Senja Kala Marhaenisme

pni marhaenismeUntuk sekian lama, Marhaenisme menjadi asas partai, ya…. asas Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Sejak fusi tahun 1975, di mana pemerintah Orde Baru menggabung-gabungkan partai politik hingga hanya ada tiga parpol di Indonesia (PPP, Golkar, PDI), praktis PNI pun lebur ke dalam wadah baru, PDI bersama sejumlah parpol nasionalis lain.

Untuk sekian lama, setidaknya lebih tiga dasawarsa, marhaenisme seolah terkubur. Semua parpol menggunanakan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Itu artinya, PDI (sekalipun massa terbesar dari PNI), harus menanggalkan ideologi marhaenismenya. Dengan kata lain, mayoritas generasi muda sekarang, tidak paham marhaenisme.

Apakan itu sebuah kesalahan? Sama sekali tidak. Selain marhaenisme memang dikubur oleh Orde Baru, segala bacaan, referensi tekstual maupun oral juga langka. Ironisnya, buku-buku marxisme-leninisme dan banyak referensi buku sosialisme lain beredar luas di masyarakat kita dewasa ini.

Kondisi paradoksal di atas, tentu saja makin menenggelamkan marhaenisme lebih dalam lagi. Kehadiran angin reformasi yang membuka kembali keran parpol baru, telah melahirkan Partai Nasional Indonesia (PNI), bahkan kalau tidak keliru pernah sampai ada 3 (tiga) PNI ikut Pemilu. Ada PNI, PNI Front Marhaenis, dan PNI Massa Marhaen. Pada Pemilu 2004 ketiganya bergabung dengan terget meraih dukungan lima besar di Indonesia, tetapi gagal total.

Kegagalan itu bukan tanpa sebab. Sebab faktual dan terbilang klasik adalah, paham marhaenisme sudah lama terkubur. Lebih menyedihkan seandainya mayoritas pengurus PNI belum paham sejarah marhaenisme, marhaenisme sebagai ideologi, marhaenisme sebagai asas perjuangan. Bisa saja mereka telah mendapatkan buku pintar, tetapi ini persoalan ideologi. Tanpa usaha meresapkan, menghayatkan, dan mempraktekkan, niscaya akan sulit untuk menjadi darah yang mengalir dalam jiwa dan raganya.

Itu berarti, PNI sebagai partai politik dengan ideologi marhaenisme, tentu akan mengalami kesulitan manakala menugaskan segenap pengurus dan kadernya untuk “berjualan” kepada massa pemilih dalam Pemilu. Bagi kalangan tua, yang kebetulan berafiliasi ke PNI, barangkali mendengar sebutan “marhaen” atau “marhaenisme” sudah merasa tergetar hatinya. Sebaliknya, massa muda, pemilih pemula, tidak demikian halnya.

Itu artinya, marhaenisme harus kembali digali, di-syiar-kan, diramai-ramaikan, didiskusikan, diangkat ke permukaan… semua usaha untuk merevitalisasi ajaran Bung Karno. Marhaenisme sebagai bentuk sosialisme-Indonesia, harus diaktualisasikan dalam kondisi terkini dan mendatang. Roda zaman terus berputar. Mengangkat ideologi marhaenisme dengan cara “copy-paste”, dijamin tidak akan kena.

Apakah itu berarti ajaran tentang Marhaenisme sudah tidak lagi mengena di masyarakat Indonesia saat ini dan mendatang? Itu sebuah pertanyaan besar. Tetapi dengan keyakinan bahwa Bung Karno menggali marhaenisme dari lubuk hati bangsa Indonesia, maka saya pribadi sangat yakin, spirit marhaen sejatinya ada di dasar sanubari anak bangsa Indonesia, dari Sabang hingga Merauke. Persoalannya adalah, diperlukan strategi jitu dan cerdas untuk menggalinya. (roso daras)

Published in: on 3 Desember 2012 at 04:45  Comments (11)  
Tags: , , , , ,

Indie Verloren Rampspoed Geboren

Sekitar tahun 1929, Partai Nasional Indonesia (PNI) berada pada puncak kejayaan. Setiap rapat-rapat kader, Bung Karno sendiri yang turun melakukan propaganda. Tak heran jika dari waktu ke waktu, pengikutnya semakin banyak saja. Kader PNI bukan saja kaum petani, kaum buruh, tetapi juga para pelacur dan pegawai pemerintahan Hindia Belanda.

Selain propaganda dalam bentuk rapat-rapat raksasa, sejumlah kader menerbitkan suratkabar. Salah satunya “Banteng Preangan” di Bandung. Koran ini sangat diminati masyarakat. Setiap hari menerbitkan tajuk-tajuk yang berisi propaganda, agitasi yang bertujuan membentuk opini publik tentang brengseknya aksi penjajahan, dan perlunya kita segera melepaskan diri dari belenggu kolonialisme Belanda.

Menuju Indonesia Merdeka, adalah topik utama gerakan PNI ketika itu. Rapat-rapat PNI, seperti 25 Agustus 1929 di Jakarta, dan 15 September 1929 di Bandung. Di kedua rapat umum tersebut, propaganda menuju Indonesia merdeka kian lantang disuarakan. Bersamaan dengan itu, para petuga intel pemerintahan penjajah, secara intens memberi masukan pula kepada aparat keamanan. Tidak heran jika dari hari ke hari, sikap pemerintah makin keras.

Mereka tidak saja memberi peringatan, tetapi juga aksi penggrebekan, penangkapan, termasuk surat-surat edaran bagi pegawai pemerintahan (yang sipil maupun militer dan kepolisian) agar tidak ikut-ikutan terjun ke politik. Harap dicatat, tidak sedikit bangsa kita yang bekerja di kantor-kantor pemerintahan Hindia Belanda. Di antara mereka, tidak sedikit pula yang menyokong penuh gerakan kemerdekaan Bung Karno dan kawan-kawan.

Nah, di antara tekanan yang makin keras itulah, Bung Karno terus saja melakukan gerakan. Bahkan makin berani. Seperti di Bandung 15 September 1929. Ia melancarkan propaganda tentang pengertian Persatuan Indonesia dan perjuangannya untuk mencapai Indonesia merdeka, lepas dari Belanda.

Dalam retorika yang heroik, Bung Karno menegaskan, pergerakan kebangsaan adalah serupa dengan mengalirnya sungai, dan bertaut dengan sungai-sungai lainnya. Dan dalam persatuan dan pemaduan sungai-sungai itu, akan merupakan aliran banjir yang dahsyat yang sangup mendobrak penghalang-penghalangnya, sehingga akhirnya banjir tadi mencapai lautan bebas.

Bung Karno manambahkan, pihak “sana” (Belanda, maksudnya…), sedang dalam keadaan menderita demam puyuh (koorts), karena mereka terlalu banyak makan karet kita, terlalu banyak minum minyak kita.

Pada kesempatan yang sama, Bung Karno juga mengingatkan tentang aksi licik pemerintah Belanda. Mereka membentuk dan memfasilitasi sejumlah kaum amtenar untuk membentuk organisasi tandingan. Seperti lahirnya Tolak Bahla Tawil Oemoer (TBTO). Dengan cara begitu, pihak “sana” hendak memperbodoh dan mengadu domba bangsa kita. Mereka mengadu domba, dan membayar “coro-coro” (kecoa) sebagai spion dan pengkhianat dengan tujuan menghancurkan PNI.

Atas aksi pihak “sana” itu, Bung Karno menyerukan kepada seluruh kader PNI, agar tetap waspada dan tidak putus asa. “Semangat banteng harus kita tunjukkan. Janganlah kita tidur menutup mata kita sebelum kita sembahyang dan mendoa, semoga Tuhan segera menurunkan penyakit pest terhadp binatang “coro” itu. Bila kita telah mencapai Indonesia merdeka, kaum kapitalis itu tidak akan memperoleh keuntungan lagi, dan akhirnya akan datang, ‘Indie verloren rampspoed geboren‘ (Indonesia Merdeka, bencana akan menimpa negeri Belanda).” (roso daras)

Published in: on 15 Januari 2011 at 02:47  Comments (5)  
Tags: , , ,

Lembutnya Bung Hatta, Kerasnya Bung Karno

Bung Karno dan Bung Hatta

Ketika Bung Karno meringkuk di Sukamiskin, ia mendengar partai yang didirikannya, PNI (Partai Nasional Indonesia) dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang. Demi melukiskan kesedihan hatinya mendengar “anak” yang dilahirkan dan dibesarkannya berantakan, Bung Karno dalam penuturan kepada Cindy Adams mengakui, itulah kali pertama ia menangis sejadi-jadinya.

Alhasil, ketika pada tanggal 31 Desember 1931 Bung Karno dinyatakan bebas menghirup udara lepas, hal pertama yang ia lakukan adalah mengkonsolidasikan para pengikutnya. Saat itu, partainya telah pecah. Hatta dan Sutan Sjahrir mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia, yang singkatannya PNI juga. Sedangkan pengikut Bung Karno yang lain mendirikan Partai Indonesia yang disingkat Partindo.

Para pengurus Partindo menarik-narik Bung Karno masuk Partindo, tetapi Bung Karno menolak sebelum berbicara dengan Hatta. Syahdan, kedua tokoh pergerakan yang di kemudian hari kita kenal sebagai dwitunggal itu pun bertemu. Dalam pertemuan itulah terjadi perdebatan sengit, menyoal cara-cara berjuang mencapai kemerdekaan. Hatta menghendaki pendidikan kader, dan menilai cara-cara yang dilakukan Bung Karno membuat partai tidak bisa stabil. Bung Karno ngotot dengan pendapatnya, bahwa untuk merdeka, rakyat harus disatukan melalui pergerakan.

Saat itulah meluncur statemen Bung Karno tentang pergerakan, yang kemudian mengilhami kuam-kaum pergerakan selanjutnya, bahkan hingga hari ini. Katanya, “Politik adalah machtsoorming dan machtsannwending, pembentukan kekuasan dan pemakaian kekuatan. Dengan tenaga yang terhimpun kita dapat mendesak musuh ke pojok dan kalau perlu menyerangnya.”

Bung Karno menuding, cara-cara pendidikan kader, cara-cara revolusi yang dilandaskan pada teori buku, adalah sebuah landasan revolusioner yang khayal. Bahkan dalam perdebatan sengit tadi Bung Karno sempat mengecam pendirian Bung Hatta dengan mengatakan, “Mendidik rakyat supaya cerdas akan memerlukan waktu bertahun-tahun Bung Hatta… Jalan yang Bung tempuh baru akan tercapai kalau hari sudah kiamat!”

Singkat kata, kedua tokoh pergerakan tadi tidak mencapai kata sepakat dalam hal merumuskan cara perjuangan menuju cita-cita yang sesungguhnya sama: Indonesia merdeka. Bung Hatta lebih soft, sedangkan Bung Karno memilih cara keras. Akhirnya benar, keduanya menempuh jalan masing-masing, dan Bung Karno masuk Partindo pada tanggal 28 Juli 1932. Tak lama kemudian, ia sudah menjadi pemimpin partai itu, dan pergerakan hidup kembali.

Begitulah sosok dwitunggal yang memang berbeda, tetapi sejatinya saling melengkapi. Karena kemudian sejarah mencatat, bahwa Hatta dan Sjahrir-lah yang dapat merangkul kalangan intelektual. Sementara, Bung Karno mengakar di hati rakyat Marhaen yang paling dalam.

Suatu ketika, untuk menggambarkan dua kepribadian dwitunggal itu, Bung Karno pernah menceritakan peristiwa tahun 20-an. Pada suatu waktu, Bung Karno dan Bung Hatta melakukan perjalanan ke suatu tempat, dan satu-satunya penumpang yang lain adalah seorang gadis yang cantik. Di suatu tempat yang sepi dan terasing, ban pecah.

Bung Karno dan pengemudi mencari pertolongan, sementara Hatta dibiarkan di dalam mobil bersama gadis cantik tadi. Apa yang terjadi? Dua jam kemudian ketika pertolongan itu datang, si gadis cantik tampak tengah tertidur di sudut mobil, sedangkan Hatta mendengkur di sudut yang lain. (roso daras)