Mengenang Ibu Amsi, Mertua Bung Karno

ibu amsiHari ini, 12 Oktober 2013, adalah hari  wafat Ibu Amsi. Ya, 78 tahun yang lalu, tepatnya 12 Oktober 1935, ibu dari Inggit Garnasih, ibu mertua Bung Karno wafat terserang malaria. Lima hari tergolek di tempat tidurnya, di rumah pengasingan Bung Karno di Ambugaga, Ende, Flores. Diriwayatkan, hanya sekali ibu Amsi sadarkan diri, setelah itu tergolek tak sadar, hingga ajat menjemput. Ibu Amsi wafat di pangkuan Bung Karno, menantu kesayangan.

Ketika itu, cucu ibu Amsi, anak angkat Bung Karno – Inggit, Ratna Djuami juga terserang malaria. Bedanya, Omi, begitu ia dipanggil, pulih, sedangkan Tuhan menghendaki Ibu Amsi wafat di tanah interniran, di tanah buangan, nun jauh dari Bandung. Pemerintahan kolonial, karesidenan Ende, sama sekali tidak mau mengulurkan tangan untuk memberinya bantuan perawatan. Bahkan, setelah meninggal dunia pun, jenazahnya dilarang dikubur di dalam kota.

Bung Karno dan kawan-kawannya, harus menggotong jenazah Ibu Amsi jauh naik bukit, masuk ke tengah hutan. Ke tempat yang ditunjuk dan dibolehkan Belanda untuk memakamkan ibu Amsi. Bung Karno pula yang turun ke dasar lahat, menerima jazad ibunda mertua, meletakkannya di tanah menghadapkannya  ke arah kiblat, menutup dan mengurug.

Bukan hanya itu. Tangan Bung Karno sendiri yang memahatkan tulisan IBOE AMSI di dinding nisan sebelah utara. Bersama teman-temannya, Bung Karno naik ke pegunungan, mengambil bongkahan batu karst yang keras, dan memahatnya menjadi seukuran batako, kemudian meletakkannya di sekeliling-pinggir-atas permukaan nisan. Jumlahnya 21.

Ibu Amsi, seperti halnya Inggit, dan jutaan rakyat Indonesia, termasuk pengagum berat Bung Karno. Syahdan, ketika Inggit berunding bersama saudara-saudaranya di Bandung, tentang ikut-tidaknya Inggit ke pembuangan, Ibu Amsi muncul mendadak dan menyatakan sikapnya, “Saya juga ikut (ke pembuangan)”.

Inggit dalam buku “Kuantar ke Gerbang” menuturkan, di antara kerabatnya, terdapat silang pendapat. Antara yang setuju Inggit mendampingi Bung Karno ke pembuangan, dengan pendapat yang menyatakan sebaiknya Inggit tidak ikut. Dalam penuturannya, Inggit juga mengisahkan, jauh di dasar hati, sudah terpancang tekad akan setia mendampingi Bung Karno.

Bung Karno sendiri sempat bertanya ragu kepada Inggit, “Kumaha Enggit, enung, bade ngiring? (Bagaimana Inggit, sayang, akan ikut?). Akan ikut ke pembuangan atau tinggal di Bandung saja? Yang dibuang itu tidak tahu kapan ia akan kembali. Entah untuk lama, entah untuk sebentar. Entah untuk selama-lamanya. Tak berkepastian. Terserah kepadamu, Enggit….”

Inggit cepat menjawab, “Euh kasep (Ah, sayang), jangankan ke pembuangan, sekalipun ke dasar lautan aku pasti ikut. Kus jangan was-was mengenai itu, jangan ragu akan kesetiaanku”.

Keesokan harinya, di stasiun Bandung, betapa gembira Bung Karno saat melihat Inggit menyertai, diikuti pula ibu mertuanya, Ibu Amsi, beserta Ratna Djuami, dan dua orang pembantu, Muhasan (Encom) dan Karmini. Sungguh besar makna Ibu Amsi. Sekalipun dia sudah cukup usia, dan sering sakit-sakitan, tetap menunjukkan semangat mengikuti anak, cucu, dan menantu ke tanah interniran yang tak terbayang di mana letak dan jauhnya.

Di Ende, di tanah buangan, dalam banyak kisah dilukiskan, betapa Ibu Amsi menyemangati Inggit untuk menyemangati Bung Karno. Jika dilihatnya Bung Karno duduk murung di belakang rumah, Ibu Amsi segera mencari Inggit. Apa pun yang sedang dikerjakan Inggit, memasak atau menjahit, dimintanya untuk segera dihentikan. Inggit disuruhnya menemani Bung Karno, mengajak bicara, membangkitkan semangatnya, dan mencerah-ceriakannya kembali.

Ibu Amsi pula yang meminta Inggit menyiapkan makanan-makanan kesukaan Bung Karno di Bandung, di antaranya sari kacang ijo, sayur lodeh, dan lain-lain. Ibu Amsi, ibu mertua yang sadar peran dan fungsi, dalam ikut menjaga semangat Bung Karno. Semangat menggelora untuk memerdekakan bangsanya. Di  akhir riwayat, Bumi Ende-lah yang ditetapkan Tuhan, untuk memeluk jazad wanita mulia itu.

Bumi Ende dan masyarakat Ende, bisa dikata telah menyatu dengan Ibu Amsi. Tanpa diminta, warga Ende, terutama kerabat dan keturunan sahabat-sahabat lama semasa pembuangan Bung Karno, masih menziarahinya. Tragedi gempa bumi di Ende tahun 1992, mengakibatkan makam Ibu Amsi terurug longsoran tanah sehingga tak lagi tampak wujud nisannya. Adalah seorang warga bernama Abdullah, yang tinggal tak jauh dari makam Ibu Amsi, spontan menyingkirkan longsoran tanah, membersihkan makam Ibu Amsi, diikuti warga yang lain, sehingga makam itu tetap terjaga sampai sekarang.

Ini adalah sekelumit catatan buat mengenangmu, Ibu Amsi…. Seorang ibu, Ibu Inggit Garnasih, Ibu mertua Bung Karno, yang sekalipun samar, tak  layak dan tak boleh dihapus dari catatan sejarah bangsa. (roso daras)

Published in: on 12 Oktober 2013 at 05:06  Comments (2)  
Tags: , , , ,

The URI to TrackBack this entry is: https://rosodaras.wordpress.com/2013/10/12/mengenang-ibu-amsi-mertua-bung-karno/trackback/

RSS feed for comments on this post.

2 KomentarTinggalkan komentar

  1. Kronologis yang mengharukan dari sisi sejarah Bung Karno dan sekitar Bung Karno..

    BUNG KARNO tetap dihatiku..

    Merdeka !!!

  2. Ni Amsi, mugia sinareng panangtayungan barokah Gusti nu murbeng alam. Bro ti Bandung, kulem salawasna di Ende tos aya dina guratan widi nu kagungan. Neda pidua kanggo pamuda-pamudi Bandung sareng Indonesia umumna mapag sasih kiwari anu tos aya dina babadan sakumaha oge nu parantos dicitacitakeun. Sampurasun.


Tinggalkan komentar