Bung Karno begitu masyhur dengan pledoi “Indonesia Menggugat” dalam peradilan Landraad, Bandung Desember 1930. Gedung tempat pengadilan yang begitu monumental itu, kini masih tegak berdiri sebagai salah satu situs penting dalam sejarah menuju Indonesia Merdeka. Gedung itu pun dinamakan Gedung Indonesia Menggugat. Diambil dari judul pembelaan Bung Karno di hadapan sidang pengadilan kolonial.
Hingga akhir paragraf di atas, tidak ada kaitan sama sekali dengan sepakbola. Memang. Baru di alinea kedua dan selanjutnya, saya akan merangkainya dengan sepakbola. Ini berhubungan dengan niat dan rencana saya ke Bandung hari ini, Kamis (23/6), menghadiri sarasehan sepakbola bertajuk “Menggugat Prestasi”, yang digelar di Gedung Indonesia Menggugat.
Cukup besar dorongan ke Bandung. Setidaknya karena dua alasan. Pertama, seumur-umur saya belum pernah masuk gedung Indonesia Menggugat, meski berkali-kali ke Kota Kembang. Karenanya, sarasehan yang berlangsung di gedung Indonesia Menggugat, sungguh menarik. Kedua, tema sarasehan tentang prestasi sepakbola, sebuah cabang olahraga yang saya gulati lebih setengah tahun terakhir, bersama salah satu klub Liga Primer Indonesia, Bali Devata. Bayangkan: Bung Karno dan sepakbola! Bagaimana saya tidak tertarik!!!
Apa lacur, hari ini saya harus tetap di Jakarta karena tugas menuntaskan masalah administrasi terkait kontrak-kontrak klub Bali Devata dengan pelatih dan para pemain. Maklumlah, sebelum Juli 2011, persoalan kontrak harus selesai, karena liga kembali digelar medio September 2011. Beruntung, saya tetap bisa memantau jalannya sarasehan, berkat bantuan seorang teman, M. Kusnaeni, CEO Bandung FC.
Kusnaeni yang juga dikenal sebagai wartawan dan komentator sepakbola papan atas ini, bak gayung bersambut, bersedia menjadi mata dan telinga saya di event sarasehan itu. Kepadanya, saya mintakan narasi. Tentu bukan permintaan yang sulit baginya. Menulis reportase bagi Kusnaeni, sama seperti meminta Lee Hendrie menendang bola. Nah, alinea-alinea berikut ini adalah tulisan Kusnaeni yang disampaikan melalui BBM.
Sejumlah isu menarik dibahas dalam Sarasehan Sepakbola Indonesia di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung hari ini. Meskipun topik besarnya adalah “Menggugat Prestasi”, pembahasan meluas dari isu pembinaan usia dini, naturalisasi pemain asing, korupsi APBD, hingga ancaman sanksi FIFA.
Tommy Apriantono, doktor ilmu olahraga dari ITB, menyoroti lemahnya pemanfaatan sport science di persepakbolaan Indonesia. “Padahal sport science tak harus yang canggih dan muluk-muluk. Itu bisa diawali dari hal-hal kecil dan diterapkan sejak pembinaan usia dini,” Tommy menegaskan, “kami sendiri sudah mencoba mengaplikasikannya dalam pembinaan pemain SSB di lingkungan kami.”
Pada bagian lain, Hadi Basalamah mengemukakan keprihatinannya terhadap kinerja Komite Normalisasi yang terlalu membesar-besarkan ancaman sanksi FIFA. “Padahal, tidak ada alasan kuat bagi FIFA untuk menjatuhkan sanksi,” kata salah satu penggagas Gerakan Reformasi Sepakbola Nasional itu. “Sanksi FIFA biasanya jatuh bila ada pelanggaran statuta dan intervensi pemerintah. Itu tidak terjadi sehingga tak ada alasan bagi FIFA untuk menjatuhkan sanksi,” tandasnya.
Sementara itu, wartawan senior Toriq Hadad juga sependapat, “Masih banyak persoalan lain yang dihadapi FIFA. Dan Indonesia bukan negara penting bagi FIFA. Jadi kecil kemungkinan ada sanksi. Bahkan kalaupun jatuh sanksi mungkin ada hikmahnya bagi perbaikan sepakbola Indonesia secara menyeluruh,” ujar wartawan Koran Tempo itu menegaskan.
Isu korupsi juga diangkat dalam diskusi yang diikuti puluhan peserta itu. Apung Widadi dari ICW menyambut baik lahirnya Permendagri No 22 tahun 2011 yang melarang pemakaian APBD untuk biaya sepakbola profesional. “Masih banyak kebutuhan rakyat yang lebih penting seperti perbaikan jalan dan peningkatan pelayanan kesehatan. Apalagi pemakaian APBD itu sendiri terbukti sangat rawan penyelewengan,” katanya. Apung berjanji, ICW akan terus mendalami isu korupsi APBD ini. Demikian Kusnaeni melaporkan di sela-sela sarasehan. (roso daras)