Tersebutlah seseorang bernama Arif. Ia adalah sopir taksi yang mangkal di stasiun Gambir pada masa-masa pemerintahan Hindia Belanda. Sopir inilah yang kemudian menjadi sopir langganan Bung Karno setiap ke Jakarta, untuk mengadakan rapat-rapat penting dengan MH Thamrin dan tokoh-tokoh pergerakan lain.
Sarinah, Perempuan Istimewa Bung Karno
Sosok Sarinah, menjadi sosok yang penting dalam kehidupan Bung Karno. Tidak sekadar sosok pembantu rumah tangga, Sarinah oleh Sukarno digambarkan sebagai sosok perempuan yang mengajarkan cinta kasih kepada sesama. Begitu berharganya sosok Sarinah, sampai-sampai Sukarno mengabadikannya dalam nama gedung, judul buku, dan peninggalan-peninggalan bersejarah lain.

Dua Hal Ghaib di Penjara Banceuy
Pada satu masa, Bung Karno ditangkap polisi Belanda dan dijebloskan ke penjara. Bahasa lain dari penjara adalah “hotel prodeo”. Kamar “hotel prodeo” Bung Karno di Penjara Banceuy sekitar 1,5 x 2,5 meter.
Banyak hal ghaib terjadi di sini. Di penjara Banceuy tiap tengah melam terdengar siul burung perkutut. Di kamar sempit itu juga, menjelang terlelap, tangan kanan Bung Karno “membesar” seperti tangan raksasa. …

Bung Karno the Other Stories Ada di YouTube
Tidak ada yang bisa menyangkal, peradaban bergulir dengan begitu cepatnya. Saat ini, menghadirkan informasi dalam format audio-visual menjadi sebuah keniscayaan, bahkan kebutuhan.
Atas dasar itulah, saya membuat akun YouTube “Bung Karno the Other Stories”. Dan, inilah alasan hadirnya akun “Bung Karno The Other Stories” itu. Apa saja? Anda harus simak videonya.
Untuk menyempurnakan konten, mohon dukungan sahabat Sukarnois semua, di mana pun berada.

Merah Putih, Wejangan Leluhur

Merah Putih sebagai jiwa bangsa memiliki 7 makna yakni:
1. Lambang Ksatria
Merah Putih adalah lambang ksatria, maknanya bangsa Indonesia adalah bangsa ksatria. Merah bermakna keberanian, Putih bermakna kebenaran dan kesucian. Setiap tindakan dan keputusan pemimpin harus berdasarkan kebenaran atas hukum (rechtsstaat) dan konstitusi, serta berdasarkan kesucian ajaran agama yang diyakininya. Pemimpin yang berjiwa ksatria, pasti memiliki integritas dan moralitas, maka setiap tindakan dan keputusannya pasti konstitusional dan tidak menyimpang dari kesucian ajaran agama yang diyakininya.
Merah Putih bermakna, keberanian pemimpin dalam bertindak harus berdasarkan kebenaran konstitusi dan kesucian ajaran agama yang diyakininya, maka jika pemimpin melanggar hukum dan menyimpang dari kebenaran konstitusi, apalagi menyimpang dari kesucian ajaran agama yang diyakininya, maka sudah pasti pemimpin itu tidak memiliki jiwa ksatria, akibatnya tatanan kehidupan rakyat, bangsa dan negara akan rusak.
Seharusnya, dengan berpegang teguh pada konstitusi dan kesucian ajaran agama yang diyakininya, maka pemimpin akan memiliki jiwa ksatria, yakni senantiasa mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi, keluarga ataupun golongannya, dan akan menjaga kepercayaan yang diberikan rakyat sebagai tanggung jawab dan kehormatan. Pemimpin yang berjiwa ksatria adalah : Apa yang dibatin, dipikir dan yang dikatakan sama, dan itulah yang dilaksanakan. Cipta, rasa, karsa dan karyanya selaras, lahir dan batinnya sama. Kebenaran hukum, konstitusi dan kesucian ajaran agama yang diyakininya dijalankan dengan murni dan konsekuen (lurus).
Sebaliknya pemimpin yang menyimpang : Apa yang dibatin, dipikir dan yang dikata berlainan, dan lain lagi yang dilakukan. Cipta, rasa, karsa dan karyanya bertentangan, lahir dan batinnya berbeda. Kebenaran hukum, konstitusi dan kesucian ajaran agama yang diyakininya dilanggar dan diselewengkan.
2. Lambang Patriotisme
Merah Putih adalah lambang patriotisme, Merah bermakna gagah berani, pantang menyerah dan berani berkorban jiwa dan raga. Putih bermakna dharma suci bangsa Indonesia untuk berperang melawan dan mengusir penjajah dari bumi Indonesia, semangat juang dan jiwa yang menyala-nyala dan berkobar-kobar di dalam dadanya bangsa Indonesia saat itu adalah jiwa Merah Putih, heroik dan patriotik. Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, semangat juang dan jiwa Merah Putih itu tetap hidup bergelora di dalam dadanya bangsa Indonesia. Jiwa patriotisme harus selalu ditumbuhkan dan dikobarkan di dalam dadanya para pemimpin bangsa dan segenap rakyat Indonesia.
Jangan sekali-kali jiwa patriotisme luntur dan hilang dari dadanya bangsa Indonesia, sekali saja bangsa Indonesia luntur jiwa patriotismenya, maka bangsa Indonesia akan kehilangan kehormatannya sehingga menjadi lemah dan dilecehkan bangsa lain.
3 Lambang Nasionalisme
Merah Putih adalah jiwanya bangsa Indonesia, Merah bermakna kebangsaan Indonesia, Putih bermakna tumpah darah/tanah air Indonesia. Bangsa dan tumpah darah/tanah air tidak dapat dipisahkan. Tidak dapat dipisahkan bangsa dari bumi yang ada di bawah pijakan kakinya. Adalah takdir dari Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa kumpulan manusia yang mendiami bumi/tanah air Indonesia adalah bangsa Indonesia, dan tanah air Indonesia adalah gugusan Pulau-pulau yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, dan setelah merdeka bernama “Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Maka “sumpah hidup bangsa Indonesia”adalah berbakti dan mengabdi kepada nusa, bangsa dan negaranya. Dan “sumpah hidup bangsa Indonesia” adalah setia kepada “Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Patriotisme dan nasionalisme tidak bisa dipisahkan, patriotisme adalah apinya nasionalisme. Cinta bangsa, cinta tanah air dan bela negara, itu adalah wujud daripada semangat patriotisme dan nasionalisme. Tanpa perasaan dan semangat patriotisme dan nasionalisme, maka bangsa Indonesia akan hancur terpecah belah, dan infiltrasi dari Iuar akan masuk memporak-porandakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Jaga semangat patriotisme dan nasionalisme, jaga persatuan dan kesatuan bangsa dan jaga sekuat-kuatnya ikatan kebangsaan Indonesia, maka keutuhan ” Negara Kesatuan Republik Indonesia” akan tetap terjaga dan abadi selamanya.
4. Lambang Demokrasi
Merah Putih mengandung makna, Merah bermakna pemimpin bangsa negara, Putih bermakna rakyat atau warga negara. Dipilih dan terpilih menjadi pemimpin negara adalah amanah, maka ikrar para pemimpin bangsa/negara adalah : Kekuasaan yang diembannya sepenuhnya digunakan untuk melayani, melindungi dan menyejahterakan rakyatnya, serta berjuang demi kebesaran bangsa dan negaranya. Demokrasi adalah memberikan tempat dan hak yang sama bagi semua warga negara. Demokrasi harus dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan. Agar setiap warga negara mendapatkan tempat dan haknya dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka demokrasi harus ada dalam permusyawaratan dan perwakilan.
Merah Putih mengandung makna, Merah bermakna daulat pemimpin, Putih bermakna daulat rakyat, daulat rakyat ada di atas daulat pemimpin. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat, ini bermakna bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi di republik ini. Pemimpin bukan hanya penyambung lidah rakyat Indonesia, akan tetapi pemimpin adalah penyambung hati nuraninya rakyat Indonesia. Di dadanya pemimpin harus berisi rasanya rakyat Indonesia. Ingat suara rakyat adalah suara Tuhan.
Pemimpin bangsa yang berjiwa Merah Putih berkata kepada rakyat Indonesia: “aku bukan meminta apalagi mengambil daripada hak-hak rakyat, bangsa dan negaraku, tetapi demi Tuhan akan kubaktikan semua kemampuanku untuk kemuliaan rakyat, kejayaan bangsa dan kebesaran negaraku”.
Dalam kenyataan : rakyat selalu terpinggirkan.
5. Lambang Religius
Merah Putih mengandung makna, Merah bermakna nilai-nilai kemanusiaan, Putih bermakna nilai nilai ketuhanan, kemanusiaan dan ketuhanan adalah sesuatu yang padu dan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia yang religius, karena memang sikap hidup religius ini sudah melekat dengan jiwanya bangsa lndonesia, ini menunjukkan pengakuan dan kepercayaan bangsa Indonesia terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa, Tuhan berarti dzat yang pertama (causa prima), yang menjadi sebab adanya manusia dan alam semesta serta segala hidup dan kehidupan di dalamnya. Merah (nilai-nilai kemanusiaan) dan Putih (nilai-nilai ketuhanan) dibangun seimbang, nilai-nilai kemanusiaan dibangun dengan membina hubungan sesama manusia, ialah dengan silaturahmi (tali persaudaraan/tali cinta kasih), yakni memelihara cinta kasih antar sesama manusia, sedangkan nilai-nilai ketuhanan dibangun dengan beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Maka jika manusia tegak kemanusiaannya, niscaya menjadi manusia yang berbudi luhur. Dan jika manusia tegak beribadahnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, niscaya menjadi manusia yang berakhlak mulia.
Sebaliknya, jika manusia hilang kemanusiaannya maka manusia itu menjadi tidak beradab, dan jika manusia tidak beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka manusia itu tersesat dari jalan Tuhan. Luhur-luhurnya manusia adalah: manusia yang berketuhanan sekaligus berperikemanusiaan. Dan mulia – mulianya manusia adalah: manusia yang mampu menegakkan Ketuhanan, Kemanusiaan dan Keadilan.
6. Lambang Kehidupan
Merah Putih mengandung makna, Merah bermakna jasmani, Putih bermakna rohani. Merah bermakna raga, Putih bermakna jiwa, roh atau sukma. Bangsa Indonesia percaya bahwa ada kehidupan lain di masa nanti setelah kehidupan manusia di dunia sekarang, maka tatkala manusia menjalani kehidupannya di dunia yang fana ini, manusia harus mengejar pengetahuan tentang rahasia kehidupan yang menyelimuti dirinya, sehingga ia menjadi tahu dengan nyata hakekat hidup yang diamanatkan kepadanya.
Merah (Raga) merupakan wahana jasmani untuk menempuh kesempurnaan hidup lahiriah, sedangkan Putih (roh atau sukma) merupakan wahana spiritual untuk menempuh kesempurnaan hidup secara rohani. Tujuan hidup manusia adalah selamat dunia akhirat dan kembali kepada Sang Maha Pencipta. Dan manusia akan kembali kepada-Nya jika ia mampu keluar dari kegelapan menuju kepada terang (cahaya) yakni, manusia yang bersedia hijrah dari kekotoran menuju kebersihan hati dan kesucian jiwa.
7. Lambang Kedaulatan
Merah Putih atau Sang Saka Merah Putih atau Sang Dwi Warna adalah bendera Negara Indonesia, bendera Negara adalah lambang kehormatan Bangsa dan Negara dan sekaligus lambang kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lambang kedaulatan Negara adalah lambang bangsa yang telah merdeka, dengan demikian maka Merah Putih harus selalu ada di dalam dadanya para pemimpin bangsa dan seluruh rakyat Indonesia. Karena itu siapapun yang mengingkari Merah Putih berarti mengingkari kemerdekaan bangsa Indonesia, dan siapa pun yang melecehkan Merah Putih berarti telah kehilangan rasa kebangsaan dan keindonesiaannya. ***

SERIKAT NASIONAL PATRIOT INDONESIA (SENOPATI)

Sembilan Ekspresi Sukarno

Lukisan sembilan ekspresi wajah Bung Karno karya Sohieb Toyaroja. (foto: roso daras)
Telepon berdering. Di ujung sana, terdengar suara khas pelukis Sohieb Toyaroja. “Datang ke studio Jalan Paso mas…. Lukisan sembilan ekspresi Bung Karno sudah hampir jadi,” ujarnya.
Tiba di studio yang terletak di bilangan Jagakarsa, Jakarta Selatan hari sudah gelap. Bangunan besar dengan patung Semar di depan itu terasa sejuk, teduh, dan tenang.
Memasuki studio tempat Sohieb melukis, tampak sebuah lukisan maha besar. Berukuran sekitar 10 meter x 3 meter, berisi 13 pahlawan nasional. Selain Bung Karno dan Hatta, mungkin tidak banyak yang kenal. Sebab, Sohieb memang banyak mengangkat pahlawan lokal.
Tokoh yang cukup familiar antara lain HOS Cokroaminoto, Jenderal Besar Sudirman, Jenderal Polisi M. Jasin, Frans Kaisiepo, dan sejumlah nama lain yang mewakili berbagai daerah.
Sementara lukisan sembilan ekspresi Sukarno teronggok di salah satu dinding, dalam kondisi hampir paripurna. “Tinggal finishing sedikit, sudah siap,” ujar Sohieb seraya melanjutkan, “tolong mas, carikan kutipan yang pas untuk lukisan ini.”
Tiga kutipan aku sodorkan padanya. Pertama, “Senyuman, tawa, dan tangisku adalah sebuah kesaksian, bahwa kekuasaan seorang Presiden sekalipun ada batasnya. Kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat.”
Kutipan kedua, ““Saya terpesona oleh revolusi. Saya gila, terobsesi oleh romantisme… Revolusi melonjak, berkedip, guntur hampir di setiap penjuru bumi… Teruslah mengipasi kobaran api … Mari kita menjadi kayu bakar yang memberi makan api revolusi.”
Dan kutipan ketiga, ““Tidak ada satu negara yang benar-benar hidup jika tidak ada seperti kuali yang mendidih dan terbakar, dan jika tidak ada benturan keyakinan di dalamnya.”
Berjam-jam aku menatap lukisan itu. Seperti kebanyakan lukisan Sohieb yang lain, semakin dipandang, semakin “hidup” lukisan itu. Alhasil, sosok Sukarno seolah hadir di Studio Jalan Paso, malam hari itu. (roso daras)

Obituari Amin Arjoso (1)
WAFATNYA tokoh nasionalis, senior GMNI yang juga Sukarnois, H. Amin Arjoso, SH betapa pun menyedot rasa duka bangsa. Berita duka datang dari Gedung A, Lantai 1, kamar 115 RSCM Jakarta Pusat, tempat dia dirawat. Jam wafat tercatat pukul 23.05 WIB. Almarhum mengembuskan napas terakhir di antara orang-orang tercinta, antara lain sang istri Sumarjati Arjoso dan putranya Azis Arjoso.
Semasa hidup, nama Amin Arjoso tampil sebagai pengacara yang berani berhadap-hadapan langsung dengan Soeharto dan rezim Orde Barunya. Itu terjadi saat Amin Arjoso tampil menjadi pembela mantan Wakil Perdana Menteri (Waperdam) sekaligus orang dekat Bung Karno, Dr Soebandrio ketika diadili di Mahmilub akhir Oktober 1966.
Amin Arjoso, bersama Kwik Kian Gie, Soetardjo Soerjoguritno, dan sejumlah senior lain, adalah tokoh-tokoh nasionalis yang berada di belakang tampilnya Megawati Soekarnoputri ke dunia politik, dan memimpin PDI Perjuangan. Sempat pula duduk di DPR RI mewakili aspirasi PDI Perjuangan, dan berada di barisan penentang Amandemen UUD 1945, yang digagas MPR RI antara tahun 1999 hingga pengesahannya tahun 2002.
Usahanya membendung amandemen bersama ratusan anggota dewan lain, menyisakan luka politik yang dalam. Sejak itu, ia tidak pernah berhenti menghimpun kekuatan politik untuk mengembalikan UUD 1945 ke UUD 1945 yang asli. Ia bukan anti perubahan apalagi reformasi. Yang ia sepakati adalah pembatasan masa jabatan presiden, sebagai concern tuntutan rakyat ketika gerakan reformasi 1998 meletus. Bukan mengubah tatanan politik, ekonomi, dan dengan sendirinya tatanan budaya melalui amandemen pasal-pasal krusial yang menjadikan Indonesia sekarang menjadi liberal.
Sebagai alat perjuangan, Amin Arjoso menerbitkan Tabloid Cita-Cita bersama Roso Daras, Roy Mahieu, Eddi Elison, dan lain-lain. Ia bahkan membaca sendiri satu per satu naskah sebelum dicetak. Meski menampilkan keragaman rubrik, tetapi semua bermuara pada satu visi, yakni gerakan kembali ke UUD 1945 yang asli.
Di kediamannya, Jl. Taman Amir Hamzah No 28, Pegangsaan, Menteng, Jakarta Pusat bahkan Amin Arjoso secara regular mengundang tokoh-tokoh nasionalis untuk berdiskusi. Dari sinilah forum kemudian menggulir ke acara rutin yang diselenggarakan secara bergilir. Sekali waktu, pernah diselenggarakan di restoran. Kali lain, sejumlah purnawirawan perwira tinggi mengundang untuk diskusi di Gedung Cawang Kentjana, Cawang, Jakarta Timur. Pernah juga di kantor Kwik Kian Gie. Sekali waktu, berdiskusi di kantor Yayasan Bung Karno.
Nama-nama yang ketika itu cukup intens terlibat di antaranya Moch. Achadi, John Lumingkewas, Kwik Kian Gie, Soenardi, Ki Utomo Darmadi, Ridwan Saidi, Haryanto Taslam, dan masih banyak lagi. Dari kalangan militer, ada Try Sutrisno, Saiful Sulun, Tyasno Sudarto, Ian Santoso Perdanakusuma, dan lain-lain. Sebagian di antara mereka sudah wafat, mendahului Amin Arjoso.
Meski kondisi Amin Arjoso ketika itu sudah sulit untuk berbicara secara lancar akibat stroke, tetapi hampir semua ajang diskusi ia hadir. Tidak jarang, saya diminta ikut mendampingi, dan menerjemahkan apa yang hendak ia utarakan.

Amin Arjoso dan Soetardjo Soerjogoeritno.
Amin Arjoso juga rajin mendatangi tokoh-tokoh lain yang sekiranya bisa memperkuat perjuangannya mengembalikan konstitusi kita ke UUD 1945 yang asli. Saya masih ingat, ketika ia cukup intens sowan ke Ali Sadikin. Juga keluar-masuk ruang Soetardjo Soerjogoeritno yang ketika itu Wakil Ketua DPR RI. Kali lain, saya pun diajak mendatangi mantan Dirut Garuda, Soeparno di kantornya Grand Wijaya, Kebayoran Baru.
Beberapa kali, umumnya malam hari, diajak menemui Taufiq Kiemas di kediaman Jl Tengku Umar. Bahkan menyambangi tokoh pers dan penulis yang sempat dituding terlibat G-30-S seperti Karim DP di Jl Duren Tiga, Jakarta selatan, dan Koesalah Toer di Depok, Jawa Barat. Sejumlah tokoh lain yang intens diajak bicara adalah tokoh PNI Abdul Madjid di bilangan Setiabudi, Jakarta Selatan, dan Usep Ranuwijaya, juga di Jakarta Selatan.
Mengingat nama-nama yang disinggung dan bersinggungan dengan Amin Arjoso, khususnya pasca ia tidak lagi menjabat anggota DPR, masih teramat panjang. Ia berkomunikasi dengan kalangan tua, juga kalangan muda.
Semua langkah Amin Arjoso, adalah “langkah Bung Karno” ketika melakukan apa yang disebutnya samenbundeling van alle revolutionaire krachten. Sebuah penggalangan kekuatan-kekuatan revolusioner. ***

Rumah dengan Papan Nama “Ratna Sari Dewi Soekarno”
Cukup lama saya berdiri di depan rumah Dewi Soekarno di Shibuya – Tokyo. Saya suka model rumah ini. Sebagai seorang arsitek, kukira Bung Karno pun akan suka. Rumah-rumah di sekeliling, tampak beda.
Masyarakat Jepang, termasuk masyarakat yang sangat menjunjung tinggi akar budaya dan tradisi. Nyaris di semua bidang. Termasuk dalam hal rumah. Mereka menyukai elemen alam, termasuk bahan dan pewarnaannya. Hanya saja, rumah-rumah mewah yang ada di Shibuya, memang umumnya menampilkan kesan modern. Kalau toh ada yang khas, adalah pada konsep minimalis.
Nah, di depan saya, adalah rumah “Warga Negara Indonesia” kelahiran Jepang. Nama Naoko Nemoto diganti oleh Bung Karno menjadi Ratna Sari Dewi. Agama shinto yang dianut, ditinggal dan berpindah ke Islam. Itu terjadi awal tahun 60-an saat Bung Karno memperistrinya.
Kembali ke rumah berbatu-bata merah yang ada di depan. Apa boleh buat, saya tidak bisa lebih lama lagi menikmati dari luar. Pertama, kedatangan saya ke rumah ini, sejatinya terlambat lebih dari 30 menit dari yang dijadwalkan oleh Ms Saito, sekretaris Dewi Soekarno. Kedua, udara di luar sangat dingin untuk ukuran orang Indonesia (di awal November 2016, sore itu suhu stabil di 12 – 13 derajat Celcius).
Saya menyeberangi jalan, berdiri di depan pagar besi rendah, hanya lebiih tinggi sedikit dari lutut saya. Selagi saya mencari-cari letak bel untuk saya pencet, keluarlah Ms Saito. Cukup dengan saya menyebut nama, dia sudah tahu. Saya pun dipersilakan masuk. Pintu di buka, ada tangga dalam rumah membentang ke atas. Saito meminta saya melepas sepatu, dan memberinya sandal-dalam-rumah yang lembut.
Baru saja sepatu lepas, Saito turun tergopoh, dan menyuruhku memakainya lagi. Dalam bahasa Jepang yang kuterjemahkan secara ngawur, kurang lebih dia mengajak keluar rumah, dan masuk dari sisi rumah yang lain. Rupanya, saya masuk dari bagian rumah yang dijadikannya kantor Dewi.
Benar. Saito mengiringkanku keluar rumah, memutar ke arah kanan, hingga tiba di satu sisi rumah utama. Apakah ada teras, sehingga bisa saya simpulkan itu sisi utama rumah Dewi? Tidak. Setidaknya saya melewati garasi yang tertutup rolling door, dan di tembok dekat pintu masuk, tertera papan nama tertempel paten di tembok batu-bata merah. Papan nama “RATNA SARI DEWI SOEKARNO”.
Papan nama itu, jelas “Indonesia banget”. Hanya di rumah-rumah Indonesia saja, di tembok luar tertera nama sang pemilik. Dan menariknya, Dewi tidak menuliskan namanya dalam huruf kanji.
Di sebelah papan nama, terletak tombol bel dan celah tembok. Di sebelah lagi, barulah pintu besi tempa warna hitam bermotif. Di atas, saya lihat sebuah CCTV. Dekat undakan tangga ke atas, tumbuh tanaman hias yang sejuk di mata. Sampai depan teras rumah, kembali saya melepas sepatu dan berganti sandal-dalam-rumah.
Saya diiringkan ke ruang tamu. Di situ saya menunggu Dewi muncul dari pintu. (roso daras)

Mencari Dewi di Shibuya
Kawasan Shibuya, adalah satu di antara sekian banyak kota di Tokyo Metropolitan yang paling sibuk. Salah satu keunikan di Shibuya adalah pejalan kaki yang menyemut. Di setiap perempatan jalan besar, ketika lampu hijau menyala untuk para pejalan kaki dari semua arah, maka manusia menyemut di perempatan jalan.
Sekadar senggolan bahu adalah hal biasa. Bahkan, jika tidak lincah berkelit, niscaya akan ‘terlempar’ kian-kemari karena tubrukan sesama penyeberang jalan, yang semuanya berjalan serba tergesa. Mirip bola dalam permainan ding-dong. Karenanya, menyeberang jalan di Shibuya harus lincah bermanuver menghindari tabrakan. Atau gunakan cara aman, pilih pria bertubuh besar (meski amat jarang), lalu berjalanlah di belakang orang itu hingga selamat sampai di seberang jalan….
Itu sekelumit kenangan yang hanya sekilas mengunjungi Shibuya awal November lalu. Sama sekali tidak tertarik untuk mengagumi pusat pertokoan yang menyatu dengan stasiun barah tanah Shibuya yang sangat terkenal itu. Juga tidak tertarik untuk sekadar menengok keindahan objek wisata Shibuya yang masyhur, semisal Yoyogi Park, Meiji Shrine, Takeshita Street, dan lain-lain.
Fokus kaki ini hanya menuju ke satu rumah: Rumah Ratna Sari Dewi Soekarno. Istri mendiang Bung Karno yang bernama asli, Naoko Neomoto itu. Berkat bantuan rekan Sigit Aris Prasetyo, pegawai di Kementerian Luar Negeri Pejambon Jakarta Pusat, yang kemudian menghubungkan dengan Saud di Kedutaan RI di Tokyo, saya akhirnya diberi waktu untuk jumpa Dewi Soekarno.
Kediaman Dewi Soekarno di Shibuya, relatif jauh dari keramaian Shibuya. Ia tinggal di sebuah kawasan perumahan, tanpa ada satu pun bangunan pencakar langit baik pertokoan, perkntoran, atau apartemen di sekelilingnya. Kawasan tempat tinggal Dewi adalah sejenis kawasan perumahan yang memiliki tanah. Menyapu pandang di sekitar kawasan itu saja bisa saya simpulkan, kawasan ini hanya dihuni oleh orang-orang strata atas.
Hawa sore yang stabil di kisaran 12 derajat Celcius itu, memang nyaman untuk dipakai berjalan kaki (cepat). Demi jumpa Madame de Syuga, tidak ada rasa lelah sedikit pun. Meski, kerongkongan terasa kering. Itu pun bukan soal besar… mesin penjual minuman segar, ada di pinggir-pinggir jalan. Dengan memasukkan sejumlah Yen, kemudian tekan tombol pilihan, maka sebotol minuman segar pun terjatuh.
Hati berdegup kencang, ketika seorang lelaki paruh baya, menunjuk satu rumah yang tak jauh dari posisi saya berdiri. Dia orang ketiga yang saya tanya. Setelah dua orang sebelumnya, hanya bisa menggeleng dan ngeloyor pergi. Nun tak jauh di sana, tampak sebuah rumah dengan ciri tembok batu-bata merah coating. Itulah rumah Satna Sari Dewi Soekarno.
Dewi sudah menungguku di rumah itu. Pikirku. (roso daras)
