Pidato Terakhir Bung Karno

Buku Roso Daras

Ini tentang sebuah buku yang saya tulis tahun 2001, berjudul Aktualisasi Pidato Terakhir Bung Karno: Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah (Never Leave History!). Buku ini —believe it or not— saya tulis dalam kurun waktu kurang dari dua minggu, dan menjadi salah satu buku dari serangkaian buku Seri Pemikiran Bung Karno yang diterbitkan Grasindo (PT Gramedia Widiasarana Indonesia) dalam rangka memperingati 100 Tahun Proklamator kita.

Dalam buku ini, saya menafsirkan dan menginterpretasikan pidato Bung Karno pada peringatan 17 Agustus 1966, serta membandingkan dengan situasi aktual ketika itu. Moralnya hanya ingin menunjukkan bahwa dalam banyak hal, pemikiran dan penuturan Bung Karno bersifat everlasting… evergreen... tak lekang dimakan waktu. Banyak wejangan Bung Karno yang terbukti relevan dengan situasi dan kondisi saat ini, dan saya yakin, hingga ke masa depan. Satu hal yang membuat saya menilai Bung Karno adalah seorang futurolog yang baik.

Ihwal pidato 17 Agustus 1966 yang saya katakan sebagai pidato terakhir, dalam pengertian pidato kenegaraan yang begitu dinanti rakyat Indonesia setiap tanggal 17 Agustus. Sejarah telah mencatat, 17 Agustus 1967 dia sudah tidak lagi berkuasa, sehingga mulutnya terkunci, dan dunia tak lagi mendengar spirit progresif revolusioner dari seorang Putra Sang Fajar. Dunia tak lagi menyimak kecamannya atas hegemoni liberalisme dan kapitalisme.

Selain menafsir pidato yang sering disingkat orang dengan “Jas Merah” itu, saya juga melakukan riset kecil-kecilan terkait respons media massa pada zamannya. Beberapa kali saya masuk-keluar perpustakaan nasional, membolak-balik lembar demi lembar koran tua. Beberapa artikel dan berita, saya sertakan pada epilog buku agar pembaca maklum, bahwa tahun 1966, sejumlah media memang telah memposisikan Bung Karno pada satu sudut yang sulit. Ada semacam penggalangan opini yang begitu sistematis terkait peristiwa G-30-S/PKI, sehingga Bung Karno “dipaksa” harus menerima status sebagai pihak yang harus bertanggung jawab.

Di sini sebuah ironi tampak. Seorang Presiden yang hendak dikudeta, justru dituding “terlibat” (langsung atau tidak langsung) dengan kudeta itu sendiri. Nalar mana yang membenarkan seorang presiden mengkudeta dirinya sendiri?

Alhasil, “pesan terakhir” Bung Karno yang berjudul “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”, saya resapi sebagai sebuah seruan yang harus terus digaungkan sepanjang zaman. Bangsa yang melupakan sejarah, akan dengan mudah tercerabut dari akar sejarah itu sendiri, dan menjadi bangsa antah berantah. Indonesia, saya katakan sebagai sebuah bangsa dan negara yang sedang dalam proses melupakan sejarah.

Entah diskenariokan atau tidak, amandemen terhadap UUD 1945 oleh MPR periode 1999 – 2004 yang mengubah sistem tatanan negara, sistem politik, dan sistem demokrasi  (50 + 1 boleh mambantai yang 49), telah mengakibatkan kita bukan lagi “Indonesia yang mengagungkan musyawarah gotong royong”. Perubahan pasal 33, mengakibatkan kita terjerumus pada ekonomi pasar bebas dalam keadaan kita masih teramat rapuh. Tidaklah heran jika sumber daya alam yang begitu melimpah, tak juga mampu mengangkat derajat dan kesejahteraan bangsa. Sebab, para komprador bangsa telah “menjual” Indonesia untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. (roso daras)

“Rapat Gelap” Bung Karno – Tan Malaka

BK-Hatta-Tan

Hingga hari ini, nama Tan Malaka tetap menyimpan misteri. Tidak satu pun catatan sejarah yang menafikan peran Tan Malaka dalam perjuangan mewujudkan Indonesia merdeka. Bahkan sejarah juga mengungkap, Tan Malaka-lah tokoh progresif revolusioner pertama yang mencatatkan gagasan Indonesia Merdeka pada tahun 1925, melalui tulisan berjudul Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Itu atinya, gagasan yang mendahului ide merdeka seperti ditulis Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928), dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933).

bardjo-iwa-sjahrirYang menarik, sejumlah kalangan menganggap, Tan Malaka sebagai Che Guevara-nya Indonesia. Dia pula yang berperan besar menggerakkan massa pada rapat akbar di lapangan Ikada pasca proklamasi kemerdekaan. Sejak itu, garis pro kemerdekaan dan pro status quo jadi tampak nyata. Gerakan menentang Jepang pun marak di mana-mana. Api revolusi, euforia kemerdekaan menyeruak di setiap dada pemuda Indonesia.

Dari satu catatan sejarah, tertoreh catatan adanya “rapat gelap” empat mata antara Bung Karno dan Tan Malaka, awal September 1945, di malam takbiran, menjelang Idul Fitri. Saksi penutur adalah Dr. R. Soeharto, yang tak lain adalah dokter pribadi Bung Karno. Kebetulan, rumah Soeharto di Jl. Kramat Raya 128 Jakarta Pusat itu pula yang dijadikan ajang pertemuan dua tokoh kemerdekaan kita.

Wanti-wanti Bung Karno kepada Soeharto adalah, selama pertemuan berlangsung, semua lampu harus dimatikan. Benar-benar rapat gelap dalam arti harfiah. Intinya, pertemuan itu sangat dirahasiakan. Anehnya, Soeharto sendiri tidak tahu, siapa “lawan rapat gelap” Bung Karno. Sebab ketika datang diantar Sayuti Melik, si tokoh itu memperkenalkan diri sebagai Abdulrajak dari Kalimantan.

Setahun kemudian, 1946, Soeharto baru tahu bahwa Abdulrajak adalah Tan Malaka. Dan rapat malam itu ternyata membahas tentang siapa yang akan memegang pimpinan nasional, seandainya Bung Karno dan Bung Hatta secara fisik tidak dapat melajutkannya karena dibunuh atau ditawan pihak Jepang, Belanda, atau Sekutu. Dalam kegelapan malam, Tan Malaka usul kepada Bung Karno, agar dirinyalah yang ditunjuk sebagai pewaris tunggal. Bung Karno dalam beberapa kesempatan, memuji Tan Malaka sebagai tokoh yang mahir dalam pergerakan revolusi. Sekalipun begitu, ia tidak serta merta menyetujui usul Tan Malaka. Kesimpulan rapat di kegelapan malam itu adalah, Bung Karno akan membuat testamen berisikan penunjukan siapa yang akan meneruskan pimpinan nasional, jika terjadi hal-hal seperti dikhawatirkan di atas.

sukarno tokoh politkPertemuan kedua dilangsungkan di rumah Mr. Subardjo, yang memang sudah dikenal baik oleh Tan Malaka. Dalam kesempatan itu, Bung Karno tidak datang sendiri, melainkan mengajak serta Wakil Presiden Bung Hatta. Rapat kedua itu memutuskan empat nama penerus tampuk pimpinan nasional, jika Bung Karno – Bung Hatta terbunuh, ditawan, atau tidak menjalankan tugasnya sebagai presiden dan wakil presiden. Adapun keempat nama itu adalah: Tan Malaka, Mr. Iwa Kusuma Sumantri, Sjahrir, dan Mr. Wongsonegoro.

Masuknya nama Sjahrir dan Wongsonegoro atas usul Hatta, alasannya Sjahrir punya pengaruh di kalangan terpelajar, sedangkan Wongsonegoro dkenal kalangan pangreh praja. Nama Iwa Kusumasumantri atas usul Mr. Subardjo, karena tokoh Pasundan ini memang dikenal berpengaruh luas di kalangan buruh dan suku Sunda.

Di kemudian hari, Bung Hatta mengakui ihwal hubungan personalnya dengan Tan Malaka yang disebutnya sebagai “tidak baik”. Karenanya, atas statemen Tan Malaka yang mengatakan bahwa ia tidak bersahabat dengan Hatta, memang dibenarkan oleh Hatta. Bisa jadi, karena itu pula, Bung Karno  dan Bung Hatta tidaklah mungkin menyerahkan kekuasaan pimpinan nasional kepada Tan Malaka seorang. (roso daras)

Di Gedung Agung Yogya, Bung Karno Bikin Kolam

gedungdepan

Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, tidak serta merta diterima Belanda. Sejarah mencatat, Belanda kembali ke Ibu Pertiwi dengan membonceng tentara Sekutu. Dengan buas dan beringas pasca dipukul Jepang, mereka kembali seperti hendak menelan bulat-bulat Hindia Belanda (Indonesia) yang sejatinya telah merdeka.

GedungAgung1939Bung Karno dan Bung Hatta tentu saja menjadi dua orang di urutan pertama yang harus diburu Belanda untuk dilenyapkan. Menyadari ancaman itu, Bung Karno dan keluarga, Hatta serta para pemimpin dan tokoh lain, hijrah ke Yogyakarta menggunakan kereta api luar biasa (KLB). Disebut luar biasa karena proses berangkat dan keberadaan kereta api itu sendiri sangat dirahasiakan.

Di Yogya, BK dan keluarga menempai bekas rumag Gubernur Belanda yang sekarang dikenal dengan nama Gedung Agung, di depan Benteng Vredeburg. Sedangkan Hatta menempati gedung di samping Gedung Agung yang sekarang menjadi markas Korem 072/Pamungkas, atau seberang Pegadaian, tak jauh dari kantor polisi Ngupasan.

Di Gedung Agung, atau biasa disebut Istana Yogyakarta terdiri atas enam bangunan utama, yaitu Gedung Agung, Wisma Negar, Wisma Indraprasta, Wisma Sawojajar, Wisma Bumiretewu, dan Wisma Saptapratala. Adapun ruang utama, dinamakan Ruang Garuda, biasa digunakan untuk menyambut tamu negara.

Di bagian depan sisi kanan gedung utama terdapat Ruang Soedirman. Sejarahnya, dulu di tempat inilah Panglima Besar Soedirman berangkulan untuk pamit kepada Presiden Sukarno hendak menjalankan aksi perang gerilya. Suatu upaya untuk menunjukkan eksistensi NEGARA REPUBLIK INDONESIA yang telah merdeka, dan tidak sudi dijajah kembali. Di depan kiri, ada Ruang Diponegoro. Kini, kedua ruang itu digunakan sebagai ruang tunggu tamu.

Pada waktu persiapan menghadapi agresi Belanda yang pertama, di halaman Istana sering dipakai latihan baris-berbaris pasukan pengawal presiden. Sementara para pengawal berlatih baris-berbaris, Bung Karno biasanya berlari-lari pagi memutari para pengawalnya. Sementara, Ibu Fatmawati bermain bola keranjang bersama para pengawal.

kolam karya BKYang menarik, Bung Karno sebagai “tukang insinyur” sempat merancang sebuah kolam ikan di halaman samping ruang tempat Bung Karno biasa meberi kursus politik kepada para wanita, remaja putri, mahasiswi, dan pelajar putri. Ruang itu sampai sekarang masih ada, dan sering dijadikan tempat pertunjukan kesenian kalau ada tamu negara. Bahkan, kolam karya Bung Karno pun masih utuh dan terawat. (roso daras)

Published in: on 27 Mei 2009 at 03:15  Comments (1)  
Tags: , ,

Tiga Srikandi Bung Karno

U1355827

Dalam banyak kesempatan, Bung Karno begitu spontan menunjukkan kasih sayangnya kepada tiga srikandinya. Tiga srikandi yang tak lain adalah tiga orang putri yang tinggal bersamanya di Istana Merdeka, setelah Ibu Negara Fatmawati meninggalkan Istana. Mereka adalah Megawati, Rachmawati, dan Sukmawati. Foto di atas diambil saat Bung Karno menciumi ketiga putri tercinta, Mega (kiri), Rachma (tengah) dan Sukma (sedang dicium), sebelum Bung Karno berangkat melawat ke Jepang selama tiga minggu.

Di tengah kesibukannya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, Bung Karno senantiasa meluangkan waktu bagi putri-putrinya, mulai dari menemaninya belajar, hingga bercengkerama dan berjalan-jalan. Bahkan, dalam agenda-agenda rutin di Istana, seperti pemutaran film atau pertunjukan wayang kulit, harus ada kursi kosong yang diperuntukkan bagi putri-putrinya, di sebelah kursi Bung Karno.

Bahkan, posisi ini bisa mengalahkan posisi seorang Harjatie, gadis penari Istana yang sedang “ditaksir” Bung Karno. Kisah ini akan saya tuturkan bersamaan kisah-kisah menarik percintaan Bung Karno dan Harjatie. (roso daras)

Tukang Beca pun Disapa Bung Karno

BK pidato di depan istana

Sekembali dari pembuangan tahun 1949, di depan Istana Merdeka, Bung Karno disambut massa yang mengelu-elukannya. Di hadapan rakyat yang dicintainya, Bung Karno berpidato singkat. Pertama-tama dan tak pernah lupa, Bung Karno menyapa para tukang becak, para tukang sayur, pada pegawai yang serendah-rendahnya…, “Alhamdulillah… kita sudah merdeka!!!”

Apa yang tersirat dari sapaan Bung Karno. Ia tidak pernah memuja dan memihak “wong cilik” hanya dalam retorika, tetapi ia menyayangi “wong cilik”, kaum proletar dari lubuk hati paling dalam. Ia memahami denyut hati abang becak, karena Bung Karno sering keluar malam, menyamar dan membaur dengan mereka. Ia menyelami kehidupan tukang sayur karena dalam penyamarannya, ia juga masuk-keluar pasar. Ia mengasihi pegawai rendahan, karena Bung Karno tidak pernah sungkan untuk makan dari periuk nasi yang sama. (roso daras)

Kemesraan Bung Karno – Kennedy

Berikut sederet foto, sejumput kenangan, kemesraan Bung Karno dan John F. Kennedy. Di mata Sukarno, hanya Kennedy presiden Amerika Serikat yang “mengerti dan menghormati” Indonesia, di saat blok Barat dan Blok Timur tebar pesona meraih simpati dari negara-negara yang baru merdeka, termasuk Indonesia. Kepada Bung Karno di Amerika Serikat, Kennedy berjanji akan berkunjung ke Jakarta. Sayang, pembunuh keji telah memupus nyawa Kennedy, memupus sejarah hadirnya Kennedy di Indonesia. (roso daras)

Bersama Kennedy

BK disambut Kennedy

bersama keneddy2

bersma Kennedy3

Kennedy-Megawati-12_9_1961

n839663683_1384155_8558

“Nikah Telegram” ala Bung Karno – Fatmawati

magazine150_35

Inilah sekelumit kisah asmara Sukarno – Fatmawati. Begitu unik. Begitu mambara. Begitu dalam. Berikut ini adalah sepenggal kalimat cinta Bung Karno kepada Fatmawati, melalui sepucuk surat cintanya tertanggal 11 September 1941…  O, Fatma, jang menjinarkan tjahja. Terangilah selaloe djalan djiwakoe, soepaja sampai dibahagia raja. Dalam swarganya tjinta-kasihmoe….

49Pertalian cinta terjadi saat Bung Karno diasingkan di Bengkulu. Ketika itu, tentu saja. Bung Karno sudah beristrikan Inggit Garnasih, dan tidak dikaruniai putra. Tetapi, bukan Bung Karno kalau tidak berjiwa ksatria. Meski harus mengorbankan hubungan yang begitu baik, tetapi niat menyunting Fatma, toh tetap diutarakan juga kepada Inggit.

BK mudaSepulang dari pengasingan, Bung Karno selalu murung. Ia benar-benar dilabrak demam cinta. Anak angkatnya, Ratna Juami dan suaminya, Asmara Hadi, mengetahui bahwa Bung Karno sedang demam cinta, demam rindu kepada Fatmawati nun di Bengkulu sana. Ratna dan Asmara Hadi pula yang memohon-mohon kepada Inggit, agar merelakan Bung Karno menikahi Fatmawati.

Inggit keukeuh menolak dimadu, dan menyepakati perceraian. Inggit sepakat kembali ke Bandung. Hari terakhir bersama Bung Karno, Inggit menyempatkan diri ke dokter gigi. Bung Karno masih setia menemani. Bahkan ketika bertolak ke Kota Kembang, Bung Karno pun turut serta. Turut membongkar barang-barang Inggit. Setelah mengecek dan memastikan tidak ada sesuatu yang tertinggal, Bung Karno pun mengucapkan selamat tinggal kepadanya…..

Nah, bulan Juni 1943, Bung Karno menikahi Fatmawati. Bung Karno di Jakarta, sedangkan Fatmawati ada di Bengkulu. Bagaimana mungkin? Bung Karno menikahi Fatmawati secara nikah wakil.  Sebab, kalau harus mengurus perizinan ke Jakarta untuk Fatma dan seluruh keluarganya, pada saat itu, sangat musykil. Di sisi lain, karena tuntutan pergerakan dan perjuangan, Bung Karno pun tidak mungkin meninggalkan Jakarta ke Bengkulu untuk menikah. Di sisi lain, Bung Karno merasa, tidak mungkin bisa menahan lebih lama lagi untuk menikahi Fatmawati.

fatmawatiMenurut hukum Islam, perkawinan dapat dilangsungkan, asal ada pengantin perempuan dan sesuatu yang mewakili mempelai laki-laki. Maka, Bung Karno segera berkirim telegram kepada seorang kawan akrabnya di Bengkulu, dan memintanya menjadi wakil Bung Karno menikahi Fatmawati. Kawan Bung Karno ini pun bergegas ke rumah Fatmawati, dan menunjukkan telegram dari Bung Karno. Orangtua Fatmawati menyetujui gagasan itu. Alkisah, pengantin putri dan wakil Bung Karno pergi menghadap penghulu, dan sekalipun Famawati ada di Bengkulu dan Bung Karno di Jakarta, pernikahan itu pun dilangsungkan, dan keduanya sudah terikat tali perkawinan. (roso daras)

Cinta Carlos kepada Bung Karno

soekarno2

Tahukah Anda,  Bung Karno memiliki sopir khusus seorang warga Roma, Italia bernama Carlos. Bung Karno begitu menyayangi dia, begitu pula sebaliknya. Ihwal kedekatan Bung Karno dengan para sopir atau bawahan lain pada umumnya, tak lain karena Bung Karno begitu perhatian kepada hal-hal kecil. Seperti misalnya setiap kunjungan ke daerah-daerah, dari satu tempat ke tempat lain, Bung Karno akan selalu dan berkali-kali menanyakan “status kesejahteraan” sopir. Harus cukup istirahatnya. Harus cukup makannya. Harus tenang hatinya. “Keselamatan kita di tangannya,” ujar Bung Karno suatu hari kepada ajudan Bambang Widjanarko.

soekarno1Perhatian khusus itu pula yang merebut hati bawahan, sehingga mereka benar-benar mencintai Bung Karno. Tak terkecuali seorang sopir berkebangsaan Italia. Carlos, si sopir itu, adalah langganan Kedutaan RI setempat setiap kali Bung Karno berkunjung ke sana. Dan ketika pada suatu hari Bung Karno berkunjung ke Roma, dan si sopir bukanlah Carlos, serta-merta Bung Karno bertanya kepada Dubes, “Mengapa sopirnya lain? Ke mana Carlos?”

Ketika dicek ke perusahaan tempat Carlos bekerja, diketahui Carlos sedang berlibur ke Swiss atas tanggungan perusahaan. Maka, Bung Karno pun segera bertitah, “Panggil dia pulang, saya mau Carlos!” Perintah pun segara dilaksanakan, dan kesokan paginya, Carlos sudah muncul di hotel, menghadap Bung Karno, memberi hormat ala militer dan berkata, “Your excellency, I am at your service.” Bung Karno menyambut gembira, “Well Carlos, where have you been? I missed you. Bagaimana kabar istri dan anak-anakmu?”

Disapa begitu, Carlos pun bercerita: “Mungkin Paduka Yang Mulia sudah mendengar ceritanya. Saya dipaksa cuti ke Swiss beserta keluarga. Memang senang bepergian ke luar negeri, apalagi dibiayai perusahaan. Tapi kemarin sore waktu kami mendapat berita dari perusahaan agar kami segera pulang karena saya harus melayani Paduka Yang Mulia, kami menjadi lebih gembira lagi. Bahkan istri saya mendesak agar kami cepat-cepat kembali ke Roma. Dan, inilah saya… siap melayani Paduka Yang Mulia.”

Bung Karno bukanlah pribadi yang egois. Demi menjaga peraaan para sopir, teman-teman sekantor Carlos, maka Bung Karno mengundang mereka makan bersama. Carlos datang bersama 10 temannya. Dari event itu diketahui, bahwa kepergian Carlos berlibur ke luar negeri, mulanya karena usulan teman-temannya yang “iri”, dan ingin juga melayani Bung Karno. Maka, ketika terbetik berita Bung Karno hendak berkunjung ke Roma, diaturlah agar Carlos pergi, sehingga sopir lain berkesempatan melayani Bung Karno.

Nah, kembali ke jamuan makan malam terakhir, sebelum Bung Karno dan rombongan kembali ke Tanah Air. Usai makan spaghetti dan minum anggur dalam suasana pesta kecil, keesokan harinya, para sopir sudah berada di hotel, bersiap dengan mobil masing-masing hendak mengantar rombongan Bung Karno ke bandara. Pagi yang cerah, ketika Bung Karno keluar dari hotel hendak menuju mobil, dilihatnya para sopir berjejer di samping pintu sambil memegangi topi. Lalu, terdengar aba-aba: One – two – three ! dan terdengarlah suara para pengemudi itu bernyanyi:

“Bung Karno siapa yang punya”

“Bung Karno siapa yang punya”

“Bung Karno siapa yang punya”

“Yang punya kita semua….”

bung karno lagiBung Karno tersenyum menahan haru. Para pengemudi berkebangsaan Itali menyanyikan lagi yang amat populer ketika itu, dalam bahasa Indonesia yang baik. Belakangan diketahui, para sopir itu sudah belajar dari salah seorang staf kedutaan Indonesia, dan mereka sangat menyenangi lagu tersebut.

Bung Karno mengucap terima kasih, lantas menyalami semua pengemudi satu per satu.

Bung Karno, telah merebut hati semua pengemudi di Roma…. (roso daras)

Bung Karno Vs Eisenhower

BK - Eisenhower

Sikap Bung Karno yang tegas dalam politik luar negeri, membuat Amerika Serikat tidak nyaman. Karena itu pula, dalam sejarah perjalanan bangsa di bawah kepemimpinan Bung Karno, hubungan Indonesia dan Amerika Serikat bisa dibilang tidak mesra. Pada dasarnya, Bung Karno sendiri anti kapitalisme-liberalisme, tapi dia juga bukan seorang komunis. Sukarno hanyalah seorang nasionalis, bahkan ultra nasionalis.

Dalam hubungan dishamonis antara Indonesia – Amerika Serika, tergambar dalam ketegangan hubungan antara Presiden Sukarno dan Presiden Dwight D. Eisenhower. Suatu hari di tahun 1960, Bung Karno diundang ke Washington. Tapi apa yang terjadi? Sesampai di Washington, Eisenhower tidak menyambutnya di lapangan terbang. Bung Karno cuma membatin, “Baiklah.” Bahkan ketika sampai di Gedung Putih, Eisenhower pun tidak menampakkan batang hidungnya. Untuk itu pun, Bung Karno masih membatin, “Baiklah.”

Akan tetapi, ketika Eisenhower membuat Bung Karno menunggu di luar, di ruang tunggu, menanti yang tak pasti, hati Bung Karno terbakar… “Keterlaluan,” gumam Bung Karno, geram. Tapi toh Bung Karno, sebagai tamu negar, dia masih bisa bersabar. Ketika satu jam hampir berlalu, habis sudah kesabaran Bung Karno. Ia segera menghampiri kepala protokol dan berkata tajam, “Apakah saya harus meunggu lebih lama lagi? Oleh karena, kalau harus begitu, saya akan berangkat sekarang juga!”

Kepala protokol itu pucat, dan memohon Bung Karno menahan barang satu-dua menit.  Sejurus kemudian, keluarlah Eisenhower. Sama sekali tidak ada permintaan maaf. Bahkan ketika mengiringkan Bung Karno masuk pun, tidak ada kata maaf dari Eisenhower kepada tamu negara dari Republik Indonesia, Sukarno.

Itu kali pertama Bung Karno merasakan penghinaan Eisenhower. Rupanya tidak berhenti di situ. Ada peristiwa kedua, yang dianggap Bung Karno merupakan penghinaan, yaitu ketika Eisenhower berkunjung ke Manila, Filipina, dan dia menolak untuk berkunjung ke Indonesia. “Boleh dikata dia sudah berada di tepi pagar rumahku, dia menolak mengunjungi Indonesia,” ujar Bung Karno, seperti dituturkan kepada Cindy Adams. (roso daras)

Aristides Katoppo tentang Bung Karno

tides-bk

Rabu 13 Mei 2009 pukul 08.30, saya memacu kendaraan menuju kawasan Ragunan, Jakarta Selatan, persisnya ke kediaman senior Aristides Katoppo. Benar. Hari itu, saya mendapat kesempatan menginterview dia. Sebelum sampai tujuan, handphone ber-beep once, muncul nama “Aristides Katoppo”. Sejenak sebelum memencet OK di keypad HP, meluncur doa kilat, “Semoga dia tidak membatalkan janji temu pagi ini.”

Doa terkabul, “Roso… sedang on the way? Kira-kira berapa lama lagi sampai?” Setelah saya jelaskan posisi saya dan perkiraan waktu tiba di kediamannya, dia menyahut, “OK, kalau begitu saya masih ada waktu untuk jalan kaki,” ujarnya. Yang dia maksud, jogging. Alhasil, diseling break makan siang, interview berlanjut… tak terasa hampir empat jam!

80tahunbungkarno_7344Dari penuturan Tides yang, saya tertarik membaginya untuk blog, tentu saja yang ada kaitannya dengan Bung Karno. Terlebih, yang ia tuturkan memang cerita menarik dan meluncur dari seorang Aristides Katoppo yang pada tahun 1994 pernah meluncurkan biografi Sukarno berjudul, “80 Tahun Bung Karno” (Pustaka Sinar Harapan).

Dalam perjalanan karier jurnalistiknya, ia sering bersinggungan langsung dengan Bung Karno. Tentu saja, ia tidak pernah melupakan “perkenalan pertamanya” dengan Bung Karno. Dalam suatu kesempatan, seperti biasa, Bung Karno biasa mengunjungi press room dan “ngobrol” dengan para wartawan istana. Sebagai “wajah baru”, Bung Karno sempat bertanya, “Siapa ini?” Ketika teman Tides menyebut nama dan memperkenalkannya, Bung Karno mengangguk-anggukkan kepala.

Sejurus kemudian, Bung Karno langsung mengomentari salah satu artikel terbaru Tides di Sinar Harapan. “Bagian ini bagus, referensimu tepat. Tapi di bagian yang itu…. kau mestinya membaca buku ini…. ” ujar Tides menirukan komentar Bung Karno atas tulisannya. “Bung Karno memiliki literatur yang luar biasa lengkap. Sekalipun begitu, dia tidak akan segan untuk menanyakan referensi yang belum dia ketahui,” tambah Tides. Tides tentu saja sangat terkesan, tulisannya mendapat apresiasi Paduka Yang Mulia Presiden Sukarno.

Kesan lain yang ia tangkap adalah ketika tulisannya tentang kelaparan di Lombok menjadi bahasan di Sidang Kabinet. Alkisah, pada sesi laporan kepala Bulog tentang stok pangan dan laporan yang terkesan baik-baik saja mengenai kecukupan pangan di Tanah Air, Bung Karno kontan memotong dan menyebut berita kelaparan hebat di Lombok tulisan Aristides Katoppo.

“Bung Karno orangnya sangat peduli dan mau mendengar. Kalau dia ingin menyerap informasi dari para wartawan, tidak segan-segan dia menyelinap ke ruang wartawan, dan mengajak ngobrol dan makan bersama di lorong Istana. Saat ajudan melihat, tentu saja segera menghampiri dan mempersilakan Bung Karno makan siang di ruang makan, Bung Karno menolak, dan menyuruh ajudan agar mempersilakan para menteri makan di ruang makan. Sementara Bung Karno memilih makan bersama para wartawan, dan mengambil langsung dari dapur. Di saat itulah, ia mendengarkan dengan tekun masukan-masukan para wartawan tentang berbagai hal.” (roso daras)