Tugu Proklamasi, Riwayatmu Kini

Rumah di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Menteng, Jakarta Pusat sudah tidak ada lagi. Tidak ada yang perlu diperdebatkan mengenai nilai historis rumah Bung Karno yang kemudian menjadi tempat upacara Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Kini, nama jalan itu sudah berubah menjadi Jalan Proklamasi. Kemudian pada lokasi rumah Bung Karno, telah dibangun Tugu Petir. Dan, tak jauh dari Tugu Petir, berdiri monumen atau Tugu Proklamasi.

Seperti tampak dalam gambar, monumen itu menampilkan dua figur proklamator, Sukarno – Hatta. Di antara mereka terdapat prasasti naskah proklamasi yang diukir di atas batu marmer hitam. Bentuk tulisan dibuat sama dengan teks proklamasi yang asli.

Bagaimana kondisi monumen yang merupakan cikal-bakal berdirinya Republik Indonesia itu? Sangat memprihatinkan. Tubuh bangunan banyak yang retak. Corat-coret tangan-tangan jahil di sana-sini, air mancur mati, dan banyak juga lampu yang pecah dan tidak diganti. Sebagai monumen yang paling tinggi nilai sejarahnya, Tugu Proklamasi sejatinya paling merana kondisinya.

Jika ingin mengoreksi, posisi tugu proklamasi dan tugu petir itu sendiri bisa menimbulkan salah persepsi masyarakat. Rumah Bung Karno dulunya terletak di lokasi yang sekarang didirikan Tugu Petir. Di situlah Bung Karno membacakan teks proklamasi. Namun dengan komposisi seperti yang sekarang, bisa saja masyarakat menilai Bung Karno membacakan naskah proklamasi di tempat patung Bung Karno didirikan. Salah kaprah.

Begitu terbukanya lokasi Tugu Proklamasi, mengakibatkan siapa saja, baik perorangan maupun kelompok bisa memanfaatkan lokasi itu. Tak heran, sejak era Reformas, Tugu Proklamasi dijadikan ajang demo, ajang deklarasi, ajang pentas musik, ajang kongkow, sampai ajang sepakbola di sore hari. Beban Tugu Proklamasi begitu berat, mengakibatkan kondisinya makin parah.

Ironisnya, para pemakai, pengunjung, atau kelompok-kelompok yang memanfaatkan lokasi itu, cenderung hanya bisa memakai, tetapi tidak punya kesadaran merawat. Hari demi hari, tugu proklamasi kehilangan nilai kesakralannya. Tidak ada aturan, bahkan seperti ada pembiaran jika kemudian monumen yang begitu tinggi nilai sejarahnya itu menjadi area publik terbuka, bahkan tempat kongkow dan berjualan.

Apakah ini salah satu bentuk mengubur nama dan karya besar Sukarno? (roso daras)

Published in: on 23 Mei 2010 at 04:28  Comments (6)  
Tags: , , ,