Tan Malaka, Bung Hatta, dan Hamka

Alhamdulillah…. Terima kasih Tuhan, yang telah memperkenankan saya menjejakkan kaki di bumi kelahiran para bapak Bangsa di Sumatera Barat. Sejumlah tokoh kemerdekaan dari ranah Minang tak cukup dihitung dengan jari. Sejumlah nama yang banyak dikenal adalah Agus Salim, Tan Malaka, Bung Hatta, Sjahrir, Buya Hamka, dan masih banyak lagi lainnya.

20140628_181825

Rumah Tan Malaka adalah yang pertama saya tuju. Alasannya sederhana, di antara Hatta, Tan Malaka, dan Hamka, maka rumah Tan Malaka-lah yang terjauh. Hitungan terjauh diukur baik dari Padang, ataupun Bukittinggi. Lokasi persisnya di Desa Pandan Gadang, Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten Lima Puluh Kota. Akan tetapi, masyarakat setempat lebih akrab menyebut kawasan itu Suliki.

20140629_090355

Berada di rumah Tan Malaka hingga larut, sebelum memutuskan kembali ke Bukittinggi. Keesokan paginya, berbekal peta kota Bukittinggi, saya berjalan kaki menuju situs rumah kelahiran Bung Hatta. Letaknya persis di pinggir jalan raya. Persisnya di Jalan Soekarno-Hatta No. 37, Bukittinggi, Sumbar. Tidak jauh dari rumah itu, terdapat pasar kota. Saya spontan bergumam, “Kalau Tan Malaka wong ndeso, maka Hatta anak kota….”

20140629_132257

Sebuah rumah gadang yang sangat-sangat indah…. Di sinilah Buya Hamka dilahirkan. Bangunan yang sudah menjadi aset bersejarah itu, masih terawat rapi. Berisi benda-benda peninggalan keluarga Hamka. Yang lebih istimewa adalah lokasi rumahnya yang terletak di bibir danau Maninjau. Jika mengunjungi kediaman Hamka dari Bukittinggi, maka kita akan melalui jalan Kelok-44 yang fantastis.

Sekian pengantar tentang ketiga orang besar yang selama hidupnya juga mengalami persinggungan dengan Bung Karno. Insya Allah, pada postingan berikut, kita bisa melihat dari dekat ketiga situs tersebut. Bagaimana dengan Agus Salim dan Sjahrir? Sayang, kedua pendiri bangsa itu “hanya” memiliki kampung kelahiran, tetapi tidak memiliki rumah petilasan. (roso daras)

Published in: on 20 Juli 2014 at 07:04  Comments (2)  
Tags: , , , ,

Waspadalah… Waspadalah…!!!

biografi BK Cindy Adams

Mengapa Bung Karno dan Bung Hatta disebut “dwi-tunggal”? Dua dalam satu? Lebih karena keduanya adalah simbol bangsa yang sama-sama anti terhadap kolonialisme, dan sama-sama berjuang untuk melepaskan diri dari penjajah. Sejarah pun kemudian mencatatkan kedua nama itu sebagai Pahlawan Proklamator. Ya, proklamator kemerdekaan Indonesia dari penguasaan penjajah.

Apakah “dwi-tunggal” harus identik dengan kesamaan dalam segala hal? Sama sekali tidak! Bung Karno dan Bung Hatta, bila mau dikiaskan dalam bahasa yang hiperbolis, barangkali ibarat siang dan malam, ibarat langit dan bumi, ibarat hitam dan putih. Antara siang dan malam, ada temaram senja mengiring sun-set yang indah. Antara langit dan bumi, ada cakrawala horison yang melambungkan imajinasi siapa saja yang menatapnya. Antara hiam dan putih, ada abu-abu sebagai sebuah misteri yang sungguh misterius.

Bung Karno dan Bung Hatta, sejatinya adalah dua pribadi yang sama-sama kuat. Dua karakter yang sama-sama menonjol. Jika kemudian mereka bersatu, tidak ada kekuatan apa pun bisa menghadang. Pertautan keduanya, terjalin sejak zaman pra kemerdekaan, hingga keduanya memuncaki pemimpin bangsa sebagai presiden dan wakil presiden, serta akhirnya “berpisah”, karena Hatta kemudian mundur dari jabatan Wapres, dan Bung Karno tak sudi menggantikan posisi Hatta dengan kader bangsa mana pun.

Sebagai dua pejuang dengan latar belakang intelektualitas berkadar tinggi, tentus saja yang namanya perdebatan dan perselisihan pendapat adalah sebuah keniscayaan bagi keduanya. Pendek kata, dalam rangka mempertahankan prinsip, keduanya sama-sama kuat. Perbedaan mereka bahkan sampai pada tahap menyepakati untuk berpisah dan memakai jalan masing-masing dalam sama-sama berjuang menuju Indonesia merdeka. Bung Hatta dengan konsep mendidik rakyat untuk melek politik terlebih dulu…. Bung Karno langsung menggalang kekuatan rakyat untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah bedebah.

Akan tetapi, di luar itu semua, keduanya sungguh dua manusia biasa. Dua manusia dengan perasaan yang begitu normal. Mereka juga bercanda dengan sangat intim. Bahkan Bung Karno sendiri yang melamarkan Rahmi untuk bersedia diperistirkan Hatta yang ketika itu, dalam usia sudah berkepala 4 tetapi belum juga menikah. Masih banyak aspek-aspek manusiawi lain yang terjalin dengan begitu kuat di antara keduanya. Bahkan, di detik-detik menjelang kematiannya, Bung Karno, dalam kondisi tak lagi berdaya… hanya bisa mengucap kata, “Hat…ta…” saat melihat sahabatnya itu datang mengunjunginya. Tangan keduanya saling menggenggam, mata mereka beradu pandang, mulut terkunci, air mata keduanya beruraian.

Nah, jalinan yang begitu kokoh antara keduanya, pernah hampir dirusak oleh tangan-tangan laknat, yang besar kemungkinan antek penguasa rezim Orde Baru. Dalam buku biografi “Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” tulisan Cindy Adams keduanya hendak dicerai-beraikan dengan menambahan alinea yang lebih dari sekadar biadab. Selain manipulatif, juga sangat provokatif. Berikut kutipannya:

“Tidak ada yang berteriak ‘Kami menghendaki Bung Hatta’. Aku tidak memerlukannya. Sama seperti aku tidak memerlukan Sjahrir yang menolak untuk memperlihatkan diri di saat pembacaan proklamasi…. Sebenarnya aku dapat melakukannya sendirian. Di dalam dua hari yang memecahkan urat syaraf itu maka peran Hatta dalam sejarah tidak ada”.

“Peranannya yang tersendiri selama perjuangan kami tidak ada. Hanya Soekarno-lah yang tetap mendorongnya ke depan. Aku memerlukan orang yang dinamakan ‘pemimpin’ ini karena satu pertimbangan. Aku memerlukannya oleh karena aku orang Jawa dan dia orang Sumatera dan di hari-hari yang demikian aku memerlukan setiap orang denganku. Demi persatuan aku memerlukan seorang dari Sumatera. Dia adalah jalan yang paling baik untuk menjamin sokongan dari rakyat pulau yang nomor dua terbesdar di Indonesia”.

Dua alinea di atas, sungguh mengesankan sosok Bung Karno yang arogan. Bung Karno yang SARA. Bahkan kalimat itu sempat menjadi referensi sejumlah tokoh bangsa kita seperti Prof Dr Ahmad Sjafii Maarif. Beruntung, seperti berulang saya sitir, bahwa sejarah senantiasa akan mengalir menemukan jalan kebenarannya sendiri.

Syahdan, tahun 2007, Syamsul Hadi sang penerjemah menemukan bahwa kedua alinea tersebut tidak ada dalam buku edisi bahasa Inggris (edisi asli yang ditulis Cindy Adams). Sejarawan Asvi Marwan Adam pun menduga dalam bukunya, bahwa ada orang yang sengaja menambahkan dua paragraf yang mengadu domba antarpemimpin Indonesia itu. Siapa durjana itu?

Syukurlah, biografi Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang diterbitkan ulang tahun 2007, kedua alinea hasil rekayasa tangan laknat itu telah dihapuskan. (roso daras)

Published in: on 19 Februari 2013 at 05:04  Comments (8)  
Tags: , , , ,

“Jiwa” dalam Tulisan Bung Karno

Ada “jiwa” dalam semua tulisan Bung Karno. Ini sebuah alasan mengapa saya begitu menggandrungi tulisan-tulisannya. Sodorkan kepada saya seratus tulisan tanpa nama, saya niscaya akan tahu, yang mana tulisan Bung Karno. Begitu hebatkah saya? Sama sekali tidak! Yang hebat justru Bung Karno, yang berhasil menciptakan satu karakter, satu jiwa dalam tulisan-tulisannya. Dengan begitu, bukan hanya saya, ratusan, ribuan, bahkan jutaan Sukarnois pun bisa merasakan apa yang saya rasakan.

Apakah hanya tulisan Sukarno yang seperti itu? Pertanyaan bodoh. Tentu saja tidak! Karena banyak lagi penulis-penulis yang memiliki jiwa dalam karyanya. Sebut Hatta misalnya. Sebut Cokroaminoto misalnya. Sebut Sjahrir misalnya. Sebut Tan Malaka misalnya. Semua memiliki karakter. Sehingga bagi pengkaji tulisan-tulisan Hatta, pengkaji tulisan-tulisan Cokroaminoto, pengkaji tulisan-tulisan Sjahrir, Tan Malaka, dengan mudah akan bisa mengetahui bahwa itu tulisan mereka, meski nama penulisnya dihilangkan.

Lama saya menekuni buah tangan Sukarno, hingga sampai pada satu kesimpulan, Bung Karno menulis dengan jiwa, karenanya lahir tulisan yang “bernyawa”. Bung Karno menulis dengan hati, makanya lahir karya tulis yang “bernafas”. Bung Karno menulis dengan semangat, karenanya lahir tulisan yang “membara”. Lebih dari itu, semua karya tulis Bung Karno, ditulis dengan jujur.

Apa yang hendak dituju dari postingan ini? Adalah ajakan untuk membaca karya-karya tulis Bung Karno. Bukan semata-mata buku “tentang” Sukarno. Hanya dengan begitu, kita memahami ajaran Sukarno. Hanya dengan menekuni buah tangannya, kita mengetahui konsepsi-konsepsi pemikiran Sukarno. Hanya dengan membaca dan membaca karya tulis Bung Karno, kita akan tahu Sukarno sebagai manusia. Manusia besar yang pernah dimiliki bangsa ini. (roso daras)

Published in: on 8 Juli 2011 at 03:31  Comments (3)  
Tags: , , , ,