Bung Karno Merekrut 670 Pelacur

Ternyata, para pelacur ikut andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Keberatan dengan kalimat itu? Baiklah. Ratusan pelacur, ya… 670 pelacur kota Bandung, mendukung perjuangan Bung Karno mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka. Masih ada yang keberatan dengan kalimat itu?

Biar saja. Sebab, Bung Karno sendiri tidak keberatan. Kepada penulis otobiografinya, Cindy Adams, Bung Karno mengisahkan bagaimana ia mendirikan PNI lantas merekrut para pelacur menjadi anggotanya. Tak urung, tercatat 670 pelacur berbondong-bondong menjadi anggota PNI. Oleh Bung Karno, mereka dipuji sebagai para loyalis sejati, yang mau menjalankan perintah Bung Karno untuk kepentingan pergerakan.

Membaca Tangan Bung Karno

Tahun 1980-an, saya menghabiskan banyak waktu di sanggar Teater Alam, Jl. Sawojajar, Yogyakarta, pimpinan Azwar AN. Suatu sore, kami kedatangan seorang sastrawan, sekaligus akademisi nyentrik. Sebagai sanggar teater, kedatangan seorang sastrawan atau seniman adalah hal biasa. Tetapi yang ini sedikit berbeda. Dia adalah Ragil Suwarna Pragolapati.

Sastrawan kelahiran Pati, Jawa Tengah itu, kebetulan juga seorang ahli membaca tanda tangan, atau biasa disebut grafolog. Maka, tema diskusi lesehan sore itu adalah “membaca tanda tangan”. Satu per satu anggota sanggar maju dan menuliskan tanda tangannya, kemudian ia membacanya dengan “hampir 100 persen tepat”.

Published in: on 8 Oktober 2021 at 09:51  Tinggalkan sebuah Komentar  
Tags: ,

Bung Karno Menyamar menjadi Harun Al-Rasyid

Ingat Harun Al-Rasyid, ingat dongeng 1001 malam. Khafilah yang terkenal merakyat, dan gemar menyamar untuk membaur dengan rakyatnya. Legenda Harun Al-Rasyid rupanya lekat pula di benak Bung Karno. Makanya, dalam hal-hal tertentu, Sukarno pun gemar menyamar menjadi rakyat jelata, dan keliling masuk-keluar pasar, masuk-keluar kerumunan manusia, hanya sekadar ingin dekat dengan rakyatnya.

Ketika sedang menyamar, Bung Karno akan mengenakan baju biasa dan tanpa kopiah. Paling tidak ia bertopi. Ada satu hal yang harus selalu Bung Karno ingat, yakni ia tidak boleh bersuara. Sebab, pernah ada peristiwa, ketika ia blusukan ke Pasar Senen, demi melihat ada pekerja tengah membangun Gudang Stasiun Senen, ia spontan bertanya kepada para kuli bangunan, ihwal dari mana material-material itu didatangkan.

Belum lagi pertanyaannya mendapat jawaban, spontan ada seorang perempuan di kerumunan pasar yang berteriak, “Bapak… itu suara Bapak…. Itu Bapak…..” Dan dalam sekejap mata, manusia sudah mengerubungi Bung Karno, sekadar bersalaman atau sekadar menyentuhnya.

Sosok yang Menginspirasi Bung Karno

Wagiman. Sebuah nama yang biasa saja. Akan tetapi, nama itu sesungguhnya begitu melekat di jantung hati Sukarno. Wagiman adalah sebuah inspirasi. Wagiman adalah sebuah potret bangsa yang terjajah. Wagiman adalah orang miskin harta tetapi kaya hati. Ia tinggal tak jauh dari rumah keluarga Bung Karno di Mojokerto. Untuk pengen tahu lebih lengkapnya nonton videonya.

Tak bisa disangkal, benih-benih kecintaan Bung Karno terhadap rakyat kecil, tumbuh sejak ia “bergaul” dengan Wagiman, si petani di pelosok Mohokerto, saat usianya masih bocah. Kalau saya Bung Karno masih hidup, barangkali ia tidak akan keberatan jika ajaran Marhaenisme disebut juga sebagai Wagimanisme.

Sihir Pidato Bung Karno di IKADA

Suasananya sangat genting. Lapangan Ikada (sekarang dekat stasiun Gambir) dan sekitarnya sudah seperti lautan manusia. Mereka yang dari luar kota, bahkan sudah ada yang datang sejak malam dan menginap di sana. Mereka berniat menghadiri pidato Presiden Sukarno untuk pertama kalinya kepada rakyat, setelah proklamasi kemerdekaan.

Apa daya, tentara Jepang melarang. Jadilah sepasukan Jepang bersenjata laras panjang, berhadap-hadapan langsung dengan ribuan, puluhan, bahkan ratusan ribu manusia yang bergeming dan terus merangsek ke tengah lapangan, menanti kehadiran Sukarno.

Sekitar pukul 15.00 WIB, Sukarno dan kabinet pertama pun datang. Tegap ia melangkap ke atas podium, di tengah ancaman bedil tentara Jepang. Sukarno pun berpidato. Sangat singkat, tetapi pidato itu laksana sihir yang dalam waktu sekejap mampu membuat Ikada kosong dan lengang. Mereka semua pulang, atas titah presidennya.

Gaji Bung Karno Saat Jadi Buruh Kasar

Suatu waktu, mertua Bung Karno, HOS Cokroaminoto ditangkap Belanda, dengan tuduhan mendalangi aksi mogok kerja. Mendengar kabar itu, Bung Karno yang sedang kuliah di THS spontan pamit kepada pihak THS untuk pulang ke Surabaya, mengambil-alih tugas kepala rumah tangga.

Sukarno pun balik ke Surabaya. Ia bekerja sebagai klerk, buruh kasar di stasiun Surabaya. Dari penghasilannya, ia bisa menafkahi keluarga Cokro, dan menyisakan sedikit untuk dirinya.

Bung Karno Berendam di Sungai Nangaba

Salah satu kebiasaan Bung Karno selama dibuang di Ende, adalah berendam di sungai. Salah satu sungai favorit Bung Karno berendam adalah Sungai Nangaba, tak jauh dari kota Ende. Sungai itu tidak terlalu dalam, tetapi airnya sangat jernih. Bebatuan di dasar sungai, sangat indah karena beraneka warna. Anda boleh mandi di sana, jika berkesempatan mengunjungi Ende.

Inilah Makanan Kesukaan Bung Karno

Bung Karno ini sosok “tradisional”, termasuk dalam hal selera makan. Ia begitu bahagia bisa menyantap nasi pecel. Atau, sekadar makan dengan sayur lodeh dan tempe goreng.

Alasan Bung Karno Menggunakan Nama Bima

Bima atau Wrekodara, adalah tokoh penegak Pandawa Lima. Ia putra kedua Pandu Dewanata dari lima bersaudara: Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Sosok Bima melekat sejak Bung Karno kecil. Tokoh itu dilesakkan dalam lakon Mahabarata yang dikisahkan Wagiman, seorang petani nasionalis, yang pada akhirnya membetot kesadaran seorang Sukarno muda, bahwa bangsanya sedang dijajah (Belanda).

Melalui tulisan tangan dengan nama samaran Bima, Bung Karno membuat geger dunia pergerakan (kemerdekaan). Pemikiran-pemikirannya yang lugas tentang praktik kolonialisme, telah membangkitkan kesadaran bangsa tentang betapa penjajah harus dienyahkan dari bumi Indonesia.

Ihwal nama Bima, tidak seorang pun tahu. Bahkan, ayahandanya yang sering membaca Oetoesan Hindia, tempat tulisan-tulisan Bima diterbitkan, tidak pernah menyangka, bahwa tulisan yang dikaguminya adalah buah tangan putranya.

Kelompok Sandiwara Bung Karno

Di pembuangan Ende, Flores antara 1934 – 1938, Bung Karno membentuk kelompok sandiwara (tonil) bernama Kelimutu. Nama Kelimutu diambil dari kawah tiga warna yang begitu indah di sana.

Selain sebagai penulis naskah, Bung Karno juga merangkap sutradara hingga pencetak karcis.

Hal tersulit yang ia lakukan adalah, mentransfer naskah ke para pemain yang hampir semuanya buta huruf.

Sementara itu, Inggit Garnasih sang istri, tekun menjahit kostum. Tak jarang, ia menjual perhiasannya jika biaya produksi tidak cukup.