Bundel “Fikiran Ra’jat”

Bundel Fikiran Ra'jat

Mendapatkan bundel “Fikiran Ra’jat” dari Bung Peter A. Rohi, seperti mendapat harta karun rasanya. Inilah media massa yang diterbitkan oleh tangan Sukarno tahun 1932, sebagai salah satu bentuk aksi menentang penjajah.

Ukurannya selebar buku tulis. Kualitas cetak, menunjukkan kemampuan cetak terbaik pada zamannya. Perwajahannya biasa-biasa untuk ukuran sekarang. Meski begitu, kehadiran “Fikiran Ra’jat” senantiasa dinanti-nanti tokoh-tokoh pergerakan di seluruh penjuru Tanah Air.

Bukan hanya itu, media ini juga menjadi salah satu media yang dikontrol sangat ketat oleh pemerintah Hindia Belanda. Bung Karno sebagai ketua sidang redaksi, beberapa kali mendapat teguran akibat sajian “Fikiran Ra’jat” yang terang-terangan menentang praktik imperialisme (penjajahan) di bumi Indonesia.

Bukan hanya itu, “Fikiran Ra’jat” juga sempat diberangus oleh tangan bengis kolonialis. Yang hebat, menurut saya pribadi adalah, pada kesempatan terbit selanjutnya, Bung Karno terang-terangan menghujat aksi pemberangusan atas media yang dipimpinnya. Ia menyuarakan suara getir sebagai bangsa terjajah. Bung Karno menggerutu, ketika satu-satunya kebebasan (berbicara) pun dibungkam. Nyaris tidak ada lagi kebebasan yang tersisa sebagai bangsa yang terjajah.

Menyimak edisi demi edisi, “Fikiran Ra’jat” sungguh majalah yang sangat berbobot. Terbit mingguan dengan artikel-artikel yang luar biasa. Selain Bung Karno, tidak sedikit tokoh-tokoh pergerakan pada zaman itu, menyumbangkan tulisan. Sebagai media pergerakan, redaksi juga melayani tanya-jawab seputar politik.

Pendek kata, mohon izin menyimak bundel “Fikiran Ra’jat” terlebih dahulu. Teriring sebuah janji, untuk menyambungnya pada postingan berikutnya. Merdeka!!! (roso daras)

Published in: on 30 Maret 2014 at 11:31  Comments (5)  
Tags: , , ,

Rumah Ende, 20 Tahun Kemudian

rumah ende

Perhatikan caption (keterangan foto) di atas: “Pengresmian rumah museum (bekas rumah kediaman Bung Karno di Ende) oleh P.J.M. Presiden Rep. Indonesia, pada hari Minggu, tgl 16 Mei 1954.”

Akhirnya, 20 tahun kemudian, Bung Karno “pulang” ke rumah Ende. Bukan sebagai orang interniran (buangan) penjajah seperti yang ia alami tahun 1934, tetapi sebagai Presiden Republik Indonesia, pada tahun 1954.

Sejak itu, rumah tadi menjadi situs peninggalan sejarah yang dipelihara pemerintah. Sebelumnya, Bung Karno sudah meminta Kepala Daerah Flores di Ende, Monteiro untuk melakukan proses pembelian rumah yang terletak di kawasan bernama Ambugaga itu. Monteiro pun langsung menghubungi sang pemilik, salah satu orang berada di sana, Haji Abdul Amburawuh. Transaksi pun terjadi, dan selanjutnya, menjadi aset pemerintah hingga sekarang.

Membayangkan peta kota Ende, tahun 1934, barangkali kawasan Ambugaga terbilang jauh kemana-mana. Tetapi dalam peta kota sekarang, rumah yang oleh ibu Inggit dilukiskan sebagai cukup luas, tetapi beratap pendek, dan pengap di dalamnya itu, berada di tengah kota. Jalan di depannya sudah beraspal. Jalan Perwira, adalah nama jalan yang melintang di depan rumah bersejarah itu.

Jika dahulu ada kesan jauh, bisa dimaklumi, karena jarak antar satu rumah dan rumah lain berjauhan. Dengan kata lain, populasi kota Ende belum sepadat sekarang. Padahal, kalau berbicara dari ukuran atau jarak, nyata, bahwa lokasi itu relatif dekat ke mana-mana.

Menyandingkan foto lama dengan foto sekarang, tampak benar bedanya. Pada foto lama, masih tampak latar belakang pepohonan, tetapi sekarang nyaris tak berpohon. Kiri-kanan-depan-belakang sudah padat dengan perumahan warga. Sayang memang, rumah bersejarah itu tidak dikembalikan pada keluasan semula. Kalau saja pemerintah membebaskan rumah-rumah di sekelilingnya, setidaknya masyarakat sekarang bisa melihat kondisi rumah itu dalam perspektif yang sebenarnya.

Kini, dengan dikelilingi pagar tembok, “rumah Bung Karno” di Ende itu lebih bersih. Menilik ruang-ruang di dalamnya, jauh dari kesan pengap. Apalagi di halaman belakang…. Lebih tertata rapi. Ya, tentu saja telah dilakukan penggantian material rumah. Tetapi otoritas pemugar rumah itu cukup baik, dengan tidak merombak struktur bangunan inti. Hanya sayang, mushola yang dibangun Bung Karno di sudut belakang rumah sudah hilang, dan beralih fungsi menjadi rumah warga.

Setidaknya, Bung Karno telah “menyelamatkan” situs itu menjadi peninggalan bersejarah. Dalam catatan, setidaknya dua kali Bung Karno (selama menjadi Presiden RI) berkunjung ke Ende. Dan dalam dua kali kunjungannya itu, selalu saja Bung Karno memanfaatkannya untuk mengenang masa-masa pembuangan di Ende. Salah satunya, dengan mengistirahatkan pasukan pengawal. Bung Karno minta dicarikan Riwu Ga, ya, putra Sabu yang ikut keluarga Bung Karno – Inggit, bahkan menyertainya hingga Bengkulu, sebagai “penjaga”-nya.

Riwu, pemuda Sabu, adalah pembantu setia Bung Karno, yang dalam perannya, acap bertugas pula sebagai pengawal sekaligus penjaga. Selama kunjungannya, Bung Karno menginap di rumah negara (rumah dinas kepala daerah), Riwu pun dihadirkan. Apakah untuk kembali mengawal Bung Karno? Itu barangkali bahasa resminya. Tetapi, hampir dapat dipastikan, Bung Karno hanya ingin bernostalgia bersama Riwu. Dengan Riwu di sisinya, maka keberadaan Bung Karno di Ende, tentu menjadi lebih bermakna. (roso daras)

foto di rumah ende

Foto lama. Duduk, Ibu amsi (kiri) dan Inggit Garnasih (kanan). Berdiri, dari kanan: Bung Karno, Asmarahadi, Ratna Djuami (Omi). Paling kanan, sahabat Bung Karno di Ende bersama istrinya (berdiri nyender di samping kanan Ibu Amsi). Hingga tulisan ini posting, belum terkonfirmasi nama kedua sahabat keluarga Bung Karno di Ende itu.

DSC04592

Jika foto lama di atas diambil dari sisi kiri rumah, maka foto tahun 2013 di atas, diambil dari sisi kanan. Bentuk masih asli. Dan tentu saja lebih terawat, setelah mengalami restorasi seperlunya.

DSC04594

Berfoto di samping rumah pembuangan Bung Karno di Ende. Dari kiri: Peter A. Rohi (wartawan senior), Tito Asmarahadi (putra ke-4 pasangan Ratna Djuami – Asmarahadi), Roso Daras.

Published in: on 10 Oktober 2013 at 02:09  Comments (5)  
Tags: , , , , ,

Peter A. Rohi dan Dua Bukunya

Belum lima menit meninggalkan komplek pemakaman Bung Karno di Blitar, beberapa hari lalu, telepon bergetar… Peter A. Rohi di ujung telepon sana. Nama Peter Rohi sudah beberapa kali muncul dalam blog ini. Semua tulisan tentang pembantu sekaligus pengawal Bung Karno yang bernama Riwu Ga, selalu mengait ke sebuah nama: Peter Rohi. Sebab, dialah wartawan senior yang berhasil melacak jejak Riwu dan menampilkannya di suratkabar tempatnya bekerja.

Peter berkata,  “Ada dua buku yang saya mau berikan ke mas Roso…. Jangan sekali-kali menulis skenario film Bung Karno sebelum baca kedua buku ini,” ujar Peter. Alhamdulillah…. Tuhan begitu lugas…. Dia menjawab tuntas doaku. Segera kami bikin janji temu keesokan harinya.

Selepas makan siang… Peter, mantan marinir, jurnalis senior, seniman, sekaligus sastrawan ini tampak memasuki halaman hotel. Rambutnya masih gondrong diikat. Ia mencangklong ransel…. “Harta karunku datang,” gumamku menyambut Peter.

Berbicaralah kami ngalor-ngidul seputar Bung Karno, seputar Soekarno Institut yang dia kelola, seputar ini dan itu…. sangat mengasyikkan. Tibalah gilirannya membuka ransel dan mengeluarkan dua buku yang ia janjikan…. Yang satu berjudul “Soekarno sebagai Manoesia” tulisan Im Yang Tjoe.

Nah, jika Anda membaca buku “Bung Karno, Serpihan Sejarah yang Tercecer, The Other Stories ke-1”, pada pengantar buku oleh Cornelis Lay, tentu ingat. Dalam salah satu bagian, Cornelis menyebutkan tentang buku biografi pertama Bung Karno yang ditulis oleh penulis Tionghoa tahun 30-an, dan diterbitkan di Solo. Buku itu mengupas masa kecil Bung Karno. Meski ditulis tahun 1933, tetapi sang penulis sudah meramalkan dalam bukunya, bahwa Sukarno akan menjadi orang besar.

Inilah buku yang dimaksud. Rupanya, Peter A. Rohi sempat menulis ulang buku itu. Luar biasa… tidak henti-henti saya mengucap kata “luar biasa”… dengan senangnya.

Sedangkan buku kedua berjudul  “Ayah Bunda Bung Karno”, tulisan Nuriswa Ki S. Hendrowinoto, dkk. Inilah buku yang paling lengkap dan akurat yang menguak biogradi R. Soekeni Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai, orangtua Bung Karno. Ditulis oleh seorang peneliti, melalui sebuah riset yang panjang dan mendalam.

Berbekal kedua buku itulah (dan tentu saja literatur yang lain), saya kemudian memulai pekerjaan penulisan skenario film Bung Karno. Saat ini, baru pada tahap penyusunan treatment.  Saya begitu bersemangat! (roso daras)

Published in: on 15 November 2010 at 07:41  Comments (10)  
Tags: , ,

Riwu Ga, Sang Terompet Proklamasi

Riwu dan anaknya

Lelaki tua itu mengayunkan cangkulnya, membenamkan dalam-dalam ke kulit bumi. Sejengkal demi sejengkal tanah terbelah…. Begitu Peter A. Rohi melukiskan aktivitas Riwu Ga dalam bukunya, “Riwu Ga, 14 Tahun Mengawal Bung Karno, Kako Lami Angalai?”. Siapakah Riwu? Dialah pelayan sekaligus pengawal setia Bung Karno, sejak era pembuangan di Ende tahun 1934 hingga Indonesia merdeka 1945.

Nama ini tak pernah disebut-sebut dalam sejarah perjalanan bangsa. Rupanya, memang Riwu sendiri yang menghendaki begitu. Tak lama setelah Indonesia merdeka, Riwu pamit kepada Bung Karno untuk pulang ke Pulau Sabu, Timor, tanah kelahirannya. Sejak itu, ia tak pernah sekalipun bercerita, ihwal peran pentingnya mengawal dan melayani Bung Karno.

Tidak heran, ketika penulis Peter A. Rohi mengunjunginya di tengah hutan gewang, di ladang jagung miliknya, ia tengah giat mencangkul, meski usianya sudah 70-an tahun. Padahal, pada hari itu, kantor-kantor desa, kecamatan, hingga Istana Negara, tengah melangsungkan upacara peringatan proklamasi kemerdekaan, 17 Agustus.

Di desanya, tidak seorang pun mengetahui peran Riwu dalam gelar sejarah bangsa. Tidak kepala desa, tidak camat, tidak bupati, bahkan gubernur NTT sendiri tidak tahu ihwal sejarah Riwu.  Meski begitu, sedikit pun tak ada gurat penyesalan dalam wajahnya. “Merah-putih itu ada di dalam hati ini,” ujar Riwu, memaknai seremoni 17 Agustus.

Bisa jadi, Riwu adalah sepenggal sejarah yang terlepas. Akan tetapi, Riwu-lah sang terompet proklamasi di Jakarta pada hari 17 Agustus 1945. Ia ingat persis peristiwa hari itu. Tidak lama setelah Bung Karno membacakan teks proklamasi, ia dipanggil, “Angalai (sahabat), sekarang giliran angalai,” lalu Bung Karno melanjutkan instruksinya, “sebarkan kepada rakyat Jakarta, kita sudah merdeka. Bawa bendera.”

Riwu sangat bangga mendapat perintah Bung Karno itu. Walaupun situasi kota Jakarta sungguh mencekam. Secara resmi, Jepang tidak atau belum mengakui kemerdekaan kita. Di jalan-jalan protokol tampak para serdadu kenpetai (tentara Jepang), yang bisa saja mencegat, melarang, atau bahkan menembaknya. Sedikit pun Riwu tak gentar. Ia harus menyebarkan berita kemerdekaan itu dengan berkeliling kota Jakarta, membawa bendera, seperti perintah Bung Karno.

Untuk tugas itu, ia dibantu Sarwoko, adik Mr. Sartono. Sarwoko mengemudikan mobil jip terbuka. Sementara Riwu berdiri sambil melambai-lambaikan bendera merah putih, dan berteriak-teriak sepanjang jalan. Mula sekali ia berteriak, “Kita sudah merdekaaaaa…..” tapi sambutan masyarakat di pinggir jalan dingin. Entah shock, entah tidak percaya, atau mungkin menanggap Riwu adalah seorang pemuda “gila” yang sedang mencari mati.

Demi melihat masyarakat bengong, Riwu berteriak lagi, dengan sangat meyakinkan, “Kita sudah merdekaaaa… merdekaaa… merdekaaa…. Kita sudah merdekaaa… merdekaaa… merdekaaa….” Barulah rakyat menyambutnya dengan teriakan yang sama, “Kita sudah merdekaaa… merdekaaa… merdekaaa…” sambil tangan kanan mengepal meninju angkasa. Bahana merdeka menggema di sepanjang jalan sahut-menyahut, disusul tangis histeris sebagian orang.

Begitulah. Jumat, 17 Agustus 1945, Riwu dan Sarwoko berkeliling kota Jakarta mengabarkan proklamasi yang baru saja diucapkan Bung Karno (dan Bung Hatta) atas nama seluruh bangsa Indonesia. (roso daras)

Published in: on 10 Juli 2009 at 06:14  Comments (11)  
Tags: , , , ,

Riwu Ga, Pembantu Sekaligus Pengawal Bung Karno

Buku Riwu GaTahun 30-an, ketika Bung Karno dibuang ke Ende, Nusa Tenggara Timur, tersebutlah satu nama, yang kemudian akan menjadi orang penting dalam sejarah berdirinya Republik Indonesia. Orang itu bernama Riwu Ga. Dialah yang kemudian dikenal sebagai pembantu sekaligus pengawal Bung Karno, sejak tahun 30-an sampai tahun 1945.

Kurang lebih 14 tahun lamanya Riwu mendampingi Bung Karno dalam segala suka dan duka. Ia menjadi pesuruh, menjadi pengawal, sekaligus menjadi pelakon dalam lakon-lakon tonil karya Bung Karno. Ya… Bung Karno memang seorang seniman sejati. Di Ende, ia membentuk grup kesenian tonil, sejenis kelompok sandiwara yang diberi nam Kelimutu. Nah, Riwu juga termasuk salah satu aktor.

Sosok Riwu Ga, diungkap cukup tuntas oleh wartawan senior, sekaligus sahabat saya, Peter A. Rohi dalam sebuah buku “Riwu Ga, 14 Tahun Mengenal Bung Karno, Kako Lami Angalai?”.  Pada salah satu bagian buku, yang mengisahkan kesenimanan Bung Karno, juga memuat naskah asli karya Bung Karno yang tersimpan rapi di tangan Rachmawati. Dan, atas seizin Rachmawati pula, lakon-lakon tonil karya Bung Karno di-publish oleh Peter A. Rohi.

Selain menulis naskah tonil, Bung Karno pula yang melukis latar belakang (setting) panggung dengan cat warna seadanya. Begitulah totalitas Sukarno dalam kesenian tonil. Ia penulis cerita, sutradara, sekaligus penata panggung. Kesemuanya itu dilakukan Bung Karno untuk membunuh waktu, mengusir kejemuan hidup di pengasingan.

Buku setebal 140-an halaman ini, sangat menarik. Bukan saja berisi reportase Peter A. Rohi sebagai wartawan, tetapi substansinya yang mendalam. Betapa Bung Karno begitu dekat dengan orang kecil bernama Riwu Ga. Dan, betapa Bung Karno memberi kepercayaan yang begitu besar untuk membantu, menjaga, sekaligus mengawal pada masa-masa pra kemerdekaan. Nama Riwu Ga “hilang” setelah 17 Agustus 1945. Tugas pengawalan kemudian diambil alih oleh sejumlah putra bangsa. Sementara, Riwu, memilih pulang ke pedalaman pulau Timor dan hidup bertani hingga ajal menjemput.

Pada kesempatan lain, akan saya posting lebih dalam tentang sosok Riwu Ga, sebagai bagian tak terpisahkan dari sosok Bung Karno. (roso daras)

Published in: on 19 Juni 2009 at 07:38  Comments (4)  
Tags: , , ,