Romantisme Bunga Kantil di Ndalem Pojokrapak

romantisme bunga kanthil

Perjalalanan panjang Sukarno, presiden pertama Indonesia salah satunya terjadi di Kediri! Bukan hanya si awam, para pakar sejarah pun masih banyak yang mengernyitkan dahi begitu mendengar pernyataan itu.

Koesno atau orang mengenalnya dengan nama Sukarno adalah salah satu putra terbaik bangsa ini. Bergelar insinyur, putra pasangan Raden Soekeni Sosrodiharjo dan Ida Ayu Nyoman Rai besar karena perjuangannya. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga dunia.

Dialah pahlawan proklamator kemerdekaan. Presiden pertama Indonesia. Seorang poliglot yang pawai berpidato. Puluhan gelar doktor honoris causa ia dapatkan dari universitas dalam dan luar negeri. Pengakuan atas kehebatanya pun datang dari tokoh-tokoh besar, mulai dari John F Kennedy hingga Che Guevara.

Namun di balik kebesaran Sukarno atau yang sering dipanggil dengan sebutan ‘Bung’ di depan namanya ini pasti tersimpan proses yang panjang. Bukan hanya tempat kelahirannya yang sempat disamarkan rezim berkuasa, tetapi juga sejarah masa mudanya belum banyak yang menelusuri.

“Itulah mengapa saya menulis buku ini. Bahwa semua kebesaran Bung Karno berasal dari jejak sejarah panjang. Termasuk di Kediri. itu yang belum banyak ditulis,” ujar Dian Sukarno, penulis buku Trilogi Spiritualitas Bung Karno dalam acara bedah bukunya di Brantas Room, kantor Radar Kediri, Kamis lalu (4/7).

Candradimuka, itulah judul besar yang dipasang untuk buku pertama dalam trilogi atau tiga tahapan perjalanan spiritualitas bapak pendiri bangsa (foundhing fathers), Sukarno. Pemilihan judul yang seolah ingin mengkiaskan bagaimana Sukarno muda digembleng sehingga menjadi pemimpin besar seperti yang kita kenal. Melalui sebuah proses panjang. Salah satunya berkaitan dengan beberapa tempat di Kediri. Termasuk sebuah rumah yang disebut penulis berada di Dusun Krapak, Desa Pojok, Kecamatan Wates.

Hingga kini bangunan rumah itu masih berdiri. Dengan segala ornamen kuno yang meninggalkan kesan sejarah yang kuat. Termasuk beberapa tanaman, seperti bunga kantil, sawo kecik, blimbing wuluh di sejumlah sudut halaman.

Bunga kantil, menurut penelusuran penulis, memiliki makna tersendiri. Bahkan, jauh sebelum gelaran candradimuka itu terjadi. Jauh sebelum Sukarno, pemimpin besar negeri ini lahir. Yakni masa-masa di mana ayah dan ibu Sukarno memadu kasih. Dalam buku karyanya, Dian mengisahkan, dua pucuk bunga kantil dari halaman rumah itulah yang menjadi penanda cinta keduanya. Hal ini setelah Raden Soekeni, ayah Sukarno, melewati proses tirakat di Ndalem Pojokrapak. “Itu sebuah petunjuk yang membuat. Haden Soekeni mantab melamar Ida Ayu,” ujar Dian.

Bunga kantil yang menjadi bab tersendiri dalam buku ini juga yang membuat Rinto Harno, mantan Direktur PT Gudang Garam yang masih kerabat Raden Mas (RM) Soemosewojo, kembali dalam roniantisme masa kecilnya.

Sekitar tahun 1960-an, saat usianya masih belasan tahun, is sering sering berkunjung ke rumah itu. “seperti mengulang memori saya pada waktu itu Pohon sawo kecik, kantil, pohon jati di belakang rumah, semua mengingatkan kembali masa-masa itu,” kenangnya.

Di masa kecil itulah, Rinto mengaku, kerap mendengar sendiri tentang cerita Sukarno pernah tinggal di rumah itu. “Saya memang sering bolak-balik Kediri-Wates pada waktu itu. Ya waktu di sana sering diceritani sama Yu Was (panggilan Wasiati masih kerabat RM Soemosewojo, Red),” tuturnya.

Atas hal itulah, Rinto termasuk salah satu pihak yang menginisiasi agar rumah tersebut dijadikan sebuah situs sejarah. “Sayang jika generasi kita tak mengenal sejarahnya sendiri. Makanya beberapa lokasi, termasuk rumah itu harus dijadikan situs sejarah dan dipelihara dengan baik,” paparnya, (adi nugroho/bersambung/ndr). Diketik ulang dari : Jawa Pos Radar Kediri Sabtu, 06 Juni 2013.

“Menjual” Bung Karno

Gerai Foto BK copy

Entah bagaimana reaksi Anda… Yang ini adalah reaksi saya. Setiap kali melewati pedagang poster yang menggelar lapak di trotoar, spontan kaki ini seperti mengerem. Cakram pula. Jadi, pasti berhenti. Sejenak saya sapu poster-poster Bung Karno. Sayang, hampir semua poster yang mereka pajang, sudah saya koleksi. Sangat jarang menemukan pose baru Sukarno. Kalau sudah begitu, saya pun berlalu.

Ada kalanya, gambar yang “berbeda” dari Sukarno justru bisa dijumpai di lapak-lapak yang tak terduga. Satu contoh kecil, manakala pulang Lebaran yang lalu. Di sebuah pasar tradisional bernama Pasar Petanahan, saya punya warung soto langganan. Tak jauh dari penjaja soto, ada lapak yang menjual aneka buku (kebanyakan buku-buku agama), dan poster-poster pahlawan.

Sore itu, saya menyapu seluruh gantungan poster, tidak ada yang baru. Sampai akhirnya si penjual bertanya, “Nyari poster siapa? Manchester United? Inter Milan? Ronaldo? Obama?…” terus saja dia nyerocos menyebutkan poster dagangannya.

“Bung Karno!” jawab saya pendek.

“Oh… banyak…!!! Sebentar…,” jawab dia sambil bergegas masuk ke kios. Saya menunggu, semenit… dua menit… tiga menit…

“Mas… ada nggak?!” mulai tidak sabar saya.

“Adaaa… sebentar… saya bersihkan dulu…,” suara menyahut dari dalam. Setengah berteriak.

Tidak lama kemudian dia membawa setumpuk poster Bung Karno. Luar biasa… meski sudah lusuh, warna pudar, dan berdebu… akan tetapi itu adalah pose Bung Karno yang berbeda. Setidaknya, saya baru pertama kali melihat gambar itu. (Sayangnya, belum sempat saya scan… sehingga belum bisa diposting di sini…).

Saya pilih satu, dua, tiga, empat… Ya, hanya empat. Selebihnya tidak asing di mata saya. Apalagi, tumpukan poster Bung Karno dalam bentuk lukisan tangan yang jauh dari mirip… huhh!!! Siapa pula pelukisnya!!! Melukis Bung Karno kok jadinya mirip Benyamin S!!!

Singkatnya saya ambil empat lembar poster. Setelah digulung, saya –seperti biasa– tidak pernah bertanya harga, dan langsung memberinya lembaran uang merah pecahan seratus ribu… “Uang kecil saja mas…”, lalu saya tukar dengan lembar biru lima puluh ribuan… “Apa tidak ada yang lebih kecil mas…”, kemudian saya sodorkan lembar hijau dua puluh ribuan. Uang diterima seraya berkata, “Sebentar saya ambilkan kembalian mas…”

Uang dua puluh ribu tadi, dikembalikan dua belas ribu rupiah… Astaga! Satu lembar poster ukuran A0 berharga dua ribu rupiah? Bandingkan dengan poster dengan ukuran sama di lapak trotoar dekat Shopping, Yogya yang berharga dua puluh lima ribu rupiah per lembarnya.

Begitulah sekelumit kisah kaum marginal, yang masih “menjual” Bung Karno dalam upaya mengais rezeki. Dari serentet bincang-bincang dengan mereka, selalu saja didapat informasi beragam. Ada penjual aneka poster, termasuk poster Bung Karno, karena dia memang mengaku Sukarnois. Karenanya, dia memajang poster Bung Karno begitu terhormat, bahkan menyediakan pigura khusus bagi yang menghendaki.

Akan tetapi, tidak sedikit pula yang motivasinya hanya sekadar “menjual” Bung Karno. “Karena masih ada yang suka mencari gambar Bung Karno, jadi saya ambil di agen. Biar sedikit, yang penting ada,” ujar penjual aneka poster, mulai dari Ronaldo hingga Lazio. Mulai dari Hitler sampai Anjing Herder. Mulai dari Che Guevara sampai band Dewa. Mulai dari poster gadis semi-porno hingga Bung Karno. (roso daras)

Bung Karno dan ekspresi

Published in: on 20 Oktober 2009 at 17:33  Comments (8)  
Tags: , , ,

Bung Karno dan Revolusi Kuba

Sukarno Di Kuba

Jangan mengharap cerita sejarah revolusi Kuba, demi membaca judul di atas. Sama sekali bukan. Sebut saja ini adalah side story dari jalannya revolusi Kuba, yang kebetulan menampakkan sisi unik, cenderung menggelikan. Cerita ini dipetik tahun 1960, belum lama setelah Fidel Castro dibantu Che Guevara menumbangkan rezim Batista, dalam kisah heroik yang kesohor.

Waktu itu, suasana ibukota Havana masih belum pulih dari suasana revolusi. Banyak bangunan rusak akibat perang saudara antara rezim yang berkuasa dengan para gerilyawan pimpinan Osvaldo Dorticos, Fidel Castro, Che Guevara, dll. Dalam keadaan seperti itu, Bung Karno diundang ke sana oleh Fidel Castro yang waktu itu masih menjabat Perdana Menteri, sedang Presidennya Osvaldo Dorticos.

Suatu ketika, Bung Karno dan rombongan dibawa dalam iring-iringan mobil yang meluncur di jalan-jalan raya kota Havana yang mulus. Tiga sepeda motor membuka jalan sebagai kawal depan konvoi, atau yang kita kenal dengan istilah vooridjer.

Tiba-tiba pimpinan kawal depan memberi tanda agar konvoi berhenti. Maka berhentilah semua iring-iringan kendaraan, yang antara lain membawa Presiden Republik Indonesia, Ir. Sukarno dan rombongan. Dalam suasana pasca revolusi, kejadian itu tentu saja menjadi menegangkan. Ada apa di depan sana? Mengapa rombongan VVVIP harus berhenti mendadak di tengah jalan? Sungguh tidak lazim!

Pemimpin kawal depan sigap memutar sepeda motornya dan mendekat ke mobil yang dinaiki Bung Karno. Ia berhenti di samping pengemudi, berkata-kata dalam bahasa Spanyol sambil tangannya digerak-gerakkan, entah apa maksudnya. Yang pasti, sejurus kemudian, pengemudi mobil yang dinaiki Bung Karno mengeluarkan sebuah korek api dari kantong bajunya dan menyerahkan kepada pemimpin konvoi yang tampak sudah menyelipkan sebuah cerutu di bibirnya… ternyata, ia hanya mau pinjam korek api dari temannya.

Setelah menerima korek api, dinyalakanlah cerutu di mulutnya. Sedetik-dua, korek api kemudian dikembalikan kepada pengemudi mobil. Setelah korek berpindah tangan, tangan kanannya langsung memberi hormat kepada Bung Karno, dan tancap gas meluncur ke depan lagi, sambil –seperti cowboy– memberi tanda agar konvoi bergerak maju, melanjutkan perjalanan. Dengan gagahnya, ia meneruskan tugas pemimpin konvoi sambil mengisap cerutu Kuba dengan nikmatnya.

Melihat kejadian tadi, Bung Karno tertawa terbahak-bahak…. Rupanya ia cukup mengerti tentang kejadian yang baru saja terjadi, bahwa Kuba masih dalam euforia revolusi. (roso daras)