Brastagi, 23 Hari

Tiga hari berada di Medan, Sumatera Utara, menggiring “memori Sukarno”-ku ke sebuah tanggal bersejarah, 22 Desember 1948. Sebuah tanggal pembuangan Bung Karno ke Tanah Karo, Sumatera Utara, dan menorehkan kenangan sejarah.

Benar. Momentum di atas adalah momentum agresi ke-2. Saat-saat paling menentukan dalam hidup-matinya proklamasi.

Memang, Brastagi bukanlah tujuan akhir. Dalam kurun waktu sekitar setahun dalam pembuangan yang oleh Belanda disebut “demi keamanan” itu, Bung Karno juga “berlabuh” di Prapat. Nah, masyarakat (umumnya) memang lebih mengenal Prapat daripada Brastagi.

Nah, ini sekelumit catatan tentang Brastagi. Demi mengenang peristiwa tersebut, kini di sana masih terpelihara rapi banguna bersejarah, tempat pengasingan Bung Karno selama 23 hari. Dari berbagai literatur yang ada, lokasi ini tak terlalu sulit dijangkau dari Medan.

Tak jauh dari bangunan sederhana ini berdiri monumen Presiden Sukarno yang sedang duduk di atas pelataran rumah. Monumen ini diresmikan tanggal 21 Juni 2005 oleh Guruh Sukarno Putra (Ketua Umum Yayasan Bung Karno) dan H.T Rizal Nurdin (Gubernur Sumatera Utara pada masa itu).

Patung perunggu dengan posisi duduk berukuran postur tubuh 7 meter itu  dibuat oleh pematung Djoni Basri beserta tim pematung dan Sigit Lingga sebagai koordinator tim. Pembuatan patung tersebut melibatkan banyak orang, termasuk anggota keluarga Bung Karno, para pejuang dan saksi hidup, sejarawan dan segenap masyarakat yang pernah dekat dengan Bung Karno.

Model patung dikerjakan di Jakarta, kemudian dibawa ke Yogyakarta, dan setelah itu dibawa ke Brastagi. Pembangunan monumen tersebut adalah salah satu penegasan kembali akan  garis perjuangan rakyat Tanah Karo yang tak akan pernah pudar. Jiwa mereka selalu bersama Pemimpin Besar Rakyat Indonesia, Bung Karno.

Adapun rumah tempat Bung Karno dibuang, beratap seng. Mengenang situs itu, kita lantas terkenang kegigihan perjuangan rakyat Karo. Seperti halnya rakyat Indonesia di belahan bumi Nusantara yang lain, maka rakyat Brastagi pun tak kurang dalam menyimpan kisah-kisah heroik merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Selain unsur tentara, di sana juga dikenal banyak lakar. Sebut misalnya Laskar Rakyat Napindo Halilintar dan Barisan Harimau Liar. Seperti laiknya pejuang pada zamannya, mereka bersenjata nyali, bermodal tekad baja.

Ini bukan kunjungan pertama dan terakhir saya ke Medan. Insya Allah, saya akan menginjakkan kaki di situs Brastagi. Benar-benar karena himpitan waktu yang menyeretku segera kembali ke Jakarta, untuk kemudian bergeser ke Bali. Sementara, itulah alasan saya belum menginjakkan kaki ke Brastagi.

Padahal, satu hal pasti, menapak jejak Bung Karno, adalah laksana menghirup sejuta ion. Horas!!! (roso daras)

Published in: on 30 Januari 2011 at 18:04  Tinggalkan sebuah Komentar  
Tags: , ,