Kang Kromo dan Kang Marhaen

Dalam pergaulan sehari-hari, kita sering mendengar orang menyebut kata “Si Fulan”, “Si Naya”, “Si Suta”, dan sejenisnya. Itu semua untuk menyebut “seseorang” dalam konteks perumpamaan. Tak terkecuali Bung Karno. Ia paling sering memakai nama “Kang Kromo” dan “Kang Marhaen” untuk menyebut rakyat Indonesia.

Satu contoh ketika ia berbicara mengenai marhaenisme. Sebuah paham yang dicetuskan Bung Karno untuk menggambarkan struktur sosial masyarakat Indonesia. Kisah petani Marhaen yang dijumpai Bung Karno di wilayah Bandung Selatan, sudah nyaris menjadi rahasia umum. Usai bertemu dan berdialog dengan Marhaen itulah kemudian Bung Karno mengembangkan paham marhaenisme yang terkenal itu.

Pemahamannya tentang ciri dan karakter bangsanya, mengakibatkan Bung Karno juga tahu betul setiap denyut nadi rakyat Indonesia. Karenanya, ketika para tokoh nasionalis melemparkan ide perjuangan melawan penjajahan melalui pola swadeshi seperti digulirkan Mahatma Gandhi, Bung Karno tidak setuju.

Pola pemboikotan ekonomi oleh kaum borjuis India yang dimotori Mahatma Gandhi terbukti efektif. Sementara, Bung Karno tahu betul, pola itu tidak mungkin diterapkan di Indonesia. Di Indonesia tidak ada kaum borjuis nasional, yang menguasai perekonomian sehingga bisa dijadikan alat menekan penjajah.

Pada hemat Bung Karno, setiap perjuangan bangsa Indonesia harus berangkat dari sumber tenaga inti yang terdiri atas kaum “Kang Kromo” dan “Kang Marhaen”. Mengapa begitu? Karena bangsa Indonesia hanya memiliki kekuatan terbesar yang terdiri atas “Kaum Kromo” dan “Kaum Marhaen”. Merekalah yang dalam bahasa lain sering disebut sebagai “rakyat rendah”, “rakyat jelata”.

Tidak mungkin perjuangan menuju merdeka dapat tercapai jika meninggalkan “rakyat rendah” yang terdiri dari “Kang Kromo” dan “Kang Marhaen”. Barang siapa memulai perjuangan politiknya ala “salon”, ala “menak” sebuah sebutan untuk menggambarkan borjuisme, maka hampir dipastikan tidak akan pernah berhasil.

Sebaliknya, setiap perjuangan mencapai kemerdekaan harus dengan landasan “marhaenisme”, “kromoisme”. Harus melibatkan “wong cilik”. Akan tetapi, jika ada elite bangsa berteriak-teriak cinta wong cilik, cinta si kromo, cinta si marhaen, tetapi jika dalam praktek tidak melandaskan perjuangan sejatinya melalui marhaenisme, maka sejatinya ia sedang menjalankan politik kebohongan. Bung Karno menyebutnya, “hanya politik-politikan belaka!”. (roso daras)

Published in: on 15 Mei 2010 at 07:10  Comments (2)  
Tags: , ,