jakarta. Dari Jepang hadir dua pembicara: Kaoru Kochi, dosen Universitas Tokyo dan Prof Masakatsu Tozu, profesor kehormatan Universitas Kokushikan.

Bonnie Triyana sebagai pemateri pertama, membawakan makalah “Mencari Sukarno Sejati”. Ia menyorot sosok Sukarno dari catatan buku sejarah Indonesia, sejak Orde Baru hingga saat ini. Bonnie banyak mengupas praktek desukarnoisasi yang dilakukan rezim pengganti Sukarno. Sementara itu, Prof Dadan membawakan makalah “Bung Karno: Dunia Pendidikan dan Peradaban Bangsa”. Alumni ITB ini banyak menyorot pentingnya pendidikan bagi pembentukan karakter bangsa. Presentasi Dadan banyak menampilkan foto-foto dan kutipan-kutipan kalimat Bung Karno yang monumental, dan mampu membuat suasana simposium menjadi hangat.

prof-kochi-dan-prof-tozu

Dua pembicara Jepang, memotret Bung Karno dari sudut pandang berbeda. Prof Masakatsu Tozu misalnya, mengangkat topik “Politik Nasionalisme Soekarno dan Batik: Penciptaan Budaya Nasional di Indonesia”. Profesor yang pernah mendalami batik di Indonesia ini, mengaku sebagai pemilik koleksi batik paling lengkap di dunia. Ia mengagumi Bung Karno, yang berhasil menjadikan batik yang identik dengan “milik” sebagian masyarakat Jawa, menjadi identitas nasional. Ia menganggap itu satu-satunya di dunia.

Sedangkan, dosen Universitas Tokyo, Kaoru Kochi membawakan makalah “Hubungan Indonesia-Jepang dan Kajian Mengenai Soekarno di Jepang”. Ia menyandingkan perjalanan sejarah panjang antara Indonesia dan Jepang, sejak era pra kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan. Satu hal yang ditegaskan Kochi adalah, perhatian akademisi Jepang terhadap Indonesia makin meningkat, setelah Bung Karno sukses menggelar Konferensi Asia Afrika, 1955. Dan itu terus berlangsung hingga saat ini.(roso daras)

Guntur Bicara Bung Karno di Tokyo

img-20161103-wa0048Kapan terakhir kali Anda mendengar Guntur Soekarnoputra berbicara tentang bapaknya? Dalam forum resmi, tidak pernah. Dus, bisa jadi, inilah kali pertama, Guntur bicara tentang bapaknya di forum resmi. Forum simposium mengenai Sukarno, yang digelar Universitas Kokushikan, Tokyo, 3 November 2016.

Hari itu, Pusat Studi Asia-Jepang, Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Kokushikan mengelar simposium dengan pidato utama oleh putri tunggalnya, Puti Guntur Soekarno. Selain mendengarkan pidato Puti, simposium juga menghadirkan empat pembicara: Dua dari Indonesia dan dua dari Jepang.

Dari Indonesia, tampil Bonnie Triyana (Majalah Historia) dengan topik “Mencari Sukarno Sejati”, dan Prof Dr Dadan Umar Daihani (Universitas Trisakti Jakarta) dengan topik “Bung Karno: Dunia Pendidikan dan Peradaban Bangsa”. Sedangkan dari Jepang, tampil Prof Masakatsu Tozu (profesor emeritus Universitas Kokushikan) dengan makalah “Politik Nasionalisme Soekarno dan Batik: Penciptaan Budaya Nasional di Indonesia”, serta Kaoru Kochi (Dosen Universitas Tokyo) yang mengangkat topik “Hubungan Indonesia – Jepang dan Kajian Mengenai Soekarno di Jepang”.

Kurang dari dua jam, empat pembicara pun selesai menyampaikan presentasinya. Hingga tanya-jawab berlangsung, tampak Guntur, tetap tekun mengikuti. Dalam usia yang 72 tahun, bisa dibilang, Guntur sangat antusias dengan simposium hari itu.

Di pengujung acara tanya-jawab, tiba-tiba ia mengangkat tangan tinggi-tinggi. Spontan hadirin terhenyak. Tak kurang dari moderator, Tokubumi Shibata yang tak lain adalah Direktur Pusat Studi Asia-Jepang, Universitas Kokushikan, sekaligus cucu dari pendiri universitas tersebut, Tokujiro Shibata.

Bergegas petugas mengantarkan mic ke hadapan Guntur. Sempat agak susah-payah bangun dari sofa yang didudukinya di deret paling depan. Begitu berdiri, ia langsung melancarkan tanggapan atas keempat pembicara.

Yang pertama ditanggapi adalah Bonnie Triyana. Bonnie yang antara lain mengupas usaha desukarnoisasi oleh presiden Soeharto, menyinggung tentang penempatan sosok Sukarno dalam era Orde Baru yang ditenggelamkan. Dimulai dari tudingan, baik langsung maupun tak langsung, oleh Orde Baru kepada Bung Karno sebagai tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Guntur menanggapi khusus pada penggalan “tudingan bapaknya terlibat G-30-S”. “Itu sama sekali salah. Saya tegaskan sekali lagi, tudingan itu tidak betul!” ujar Guntur lantang. Putra sulung Bung Karno itu lantas mengoreksi istilah G-30-S dengan Gestok (Gerakan Satu Oktober). Sebuah gerakan yang terjadi karena adanya oknum-oknum baik di tubuh PKI maupun di tubuh Angkatan Darat, serta adanya intervensi asing.

Gerakan mahasiswa yang dimotori Angkatan Darat, adalah satu gerakan masif, terstruktur dan berbiaya besar. Amerika Serikat berada di belakang gerakan penjatuhan Bung Karno. “Jadi ini sekaligus menegaskan dan melusurkan sejarah. Bagaimana mungkin Bung Karno yang saat itu masih berkuasa, dituding melakukan aksi makar yang itu artinya menggulingkan dirinya sendiri?” ujar Guntur yang berbicara sambil berdiri.

guntur-soekarnoputra

Tanggapan kedua diberikan kepada pembicara kedua, Prof Dr Dadan Umar Daihani. Guntur mengawali dengan intermezo kepada Dadan yang sama-sama lulusan ITB. Kampus yang kebetulan sama dengan kampus Bung Karno menyelesaikan pendidikan insinyurnya. “Kita sama-sama ITB kan? Berarti semboyan kita sama, In Harmonia Progressio….” Prof Dadan tertawa dan mengangguk-angguk.

Selanjutnya Guntur masuk ke materi presentasi Dadan, yang menyoroti pentingnya aspek pendidikan. Mas Tok, begitu ia akrab disapa, mengatakan, bahwa benar pendidikan itu penting. Tetapi ada yang lebih penting dari sekadar pendidikan, yaitu pendidikan karakter bangsa, nation and character building. Bung Karno melakukan itu kepada bangsa Indonesia. Sehingga meski dalam usia muda dan baru merdeka, bangsa Indonesia bisa segera bangkit dari bangsa inlander menjadi bangsa yang memiliki kepercayaan diri tinggi.

Nah, dalam politik, yang tidak kalah penting adalah pembangunan jaringan dan kekuatan. Bung Karno sering mengistilahkan dalam gerakan politiknya dengan istilah machtsvorming, atau pembentukan kuasa atau kekuatan. Dalam konteks politik dunia, Bung Karno lantas melakukannya dengan menghimpun negara-negara Asia-Afrika menjadi sebuah kekuatan untuk mencapai tujuan bersama. Ketika itu, tahun 1955, bangsa-bangsa Asia dan Afrika ditambah Amerika Latin, berhimpun dan menjadi sebuah kekuatan baru di antara hegemoni Barat dan Timur.

Selain itu, Guntur juga menyinggung soal hakikat kemerdekaan. Hakikat inti dari kemerdekaan sebuah bangsa adalah Trisakti, yang lagi-lagi merupakan ajaran Bung Karno. Berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkebudayaan yang berkepribadian. Mari kita lihat, apakah Indonesia sudah merdeka? Kalau pengertiannya berhasil menjadi negara dan lepas dari penjajahan, mungkin jawabnya sudah. Tetapi apakah sudah berhasil menjalankan Trisakti? “Belum,” kata Guntur menjawab pertanyaannya sendiri.

Karena itu, Trisakti harus terus diperjuangkan. Bukan hanya oleh bangsa Indonesia, tetapi oleh seluruh bangsa di dunia. Sebab, esensi merdeka ya Trisakti itu, kata Guntur.

guntur-s

Cukup lama Guntur berbicara. Menyadari waktu yang telah ia pakai, Guntur segera bertanya kepada audiens. “Apakah bosan mendengarkan saya bicara? Yang bosan tunjuk tangan,” katanya. Audiens yang mengerti bahasa Indonesia spontan mengatakan, “Tidak!” Tetapi bagi yang tidak paham bahasa Indonesia diam… dan baru menjawab “Tidak” setelah penerjemah mengartikan kata-kata Guntur.

Maka, Guntur pun melanjutkan tanggapannya. Kali ini ia menyorot Prof Tozu. “Bicara kesana kesini, ujung-ujungnya ke batik juga,” kata Guntur disambut tawa hadirin. “Tapi, dia memang begitu. Sejak kenal saya, kalau ke Jakarta, saya ajak makan, saya ajak ngobrol. Tapi obrolannya ya berakhir ke masalah batik. Karena itu, sudahlah, saya tidak akan banyak komentar kepada profesor ahli batik yang satu ini,” kata Guntur, lagi-lagi disambut tawa hadirin.

Terhadap pembicara terakhir, Kochi, Guntur mengutip kalimat, “Bung Karno benci kepada Amerika Serikat”. Untuk kalimat itu, Guntur menanggapi, “Bung Karno tidak benci kepada Amerika Serikat. Bung Karno hormat, cinta, dan bersahabat dengan rakyat Amerika Serikat. Yang Bung Karno benci adalah pemerintahannya. Ini pun ada kisahnya.”

Guntur mengisahkan pada satu masa, di mana Indonesia membutuhkan bantuan. Bantuan yang tidak lain adalah utang luar negeri. Pada saat itu, Amerika Serikat bersedia mengulurkan bantuan (baca: utang), tetapi dengan syarat-syarat politik. “Nah, dalam rangka teguh pada pendirian Trisakti itulah, Bung Karno menolak mentah-mentah bantuan yang bersyarat. Keluarlah kata-kata Bung Karno yang terkenal, go to hell with yor aid,” Guntur mengucapkan kalimat terakhir dengan nada bergetar. Hadirin pun bertepuk tangan.

Yang terakhir ditegaskan Guntur adalah mengenai ideologi Bung Karno. “Ideologi Bung Karno bukan Pancasila, bukan Islam. Ideologi Bung Karno adalah marhaenisme,” tegas Guntur. Bung Karno beranggapan, pisau analisa tajam dalam ideologi yang digunakannya ada tiga. Pertama, historis-materialistis; kedua, geopolitik; dan ketiga tentang psikologi massa. “Adonan, atau jladren dari ketiga pisau analisa itulah yang digunakan Bung Karno dalam kebijakan politik, sosial, dan budaya,” tandasnya.

Karena itulah, Bung Karno pernah mengatakan, “Di dalam cita-cita politikku, aku adalah seorang nasionalis. Di dalam cita-cita sosialku, aku adalah seorang sosialis. Dan di dalam cita-cita sukmaku, aku sama sekali theis. Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa,” tegas Guntur sekaligus mengakhiri tanggapannya yang panjang.

Usai berbicara, panitia memberi kejutan pemberian karangan bunga kepada Guntur, yang hari itu 3 November, berulang tahun ke-72. Penyerahan bunga diserahkan oleh salah seorang mahasiswa Universitas Kokushikan, program studi Indonesia, diiringi nyanyian lagi “Happy Birthday”. (roso daras)

Jpeg

Pancasila Bangkit, Matahari Terbit

puti-di-kokushikan

Apa yang harus saya katakan mengenai seorang Puti Guntur Soekarno? Maaf, ini bukan soal kecantikannya. Bukan pula soal sikapnya yang egaliter. Juga, bukan karena ia cucu Bung Karno.

Bangga. Membanggakan. Patut dibanggakan.

Betapa tidak. Di tengah politik dalam negeri yang makin tak berbentuk, di tengah makin lunturnya semangat toleransi, jarang kita temukan sosok politisi yang tampil sebagai negarawan. Di tengah arah kebijakan ekonomi yang semakin kapitalistis, bisa dihitung dengan jari tokoh bangsa yang bicara sosialisme Indonesia. Bahkan, di tengah merajalelanya budaya asing, hanya segelintir orang saja yang masih concern dengan budaya yang berkepribadian Indonesia.

Dus, saya bangga, jagat politik Indonesia memiliki Puti Guntur. Politisi PDIP yang sejauh ini memiliki integritas tinggi. Dia juga membanggakan, karena setidaknya dua tahun berturut-turut diundang Universitas Kokushikan, Tokyo, Jepang sebagai pembicara utama simposium internasional. Dia patut pula dibanggakan, karena yang ia bawa adalah ideologi negara Indonesia: Pancasila, yang digali oleh sang kakek, Bung Karno.

Kurang lebih, itu yang terlintas ketika hari Kamis, 3 November 2016 lalu, saya menyaksikan Puti Guntur melangkah anggun menuju podium, diiringi tepuk tangan peserta Simposium Internasional Mengenai Soekarno di kampus Universitas Kokushikan, Setagaya, Tokyo. Mereka adalah mahasiswa, peserta program master dan civitas akademika yang tertarik menyimak “Refleksi Pemikiran Soekarno dari Masa Kini Abad ke-21”, tema simposium yang digelar Pusat Studi Asia – Jepang, Program Pasca Sarjana, Universitas Kokushikan.

Gemuruh tepuk tangan senyap, ketika Puti uluk salam. Selama berpidato, Puti tampil seperti Bung Karno. Paduan tone dan timbre suara Puti yang berat, melahirkan texture yang segera saja menguasai aula berkapasitas tak kurang dari 400 orang itu. Dibalut kebaya light-purple dan kain motif tenun kecoklatan, Puti membawakan pidato berjudul “Pancasila Menuju Tata Dunia Baru”.

“Saya awali pidato saya dengan mengutip kata-kata Sukarno, Presiden Republik Indonesia yang pertama, ‘Kami nasionalis, kami cinta kepada bangsa kami dan kepada semua bangsa’,” Puti membuka pidato di Negeri Matahari Terbit.

Lebih lanjut, Puti membawa audiens kepada kesadaran, tentang pentingnya persaudaraan bangsa-bangsa. Dikatakan, bahwa dalam lintasan peradaban, sebagai manusia kita tinggal di dunia yang sama yaitu bumi manusia. Meskipun kita berbangsa-bangsa namun kita semua perlu menjalin persaudaraan.

pgs-di-jepangSeperti halnya Bung Karno, maka Puti pun menyitir kata-kata Mahatma Gandhi, “Nasionalismeku adalah kemanusiaan dan kemanusiaanku adalah persaudaraan. Kebangsaan Indonesia sebagaimana kata Bung Karno tumbuh subur dalam  taman-sarinya kemanusiaan. Itulah arah tujuan dan makna dari sebagian nilai dasar dari Pancasila yang berkaitan dengan ide berkebangsaan dan cita-cita kemanusiaan di dalam dunia yang sama,” ujarnya, masih dalam suara lantang dengan diksi yang sangat baik.

Bung Karno dalam pidato di PBB tahun 1960 membawakan judul “To Build the World a New”. Puti menggaungkannya kembali di Tokyo. Diungkapkan, bahwa tata dunia baru membutuhkan transformasi pengelolaan negara bangsa dan pola baru hubungan antar negara dan bangsa yang dilakukan secara utuh, secara once for all bukan parsial. Bangunan tata dunia baru tersebut membutuhkan transformasi politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hukum yang konstruktif demi terwujudnya kemanusiaan dan keadilan sosial bagi setiap warga di tiap negara dan semua penduduk dunia.

Puti menambahkan, bahwa kata kunci utama adalah: keberhasilan mengembalikan kedaulatan rakyat. Bagaimana mengembalikan kedaulatan di tangan rakyat dan prinsip negara kedaulatan. Di tiap negara akan menghasilkan pemerintahan yang mendahulukan keharmonisan dan kemakmuran warganya, sehingga terwujud pula dalam komunitas global warga dunia.

Pada puncak pidatonya, Puti yang tampil cantik dengan untaian kalung mutiara itu menegaskan, bahwa saat ini dunia tengah menghadapi arus deras kapitalisme global vis a vis kesenjangan global di hampir semua negara. Sebuah kondisi yang disebabkan eksploitasi berlebih atas sumberdaya alam dan manusia. Dunia dalam  ancaman  krisis hebat akibat ketimpangan dan kesenjangan.

Di samping itu, tatanan negara-bangsa dibengkokkan oleh kekuatan fundamentalisme pasar yang meminggirkan peran negara. Kehidupan sosial masyarakat dunia yang inklusif diancam kebangkitan fundamentalisme agama, yang memunculkan radikalisme dan terorisme. Saya meyakini, semua masalah  itu akibat prinsip keadilan sosial dan kesejahteraan umum yang telah banyak dilupakan.

Pada konteks ini, Pancasila haruslah dimengerti sebagai ideologi yang memiliki semangat menentang kesenjangan dan ketimpangan di dunia yang diakibatkan eksploitasi berlebihan yang dijalankan oleh kapitalisme global. Pancasila mengandung keinginan menjamin, menghormati, dan memenuhi hak kemerdekaan negara bangsa, kesejahteraan  umum, keadilan sosial, kehidupan yang beradab, serta perdamaian dunia yang abadi. Pancasila menawarkan solusi “jalan ketiga” (the third way) menuju tata dunia baru.

Puti pun menutup pidato dengan memekikkan kata “Merdeka!”, yang disambut spontan oleh audiens, disusul tepuk tangan gemuruh. (roso daras)

img-20161103-wa0081

Bersama Puti Guntur Soekarno usai menyampaikan pidato umum di Universias Kokushikan, Tokyo.

Published in: on 7 November 2016 at 04:28  Comments (1)  
Tags: , , ,

Puti Jumpa Dua Menteri dalam Sehari

Jpeg

Kunjungan Puti Guntur Soekarno ke Jepang pada tanggal 1 – 7 November 2016 boleh dikata sangat produktif. Dalam satu hari, ia mengunjungi dua kamenterian. Siang hari diterima Wakil Menteri Pertahanan Jepang, Takayuki Kobayashi, dan sorenya diterima Menteri dengan Misi Khusus, Yusuke Tsuruho.

Kantor Kementerian Pertahanan Jepang terletak di Ichigayahonmura, Shinjuku. Sedangkan kantor Kementerian Misi Khusus, terletak di kawasan Chiyoda. Keduanya masih berada di teritori Tokyo Metropolitan.

Satu catatan penting, yang bisa dijadikan pembeda antara birokrasi Jepang dan Indonesia barangkali dalam hal urusan protokoler. Baik saat berkunjung ke Kementerian Pertahanan maupun di Kementerian dengan Misi Khusus, begitu profesional. Sesuatu yang bisa dibilang “ribet” sudah tuntas jauh hari sebelum kunjungan, sehingga saat hari “H”, semua mengalir dengan begitu mudahnya.

Contoh kecil, nomor pelat mobil yang akan datang, sudah tercatat di kantor yang hendak dikunjungi. Bukan hanya nomor dan jenis kendaraan, tetapi juga jumlah dan nama tamu yang datang. Maka, ketika datang, mereka menyambut dengan sangat baik dan praktis.

Tamu biasanya dipersilakan duduk di ruang tunggu. Patut diduga, mereka melakukan verifikasi atas tamu yang datang, dan itu sama sekali tidak disadari oleh para tamu tersebut. Setelah clear, rombongan Puti Guntur pun diterima di ruang menteri. Dan di dalam ruang kerja menteri, sudah tersedia kursi sesuai jumlah tamu. Kecuali tamu utama, dalam hal ini Puti Guntur, maka yang lain akan disebut namanya satu per satu, dan dipersilakan duduk di kursi yang sudah mereka persiapkan.

Tidak ada hidangan berlebihan. Sebab, adat Jepang, dengan menjamu teh adalah satu bentuk penghormatan yang sangat tinggi. Terlebih jika tuan rumah sampai menuangkan teh untuk tamunya.

“Beda banget ya…. Kalau di (negara) kita, acara seperti ini pasti ribet konsumsi,” bisik seorang peserta rombongan sambil tertawa kecil.

Syahdan, Puti dan Tsuruho pun bertukar kartu nama. Di Jepang, bertukar kartu nama adalah salah satu tradisi yang tidak boleh dianggap remeh. Mereka sangat menghargai pertukaran kartu nama. Bahkan memiliki etika tersendiri.

Cara menyerahkan kartu nama, harus dengan dua tangan, dan meletakkan dua ibu jari di atas kartu nama, dengan cara membungkuk. Kepada orang yang lebih tua, atau seseorang dengan jabatan lebih tinggi, maka kita harus menurunkan posisi tangan saat menyerahkan, sehingga sedikit di bawah kartu nama orang yang lebih tua (yang kita hormati) atau pejabat dengan pangkat lebih tinggi.

Itu saja? Tidak. Jangan terburu-buru memasukkan kartu nama yang kita terima ke kantong atau kotak kartu nama. Itu tidak sopan, karena dinilai kurang menghargai. Juga tidak boleh terlalu lama, karena dianggap melupakan. Orang Jepang akan menahan, dan biasanya meletakkan di atas meja barang sejenak. Kapan kita menyimpan kartu nama yang kita terima? Tunggu saat orang itu mengambil dan menyimpan, maka segera ikuti, dengan menyimpan kartu nama. Jadi hampir bersamaan.

Bertamu kepada orang atau pejabat di Jepang, juga tidak etis kalau kita langsung duduk. Itu artinya, harus menunggu dipersilakan. Orang Jepang sangat correct dalam etika, termasuk cara duduk. Untuk lebih sopan dan menghargai, maka kita harus mengikuti. Saat tuan rumah masih duduk dalam posisi tegak, jangan sekali-kali kita menyenderkan punggung.

Mengingat kunjungan ke Jepang awal November lalu bukan yang pertama bagi Puti, sehingga tradisi Jepang sedikit banyak sudah dia ketahui dengan baik. Karenanya, perbincangan dengan menteri Ministry of State for Special Missions, mengalir dengan baik dan sangat akrab.

Dalam kesempatan itu, Puti teringat era Bung Karno. Pada zaman mendiang kakeknya berkuasa, pernah dibentuk satu kementerian khusus. Jabatan ketika itu disebut Menteri Negara Yang Diperbantukan. Menteri-menteri inilah yang mendapat penugasan khusus di bidang yang khusus pula.

Dalam kesempatan itu, Puti Guntur mengapresiasi model kementerian dan lembaga di Jepang yang bisa lebih lentur dan fokus. Pengadaan kementerian dengan misi spesial, diyakini mampu menjadi kepanjangan pemerintah yang efektif dalam mengoptimalkan potensi masyarakat di bidang apa pun, baik teknologi, pendidikan, seni-budaya, dan bidang-bidang lain.

Baik Tsuruho maupun Puti Guntur sama-sama berpendapat bahwa hubungan Indonesia – Jepang sangat penting. Bukan saja karena memiliki keterkaitan historis yang panjang, lebih dari itu, Jepang bagi sebagian besar negara di Asia, adalah prototipe negara maju yang sukses menjaga spirit tradisi luhur.(roso daras)

Published in: on 6 November 2016 at 18:13  Comments (1)  
Tags: ,

Patung Sudirman di Sudut Tokyo

puti-dan-patung-sudirman

Kiri: Puti Guntur Soekarno meletakkan karangan bunga di patung Sudirman. Kanan, Puti diapit Wakil Menteri Pertahanan Jepang (kanan) dan tokoh politik LDP Jepang.

 

Patung Jenderal Sudirman, menjadi satu-satunya tokoh atau pahlawan negara asing yang dipajang di Jepang. Awal November lalu, Puti Guntur Soekarno berkenan meletakkan karangan bunga di depan patung setinggi empat meter, dan terbuat dari bahan perunggu itu.

Sebelum seremoni penghormatan dan peletakan karangan bunga, Puti dan rombongan diterima Wakil Menteri Pertahanan Jepang, Takayuki Kobayashi di kantornya, di kawasan Shinjuku – Tokyo. Wamen Kobayashi mengawali ramah-tamah dengan menanyakan, “apakah kedinginan?”, lalu dengan ramah menawarkan Puti Guntur dan tamu yang lain menyeruput green-tea yang menghangatkan.

Dalam kesempatan itu, pejabat kelahiran 29 November 1974 itu menceritakan awal-mula berdirinya patung Sudirman di halaman belakang Kantor Kemhan Jepang. Kobayashi mengatakan, patung itu adalah pemberian Menteri Pertahanan Indonesia, Purnomo Yusgiantoro empat tahun lalu (2012). “Kementerian Pertahanan Jepang menyetujui peletakkan patung Jenderal Sudirman, mengingat banyak nilai-nilai positif yang patut menjadi teladan,” ujarnya.

Puti Guntur melalui penerjemah mengatakan sependapat dengan Kobayashi. Sudirman pantas mendapatkan posisi di Jepang, mengingat selain sebagai pahlawan bagi bangsa Indonesia, “jenderal besar” itu juga menjadi lambang bagi tradisi etos kerja tinggi, disiplin, dan loyalitas. Sikap itu antara lain didapat Sudirman saat berhenti menjadi guru, dan bergabung dalam PETA (Pembela Tanah Air), gemblengan tentara Jepang tahun 1943.

Kobayashi mengangguk-angguk demi mendengar Puti Guntur menyebut PETA. Seolah ia mengingat masa-masa kekuasaan Jepang di Indonesia. Pejabat lulusan John F Kennedy School of Government, Harvard University itu lantas mengemukakan harapannya, agar melalui peletakkan patung tersebut, dapat meningkatkan kerjasama yang lebih erat antara Indonesia dan Jepang.

Sedikit menyinggung tentang bidang tugasnya, Kobayashi yang juga politisi partai berkuasa, LDP (Liberal Democratic Party/Partai Demokratik Liberal) itu menyinggung soal pentingnya membina suasana damai antar-negara. “Indonesia dan Jepang sama-sama negara demokratis. Kita tentu sepakat, bahwa demokrasi senantiasa memperjuangkan kedamaian. Karena itu, kami sangat prihatin dengan permasalahan di Laut China Selatan,” ujar Kobayashi.

Puti Guntur, yang juga Anggota DPR RI Komisi X dan membidangi antara lain soal Pemuda, Olahraga, dan Pendidikan itu, mencoba tidak memasuki wilayah politik luar negeri lebih jauh. Puti hanya menegaskan, bahwa sebagai warga negara Indonesia, ia berharap persoalan Laut China Selatan bisa diselesaikan secara damai.

img-20161106-wa0023Paham tamunya tidak mau terseret dalam isu panas di Laut China Selatan, maka Kobayashi segera memecah suasana melemparkan statemen, “Bagi saya, Indonesia bukan negara asing. Usia lima tahun, saya pernah tinggal di Jakarta mengikuti ayah yang bekerja di sana. Kemudian setelah menjadi pejabat, saya juga mengunjungi Indonesia. Indonesia sungguh negara yang baik. Dalam konteks Hankam, Indonesia adalah negara yang sangat penting bagi Jepang,” papar Kobayashi yang pernah menjabat Menteri Keuangan itu.

Usai ramah-tamah, Kobayashi diserta sejumlah staf kementerian dan partai, mengantar para tamu dari Indonesia menuju lokasi Patung Jenderal Sudirman. Sesampai di sana, protokol mengatur posisi berdiri berbaris menghadap patung, lalu memberi penghormatan. Sebuah karangan bunga sudah disiapkan, dan Puti Guntur meletakkan karangan bunga itu di bawah patung Jenderal Sudirman. Usai serangkaian kegiatan, Puti dan Kobayashi masih terlibat obrolan santai sambil berjalan ke area parkir.(roso daras)

foto-di-depan-patung-sudirman

Dari kiri: Syandri, Syahan (putra-putri Puti), anggota parlemen dari Partai LDP Jepang, Joy Kameron (suami Puti), Puti Guntur Soekarno, Wamenhan Jepang Takayuki Kobayashi, Profesor Masakatsu Tozu (profesor emeritus Universitas Kokushikan), dan Roso Daras.