Sebuah running text di salah satu televisi nasional tertulis: Ratna Djoeami, putri angkat Bung Karno meninggal dunia. Itu peristiwa dua hari lalu, Minggu, 23 Juni 2013. Itu artinya, satu lagi kerabat dekat Bung Karno pergi meninggalkan kita. Saya sangat berduka, seyogianya negeri ini pun berduka. Anak angkat Bung Karno yang tak lain adalah keponakan Inggit Garnasih itu, adalah pelaku dan saksi hidup yang komplet.
Omi –begitu ia dipanggil– sudah ikut Bung Karno sejak dalam pembuangan di Ende, bersama Inggit (tante yang jadi ibu angkat) nenek Amsi (ibunda Inggit yang juga nenek Omi). Di Ende pula ia merasakan duka kehilangan nenek Amsi yang wafat dan dimakamkan di sana pada tanggal 12 Oktober 1935. Kemudian, ketika pemerintah kolonial Belanda memindahkan tempat pembuangan dari Ende ke Bengkulen (Bengkulu), Omi ikut serta.
Omi lahir di Bandung tahun 1922, itu artinya ia wafat dalam usia 91 tahun. Suaminya, wartawan, tokoh pergerakan pada zamannya, sekaligus murid ideologis Bung Karno, Asmara Hadi, sudah mendahuluinya. Pasangan Omi – Hadi dikaruniai enam orang anak. Anak keenam lahir tahun 1950 di RS St Carolus Jakarta, dan menjadi satu-satunya anak perempuan Omi-Hadi. Adapun anak ketiga, yang bernama Kemal Budhi Darma, meninggal akhir tahun 1945, saat umurnya baru satu tahun.
Saat mengikuti Bung Karno dalam pembuangan di Ende, Omi sempat belajar di MULO Bandung. Karena keterbatasan akses dan fasilitas selama di pembuangan, Omi kemudian meneruskan belajar sendiri, dengan bimbingan langsung bapak angkatnya, Bung Karno. Dari penuturan adik angkatnya, Kartika, suasana belajar di rumah pembuangan Bung Karno sangatlah ketat dan penuh disiplin. Saat bertindak sebagai guru, Bung Karno sangat tegas cenderung galak. Kartika mencontohkan, kalau Omi salah menjawab pertanyaan Bung Karno sang guru, spontan Bung Karno akan melotot ke arah Omi.
Selama di Ende, Bung Karno dan Omi sering berkomunikasi dalam bahasa Belanda. Aktivitas belajar-mengajar antara Bung Karno dan Omi pun menggunakan bahasa pengantar Belanda bercampur melayu. Sedangkan kalau dalam keseharian, Bung Karno, Omi, dan Inggit berkomunikasi dalam bahasa Sunda. Tetapi kepada adik angkat Omi, Kartika, keluarga itu memakai bahasa Melayu.
Omi adalah murid yang cerdas. Bung Karno sangat menyayangi Omi, baik sebagai anak (angkat) maupun sebagai murid. Omi pun banyak membantu Bung Karno dalam menyibukkan diri selama di pembuangan. Contoh, ketika Bung Karno mendirikan tonil bernama Kelimoetoe, Omi pun terlibat dalam kepanitiaan sekaligus seksi kostum bersama sang “ibu” Inggit Garnasih. Ya, semua kostum yang dikenakan pemain tonil pimpinan Bung Karno, adalah buatan Inggit dan Omi.
Alkisah, ketika Bung Karno dipindahkan ke pembuangan yang baru di Bengkulu, Omi pun turut serta. Ia sudah remaja. Bahkan, Bung Karno sendiri dalam buku otobiografinya menyebutkan bagaimana Omi menjadi saksi dalam kehidupan rumah tangga Bung Karno – Inggit, serta masuknya Fatmawati ke lingkungan keluarga mereka. Sebagai remaja, bahkan Omi pun dikisahkan pernah bertengkar dengan Fatmawati.
Syahdan, ketika Bung Karno bercerai dengan Inggit, Ratna Djoeami dan Kartika (kedua putri angkat Bung Karno) memilih tinggal bersama Inggit di Bandung. Sebuah keputusan yang sangat sulit. Bung Karno, Inggit, Omi dan Kartika, dikisahkan bertangis-tangisan ketika itu. Beruntung, pada awal-awal perceraiannya dengan Inggit, Bung Karno relatif sering mengunjunginya di Bandung. Ketika itu, Omi dan Kartika, tinggal bersama Inggit. Bahkan ketika kiriman uang dari Bung Karno terhenti, Omi pun membantu Inggit berjualan ini-itu untuk kebutuhan hidup.
Bagi Omi, Bung Karno adalah sosok ayah sejati. Bung Karno yang mendidik Omi, bahkan kemudian menikah dengan Asmara Hadi yang juga anak ideologis Bung Karno. Hubungan mereka tetap terjalin dengan baik. Bahkan, Omi pula yang menggandeng dan menuntun Inggit ke Wisma Yaso, melayat Bung Karno tahun 1971.
Kini, Omi sudah menyusul Bung Karno dan Inggit. Semoga mereka bahagia di sana. (roso daras)