Pemilu yang Menghancurkan

bk-antre-nyoblos

bilik_1955-2Pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945, Republik Indonesia mengalami pasang surut di bidang politik. Sistem ketatanegaraan menjadi perdebatan tiada akhir. Harus diakui, bahwa pengaruh Barat dan Timur sangat besar. Sekelompok elite politik menghendaki negara menggunakan ideologi demokrasi liberal. Sebagian lainnye menginginkan komunisme. Tidak sedikit pula yang menghendaki asas Islam.

Pancasila sebagai dasar negara benar-benar diuji. Bung Karno teguh pendirian, sekalipun banyak elite politik menyeretnya ke kanan dan ke kiri. Begitulah perjalanan Republik hingga Pemilihan Umum Indonesia 1955 digelar, sebagai pemilihan umum pertama di Indonesia. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia yang paling demokratis untuk ukuran demokrasi liberal.

jalanrayaPemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif; beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosuwiryo. Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan.

Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi DPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah.

Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap

pemilu-55Bung Karno sendiri menilai demokrasi 51% mengalahkan 49 persen sebagai demokrasi yang tidak pas buat sebuah bangsa yang baru merdeka. Bahkan Bung Karno berkomentar atas Pemilu 1955 sebagai berikut, “Ini adalah jalan paing baik bagi suatu bangsa yang masih bayi untuk menghancurkan dirinya sendiri.:

Di sisi lain, Bung Karno tetap mengedepankan asas demokrasi Indonesia yang telah disusun di dalam Undang Undang Dasar 1945. Hakikat demokrasi Indonesia adalah musyawarah dan mufakat. Itulah cara kerja, modus operandi dari suku-suku bangsa Indonesia yang telah diwariskan secara turun-temurun. Selama beribu-ribu tahun.

Alhasil, mencermati Pemilu pasca reformasi, kita jadi set back ke era 1955. Pertanyaannya, apakah kita sudah cukup siap meninggalkan cara-cara berdemokrasi leluhur kita? Jika belum, itu artinya, Pemilu banyak partai seperti yang baru saja digelar, hanya akan menempatkan bangsa dan negara ini pada posisi genting, antara keselamatan dan kehancuran. (roso daras)

Published in: on 13 April 2009 at 12:51  Comments (3)  

The URI to TrackBack this entry is: https://rosodaras.wordpress.com/2009/04/13/pemilu-yang-menghancurkan/trackback/

RSS feed for comments on this post.

3 KomentarTinggalkan komentar

  1. Permisi…

    Tulisan yang menarik pak. Tapi saya kurang paham kalimat terakhirnya, “…jika belum, itu artinya, Pemilu banyak partai seperti yang baru saja digelar, hanya akan menempatkan bangsa dan negara ini pada posisi genting, antara keselamatan dan kehancuran. ”

    Di sisi lain, Saya sepakat jika kita perlu melihat lagi kesiapan masyarakat kita menghadapi pemilihan demokratis ala barat seperti sekarang ini.

    Kondisi sosial-ekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah membuat hasil pemilu seringkali dipengaruhi iklan dan politik uang.

  2. Bagus pak,sekarang pemilunya tambah hancur. Saya sebagai generasi muda yang belum bisa memilih hanya bisa memantau saja.

  3. Saya hanya berdoa dan berharap, semoga bangsa kita semakin baik, dewasa dalam berdemokrasi dan tetap satu dalam NKRI. Amin!


Tinggalkan komentar