Molly Sering Mengubah Pidato Bung Karno

Siapa si Molly sampai berani-beraninya mengubah pidato Presiden Sukarno? Dialah Molly Bondan, terlahir dengan nama Molly Warner pada 9 Januari 1912 di Auckland, Selandia Baru, kemudian bermukim dan menetap di Sydney, Australia. Ihwal nama Bondan di belakang namanya, bisa ditebak, itu nama Indonesia. Benar, ia memang dikawin aktivis pejuang, sahabat Bung Hatta bernama Muhammad Bondan.

Mengomentari tanggal kelahirannya, Molly dalam banyak kesempatan selalu mendahuluinya dengan keterangan, “saya lahir persis tiga bulan sebelum tragedi tenggelamnya kapal pesiar Titanic di lautan dasar Atlantik.” Tragedi yang menewaskan 2.000 penumpang itu, memang tidak terkait langsung dengan Molly.

Kalaupun dipaksakan terkait, barangkali pada satu hikmah, bahwa nasib manusia, perjalanan hidup manusia, mutlak Tuhan yang mengatur. Ribuan orang yang berlayar dengan Titanic dari Inggris Raya menuju daratan Amerika, sama sekali tidak menyangka, kapalnya bakal menabrak gunung es dan menenggelamkan mereka. Molly yang bernenek moyang Inggris, hijrah ke Selandia Baru, kemudian menetap di Australia, dan disunting lelaki Indonesia yang membawanya masuk dalam pusaran sejarah Indonesia.

Muhammad Bondan menikahi Molly tanggal 5 Oktober 1946. Sekali lagi, ini juga suratan Tuhan. Tersebutlah Muhammad Bondan menjadi satu di antara sekian banyak tawanan politik Belanda yang dibawa ke Australia pada tahun 1944, sesaat setelah Jepang merangsek Tanah Air. Sesungguhnya, Bung Karno pun termasuk tawanan politik yang hendak dibawa serta oleh pemerintahan Hindia Belanda ke Australia. Akan tetapi, mengingat keterbatasan tempat duduk di pesawat, padahal pembantunya, Riwu Ga, ngotot ikut, akhirnya Bung Karno batal diberangkatkan ke Australia.

Nah, kembali ke Bondan dan Molly. Mereka dipertemukan di Sydney. Secara kebetulan, Sydney sejak usia 15 tahun sudah mengikuti jejak sang ayah, mendalami theosofi. Ia akrab dengan budaya India maupun Indonesia. Apalagi, kehadiran para tawanan Hindia Belanda ini diperkenalkan sebagai “bukan musuh”, melainkan para pejuang yang siap melawan Jepang.

Kecocokan Molly dan Bondan, yang kemudian dikuatkan dalam ikatan pernikahan beda bangsa itu, dengan sendirinya menyeret Molly berkebangsaan Indonesia. Setahun kemudian, lahir putra pertama mereka yang diberinya nama Alit. Bondan pun menjalin komunikasi kembali dengan para kawan seperjuangan, termasuk Mohammad Hatta yang kini sudah menjadi Wakil Presiden.

Singkat cerita, Bondan membawa Molly dan putranya pulang ke Tanah Air. Kota Yogyakarta adalah tujuan pertama, mengingat tahun 1947, pemerintahan pusat memang dipindah ke Yogya. Di Yogya, Bondan langsung direkrut sebagai abdi negara, dan bekerja di Kementerian Perburuhan. Sedangkan Molly, bekerja di RRI Pemancar Yogyakarta yang khusus mengasuh acara The Voice of Free Indonesia.

Sebagai penyiar RRI, Molly tercatat sebagai abdi negara pula, pada Kementerian Penerangan. Tidak lama kemudian ia digeser ke Kementerian Luar Negeri, karena tenaganya diperlukan untuk mengajar bahasa Inggris bagi para diplomat Indonesia, menjelang digelarnya Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung.

Peristiwa bersejarah yang tak dilupakan terjadi empat tahun kemudian, saat ia menjadi penerjemah persidangan Allen Pope, penerbang CIA yang berhasil ditembak jatuh di Sulawesi, dan kemudian dihukum mati, tetapi dibebaskan oleh Bung Karno dengan beberapa konsesi. Ia kemudian diminta menyusun buku berjudul Subversive activities in Indonesia. The Jungschlager & Schmidt Affair.

Perannya sebagai penerjemah pidato-pidato Bung Karno terjadi secara kebetulan, yakni setelah penerjemah terdahulu, yakni Tom dan Renee Atkinson pulang ke negaranya, Inggris. Sejak itu, Molly-lah satu-satunya petugas penerjemah pidato Bung Karno ke dalam bahasa Inggris.

Di sinilah ia terlibat intens dengan sosok Sang Proklamator, setidaknya bergulat dengan pemikiran-pemikirannya. Menurut Molly, Bung Karno sangat piawai berpidato. Bahkan Molly menyebut, kalau Bung Karno berpidato seperti seorang dalang wayang kulit yang sedang bercerita. “….gemar melakukan pengulangan kata sebagai upaya untuk lebih
menjelaskan apa yang dia maksud. Bung Karno berbicara (seolah-olah) secara pribadi kepada hadirin dengan selingan humor, kutipan kalimat dan juga sarat lukisan suasana yang berwarna-warni. Begitu dalam pidatonya, demikian pula keadaannya kalau Bung Karno menulis…..”

Arti lain, kemampuan Bung Karno berpidato, sama bagusnya dengan kemampuannya menulis teks pidato. Molly sendiri sebagai penerjemah sering kehabisan kosa-kata untuk menerjemahkan teks pidato Bung Karno lengkap dengan ekspresi dan bumbu-bumbunya. “Terus terang, saya sering mengabaikan akurasi demi mencapai nuansa terjemahan yang pas. Tapi tentu saja saya lakukan dengan tidak mengubah substansi,” ujar Molly.

Dalam bukunya, In Love With a Nation, Molly tidak saja bertutur tentang pekerjaannya menerjemahkan teks-teks pidato Bung Karno ke dalam bahasa Inggris. Lebih dari itu, Molly juga melakukan pengamatan-pengamatan yang cermat terhadap tokoh-tokoh elite negara yang ada di sekeliling Bung Karno. Termasuk penilaiannya kepada Soebandrio yang dinilai ambisius. (roso daras)

The URI to TrackBack this entry is: https://rosodaras.wordpress.com/2010/06/22/molly-sering-mengubah-pidato-bung-karno/trackback/

RSS feed for comments on this post.

3 KomentarTinggalkan komentar

  1. aaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhh lanjutkan!!!

    • Tunggu yaa…. sabar… orang sabar pantatnya lebarrrr… (lg seru nieeee….)

  2. Mohon maaf adakah yang bisa menghubungkan saya dengan keluarga Muhammad Bondan (Alit Bondan dan keluarganya). Kalau ada yang tahu minta dikirimi pesan ke Kalil Sadewo 085224145977 Jl Perjuangan No 99 Kota Cirebon


Tinggalkan komentar