Tirakat Bung Karno di Pulau Bunga

Empat tahun masa pembuangan Bung Karno di Ende, Pulau Flores (1934 – 1938) bisa disebut sebagai masa tirakat. Apa itu tirakat? Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar istilah tirakat yang bermaksud mendekatkan diri kepada tuhan, berupa perilaku, hati, dan pikiran. Tirakat adalah bentuk upaya spiritual seseorang dalam bentuk keprihatinan jiwa dan badan untuk mencapai sesuatu dengan jalan mendekatkan diri kepada tuhan.

Ritual orang bertirakat ada bermacam-macam. Penganut Kejawen misalnya, biasa melakukannya dengan bersemedhi atau bertapa-brata. Bagi orang muslim, berpuasa juga salah satu bentuk tirakat. Bisa juga dalam bentuk lain lagi, sepanjang diniatkan sebagai upaya spiritual, bentuk keprihatinan jiwa dan badan untuk mencapai sesuatu dengan fokus menjaga hubungan vertikal yang intens antara kita dan Yang Di Atas.

Flores… berarti bunga. Pulau Flores juga disebut Pulau Bunga. Mungkin karena di pulau ini banyak tumbuh bunga-bunga cantik. Bagi Sukarno. masa-masa pembuangan di Ende adalah masa-masa bertirakat. Ia melewatkan waktu-waktunya dengan membaca, bersosialisasi, dan… bertirakat.

Komunikasi dengan pihak luar, banyak ia lakukan dengan surat-menyurat. Salah satu yang terukir dalam sejarah hidupnya adalah surat-menyurat seputar kajian Islam dengan gurunya di Bandung, Tuan A. Hassan. Di luar itu, Bung Karno banyak bertafakur di ruang shalat, sekaligus ruang semedhi. Ia bisa duduk berjam-jam di tempat itu.

Selepas ashar, Bung Karno biasanya berjalan kaki kurang lebih satu kilometer mengarah ke pantai. Di bawah pohon sukun, Bung Karno duduk. Sikapnya diam. Mulutnya terkunci. Tatapannya menerawang. Otaknya berkecamuk tentang banyak hal. Salah satunya adalah merenungkan ideologi bangsa, ketika kemerdekaan diraih kelak.

Tercatat tanggal 18 Oktober 1938 Bung Karno meninggalkan Ende, menuju tempat buangan baru di Bengkulu. Praktis sejak itu, Bung Karno tak lagi menginjakkan kakinya di Ende. Kelak, 12 tahun setelahnya, persisnya tahun 1950, ya… lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, barulah Bung Karno kembali ke Ende. Bukan sebagai orang interniran atau buangan, melainkan sebagai Presiden Republik Indonesia, Pemimpin Besar Revolusi.

Ketika itulah, Bung Karno kembali bernostalgia ke tempat buangannya dulu, dan meresmikan rumah yang dulunya milik H. Abdullah Ambuwaru itu sebagai situs bersejarah. Dalam kesempatan itu pula Bung Karno menunjuk pohon sukun tempat ia belasan tahun sebelumnya acap duduk di bawahnya, merenungkan banyak hal, satu di antaranya adalah butir-butir Pancasila. Yang menarik adalah, pohon sukun itu bercabang lima.

Sepuluh tahun kemudian, tahun 1960, pohon sukun itu mati. Oleh pemerintah daerah setempat, segera ditanam pohon sukun yang baru. Apa yang terjadi beberapa tahun kemudian? Pohon itu tumbuh subur, dan… (tetap) bercabang lima. Pohon itu masih berdiri hingga hari ini. (roso daras)