Tiga Tujuan Revolusi Kita

Pernah seorang mahasiswa jurusan sejarah menelepon, hendak mewawancarai saya seputar Bung Karno. Saya menjadi ketakutan… memangnya siapa saya ini? Tapi toh dengan segenap kekuatan saya sempatkan bertanya, “Tentang apanya?” Tentang pidato-pidato Bung Karno yang mengguncang dunia, tentang pidato Bung Karno yang menjadi tonggak sejarah, tentang pidato Bung Karno yang patut dikenang.

Spontan saya jawab, semua pidato Bung Karno mengguncang dunia… semua pidato Bung Karno menjadi tonggak sejarah… semua pidato Bung Karno patut dikenang… bukan hanya patut, tetapi sudah sehausnya dikenang oleh segenap anak bangsa. Bukan karena Bung Karno yang berpidato, tetapi lebih karena isinya begitu berbobot. Dalam bahasa yang lebay saya bahkan bisa mengatakan, pidato Bung Karno yang paling santai saja, jauh lebih berbobot dari pidato paling serius dari lima orang presiden kita setelahnya.

Biarlah dianggap berlebihan… toh itu hanya opini pribadi. Nah, si mahasiswa tadi mendesak untuk lebih mengkhususkan lagi, memilah beberapa pidato saja. Artinya, saya diminta memilih pidato-pidato mana saja yang memenuhi unsur-unsur “ter”… unsur-unsur “paling” seperti yang dia sebut di atas. Sangat sulit, tapi toh saya tahu ini hanya untuk tugas akademik… jadi ya saya buatkan saja.

Satu kalimat Bung Karno yang masih terus relevan, kalimat yang kita bisa maknai cocok di segala zaman, termasuk zaman reformasi saat ini adalah, “revolusi kita belum selesai!” Seperti berulang kali Bung Karno tegaskan bahwa proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah sebuah awal revolusi yang hebat dari segenap bangsa Indonesia. Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah tanda permulaan revolusi hebat bangsa kita.

Ada tiga tujuan revolusi kita. Tiga…, satu… dua… tiga… ya tiga tujuan revolusi kita yang acap didengungkan Bung Karno dalam banyak kesempatan. Pertama, ialah mendirikan Republik Indonesia, Republik Kesatuan berwilayah kekuasaan antara Sabang dan Merauka. Oleh karena antara Sabang dan Meraukelah kita punya tanah air. Antara Sabang dan Meraukelah Ibu Pertiwi kita. Republik Kesatuan Indonesia yang kuat sentosa dari Sabang sampai Merauke.

Kedua, mengadakan di dalam Republik Indonesia satu masyarakat yang adil dan makmur, satu masyarakat yang tiap-tiap orang hidup bahagia, cukup sandang cukup pangan. Mendapat perumahan yang baik. Tidak ada anak-anak sekolah yang tidak masuk sekolah. Pendek kata, satu masyarakat yang adil dan makmur, yang tiap-tiap manusia hidup bahagia di dalamnya.

Ketiga, menempatkan Republik Indonesia itu sebagai satu negara daripada semua negara di dunia. Negara sahabat daripada semua bangsa di dunia. Tetapi, meskipun kita hendak bersahabat dengan semua negara di dunia, kita tidak mau bersahabat dengan kolonialisme. Kita tidak mau bersahabat dengan imperialisme. Jikalau masih ada sesuatu bangsa hendak mengkolonisasi kita, hendak menjajah kita, hendak menjalankan imperialisme di atas tubuh kita, kita berjuang terus sampai tetes darah yang penghabisan. Kita akan berjuang terus sampai imperialisme dan kolonialisme lenyap sama sekali dari muka bumi ini.

Itulah tiga tujuan revolusi kita yang makin tahun bukan makin dekat ke arah pencapaian secara esensi, melainkan makin jauh dari jangkauan. Undang-Undang Otonomi Daerah yang mengarah ke perubahan bentuk negara dari kesatuan, sudah menjerumuskan kita ke arah disintegrasi. Sabang sampai Merauka hanya merupakan bentang teritori yang berisikan “aku orang Aceh”… “aku orang Medan”… “aku orang Jawa”… “aku orang Kalimantan”… “aku orang Sulawesi”… “aku orang Maluku”… “aku orang Nusa Tenggara”… “aku orang Papua”…

Atau lebih menyedihkan lagi dari itu… tanah Indonesia berisi warga masyarakat yang terdiri dari “aku orang Sabang… aku orang Meulaboh”… “aku orang Padang”… “aku orang Lampung”… “ake arek Suroboyo”… “Nyong wong Tegal”… “beta putra Maluku”… dan seterusnya…. Mulai luntur “keindonesiaan” kita.

Bagaimana dengan pangan, sandang, papan, pendidikan? Akibat tidak meratanya kesejahteraan, mengakibatkan kesenjangan yang begitu lebar. Ada kelompok kecil yang begitu mudah mendapatkan semua kemewahan dan kebutuhan hidup… sementara ada yang begitu susah payah hanya untuk sekadar bertahan hidup.

Pendidikan? Mudah, tetapi tidak murah. Pasca sekolah, mencari pekerjaan susah.

Pergaulan kita di antara bangsa-bangsa makin terpinggirkan. Alih-alih mengenyahkan kolonialisme dan imperialisme… regulasi negara kita bahkan membuka diri dengan dua tangan terbuka, dengan senyum lebar, masuknya penjajahan baru di bidang ekonomi. Adakah kita sekarang berdiri di atas kaki sendiri? Tidak. Adakah semua kekayaan alam yang terkandung di bumi, laut, angkasa Republik Indonesia telah dikelola negara dengan baik bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat?

Sudah… sudah… sudah…. Sudahlah… jangan dilanjutkan bahasan ini…. Saya jadi ingin marah. (roso daras)

Perbincangan dengan H. Abdul Madjid (2-Selesai)

Ini bagian kedua dari perbincangan yang agak serius dengan Abdul Madjid. Di luar transkrip ini, sebenarnya banyak sekali berseliweran kisah menarik, utamanya persinggungan dia dengan Bung Karno, semasa dia aktif di PNI. Bahkan, ia juga menyinggung persinggungannya dengan putra-putri Bung Karno. Termasuk kisah ia didamprat Megawati Soekarnoputri, terkait amandemen UUD 1945.

Baiklah, kisah itu menjadi bahan posting di lain kesempatan. Sekarang, kita tuntaskan dulu perbincangan dengan Abdul Madjid tentang konstitusi, tentang masa depan bangsa….

Satu lagi, apakah arti DPR dan Parlemen menurt konteks UUD kita…

Yaaa… pada dasarnya DPR dan Parlemen itu sama. DPR itu Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan Parlemen itu juga suatu perwakilan rakyat. Cuma, parlemen itu tukang bicara, diambil dari kata “parle” bicara.

Siapa pemegang hakikat kekuasaan dalam suatu negara, khususnya di Indonesia?

Sekarang kan kekuasaan terbagi-bagi, ada eksekutif, ada legislatif, ada pula kekuasaan pengawasan. Cuma sekarang itu, amandemen dibikin, tetapi yang bikin amandemen tidak konsekuen. Artinya begini. Anda sarjana hukum, anda wartawan, punya logika. Saya menyatakan, semua Undang Udang di Indonesia ini tidak sah.

Dasarnya, amandemen pertama itu mengubah. Perubahan yang hebat. Dulu yang membikin UU itu Presiden, dengan disetujui oleh DPR. Amandemen pertama, siapa yang membikin UU? DPR dengan syarat draft UU dibicarakan bersama Presiden untuk mendapatkan mufakat. Sekarang coba baca. Waktu Presiden berkuasa, kepala UU selalu menyebutkan, Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Presiden Republik Indonesia, menimbang, memperhatikan, menetapkan, memutuskan….

Sekarang bunyinya pun sama. Begitu juga. Dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Presiden Republik Indonesia… dst. Apa itu sah? Jadi sekarang kalau melihat bunyinya, UU itu dibuat oleh Presiden. Ada UU Nomor 20 tahun 2004 itu menetapkan, jadi setelah amandemen, UU itu menetapkan kalau mau membentuk UU itu harus benar.  Setelah frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, harus diikuti nama lembaga yang berwenang membuat UU. Sedangkan yang terjadi sekarang, setelah frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, dikuti kalimat Presiden Republik Indonesia, padahal presiden tidak berwenang membuat Undang Undang. Nah, apakah UU itu sah? Tidak, sebab sudah menyalahi. Dan itu artinya, semua produk UU itu dapat dibatalkan dan atau batal demi hukum. Itu bunyi UU. Anehnya, tidak ada yang protes. DPR sendiri yang membuat UU, tidak “ngeh”.

Apa pendapat Pak Madjid tentang amandemen UUD 1945?

Mestinya tidak sah. Karena Dekrit Presiden tidak pernah dibatalkan.

Apa yang pak Madjid ketahui tentang keterlibatan lembaga asing?

Saya membaca bukunya pak A.S.S.  Tambunan. Jelas tertulis, bahwa NDI (National Democratic Institute) terlibat. Dan NDI itu arahnya adalah democratic reform dan constitutional reform. Pak Tambunan menulis itu. Bahwa ada keterlibatan asing dalam proses amandemen konstitusi kita oleh MPR RI periode 1999 – 2004. Di panitia ad hoc selalu ada orang asingnya untuk mengamat-amati. Saya baca buku pak Tambunan, jelas dikatakan ini misi asing, misi Amerika Serikat.

Dia tulis di buku. Buku itu sendiri tersebar luas. NDI dalam hal ini tidak pernah menggugat atau memprotes dan menolak. Dan kalau Tambunan bersalah atau menulis fakta yang tidak benar, kan dia bisa digugat dan dituntut secara hukum. Akan tetapi faktanya tidak ada gugatan dan tuntutan dari mana pun, termasuk NDI. Karena itu kesimpulan saya, pak Tambunan benar. (roso daras)

Published in: on 27 Juni 2010 at 16:41  Comments (1)  
Tags: , ,

Perbincangan dengan H. Abdul Madjid (1)

Arti Demokrasi Menurut Bung Karno

Siang yang terik, kediaman Abdul Madjid di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan tampak sepi. Saya langsung menuju ke sayap rumah yang terletak di sisi kiri. Di situlah “markas” tokoh senior nasionalis, Abdul Madjid. Di ruang yang sederhana, berserak koran, buku, dan segala paper, tampak Abdul Madjid sedang merapih-rapihkan dokumen. Saya harus uluk salam dengan volume dikencangkan. Maklumlah, pendengarannya sudah tidak sebagus dulu.

Silaturahmi yang relatif rutin saya jalin dengan tokoh Sukarnois senior itu, selalu saja melahirkan diskusi-diskusi yang menarik. Perbincangan sekitar 45 menit itu ternyata cukup panjang ketika dituang dalam tulisan. Karenanya, saya bagi ke dalam beberapa bagian. Berikut nukilan perbicangannya.

Ada begitu banyak model demokrasi di muka bumi. Ada demokrasi ala Inggris, Amerika, Perancis, Jepang, Cina, dan lain-lain. Di samping, ada pula demokrasi Indonesia. Nah, apa yang membedakan demokrasi Indonesia dengan demokrasi di negara-negara lain?

Mengenai demokrasi di Indonesia itu apa? Memang banyak orang yang tidak menanyakan soal itu. Partai Demokrasi Indonesia itu ya barangkali kalau ditanya ya hanya akan menjawab demokrasi Indonesia. Saya katakan, rumusan demokrasi Indonesia itu apa?

Demokrasi Indonesia itu beda dengan demokrasi di negara lain. Di Belanda, Amerka, Rusia, Cina, dan lain-lain. Sebab, demokrasi di Indonesia itu, kalau kita pancarkan, kita arahkan, kita sorotkan kepada Pancasila, kita mesti ingat kepada pidato Bung Karno 1 Juni 1945.

Bung Karno mengatakan, lima sila, kalau tidak senang, ya tiga sila, trisila yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan. Jadi di situ ada perkataan sosio-demokrasi. Tapi apakah sosio-demokrasi itu sudah menjadi demokrasi Indonesia? Belum. Sebab, kalau diambil dari situ, maka sosio-demokrasi Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa. Kalau tidak berketuhanan yang Maha Esa, maka bukan demokrasi Indonesia.

Nah sekarang kita arahkan kepada Pancasila yang lima sila itu. Kalau ditanya demokrasi Indonesia itu apa, banyak yang bilang, yang sudah pintar, bilang sila ke-4, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Itu benar, tetapi tidak lengkap.,

Memang itu sudah baik, tidak ada di dunia demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Kalau di luar negeri, kebanyakan demokrasi itu dipimpin oleh cipoa, alat hitung yang tak-tek tak-tek, yang banyak itu yang menang. Yang menang dianggap benar. Kalau pepatah Belanda menyalahkan itu. Sebab, ada juga pepatah Belanda yang baik yang kurang lebih artinya, “bukan yang banyak yang baik, tetapi baik itu banyak”. Benar kan?

Jadi, dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan itu tidak ada di luar negeri, di seluruh dunia hanya ada di Indonesia, mulia sekali. Akan tetapi kalau menurut Bung Karno itu pun belum lengkap. Sila 4 dan 5 itu harus dibaca satu nafas: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan  dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jadi artinya, meskipun sudah musyawarah dalam hikmat kebijaksanaan atau mufakat kalau tidak berbarengan dengan upaya mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, itu bukan demokrasi Indonesia. Lebih lengkap lagi, Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi, suatu keadilan sosial yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa bagi seluruh rakyat Indonesia. Itulah demokrasi Indonesia.

Jadi Bung Karno mengatakan bahwa demokrasi itu bukan hanya alat. Alat memilih kepala desa, memilih bupati-walikota, memilih gubernur atau bahkan presiden, tidak! Kalau istilah Bung Karno adalah, demokrasi harus menjadi “chelof”, atau penghayatan. Jadi demokrasi itu menjadi penghayatan. Maka Pancasila sebagai ideologi negara, demokrai Indonesia menjadi sub ideologi,  jadi bukan cuma alat yang diatur dengan undang undang, tetapi harus menjadi naluri dari bangsa Indonesia.

Nasionalisme, tanpa demokrasi Indonesia, nihil. Sebab, nasionalisme saja tidak menghasilkan keadilan sosial. Bung Karno bilang nasionalisme tanpa keadilan itu nihilisme. Nah, itulah inti demokrasi Indonesia. Jadi bagi rakyat Indonesia, demokrasi itu harus menjadi way of life. Menjadi sub ideologi. Jadi dia itu, dia punya gerak untuk menuju keadilan sosial harus dipimpin oleh demokrasi. Dan bukan demokrasi kalau tidak menghasilkan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.

Sekali lagi, bukan demokrasi kalau muaranya bukan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Di Eropa muara demokrasi apa? Liberalisme dan individualisme. DI Amerika muaranya kapitalisme dan imperialisme. Demikian pula di Jepang, Belanda, ada bau-bau feodalisme. Di Rusia, di Cina muaranya demokrasi sentralisme. Di Indonesia muaranya jelas, terwujudnya suatu keadilan sosial yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sangat ideal. Lantas, kapan model demokrasi Indonesia yang Bapak uraikan itu pernah terimplementasikan di negeri ini. Apakah pada era 1945 – 1959? Atau era 1959 – 1967? Atau era 1967 – 1998? Atau Era 1998 sampai hari ini?

Nah itu persoalannya. Sekarang saja, tidak banyak rakyat kita yang mengerti hakikat demokrasi Indonesia, jadi bagamana mau mengimplementasikan? Sekarang ini, penghayatan terhadap Pancasila, terhadap pembukaan UUD 1945 ngambang. Coba saya tanya yang gampang, apa cita-cita proklamasi kemerdekaan kita?

Mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur?

Benar… tapi kurang pas… he…he…he… Kalau mau lengkap, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, berisi keadilan, perikemanusiaan dan seterusnya. Itu benar. Tetapi yang saya tanya, cita-cita proklamasi yang dideklarasikan dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 itu apa? Itu jarang diungkap. Tertulis hitam di atas putih, bisa dibaca, dalam bahasa Indonesia rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan Indonesia, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya. Jadi, rakyat meproklamasikan kemerdekaan itu didorong oleh suatu cita-cita luhur, keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas.

Apa itu kehidupan kebangsaan yang bebas? Kita bicara nanti. Tapi yang pasti kalimat ketiga itu banyak yang kurang meresapi, padahal itulah deklarasi proklamasi. Di situlah diungkapkan cita-cita proklamasi.

Memang dalam Undang-Undang tidak ada rumusan mengenai kehidupan kebangsaan yang bebas. Tapi nalar kita kan bisa mengurai, kehidupan kebangsaan itu harus ada. Jadi memang, NKRI itu final, tapi isinya apa? Tidak pernah orang menyoal isinya apa. Lagi-lagi, keadilan dan kemakmuran. Tapi hendaknya harus kita gugat mengenai isi kebebasan kebangsaan. Jangan gaya keamerika-amerikanan, kecina-cinaan, kejepang-jepangan. Dan tuntutan itu sebenarnya sudah ada di Pembukaan UUD 1945.

Pembukaan UUD 1945 harusnya dikeramatkan, dalam arti apa yang tertuang dan tertulis di situ harus dilaksanakan oleh segenap bangsa Indonesia. Harus pula diresapi dan dihayati. Sekarang apakah ada yang memperhatikan hal itu? Nyaris tidak ada. Padahal tertulis dengan sangat jelas. Kehidupan kebangsaan itu jelas bukan kehidupan kedaerahan, bukan pula kehidupan kesukuan, bukan kehidupan golongan-golongan, bukan negara sekuler atau negara agama, bukan pula negar feudal, tetapi negara kebangsaan.

Bung Karno, dalam lahirnya Pancasila juga mengatakan, negara yang kita dirikan adalah negara kebangsaan Indonesia. Jadi di negara kebangsaan Indonesia hidup suatu nafas kebangsaan, kan logis sekali.

Sekarang masalah bebas. Bebas itu jangan diartikan liar. Ini perkataan dalam Pembukaan UUD 1945, kalimat pertama bunyinya, Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh karena itu, penjajahan itu harus hapus dari seluruh dunia. Jadi kalau dari seluruh dunia, maka Indonesia itu yang nomor satu. Harus bebas dari penjajahan di segala sendi kehidupan bangsa: Ipoleksosbudhankam.

The Four Freedom dari Theodore Roosevelt, itu termasuk dalam kebebasan yang kita maksud. Apa yang terjadi di Indonesia, bebas dari korupsi, artinya… bebas melakukan korupsi. Masakan ada yang bilang, korupsi sudah membudaya di Indonesia. Saya tidak setuju, karena yang namanya budaya itu pengertiannya luhur, baik. Karenanya saya setuju ungkapannya bukan “membudaya” tapi “membuaya”….

Sekali lagi, hakikat kebebasan itu adalah bebas dari segala sesuatu yang tidak diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Saya menyayangkan, saat ini sudah semakin jarang yang menyuarakan ihwal hakikat kehidupan kebangsaan. Hakikat kebebasan kebangsaan. Kalau berbicara saja sudah jarang, bagaimana mau menghayati dan meresapi? Kalau tidak bericara, tidak menghayati, bagaimana pula mau mengamalkan?

Demokrasi Indonesia harus menciptakan suatu kehidupan berdampingai secara damai. Demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang merdeka untuk memerdekakan. Demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang hidup untuk menghidupkan. Konferensi Asia Afrika terbukti. Dan sekali lagi kita kutip kata-kata Bung Karno, bahwa demokrasi tanpa keadilan sosial adalah nihil.

Jadi sekali lagi, Pancasila merupakan sesuatu yang integral, demikian pula trisila. Nah, itulah penghayatan pancasila semacam ini yang saya kira kurang dan mulai luntur. Padahal pembukaan UUD 1945 mengandung lima amanat bangsa. Mestinya pemerintah memegang itu. Lima amanat bangsa itu adalah pertama, bebas dari penjajahan. Kedua, melindungi segenap bangsa dan tumpah darahnya. Ketiga, memajukan kesejahteraan umum. Keempat, mencerdaskan kehidupan bangsa. Kelima, ikut serta mengatur ketertiban dunia.

Mestinya, pemerintah, tanpa kecuali, harus memegang teguh kelima amanat UUD 1945 itu. Bahwa nanti ada prioritas, ada break down, tidak masalah, tetapi semua mengarah ke lima amanat tadi untuk mewujudkan cita-cita proklamasi.  Tidak ada elemen bangsa yang mengingatkan bahwa presiden-wakil presiden dilantik itu adalah untuk mengamankan dan mengamalkan lima amanat cita-cita proklamasi.

Itu yang pertama kali harus ditegaskan, setelah itu baru paparan yang lain. Paparan berupa program kerja atau apa pun namanya, tetapi tetap mengacu kepada lima amanat. Nah, program kerja itulah yang akan dilihat oleh segenap bangsa, apakah benar sudah menuju ke arah pembebasan bangsa dari segala bentuk penjajahan. Apa benar sudah melindungi segenap bangsa dan tumpah darah. Apakah benar sudah memajukan kesejahteraan umum. Apakah benar sudah mencerdaskan kehidupan bangsa. Apakah benar sudah mengatur ketertiban dunia.

Maka, jika kita sandingkan dengan realita sekarang, bisa saya katakana bahwa penghayatan terhadap Pancasila sudah ngambang. (roso daras/BERSAMBUNG)

Published in: on 27 Juni 2010 at 06:32  Comments (6)  
Tags: , , , ,

Bung Karno Pahlawan Islam Asia-Afrika

Hari ini, dalam mengucapkan pidato kepada Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, saya merasa tertekan oleh suatu rasa tanggung-jawab yang besar. Saya merasa rendah hati berbicara dihadapan rapat agung daripada negarawan-negarawan yang bijaksana dan berpengalaman dari timur dan barat, dari utara dan dari selatan, dari bangsa-bangsa tua dan dari bangsa-bangsa muda dan dari bangsa-bangsa yang baru bangkit kembali dari tidur yang lama.

Saya telah memanjatkan do’a kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar lidah saya dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk menyatakan perasaan hati saya, dan saya juga telah berdo’a agar kata-kata ini akan bergema dalam hati sanubari mereka yang mendengarnya.

Saya merasa gembira sekali dapat mengucapkan selamat kepada Tuan Ketua atas pengangkatannya dalam jabatannya yang tinggi dan konstruktif. Saya juga merasa gembira sekali untuk menyampaikan atas nama bangsa saya ucapkan selamat datang yang sangat mesra kepada keenambelas Anggauta baru dari Perserikata Bangsa-Bangsa.

Kitab Suci Islam mengamanatkan sesuatu kepada kita pada saat ini. Qur’an berkata: “Hai, sekalian manusia, sesungguhnya Aku telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan, sehingga kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu sekalian kenal-mengenal satu sama lain. Bahwasanya yang lebih mulia diantara kamu sekalian, ialah yang lebih taqwa kepadaKu”.

Empat alinea di atas, adalah empat paragraf Pidato Bung Karno yang fenomenal di depan Sidang Umum PBB XV, 30 September 1960. Pidato itu diberinya judul To Build the World Anew, Membangun Tatanan Dunia yang Baru. Silakan diulang paragraf terakhir, bagaimana Bung Karno untuk pertama kalinya di hadapan sidang PBB mengutip ayat-ayat suci Alquran.

Ayat tersebut, ia kutip dari surat Al-Hujarat (49):13, sebagai salah satu konsep kebangsaan yang dari sudut pandang Islam. Betapa bahwa Islam pun mengenal konsep kebangsaan. Dalam konteks berbicara di forum dunia tersebut, Bung Karno tak lupa mengutip Alquran, khususnya ayat-ayat kebangsaan.

Anda tahu? Pasca pidato Bung Karno itu, banyak pemimpin negara Islam… ya… pemimpin negara yang berasaskan Islam, termasuk Saudi Arabia merasa “kecolongan”. Benar, sebab sebelum-sebelumnya, tidak satu pun kepala negara yang pernah mengutip ayat suci Alquran dalam pidatonya. Hanya Bung Karno, Presiden Republik Indonesia yang melakukannya.

Karenanya, ia kemudian dinobatkan sebagai Pahlawan Islam Asia-Afrika. Penobatan itu dilakukan pada pertemuan para pemimpin negara-negara Asia Afrika di Kairo Mesir, yang kemudian melahirkan Gerakan Non Blok, tahun 1961. Begitu fenomenalnya sosok Bung Karno, sehingga ia menjadi mercu suar, bukan saja bagi bangsanya, tetapi bagi bangsa-bangsa di Asia dan Afrika. (roso daras)

Molly Sering Mengubah Pidato Bung Karno

Siapa si Molly sampai berani-beraninya mengubah pidato Presiden Sukarno? Dialah Molly Bondan, terlahir dengan nama Molly Warner pada 9 Januari 1912 di Auckland, Selandia Baru, kemudian bermukim dan menetap di Sydney, Australia. Ihwal nama Bondan di belakang namanya, bisa ditebak, itu nama Indonesia. Benar, ia memang dikawin aktivis pejuang, sahabat Bung Hatta bernama Muhammad Bondan.

Mengomentari tanggal kelahirannya, Molly dalam banyak kesempatan selalu mendahuluinya dengan keterangan, “saya lahir persis tiga bulan sebelum tragedi tenggelamnya kapal pesiar Titanic di lautan dasar Atlantik.” Tragedi yang menewaskan 2.000 penumpang itu, memang tidak terkait langsung dengan Molly.

Kalaupun dipaksakan terkait, barangkali pada satu hikmah, bahwa nasib manusia, perjalanan hidup manusia, mutlak Tuhan yang mengatur. Ribuan orang yang berlayar dengan Titanic dari Inggris Raya menuju daratan Amerika, sama sekali tidak menyangka, kapalnya bakal menabrak gunung es dan menenggelamkan mereka. Molly yang bernenek moyang Inggris, hijrah ke Selandia Baru, kemudian menetap di Australia, dan disunting lelaki Indonesia yang membawanya masuk dalam pusaran sejarah Indonesia.

Muhammad Bondan menikahi Molly tanggal 5 Oktober 1946. Sekali lagi, ini juga suratan Tuhan. Tersebutlah Muhammad Bondan menjadi satu di antara sekian banyak tawanan politik Belanda yang dibawa ke Australia pada tahun 1944, sesaat setelah Jepang merangsek Tanah Air. Sesungguhnya, Bung Karno pun termasuk tawanan politik yang hendak dibawa serta oleh pemerintahan Hindia Belanda ke Australia. Akan tetapi, mengingat keterbatasan tempat duduk di pesawat, padahal pembantunya, Riwu Ga, ngotot ikut, akhirnya Bung Karno batal diberangkatkan ke Australia.

Nah, kembali ke Bondan dan Molly. Mereka dipertemukan di Sydney. Secara kebetulan, Sydney sejak usia 15 tahun sudah mengikuti jejak sang ayah, mendalami theosofi. Ia akrab dengan budaya India maupun Indonesia. Apalagi, kehadiran para tawanan Hindia Belanda ini diperkenalkan sebagai “bukan musuh”, melainkan para pejuang yang siap melawan Jepang.

Kecocokan Molly dan Bondan, yang kemudian dikuatkan dalam ikatan pernikahan beda bangsa itu, dengan sendirinya menyeret Molly berkebangsaan Indonesia. Setahun kemudian, lahir putra pertama mereka yang diberinya nama Alit. Bondan pun menjalin komunikasi kembali dengan para kawan seperjuangan, termasuk Mohammad Hatta yang kini sudah menjadi Wakil Presiden.

Singkat cerita, Bondan membawa Molly dan putranya pulang ke Tanah Air. Kota Yogyakarta adalah tujuan pertama, mengingat tahun 1947, pemerintahan pusat memang dipindah ke Yogya. Di Yogya, Bondan langsung direkrut sebagai abdi negara, dan bekerja di Kementerian Perburuhan. Sedangkan Molly, bekerja di RRI Pemancar Yogyakarta yang khusus mengasuh acara The Voice of Free Indonesia.

Sebagai penyiar RRI, Molly tercatat sebagai abdi negara pula, pada Kementerian Penerangan. Tidak lama kemudian ia digeser ke Kementerian Luar Negeri, karena tenaganya diperlukan untuk mengajar bahasa Inggris bagi para diplomat Indonesia, menjelang digelarnya Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung.

Peristiwa bersejarah yang tak dilupakan terjadi empat tahun kemudian, saat ia menjadi penerjemah persidangan Allen Pope, penerbang CIA yang berhasil ditembak jatuh di Sulawesi, dan kemudian dihukum mati, tetapi dibebaskan oleh Bung Karno dengan beberapa konsesi. Ia kemudian diminta menyusun buku berjudul Subversive activities in Indonesia. The Jungschlager & Schmidt Affair.

Perannya sebagai penerjemah pidato-pidato Bung Karno terjadi secara kebetulan, yakni setelah penerjemah terdahulu, yakni Tom dan Renee Atkinson pulang ke negaranya, Inggris. Sejak itu, Molly-lah satu-satunya petugas penerjemah pidato Bung Karno ke dalam bahasa Inggris.

Di sinilah ia terlibat intens dengan sosok Sang Proklamator, setidaknya bergulat dengan pemikiran-pemikirannya. Menurut Molly, Bung Karno sangat piawai berpidato. Bahkan Molly menyebut, kalau Bung Karno berpidato seperti seorang dalang wayang kulit yang sedang bercerita. “….gemar melakukan pengulangan kata sebagai upaya untuk lebih
menjelaskan apa yang dia maksud. Bung Karno berbicara (seolah-olah) secara pribadi kepada hadirin dengan selingan humor, kutipan kalimat dan juga sarat lukisan suasana yang berwarna-warni. Begitu dalam pidatonya, demikian pula keadaannya kalau Bung Karno menulis…..”

Arti lain, kemampuan Bung Karno berpidato, sama bagusnya dengan kemampuannya menulis teks pidato. Molly sendiri sebagai penerjemah sering kehabisan kosa-kata untuk menerjemahkan teks pidato Bung Karno lengkap dengan ekspresi dan bumbu-bumbunya. “Terus terang, saya sering mengabaikan akurasi demi mencapai nuansa terjemahan yang pas. Tapi tentu saja saya lakukan dengan tidak mengubah substansi,” ujar Molly.

Dalam bukunya, In Love With a Nation, Molly tidak saja bertutur tentang pekerjaannya menerjemahkan teks-teks pidato Bung Karno ke dalam bahasa Inggris. Lebih dari itu, Molly juga melakukan pengamatan-pengamatan yang cermat terhadap tokoh-tokoh elite negara yang ada di sekeliling Bung Karno. Termasuk penilaiannya kepada Soebandrio yang dinilai ambisius. (roso daras)

Gara-gara tidak Suka Wayang

Ini peristiwa 1 Juni 2010, saat saya menghadiri peringatan Hari Lahirnya Pancasila di lantai 3 Gedung DHN ’45, Jl. Menteng 31, Jakarta Pusat (Gedung Joang ’45). Secara kebetulan, hadir sesepuh idola saya, Ki Utomo Darmadi, yang akrab dipanggil Tomi Darmadi. Sebagai purnawirawan, dia ini sangat vokal. Bahkan, meski pangkat terakhir Kapten, tapi jaringan dan teman diskusinya kebanyakan jenderal.

Tomi Darmadi ini adalah adik kandung pahlawan Peta Suprijadi. Dia juga putra Bupati Blitar yang tidak lain masih ada hubungan darah dengan Bung Karno. Dalam perjalanan karier maupun hidupnya, Tomi juga banyak bersinggungan dengan Bung Karno. Bahkan dalam banyak hal, ia sering dititipi petanyaan oleh petinggi negara yang tidak berani bertanya langsung kepada Bung Karno.

Nah, suatu ketika dalam kesempatan santai ia nyeletuk ke arah Bung Karno, “Bung, kenapa kok njenengan gak suka sama pak Roeslan (Abdulgani).” Bung Karno menjawab sambil lalu, “Orang Jawa kok gak ngerti wayang….”

Tomi Darmadi lantas bersiap mengajukan bertanya lagi,  “Apa yang salah dengan tidak mengerti wayang?” Belum sempat kata-kata itu meluncur dari mulutnya, Bung Karno sudah menjawab, “Kalau orang Jawa tidak ngerti filosofi wayang, maka kemungkinan besar dalam membuat kebijakan akan banyak kesalahan.”

Lebih dari itu, menurut Tomi Darmadi, Roeslan Abdulgani sesungguhnya juga tidak terlalu cocok dengan Bung Karno. Bahwa kemudian dia menjadi orang dekat Sukarno, erat terkait dengan peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Erat juga terkait dengan eksistensi Partai Sosialis Indonesia (PSI), sebagai tempat beraktivitas Roeslan. “Waktu itu orang-orang PSI banyak yang anti-Sukarno,” ujar Tomi.

Ketidaksukaan Roeslan terbukti ketika Bung Karno sudah jatuh. Dalam satu kesempatan di Amerika Serikat, Roeslan berpidato, bahwa Pancasila sekarang sudah bukan milik Bung Karno lagi. Kontan saja Tomi Darmadi dan kawan-kawan Sukarnois lain protes. Tidak sekadar protes, mereka juga mencegat kepulangan Roeslan.

Tapi justru karena sikap itu pula, Roeslan tetap up to date pada zamannya. Di era Soeharto, ia tetap menjadi orang penting. Termasuk memegang institusi BP7, dan di sanalah ia tafsirkan Pancasila menjadi doktrin kering seperti yang banyak dirasakan generasi yang tumbuh pada era Orde Baru. “O ya, satu lagi… dulu Roelan itu dekat dengan Belanda,” imbuh Tomi.

Habis Roeslan terbitlah Soebandrio. Nah, tokoh ini juga sejatinya berangkat dari PSI, satu partai dengan Roeslan. Bahkan ketika kuliah di Inggris pun, Soebandrio aktif di partai sosialis. Bedanya, kalau Roeslan dari Surabaya, sedangkan Soebandrio dari Semarang. Kehadiran Bandrio jelas menggeser posisi Roeslan.

Beda dengan Roeslan, Bandrio lebih memahami filosofi wayang. Selain itu, cara masuknya pun elegan. Dia datang ke Jakarta, ditampung oleh Soewirjo, kepala daerah Jakarta ketika itu. Oleh Soewirjo, Bandrio dimasukkan ke PNI, sehingga warnanya pun menjadi lebih nasionalis.

Begitulah sekilas Bung Karno di antara dua dedengkot PSI, Roeslan ABdulgani dan Soabandrio. Dan seperti dikatakan Tomi Darmadi, “Bung Karno paham betul karakter satu per satu orang di sekelilingnya. Ia juga tahu, siapa yang menyukainya dan siapa yang menentangnya. Bung Karno sangat menghargai dan menghormati perbedaan. Ia tidak memasalahkan orang-orang yang tidak menyukainya, sepanjang orang itu bisa bermanfaat bagi bansa dan negara. (roso daras)

Published in: on 20 Juni 2010 at 08:30  Comments (6)  
Tags: , , , , ,

Naoko Nemoto Nyanyikan Bengawan Solo

Setidaknya sudah ada dua atau tiga judul postingan di blog ini yang menyinggung Ratna Sari Dewi. Si Jelita dari Negeri Sakura, yang bernama asli Naoko Nemoto itu. Itu artinya, tulisan ini bukan yang pertama, tetapi sungguh sayang dibuang. Sekalipun barangkali tidak terlalu penting.

Apalagi, yang tidak penting tentang diri Proklamator kita, ada kalanya penting buat sebagian yang lain. Jadi, ini sungguh bukan soal penting atau tidak penting. Anggap saja bahwa ini memang topik yang menarik. Terlebih mengingat peristiwa ini menyangkut setidaknya tiga nama besar: Bung Karno, Ratna Sari Dewi, dan buaya keroncong yang belum lama ini wafat: Gesang.

Alkisah, pada kunjungan ke Jepang tahun 1959, Bung Karno berkesempatan diperkenalkan dengan gadis cantik berkulit putih nan lembut… Naoko Nemoto namanya. Ketika itu, Naoko adalah seorang geisha… ya, wanita penghibur di sebuah kelab malam bernama Copacabana di Tokyo. Usianya baru 19 tahun.

Geisha adalah sebuah maha budaya Jepang. Kehadirannya sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Bahkan semua film, baik film komersial maupun dokumenter yang menyangkut kehidupan geisha di Jepang, selalu saja menarik. Mereka adalah wanita-wanita pilihan, yang dibekali kemampuan merawat dan merias diri. Tugasnya adalah menghibur para tamu dengan tarian dan nyanyian.

Tidak sedikit di antara mereka yang kemudian menjadi semacam gundik atau peliharaan para tokoh politik, saudagar, maupun tokoh masyarakat. Sekalipun begitu, seorang geisha tidak bisa disamakan dengan pelacur. Kata geisha atau geiko (di Kyoto) sendiri diartikan sebagai seniman-penghibur. Tidak semua perempuan cantik bisa menjadi geisha, karena untuk menjadi geisha memang memerlukan banyak persyaratan menyangkut skill menari dan menari, serta segala sesuatu terkait kultur Jepang, misalnya tata cara menyajikan ocha atau teh Jepang kepada para tamu.

Bung Karno, yang dalam lawatan ke luar negeri memang sering sendiri itu, mau saja menerima jamuan pengusah kesohor Jepang, bernama Masao Kubo. Ia adalah Direktur Utama Tonichi Inc, sebuah bisnis konglomerasi yang mulai mengembangkan sayap bisnis di Asia, termasuk Indonesia. Bagi Bung Karno, mengunjungi rumah geisha tak lebih dari refreshing di tengah agenda politik yang padat dan menguras pikiran dan fisik.

Masao Kubo memang sudah menyiapkan acara spesial buat Presiden Republik Indonesia itu. Jauh hari sebelumnya, ia sudah merencanakan ini semua. Ini terbukti manakala si jelita Naoko Nemoto, sang geisha tampil dan melantunkan lagu keroncong mahakarya Gesang, Bengawan Solo. Hati orang Indonesia mana tidak tersentuh hatinya, demi mendengar lagu negerinya dinyanyikan penyanyi asing. Cantik pula….

Jadi, sungguh tidak bisa disalahkan jika kemudian Bung Karno begitu terkesan dengan penampilan Naoko Nemoto tadi. Kesan itu begitu dalam, hingga ia susah tidur saat kembali ke hotel. Hatinya masih tertinggal di rumah geisha. Tepatnya, hatinya lumer oleh semua yang ada pada diri Naoko Nemoto. Alhasil, dengan dicomblangi Masao Kubo, Bung Karno pun berkesempatan berjumpa lagi dengan Naoko di hotel tempat Bung Karno menginap.

Pendek cerita, tiga tahun kemudian, tepatnya 3 Maret 1962, Bung Karno berhasil menyunting Naoko Nemoto dan memboyongnya ke Tanah Air setelah diganti namanya menjadi Ratna Sari Dewi. Darinya, Bung Karno dikarnuiai satu putri, Kartika Sari Dewi Soekarno atau Kartika Soekarno, dan akrab dipanggil Karina.

Begitulah sekelumit tambahan story Bung Karno – Ratna Sari Dewi. Jangan lagi disoal, ihwal apa yang membuat Bung Karno tertarik kepada Naoko di rumah geisha tahun 1959 itu. Lagu Bengawan Solo-kah… atau kecantikannya…. Satu hal yang pasti, Bung Karno begitu mencintainya… sampai-sampai ia berwasiat, jika meninggal, “satukan aku dengan dia dalam satu peti”…. (roso daras)

“Have 707 Will Travel”

Pernah suatu masa, tepatnya di bulan Juni 1960, Bung Karno melakukan lawatan ke banyak negara dalam masa yang juga terbilang lama, yakni sekitar dua bulan empat hari. Negara-negara yang dikunjungi meliputi India, Hongaria, Australia, Guinea, Tunisia, Marokko, Portugal, Kuba, Puerto Rico, San Francisco, Hawaii, dan Jepang.

Kontan saja, pers Barat yang memang sudah begitu geram dengan aksi Bung Karno menggalang kekuatan NEFO (New Emerging Forces), melakukan aksi diskredit. Salah satu penerbitan mereka mengarang judul khusus buat aktivitas lawatan Bung Karno tersebut, “Have 707 Will Travel”.  “Saya sendiri tidak mengerti apa maksudnya, hingga seorang sahabat bangsa Amerika menerangkannya,” ujar Bung Karno.

Di kemudian hari Bung Karno mengklarifikasi secara khusus ihwal pencelaan oleh para musuh politiknya terhadap lawatan-lawatan Bung Karno ke berbagai belahan dunia. “Hampir semua negara sudah saya kunjungi, kecuali ke London. Sudah ada dua undangan dari Ratu Inggris, dan Bung Karno berharap pada saatnya ia akan menerima keramah-tamahan Inggris.

Apa maksud dan tujuan lawatan Bung Karno ke berbagai negara? Bukan lain dan tak bukan, ia ingin agar Indonesia dikenal orang. Ia ingin memperlihatkan kepada dunia, bagaimana rupa orang Indonesia. Bung Karno ingin menyampaikan kepada dunia, bahwa bangsa Indonesia bukan bangsa yang pandir seperti berulang-ulang orang Belanda mengatakannya. “Bahwa kami bukan ‘inlander-inlander’ goblok yang hanya baik untuk diludahi,” ujar Bung Karno.

Ia juga ingin menunjukkan kepada dunia bahwa penduduk Indonesia bukan penduduk kelas kambing yang berjalan menyuruk-nyuruk hanya berkain sarung dan berikat kepala. Pendek kata, Bung Karno ingin menghilangkan stigma bangsa jongos yang jalan merangkak-rangkak di depan majikan bule.

Setelah China, India, Uni Soviet (sebelum pecah), dan Amerika Serikat, maka Indonesia adalah bangsa kelima di dunia dalam hal jumlah penduduk. Lebih dari 3.000 pulau di Indonesia dapat didiami. Sementara itu, berapa banyak warga dunia yang tidak tahu apa warna kulitnya, di mana letak negaranya…. Dunia hanya mengenal satu nama: Sukarno! Bahkan suatu hari sekretaris presiden mengantarkan sepucuk surat dari luar negeri yang di sampul depan hanya bertuliskan: Kepada Presiden Sukarno, Indonesia, Asia Tenggara”.

Dunia pada umumnya tidak mengetahui bahwa Indonesia adalah rangkaian pulau terbesar di dunia. Indonesia adalah sebuah negara yang terhampar sepanjang 5.000 kilometer. Jika dibentang di atas benua Eropa, maka akan menutup seluruh wilayah Eropa sejak dari pantai barat hingga ke perbatasan paling timur. Tidak banyak pula yang tahu bahwa setelah Australia, Indonesia adalah negara terbesar keenam, denga luas tanah sebesar dua juta mil persegi.

Bahkan, dunia tidak tahu bahwa Indonesia adalah penghasil kopi paling baik dunia, sehingga muncul ucapan “A cup of Java”. Bahwa setelah Amerika dan Uni Soviet, maka Indonesialah penghasil minyak terbesar di Asia Tenggara dan penghasil timah kedua terbesar di dunia. Pendek kata, Indonesia adalah negara terkaya sumber daya alam di dunia. Ketika itu, bahkan satu dari empat ban mobil orang Amerika berasal dari karet Indonesia.

Tapi toh, dunia hanya mengenal Sukarno. Departemen Luar Negeri Republik Indonesia harus mengatakan, bahwa satu kali kunjungan Sukarno sama artinya dengan sepuluh tahun pekerjaan seorang Duta Besar. Sesungguhnya, itulah alasan mengapa Bung Karno banyak melakukan lawatan ke luar negeri. (roso daras)

Published in: on 13 Juni 2010 at 14:16  Comments (2)  
Tags: , ,

Fatmawati – Hartini, Siapa First Lady?

Lagi-lagi tentang dua istri Bung Karno (di antara istri-istri yang lain). Ini tentang Fatmawati dan Hartini. Jika dirunut, Fatmawati adalah istri ketiga, setelah menceraikan Utari dan bercerai dengan Inggit. Sedangkan Hartini adalah istri keempat, yang dinikahi Bung Karno kurang lebih sembilan tahun setelah menikahi Fatmawati.

Tapi dalam standar kenegaraan, kita menyebut Fatma sebagai istri pertama, dan Hartini sebagai istri kedua. Konteksnya jelas, dihitung sejak Bung Karno menjabat Presiden Republik Indonesia. Sebab, Utari dan Inggit dinikahi zaman pra kemerdekaan. Alhasil, dalam posisi sebagai Kepala Negara, keputusan poligami yang diambil Bung Karno sungguh menghebohkan.

Tak heran jika kemudian berbagai reaksi bermunculan. Bung Karno bahkan dikecam, baik langsung maupun sembunyi-sembunyi oleh para pihak yang tidak setuju. Di kelompok ini, bercokol para tokoh perempuan pada eranya. Puncak gerakan itu terjadi Juli 1953, menunggangi isu yang mereka gulirkan, yakni mendorong lahirnya Undang Undang Perkawinan yang di dalamnya mengandung pasal anti-poligami.

Bung Karno mengistilahkan mereka sebagai perempuan-perempuan Islam yang mencoba-coba hendak “membantu” Nabi Muhammad dengan cara mengubah peraturannya. Bayangkan, di tengah kecamuk itulah Bung Karno mbedudu, terus melaju mengawini Hartini.

Kehebohan pun menyeruak. Lagi-lagi Bung Karno menanggapinya ringan saja. Mereka dinilai sebagai para wanita yang khawatir kedudukannya sebagai penguasa rumah tangga akan tergoncang jika poligami dibiarkan. Maka, berbondong-bondonglah mereka ke Istana mendemo presidennya. Sikap mereka yang seperti gerombolan perempuan yang siap berkelahi itu, sungguh membuat Bung Karno susah hati, prihatin. Terlebih ketika media massa menjalankan fungsi “kompor” dan makin mengobarkan api yang sudah berkobar-kobar.

Bung Karno jauh dari reaktif. Apalagi yang didemo sama sekali bukan kebijakan negara. Demo protes itu lebih kepada aksi kelompok terhadap pribadi Sukarno. Maka, sebaik-baiknya sikap Bung Karno adalah memendam amarah dan kejengkelan yang menonjok-nonjok urat kesabarannya. Sebaliknya, Bung Karno juga enggan membuat mereka terluka. Karenanya, Bung Karno kemudian menghindarkan diri sekuat tenaga dari protokoler negara yang berhubungan dengan masalah tersebut.

Sebagian dari demonstran itu menolak wanita lain selain Fatmawati sebagai First Lady Republik Indonesia, sebagai Ibu Negara. Bung Karno sendiri tidak memaksakan salah satu di antara Fatma dan Hartini sebagai Ibu Negara. Sebab faktanya, Fatma sendiri langsung meninggalkan Istana dan pindah ke rumah Kebayoran Baru. Dengan arif pula, Bung Karno meminta Fatma berdiam di Jakarta, sedangkan Hartini menempati sebuah paviliun kecil di Istana Bogor.

Dan… bila Presiden Sukarno melakukan perlawatan ke luar negeri, dengan bijaksananya ia memilih untuk pergi sendiri.  (roso daras)

Main Bola Dihina Anak Belanda

Anda suka sepakbola? Bung Karno juga! Sayang, beda sekarang beda dulu…. Beda Anda, beda Bung Karno. Jika Anda bisa bermain sepakbola kapan saja (bahkan di mana saja), tidak demikian dengan Bung Karno. Jika sepakbola membangkitkan gairah luar biasa pada diri Anda, sebaliknya bagi Bung Karno. Mendengar dan menyaksikan sepakbola, akan melukai hati Sukarno. Mengapa?

Ini erat terkait dengan diskriminasi di era penjajahan. Orang bumiputera jangan harap bisa bermain sepakbola bersama-sama anak-anak bule. Bung Karno kecil, harus memendam rasa dendam luar biasa. Hatinya berontak demi merasakan ketidak-adilan. “Bagaimana pun, ada permainan di mana seorang anak bangsa Indonesia dari zamanku tidak dapat menunjukkan keahiannya. Misalnya Perkumpulan Sepakbola,” begitu tutur Bung Karno kepada Cindy Adams, penulis biografinya.

Sepandai apa pun Bung Karno menggocek bola, tidak sekali pun ia diberi kesempatan menjadi ketua perkumpulan. Sekali-kalinya diizinkan bermain bersama, ia tak lebih menjadi bulan-bulanan anak-anak Belanda. Dilecehkan, dimaki, dicerca… bahkan diludahi. Karenanya, Bung Karno tidak pernah lama bergabung dalam Perkumpulan Sepakbola pada zamannya.

Bung Karno ingat betul, bagaimana anggota Perkumpulan Sepakbola di sekolah ILS (Inlandsche School) Mojokerto  itu menunjukkan sikap tidak sukanya kepada Bung Karno. Maklumlah, sebagian besar anggota Perkumpulan Sepakbola memang anak-anak Belanda, yang merasa bermain lebih baik dan memandang rendah kemampuan para bumiputera, termasuk Bung Karno. Pendeknya, anak-anak inlander tidak ada yang bertahan lama di Perkumpulan Sepakbola itu.

Karenanya, sepakbola selalu mengingatkan Bung Karno pada pengalaman lahit yang membekaskan luka yang dalam di dalam hati. Anak-anak Belanda dengan pongahnya berdiri di kedua sisi pintu masuk lapangan sambil berteriak, “Hei… kauuu… Bruine… Hei, anak kulit coklat goblok yang malang… Bumiputera… inlander… anak kampung…. Hei, kamu lupa memakai sepatu…..”

Sedangkan, bayi-bayi pirang pun sudah tahu cara meludah kepada inlander…. Begitu mereka lepas dari kain-bedong orok, itulah pengajaran pertama yang diberikan para orangtuanya. Meludah kepada inlander… mencemooh… menganggap rendah… menilai hina-dina…. kepada bangsa Indonesia!

Karena tumbuh di masa penjajahan itu, barangkali yang membuat Bung Karno kurang bisa memaksimalkan kemampuan bermain sepakbolanya. Tapi yang jelas, ia tahu betul bagaimana membentuk tim sepakbola nasional yang mampu berprestasi di tingkat dunia.

Tim PSSI pada era Bung Karno sangat membanggakan. Contoh, pada lawatannya tahun 1954 ke berbagai negeri Asia (Filipina, Hongkong, Thailand, Malaysia) PSSI hampir menyapu seluruh kesebelasan yang dijumpai dengan gol menyolok. Dari 25 gol (dan PSSI hanya kemasukan 6 gol) 19 di antaranya lahir dari kaki Ramang.

Indonesia masuk dalam hitungan kekuatan bola di Asia. Satu demi satu kesebelasan Eropa mencoba kekuatan PSSI. Mulai dari Yugoslavia  yang gawangnya dijaga Beara (salah satu kiper terbaik dunia waktu itu), klub Stade de Reims dengan si kaki emas Raymond Kopa, kesebelasan Rusia dengan kiper top dunia Lev Jashin, klub Locomotive dengan penembak maut Bubukin, sampai Grasshopers dengan Roger Vollentein.

Sejumlah pemain sepakbola kita waktu itu adalah Ramang sanga penyerang lincah, Maulwi Saelan, Rasjid, Chaeruddin, Ramelan, Sidhi, Tan Liong Houw, Aang Witarsa, Thio Him Tjiang, Danu, Phoa Sin Liong, dan Djamiat. Ramang dikenal sebagai penyerang haus gol. Ramang memang penembak lihai, dari sasaran mana pun, dalam keadaan sesulit bagaimana pun, menendang dari segala posisi sambil berlari kencang.

PSSI bahkan pernah mengalahkan RRC dengan 2-0 di Jakarta. Kedua gol itu lahir dari kaki Ramang, satu di antaranya tembakan salto. Itu pertandingan menjelang Kejuaraan Dunia di Swedia, 1958. Pertandingan kedua dilanjutkan di Peking, Indonesia kalah dengan 3-4, sedang yang ketiga di Rangoon (juga melawan RRC) dengan 0-0. Sayang sekali lawan selanjutnya ialah Israeal (yang tak punya hubungan diplomatik dengan Indonesia) maka PSSI terpaksa tidak berangkat.

Klimaks prestasi sepakbola Indonesia juga terjadi di era Bung Karno, yakni PSSI menahan Uni Soviet 0-0 di Olimpiade Melbourne 1956.  (roso daras)

Published in: on 11 Juni 2010 at 03:52  Comments (4)  
Tags: , , ,