Di Balik Layar Proklamasi

IMG-20160816-WA0065

Narasumber “Di Balik Layar Proklamasi”, Mata Najwa, Rabu (17/8), pk. 20.00.

 

Najwa Shihab, host Mata Najwa (Metro TV) kembali mengangkat tema Proklamasi pada tayangan Rabu, 17 Agustus 2016 pukul 20.00 WIB. Tema yang diusung adalah “Di Balik Layar Proklamasi”. Acara berdurasi sekitar 90 menit itu, menyajikan tiga segmen dengan narasumber yang berbeda di tiap segmennya.

Segmen pertama, menghadirkan koleksi belasan foto detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56 Jakarta Pusat yang belum banyak, atau bahkan belum pernah dipublikasikan. Pembawa foto-foto bersejarah itu adalah fotografer kawakan dari KLBN Antara, Oscar Motuloh, dan diulas oleh sejarawan JJ Rizal.

Pada segmen kedua, Nana –sapaan akrab Najwa Shihab– mengundang narasumber dua putri pemuda revolusioner, Soekarni dan Wikana. Dua tokoh pemuda yang punya andil bersama pemuda revolusioner lain “menculik” Bung Karno, Bung Hatta, Fatmawati, dan Guntur Soekarnoputra ke Rengasdengklok. Sebagai pengulas, sejarawan yang juga pemimpim redaksi majalah sejarah populer Historia, Bonne Triyana.

Sedangkan, pada segmen ketiga, tampil dua narasumber: Puti Guntur Soekarno dan Roso Daras. Kepada Puti, Nana banyak mengulik kesan-kesan Puti sebagai cucu Bung Karno, serta nilai-nilai yang tersemai dari ajaran sang kakek melalui ayahanda, Guntur Soekarnoputra. Sedangkan Roso Daras, banyak berkisah tentang sisi lain dari Bung Karno yang belum banyak diketahui khalayak. (roso daras)

IMG-20160816-WA0066

IMG-20160816-WA0031

Yang Tercecer di Balik Proklamasi

Cukup menarik ternyata, menguak sisi-sisi lain di seputar peristiwa besar, Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945. Najwa Shihab berhasil mengorek banyak informasi menarik. Misalnya, adanya dua proklamasi sebelum 17 Agustus 1945. Sebagian masyarakat mengetahui, sebagian besar lainnya tidak tahu.

Pada tanggal 23 Januari 1942, seorang pemuda Gorontalo bernama Nani Wartabone, memproklamasikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia “yang ada di daerah ini”. Betapa pun, itu sebuah proklamasi, sekalipun tidak bisa dikatkan berskala nasional. Bunyi proklamasi itu adalah sebagai berikut:

“Pada hari ini, tanggal 23 Januari 1942, kita bangsa Indonesia yang berada di sini sudah merdeka bebas, lepas dan penjajahan bangsa mana pun juga. Bendera kita yaitu Merah Putih, lagu kebangsaan kita adalah Indonesia Raya. Pemerintahan Belanda sudah diambil oleh Pemerintah Nasional. Agar tetap menjaga keamanan dan ketertiban.”

Proklamasi ini didorong oleh semangat yang menggebu-gebu, demi mengetahui kekalahan sekutu atas Jepang. Namun, proklamasi ini tak bertahan lama. Begitu Jepang mendarat, daerah Gorontalo kembali di bawah kekuasaan Jepang. Nanu Wartabone pun kembali ke desa dan bertani.

Selain itu, ada lagi proklamasi yang dicetuskan dr Soedarsono di Cirebon pada tanggal 15 Agustus 1945. Ini juga sebuah proklamasi yang tergesa-gesa, demi melihat kekalahan Jepang, sehingga Soedarsono atas komando Sjahrir mengumumkan proklamasi kemerdekaan. Sayang, teks proklamasi yang kono terdiri atas 300 kata itu, tak berbekas.

Selain itu, di seputar perisitwa proklamasi Pegangsaan Timur 56, Jakarta oleh Sukarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia, juga diselimuti banyak peristiwa menarik. Ada kisah pembantu Sukarno yang bernama Riwu Ga sebagai penyebar berita kemerdekaan ke seantero kota Jakarta. Ada pembentukan pasukan berani mati, ada kisah Tukimin yang disangka Bung Karno, dan lain-lain.

Semua topik itu dibahas di acara Mata Najwa yang akan tayang di Metro TV, hari Rabu, 17 Agustus 2011 pukul 22.05 WIB. Seperti apa? Simak saja acaranya. (roso daras)

Published in: on 16 Agustus 2011 at 13:01  Comments (5)  
Tags: , , , ,

Mozaik Proklamasi di “Mata Najwa”

Di tengah kepadataan agenda mengurus kelengkapan klub Bali Devata agar bisa berkompetisi di liga mendatang…. Di antara tanggung jawab besar memimpin Timnas U-23…. Saya benar-benar tidak kuasa menolak undangan Najwa Shihab. Tentu bukan karena Najwa memang sosok host yang cantik lagi bernas, tetapi karena ini tentang Bung Karno.

Untuk Bung Karno, apa pun saya ladeni…. Jadilah, Senin (15/8) saya harus mondar-mandir Denpasar-Jakarta-Denpasar. Undangan untuk kembali menjadi narasumber di acara “Mata Najwa” kali ini terasa spesial. Topiknya “Mozaik Proklamasi”. Relevan benar dengan suasana 17-an. Lebih dari itu, selaras dengan peristiwa bersejarah 66 tahun lalu, yang juga terjadi di bulan Ramadhan.

Hanya saya yang merasakan, kalau dua hari terakhir, sakit kepalaku kambuh…cenut-cenut…. Sementara itu, saya tetap berpuasa. Kalau saya harus mendiskripsikan fisik saya hari itu, benar-benar “pating greges”. Kepala pusing, Jakarta yang panas, masuk studio yang duingiinnn….Saya harus minta maaf, jika keramah-tamahan Najwa dengan kecantikannya, tak mampu mengobati ribuan bintang yang berputar-putar di atas kepala…. (ilustrasi kartun yang menggambarkan pusing tujuh keliling….).

Lagi-lagi, demi mengingat topik Bung Karno, yang ada hanyalah semangat untuk berbagi. Berbagi peristiwa bersejarah di seputar Proklamasi 17 Agustus 1945. Saya berusaha konsentrasi dengan topik yang hangat, bersama narasumber lain, sejarawan JJ Rizal. Hampir sepanjang proses taping, saya memijat-mijat telapak tangan di antara ibu-jari dan telunjuk. Kata ahli refleksologi, itu bermanfaat untuk mengurangi rasa sakit di kepala.

Begitulah, sidang pembaca blog yang saya hormati. Ini adalah pemberitahuan tentang topik menarik Mata Najwa, Rabu, 17 Agustus 2011 pukul 22.05 WIB nanti, dan curhat tentang sakit kepalaku. Selanjutnya, adalah ajakan untuk menonton acara itu. Siapa tahu ada mozaik-mozaik sejarah yang bisa kita petik sebagai penambah pengetahuan kita bersama. (roso daras)

Published in: on 15 Agustus 2011 at 14:20  Comments (6)  
Tags: , , , ,

Mata Najwa, Belajar dari Sejarah

Sekadar mengingatkan… malam ini pukul 22.05, acara Mata Najwa di Metro TV akan mengupas tema “Politik Mercusuar”. Saya menjadi salah satu nara sumber acara tersebut. Tema itu sungguh menarik, mengingat adanya kesenjangan informasi tentang hal-hal yang bersifat sejarah pemerintahan Bung Karno dengan era setelahnya.

Hampir semua rakyat Indonesia mengetahui Tugu Monas… demikian pula Masjid Istiqlal, dan tentu saja Gedung DPR-MPR RI. Akan tetapi, berani bertaruh, tidak sampai sepertiga rakyat Indonesia yang mengetahui detail sejarah pendiriannya. Bahkan, warga Ibukota Jakarta yang setiap hari hilir-mudik di jembatan Semanggi, melintasi Patung Dirgantarai (Pancoran), Patung Pak Tani, Tugu Selamat Datang di Bundaran HI, Patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, dan masih banyak lagi situs lainnya, sangat sedikit yang memahami latar belakang sejarah berdirinya situs-situs tersebut.

Alhasil, topik mengupas situs-situs peninggalan Bung Karno dalam kemasan “Politik Mercusuar” di acara Mata Najwa Metro TV, Rabu 11 Mei pukul 22.05 nanti malam, menjadi moment penting dalam pembelajaran bersama tentang sejarah bangsa kita. Seperti berulang kali Bung Karno sering menegaskan, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”… sebab bangsa yang melupakan sejarah, akan menjadi bangsa yang “vacuum”, bangsa yang akan berjalan di kegelapan tanpa lentera.

Istiqlal menyiratkan rasa bangga, rasa nasionalisme yang tinggi, dan tentu saja pembelajaran akan filosofi agama yang dalam. Tugu monas menggelorakan rasa persatuan dan respek terhadap perjuangan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan. Gedung DPR yang dirancang sebagai gedung Conefo tahun 1966, adalah simbol kemandirian kita sebagai bangsa besar, yang tidak mau didikte oleh kekuatan asing mana pun. Jembatan semanggi adalah lambang persatuan, lambang ikatan persaudaraan yang membuat Indonesia bisa bersatu meski berbagai suku, beragam agama, budaya dan adat istiadatnya.

Nah, sekalipun hanya sekelumit, setidaknya Mata Najwa nanti malam sedia melambungkan nostalgi kita ke era kejayaan masa lalu. Mata Nanti malam akan memberi referensi yang sangat berarti bagi generasi penerus. (roso daras)

Published in: on 11 Mei 2011 at 06:21  Comments (8)  
Tags: , , , , ,

Gedung DPR sebagai Mercu Suar?

Kontroversi pembangunan gedung DPR RI di Senayan masih terus bergulir. Rencana pembangunan gedung wah itu, konon dianggarkan bakal menelan dana tak kurang dari Rp 1 triliun lebih sedikit. Tak urung, topik itu diangkat pula oleh produser acara Mata Najwa, Metro TV, Julius Sumant dalam bahasan tentang Politik Mercu Suar.

Alkisah… saya ketiban sampur untuk ikut berbicara tentang topik tersebut, dari kacamata persandingan politik mercu suar zaman Bung Karno, hingga era reformasi sekarang. Itu terjadi Kamis minggu lalu, ketika sang produser, Julius menghubungi dan berbicara tentang topik tersebut. Dari bincang-bicang singkat itu kemudian dia meminta saya Senin (18/4) datang ke studio Metro TV untuk rekaman talk show Mata Najwa.

Tentu saja saja antusias. Bukan saja karena bakal ketemu si Najwa yang cantik, lebih dari itu, karena topik itu memang sangat menarik. Terlebih ketika nama Bung Karno dibawa-bawa. Ada dorongan yang begitu kuat untuk menyampaikan kepada khalayak, bahwa sangat tidak sebanding, membandingkan proyek mercu suar gedung DPR RI saat ini dengan proyek-proyek monumental Bung Karno pada zamannya.

Gedung parlemen yang ada sekarang, dulu dibangun untuk menyongsong perhelatan Conefo (Conference of the New Emerging Forces), kekuatan negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin dan negara-negara kapitalis yang sealiran, untuk menandingi hegemoni PBB. Terlebih bahwa PBB sebagai wadah bangsa-bangsa, selalu dan melulu dikuasai dua negara adi daya (ketika itu) Amerika Serikat dan Uni Soviet. Bung Karno memandang perlu ada wadah alternatif.

Proyek Conefo sama sekali bukan mercu suar dalam pengertian negatif. Dia benar-benar proyek yang dilandaskan pada filosofi tinggi tentang hakikat non-blok yang dicanangkan Bung Karno sejak awal. Indonesia tidak mau menghamba ke Barat, tidak juga menyembah ke Timur. Indonesia adalah negara besar, dengan penduduk yang besar, dan presiden yang besar, yang bisa menyatukan kekuatan negara-negara yang baru merdeka untuk bersatu menjadi satu kekuatan yang harus diperhitungkan.

Sedangkan yang sekarang? Ini proyek bodoh. Pertama, prosesnya tidak transparan. Timing-nya sangat tidak tepat, sehingga mencederai rasa keadilan rakyat banyak. Yang terakhir, tidak ada alasan yang kemudian bisa dijadikan tameng oleh pemerintah atau penggagas untuk menangkal suara-suara yang kontra.

Karena sesungguhnya banyak momen yang bisa dijadikan pemerintah untuk mebangun dignity, membangun kepercayaan rakyat, membangun kebanggaan rakyat berbangsa dan bernegara. Saya hanya menyebut satu contoh. Bahwa mungkin ceritanya akan beda, kalau saja proyek ini didesain sebagai gedung yang melambangkan perlawanan rakyat melawan korupsi. Caranya? Tindak tegas para koruptor, sita harta koruptor, termasuk pengemplang pajak. Jika itu serius dilakukan, mencari dana Rp 1 triliun lebih sedikit ibarat suwe mijet wohing ranti... yang artinya gampang sekali!

Dana hasil rampasan harta koruptor dan pengemplang pajak itulah yang kemudian dijadikan anggaran membangun gedung parlemen yang megah. Jika perlu desainnya bukan seperti huruf  “n” yang bisa diplesetkan jadi “nothing”… tapi bisa dibuat huruf “m” yang artinya “menang” atau huruf “v” yang diartikan victory, sebagai lambang kemenangan rakyat melawan koruptor.

Persoalannya memang, ide itu jauh dari otak mereka yang umumnya masih berjiwa koruptor. Karena, mereka (yang terlibat korupsi) tentu tidak mau kehilangan hartanya, bukan?

Baiklah, saya sambung di posting berikutnya. (roso daras)

Published in: on 19 April 2011 at 04:22  Comments (4)  
Tags: , , , , , ,